• Tidak ada hasil yang ditemukan

Merancang Ekonomi

Dalam dokumen SUARA KARYA 1971-1974 (Halaman 88-110)

BAB IV ORDE BARU

C. Merancang Ekonomi

(1983-1993). Sedangkan Mohammad Sadli menjadi Menteri Tenaga Kerja (1971-1973) dan Menteri Pertambangan (1973-1978).171

Para penasihat ekonomi ini memberi jawaban pertamanya lewat sebuah kebijakan landasan ekonomi keuangan dan pembangunan.

Kebijakan ini berisi tentang program stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi untuk jangka pendek dan program pembangunan untuk jangka panjang.

Nantinya, kebijakan ini dikenal sebagai Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) yang didasari Ketetapan MPRS no. 23 tahun 1966.172

Kebijakan pasar bebas menjadi awal mula terbukanya perekonomian Indonesia. Saat Soekarno menjadi Presiden RI, perekonomian Indonesia memang tertutup oleh investor asing. Di masa transisi ini, Soeharto berhasil menarik para investor untuk memulihkan kondisi ekonomi Indonesia. Sebelum modal asing kembali masuk, para pembuat kebijakan diharuskan membujuk kreditor dan investor asing yang potensial untuk memperbaiki hutang-hutang Indonesia. Dalam Konferensi Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI)173 pada 1967 di Amsterdam, Belanda, Delegasi Pemerintahan Indonesia yakni Sri

171 Husein Abdulsalam, Kwik Kian Gie, Prabowo Subianto, dan Benang Merah Mafia Berkeley, https://tirto.id/kwik-kian-gie-prabowo-subianto-dan-benang- merah-mafia-berkeley-cZTu, (Diakses pada 1 Februari 2019 pukul 17.47 WIB).

172 Ketetapan ini berisi tentang Pembaharuan Kebijaksanaan Landasan Ekonomi, Keuangan, dan Pembangunan. Lebih jelas lihat dalam http://www.jdih.kemenkeu.go.id/fullText/1966/XXIII~MPRS~1966TAP.HTM(Diaks es pada 9 November 2018 pukul 03.06 WIB).

173IGGI yang terbentuk pada tahun 1967 ini memiliki anggota yang terdiri dari Australia, Belgia, Jerman, Itali, Jepang, Belanda, Inggris, Amerika, Austria, Kanada, Selandia Baru, Norwegia, Swiss, Bank Dunia, International Monetary Fund (IMF), Bank Pembangunan Asia (ADB), United Nations Development Programs (UNDP), serta Organitation for Economic Co-operation and Development (OECD).

Berdirinya IGGI diperuntukkan untuk memberikan bantuan pembangunan kepada Indonesia. Lihat lebih lengkap dalam M. Faisal, IGGI dan Asal-Usul Utang Luar Negeri Indonesia, https://tirto.id/iggi-dan-asal-usul-utang-luar-negeri-indonesia- cEW3, (Diakses pada 1 April 2019 pukul 23.56 WIB).

Sultan Hamengkubuwono IX memberikan beberapa pernyataan untuk meyakini para investor asing menanamkan modalnya, yakni:

1. Kekuatan pasar akan memainkan peran pokok dalam rehabilitasi

2. Perusahaan-perusahaan nasional (Indonesia) akan melakukan kompetisi bebas dengan perusahaan swasta, mengakhiri akses preferensi ke kredit dan alokasi valuta asing. Monopoli negara di bidang impor akan diakhiri. Sedangkan di pihak lain, perusahaan akan dibebaskan dari kewajiban menjual dengan harga rendah. Mereka dapat melakukan penjualan berdasarkan harga pasar dan bekerja secara ekonomis.

Dengan demikian, para perusahaan nasional tak memerlukan subsidi dari negara.

3. Sektor swasta harus dirangsang dengan menghapuskan pembatasan lisensi impor bahan baku dan peralatan.

4. Investasi swasta asing akan digalakkan dengan dikeluarkannya undang-undang investasi baru yang akan menjamin insentif perpajakan dan lainnya.174

Dengan adanya pernyataan itu, mulailah langkah baru dalam penanaman modal asing di Indonesia. Pemerintah Indonesia pun mengembalikan sebagian besar aset milik asing yang disita pada 1963- 1965. Dari sana juga, pemerintah Indonesia membuka jaringan-jaringan ekonomi kepada para investor internasional, baik yang sumbernya dari pemerintah maupun dari sektor swasta. Demikian juga dengan institusi

174 Richard Robison, Soeharto dan Bangkitnya Kapitalisme Indonesia, (Depok: Komunitas Bambu, 2012), 107.

keuangan seperti Bank Dunia dan International Monatery Fund (IMF).

Peminjaman modal kepada investor asing ini pun menjadi keberuntungan bagi pemerintahan Indonesia. Dalam jangka pendek, Indonesia mampu mengimpor berbagai kebutuhan pokok untuk mengendalikan inflasi. Sedangkan dalam jangka panjang, pinjaman luar negeri ini mampu menambah modal pemerintah dalam melakukan rehabilitasi infrastruktur lewat anggaran pembangunan yang kemudian dilaksanakan lewat Repelita I.175

Pernyataan itu pun benar-benar dibuktikan Soeharto. Pemerintah Indonesia segera membuat Undang-Undang (UU) yang mengatur tentang kebijakan investor di Indonesia. 1 Januari 1967, muncullah UU No. 1 Tahun 1967 yang dikenal dengan UU Penanaman Modal Asing (PMA). Dalam UU ini, ada bebebapa poin penting terkait kebijakan pemerintah terhadap para investor asing di Indonesia, yakni:

1. Jaminan tidak ada nasionalisasi aset perusahaan asing.

Apabila terjadi, perusahaan itu akan mendapat kompensasi yang memadai.

2. Perusahaan asing mendapat izin operasi selama 30 tahun dan bisa diperpanjang.

3. Perusahaan asing mendapat kebebasan terhadap beban bea masuk serta pajak dalam periode tertentu.

4. Perusahaan asing mendapat jaminan untuk memilih sendiri manajemen dan pekerja teknis. Perusahaan asing juga bisa

175 Richard Robison, Soeharto dan Bangkitnya Kapitalisme Indonesia, 107- 108.

membawa pulang keuntungan dan modal mereka dengan leluasa.176

UU baru ini dinilai sangat liberal jika dibandingkan dengan kebijakan ekonomi di masa pemerintahan Soekarno yang anti asing.

Sekalipun menguntungkan, aturan itu masih dianggap berat terhadap investor asing. Rizal Mallarangeng mencontohkan, urusan perizinan masih menjadi kendala. Perizinan menanamkan modal memerlukan waktu selama enam hingga sembilan bulan. Tak hanya itu, beberapa poin yang berkaitan dengan investasi, perburuhan, perpajakan, hingga hak atas tanah juga tak menentu. Namun dari semua itu, UU PMA menjadi pintu utama dalam keterbukaan pemerintah untuk investor asing. Dari UU ini, nilai total investasi asing meningkat drastic. Dari yang awalnya hanya U$3 juta pada 1968, kemudian meningkat menjadi U$130 juta pada 1970 dan naik lagi menjadi U$302 juta pada 1972. Pada 1967, investasi asing yang disetujui di luar minyak, perbankan, dan asuransi hanya 13 proyek. Setelah adanya UU ini, investasi meningkat menjadi 63 proyek (1970) dan 84 proyek (1971). 177

Selain UU PMA, pemerintah Indonesia juga menerbitkan UU penenaman modal kepada perusahaan domestik. Agustus 1968, terbitlah sebuah aturan yang dikenal dengan nama UU Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Namun berbeda dengan UU PMA yang sudah jelas menguntungkan investor asing, UU PMDN lebih proteksionis. Para investor tetap masuk ke dalam posisi strruktural yang tidak

176 Rizal Mallarangeng, Mendobrak Sentralisme Ekonomi: Indonesia 1986- 1992, 53-55.

177 Rizal Mallarangeng, Mendobrak Sentralisme Ekonomi: Indonesia 1986- 1992, 53-55.

menguntungkan. Menurut persyaratan, perusahaan yang melakukan investasi harus menyisihkan depositonya sebesar 25% kepada bank negara sebagai bentuk jaminan. Sedangkan untuk bidang-bidang di luar kehutanan, pertanian, dan substitusi impor, jaminan deposito harus disisihkan sebesar 50%. Akibatnya, hanya sedikit saja perusahaan domestik yang asetnya lancar setelah diguncang inflasi tinggi 1957- 1967. Belum lagi, mereka juga harus berhadapan dengan bunga tinggi dan kebijakan barang impor dari asing yang tentu saja lebih murah. 178 Namun di sisi lain, UU PMDN juga memuat aturan yang menguntungkan untuk menarik investasi dalam negeri. Perusahaan domestik diberikan peluang pembebasan dan peringanan pajak apabila mereka sudah memenuhi persyaratan. Dari UU PMDN, jumlah investasi perusahaan domestik ikut tumbuh. Pada 1968, jumlah investasi yang disetujui pemerintah hanya U$13 juta. Investasi kemudian meningkat pada 1970 yang jumlahnya mencapai U$319 juta dan naik lagi menjadi U$1.465 juta pada 1973.179

Investasi Modal yang Disetujui PMA/PMDN Desember 1973180

Sektor

Jumlah Investasi Disetujui (dalam U$

juta)

Persentase

PMA PMDN PMA PMDN

Kehutanan 495,5 356,8 58 42

Pertanian dan Perikanan 113 232,5 33 67

Pertambangan 860 46,2 95 5

178 Richard Robison, Soeharto dan Bangkitnya Kapitalisme Indonesia, 108- 109.

179 Rizal Mallarangeng, Mendobrak Sentralisme Ekonomi: Indonesia 1986- 1992, 53-55.

180 Richard Robison, Soeharto dan Bangkitnya Kapitalisme Indonesia, 111.

Manufaktur 1.045,1 1.740,9 38 62

Tekstil 436,9 749 37 63

Pariwisata, Hotel, Real Estate

195,9 200 50 50

Lainnya (termasuk infrastruktur dan

konstruksi)

183,3 207 37 63

Jumlah Disetujui 2.828,3 2.978,5 49 51

Jumlah Realisasi 1.131,2 876 56 44

Keterangan: Kurs U$ pada Rupiah pada 1971-1973, U$1 = Rp415.

Dengan modal dari para investor baik dalam negeri maupun luar negeri itu, Soeharto kemudian mencanangkan sebuah konsep yang berisi tentang pembangunan RI selama lima tahun ke depan. Konsep ini kemudian dikenal dengan nama Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) periode pertama. Repelita I dimulai sejak tahun 1969. Dalam konsep ini, Repelita I diprioritaskan untuk perkembangan substitusi impor. Investasi yang digunakan dalam Repelita I digunakan ke dalam berbagai fokus, yakni Rp305 miliar untuk pertanian, Rp380 miliar untuk industri dan pertambangan, Rp265 miliar untuk komunikasi, Rp172 miliar untuk kesejahteraan sosial, Rp100 miliar untuk tenaga listrik, dan berbagai bidang lain yang jumlah keseluruhan anggarannya mencapai Rp1.420 miliar.181

Meskipun begitu, pembangunan yang gencar dilakukan Presiden Soeharto tak lepas dari kritik. UU PMA dan PMDN dianggap terlalu

181 Richard Robison, Soeharto dan Bangkitnya Kapitalisme Indonesia, 109- 110..

menguntungkan investor asing. Sebab, UU PMDN dinilai lebih memberatkan industri pribumi sekaligus menciptakan pola masyarakat yang cenderung konsumtif terhadap produk asing. Belum lagi besarnya biaya politik, sosial, dan moral strategi untuk mengembangkan bisnis terlalu besar. Para kritikus yang berlatar ekonom itu menyarankan agar dana investor asing diintegrasikan ke dalam strategi pembangunan nasional yang menyeluruh dan juga ditentukan oleh orang Indonesia sendiri.182

Sasaran kritik juga dilancarkan kepada Direktur Pertamina Ibnu Sutowo. Dalam masa kepemimpinannya, Sutowo dianggap memperlakukan Pertamina sebagai kerajaan bisnis pribadi. Secara legal, Pertamina bertugas untuk mengatur sumber daya minyak Indonesia melalui alokasi konsesi pengeboran, melakukan administrasi kontak kerja dan kemitraan produksi, dan melakukan koordinasi industri minyak secara menyeluruh. Di bawah arahan Sutowo, Pertamina berkembang menjadi suatu pusat kekuatan ekonomi paling besar. Terlebih pada saat itu harga minyak dunia sedang meningkat. 183

Sumber Pendapatan Pemerintah RI184

Tahun Minyak Non

Minyak

Bantuan Jumlah

1969/1970 65,8 (19,7)

178,1 (53,2)

91,1 (27,2)

334,8

182 Yahya A. Muhaimin, Bisnis dan Politik: Kebijaksanaan Ekonomi Indonesia 1950-1980, (Jakarta: LP3ES, 1990), 64-65. Kritik juga dilancarkan oleh pers mahasiswa lewat media Mahasiswa Indonesia. Lihat dalam Francois Raillon, Politik dan Ideologi Mahasiswa Indonesia: Pembentukan dan Konsolidasi Orde Baru 1966- 1974, (Jakarta: LP3ES, 1989), 310-311.

183 Richard Robison, Soeharto dan Bangkitnya Kapitalisme Indonesia, 118.

184 Richard Robison, Soeharto dan Bangkitnya Kapitalisme Indonesia, 133.

1970/1971 99,2 (21,3)

245,4 (52,8)

120,5 (25,9)

465,1

1971/1972 140,7 (25)

287,3 (51)

135,5 (24)

563,5

1972/1973 230,5 (30,8)

360,1 (48,1)

157,8 (21,1)

748,4

1973/1974 382,2 (32,6)

585,5 (50)

204 (17,4)

1.171,7

1974/1975 957,2 (48,4)

789,1 (39,9)

232 (11,7)

1.978,3

Keterangan: Angka non-kurung dalam hitungan miliar rupiah, sedangkan angka dalam kurung dalam hitungan persentase.

Gebrakan Ibnu Sutowo dalam mengembangkan Pertamina dilakukan dengan dua cara. Pertama, ia meningkatkan kegiatan Pertamina lewat investasi ke bidang yang luas melalui anak perusahaan Pertamina, seperti bidang petrokimia, perusahaan logam, permesinan, telekomunikasi, perumahan, penerbangan, dan pelayaran. Salah satu yang menonjol adalah PT. Krakatau Steel yang memerlukan modal Pertamina sebanyak U$6 juta dari keselurahan modal berjumlah U$10 juta. Kedua dilakukan dengan cara memanfaatkan akses ke minyak dan gas alam Indonesia sebagai modal untuk mencari dana ke investor asing dalam melakukan proyek pembangunan di bidang petrokimia dan gas alam. Dalam hal ini, Sutowo mengandalkan investor Jepang dibanding IGGI, IMF, atau IBRD. Jepang lebih dipilih karena lebih simpatik dalam memberikan pinjaman modal. Peminjaman itu pun juga mendapat restu dari Presiden Soeharto. Namun momentum yang dilakukan Ibnu Sutowo

ini berhenti tiba-tiba pada 1975/1976. Alasannya, Pertamina tidak mampu membayar kebijakan yang tercantum dalam perjanjian utang jangka pendekya. Kebijakan IMF yang mendesak kuat bahwa korporasi negara Indonesia harus dibatasi untuk peminjaman utang luar negeri antara satu hingga 15 tahun memaksa Sutowo untuk memilih utang dengan jangka pendek. Pinjaman dana AS sebesar U$1.200 juta selama 20 tahun ini tiba-tiba gagal. Hal ini pun berujung pada pemecatan Sutowo dari jajaran petinggi Pertamina, juga bersama para pejabat yang memiliki hubungan dengan Sutowo.185

Sasaran kritik selanjutnya kemudian berlanjut kepada Tien Soeharto. Tien dikritik karena ia mengusulkan untuk membangun sebuah mega proyek miniatur Indonesia yang dikenal dengan Taman Mini Indonesia Indah (TMII). TMII sendiri diibaratkan seperti Disneyland yang isinya adalah beberapa pulau Indonesia yang berbentuk kecil yang terpusat di danau. Di situ juga disediakan rumah tradisional Indonesia yang nantinya akan memamerkan unsur kebudayaan daerah masing- masing provinsi. Tien terinspirasi dari kunjungannya ke tempat wisata Thaiin-Miniature Land yang ada di Bangkok, Thailand. Usulan yang digagas pada 1971 ini memancing kemarahan mahasiswa Indonesia karena memakan biaya hingga U$50 juta.186 Meskipun proyek ini mempunya tujuan mulia yang sesuai dengan motto Bhineka Tunggal Ika¸

mahasiswa menilai bahwa negara terlalu menghambur-hamburkan uang.

185 Richard Robison, Soeharto dan Bangkitnya Kapitalisme Indonesia, 119- 122.

186 Akhmad Zaini Abar, 1966-1974: Kisah Pers Indonesia, 180-181.

Menurut mereka, alangkah lebih bijak apabila uang tersebut digunakan untuk mengatasi kemiskinan yang tak kunjung selesai.187

Mendengar istrinya diserang, Soeharto berang. Dalam pidatonya pada Januari 1972, ia menuduh bahwa kritikus TMII bertujuan untuk menggulingkan pemerintahan yang sah. Soeharto mengatakan bahwa aktivis itu sudah diorganisir oleh para oposisi yang sudah ada sejak 1968.

Ia mengancam akan menggunakan kekuatan militer apabila protes terus digencarkan kepada istrinya. Peringatan ini pun dieksekusi oleh Kopkamtib. Jenderal Sumitro selaku Panglima Kopkamtib akan menindak semua demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa dan juga kritik yang digencarkan oleh media massa terkait isu pembangunan TMII.188 Langkah itu berhasil meredam gerakan mahasiswa selama 18 bulan dan berujung pada minggatnya Arief Budiman (pelopor gerakan mahasiswa) meninggalkan Indonesia.189

Kritik berlanjut pada tahun 1973. Namun, protes dan kritik tak hanya disampaikan oleh pers dan mahasiswa, cendekiawan, pebisnis, hingga pemimpin politik turut mengkritik pemerintahan. Kritik disasar pada strategi ekonomi Bappenas yang diduga akan membuat jurang kemiskinan untuk masyarakat Indonesia. Ditariknya investor Cina sebagai penanam modal menjadi pemicu kemarahan kelompok ini, selain perilaku korupsi para pejabat pemerintahan tentunya. Menurut kelompok ini, pemanfaatan sumber daya minyak tak selaras dengan role pembangunan Indonesia. Sebab, keuntungan yang didapat malah menambah penanaman investasi yang ditujukan untuk masyarakat-

187 Adrian Vickers, Sejarah Indonesia Modern, (Yogyakarta: Insan Madani, 2005), 252-255.

188 Akhmad Zaini Abar, 1966-1974: Kisah Pers Indonesia, 185.

189 Richard Robison, Soeharto dan Bangkitnya Kapitalisme Indonesia, 125.

masyarakat konsumtif perkotaan. Solusi yang mereka tawarkan adalah menunjukan pembangunan dengan prinsip kesetaraan, pembukaan lapangan kerja, penggunaan teknologi yang cocok, hingga pembangunan bidang industri dan pertanian yang lebih dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia.190

Demonstrasi masyarakat mencapai puncak saat kedatangan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka ke Indonesia pada 15 dan 16 Januari 1974. Kedatangan Tanaka sendiri untuk menanamkan investasi dari dana Pemerintah Jepang yang mendominasi lewat organisasi Asian Development Bank (ADB). Para demonstran pun melancarkan protesnya di seluruh wilayah Jakarta. Huru-hara pun terjadi. 807 mobil dan motor buatan Jepang harus dibakar massa, sebelas orang meninggal dunia, 300 orang luka-luka, 114 bangunan rusak, juga 160 kg emas raib dari tokoh- tokoh perhiasan.191 Namun mereka tak hanya mengincar perusahaan Jepang, Perusahaan Coca-Cola, pasar-pasar di wilayah Senen dan Blok M juga turut dijarah. Kerusuhan ini kemudian dikenal dengan istilah Malapetaka 15 Januari (Malari) 1974.192

Akibat Malari ini, pemerintah pun menanggapinya dengan represif. Mereka memberangus media massa yang dinilai terlalu kritis dengan pemerintahan, seperti Indonesia Raya, Nusantara, Harian Kami, Mahasiswa Indonesia, The Jakarta Times dan Pedoman. Selain itu, 775 aktivis juga turut ditangkap. Beberapa di antaranya yakni Pemimpin

190 Richard Robison, Soeharto dan Bangkitnya Kapitalisme Indonesia, 125- 127.

191 Husein Abdulsalam, Malari 1974: Protes Mahasiswa yang Ditunggangi Para Jenderal, https://tirto.id/malari-1974-protes-mahasiswa-yang-ditunggangi-para- jenderal-cDe9, (Diakses pada 3 Februari 2019 pukul 17.09 WIB).

192 Peter Kasenda, Soeharto: Bagaimana Ia Bisa Melanggengkan Kekuasaan Selama 32 Tahun?, 53.

Gerakan Mahasiswa Hariman Siregar, Tokoh PSI Soebadio Sastrosatomo, Aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Adnan Buyung Nasution dan J.C. Princen, dan akademisi Dorodjatun Kuntjoro-Jakti.193

Beberapa sumber mengatakan, insiden ini bukan hanya protes akibat kebijakan ekonomi. Peristiwa Malari juga merupakan peristiwa yang berlatar belakang politik lantaran perseteruan dua jenderal berpengaruh saat itu, yakni Pangkopkamtib Soemitro dan Kepala Bakin Ali Moertopo. Gagasan-gagasan Soemitro mengenai kebijakan politik (seperti masa jabatan pejabat negara) dan ekonomi (mengorientasikan pejabat domestik ketimbang asing) dianggap berbahaya oleh Ali Moertopo. Ali menilai bahwa Soemitro bisa menjadi ancaman untuk menggulingkan kekuasaan Presiden Soeharto. Usai Malari, keduanya pun secara bertahap disingkirkan oleh Soeharto. Soemitro dicopot dari jabatannya sebagai Panglima Kopkamtib, sedangkan Ali Moertopo diturunkan sebagai Wakil Kepala Bakin dan Yoga Sugama naik menggantikan Ali.194 Kemudian secara berangsur, Benny Moerdani yang juga pernah menjadi anak buah Ali, dilantik Soeharto untuk memperbaiki intelijen Indonesia.195

Dampak dari Malari cukup mengguncang pemerintahan Indonesia dalam membangun kembali kebijakan ekonominya. Seminggu setelahnya, beberapa perubahan mengenai kebijakan investasi dan

193 Husein Abdulsalam, Malari 1974: Protes Mahasiswa yang Ditunggangi Para Jenderal, https://tirto.id/malari-1974-protes-mahasiswa-yang-ditunggangi-para- jenderal-cDe9, (Diakses pada 3 Februari 2019 pukul 17.09 WIB).

194 Salim Haji Said, Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto, 57-64.

195 Arif Zulkifli, dkk, Seri Buku Saku Tempo: Benny Moerdani yang Belum Terungkap, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2018), 52-53.

perkreditan dibuat secara buru-buru oleh Dewan Stabilisasi Ekonomi Nasional. Perubahan itu yakni:

1. Saham kapital pada perusahaan patungan baru secara progresif dialihkan kepada mitra Indonesia hingga mencapai 51% dalam jangka sepuluh tahun.

2. Semua proyek investasi asing dalam bentuk patungan dengan mitra pribumi Indonesia.

3. Jika mitra lokal bukan pribumi Indonesia, maka 51% saham nasional harus dicapai lebih cepat melalui pasar saham dan 50% dari saham nasional harus ada di tangan kaum pribumi Indonesia.

4. Bidang investasi yang tertutup bagi modal asing bertambah jumlahnya dengan mempertimbangkan kejenuhan bidang tersebut serta menciptakan potensi investor domestik untuk mengambilalih investasi dan produksi.

5. Kredit investasi dari bank-bank pemerintah dialokasikan hanya kepada investor pribumi.

6. Proyek investasi domestik diminta memenuhi 75% saham kaum pribumi atau jika manajemen sebagian besar di tangan kaum pribumi, maka saham pribumi cukup 50%.196

Modifikasi kebijakan ekonomi oleh pemerintahan Indonesia memiliki dua tujuan. Pertama, untuk memperbaiki tekanan sosial dan ekonomi yang terus menerus meningkat selama masa pemerintahan Orde Baru. Pemerintah tak akan mengistimewakan investor asing untuk

196 Richard Robison, Soeharto dan Bangkitnya Kapitalisme Indonesia, 130.

menanamkan modalnya di Indonesia. Bersama investor asing, pebisnis domestik kini ditarik masuk ke dalam penggerak ekonomi. Alasan kedua adalah untuk memperbaiki stabilitas sosial dan politik akibat kritik yang dilaksanakan oleh masyarakat, terutama cendekiawan, mahasiswa, hingga media massa. Sebab, pemerintahan Orde Baru tak ubahnya dengan pemerintahan Orde Lama yang memiliki budaya korupsi oleh para pejabatnya. 197

197 Richard Robison, Soeharto dan Bangkitnya Kapitalisme Indonesia, 129.

85 BAB V

SIKAP SUARA KARYA DALAM MELEGITIMASI KEKUASAAN ORDE BARU

Harian Umum Suara Karya merupakan sebuah surat kabar yang diterbitkan oleh Yayasan Suara Karya pada 11 Maret 1971. Seperti dijelaskan sebelumnya, kehadiran Suara Karya memang diperuntukkan untuk menaikkan elektabilitas Golkar dalam Pemilu 1971. Berawal dari usulan Ali Moertopo pada 8 Maret 1971, para punggawa Golkar pun melaksanakan pertemuan yang diadakan di Tanah Abang, Jakarta Pusat.

Pertemuan itu pun menjadi asal muasal lahirnya Harian Umum Suara Karya. 198 Ali Moertopo, Sudjono Humardani, dan Sapardjo tercatat sebagai penggagas media ini. Sedangkan kader Golkar yang turut terlibat antara lain Sumiskum, David Napitupulu, Jusuf Wanandi, Moerdopo, Sugiharto, Rahman Tolleng, Djamal Ali, Cosmas Batubara, dan Soedjati Djiwandono.199

Edisi perdana Suara Karya bertepatan dengan Peringatan Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) 1971 dan mencakup empat halaman.

Pada halaman pertama, tertulis sambutan dari Presiden Soeharto yang berisi ucapan selamat atas terbitnya Suara Karya. Dalam isi sambutannya, Soeharto mengharapkan harian ini mampu membawa angin segar pembaruan untuk masyarakat, menggerakkan dan menggairahkan masyarakat, serta membuat masyarakat lebih paham

198 Tempo, Koran 50 Juta Rupiah, dalam Majalah Tempo edisi Khusus Rahasia-Rahasia Ali Moertopo tanggal 14-20 Oktober 2013, 48.

199 Ricky Rachmadi dkk, 32 Tahun Suara Karya: Berlayar Menembus Zaman, 4.

tentang paham demokratis. 200 Sedangkan Suara Karya sendiri memiliki alasan untuk menerbitkan media harian tersebut. Mereka menulisnya melalui Rubrik Tajuk Rencana dengan judul Missi Suara Karya.

Missi “Suara Karya”201

BERTEPATAN DENGAN HARI “SUPERSEMAR” 11 MARET 1971, Harian “SUARA KARYA” memulai pengabdiannja dalam perdjuangan bangsa Indonesia mencapai tjita²-nja seperti jang termaktub dalam Undang² Dasar 1945.

Apakah mission jang hendak dibawakan oleh “SUARA KARYA”?

Sedjak tahun 1966 sebagian dari lapisan kepemimpinan bangsa Indonesia telah memilih dan meletakkan trace baru atau strategi baru dalam memperdjuangkan pelaksanaan tjita² Bangsa Indonesia. Strategi baru ini melalui berbagai-bagai ketetapan MPRS dan perundang-undangan telah diterima dan mendjadi milik seluruh bangsa Indonesia.

Tracee baru jang telah diletakkan itu adalah alternatif jang tepat dan merupakan konsekwensi logis dari proses perkembangan bangsa berdasarkan kondisi dan situasi, baik didalam maupun diluar negeri. Mendjadi pula suatu kejakinan, bahwa tracee baru itu akan memberikan hasil bagi bangsa dan rakjat, apabila dapat didjamin kontinuitasnja untuk djangka waktu jang tjukup lama.

Sudah tiba saatnja lapisan kepemimpinan bangsa Indonesia berpikir dan berentjana dalam djangkauan waktu jang tjukup pandjang, sedikit-dikitnja seperempat abad.

Pelaksanaan kebebasan, pelaksanaan Demokrasi jang telah diletakkan dalam Undang² Dasar 1945, mendjadi salah satu dasar atau tjiri dari Tracee

200 Ricky Rachmadi dkk, 32 Tahun Suara Karya: Berlayar Menembus Zaman, 5.

201 Pindaian Dokumen Tajuk Rencana edisi pertama Harian Suara Karya.

Lihat dalam Ricky Rachmadi dkk, 32 Tahun Suara Karya: Berlayar Menembus Zaman, 6.

Baru. Pemilihan umum sebagai salah satu sisi pelaksanaan demokrasi akan mendjadi kenjataan dalam perdjalanan sedjarah bangsa Indonesia mendatang.

Adalah mendjadi keharusan bagi setiap insan Indonesia, jang menghendaki kontinuitas Tracee Baru itu agar melalui pemilihan umum akan tetap pula terdjamin kontinuitas Tracee Baru. Golongan Karya adalah sarana untuk memperdjuangkan kontinuitas melaksanakan Tracee Baru jang telah diletakkan pada tahun 1966.

Proses perkembangan sedjarah telah mendjadikan Golongan Karya untuk sarana guna mentjapai pembaharuan dan pembangunan disegala bidang, termasuk didalamnja Pembaharuan Struktur Politik, jaitu suatu Struktur jang meninggalkan sama sekali perdjoangan politik jang berpola pada pertentangan ideologi dan perebutan kekuasaan semata-mata, untuk digantikan mendjadi perdjoangan berdasarkan suatu program pembangunan.

Demikianlah mission jang hendak dibawakan oleh Suara Karya jang kami namakan “Karya Restoration” atau Karya Restorasi.

Dari Tajuk Rencana itu, Suara Karya melancarkan misinya untuk menjadi corong Golkar dalam pelaksanaan pembangunan oleh pemerintah Orde Baru. Dalam artian, fungsi Suara Karya memang diperuntukkan untuk kemenangan Golkar dalam Pemilu 5 Juli 1971. Tak ayal, Golkar mampu mendulang suara hingga 62,8% dari total sepuluh partai politik yang turut berpartisipasi dalam pemilu tersebut.202

Selepas pemilu, Suara Karya menjadi media yang menjembatani antara pemerintah Orde Baru dengan masyarakat. Dengan motto “Suara Rakyat Membangun”, Suara Karya memberitakan berbagai kebijakan

202 Ilham Khoiri, Pemilu 1971, Demokrasi Semu,

https://nasional.kompas.com/read/2014/01/11/1932246/Pemilu.1971.Demokrasi.Semu , (Diakses pada 4 Desember 2018 pukul 17.25 WIB).

Dalam dokumen SUARA KARYA 1971-1974 (Halaman 88-110)