• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mengintegrasikan Higher Order of Thinking

BAB IX KONSEP HIGHER ORDER OF THINKING SKILL

B. Mengintegrasikan Higher Order of Thinking

pada dasarnya, HOTS hanya menitikberatkan pada soal yang mampu merangsang kemampuan analisis dan problem solving, bukan pada tipe soal rumit di luar kapasitas peserta didik.

B. Mengintegrasikan Higher Order of Thinking Skill

94 ~ Dr. Ahmad Sulhan, S. Ag., M. Pd. I, Ahmad Khalakul Khairi, M. Ag

tingkat tinggi. Higher Order of Thinking Skill (HOTS) atau kemampuan berpikir tingkat tinggi merupakan suatu kemampuan berpikir yang tidak hanya membutuhkan kemampuan mengingat saja, namun membutuhkan kemampuan lain yang lebih tinggi, seperti kemampuan berpikir kreatif dan kritis.

Pemberian materi sains disesuaikan dengan hakikatnya yaitu sebagai produk, proses, dan sikap ilmiah, sehingga diharapkan akan terbentuk juga sikap ilmiah pada peserta didik. Penerapan beberapa model pembelajaran tematik seperti pembelajaran berbasis proyek (Project based learning), pembelajaran berbasis masalah (Problem based learning), belajar penemuan (Discovery/ inquiry) menjadi peluang bagi guru untuk menerapkan kegiatan pembelajaran tematik pada level HOTS (Higher order thinking skill).

Pada prakteknya, penerapan pembelajaran HOTS bukan hal yang mudah dilaksanakan oleh guru. Disamping guru harus benar-benar menguasai materi dan strategi pembelajaran, guru pun dihadapkan pada tantangan dengan lingkungan dan intake peserta didik yang diajarnya. Adapun karakteristik pembelajaran pada HOTS (Higher Order of Thinking Skill) yaitu:

· Berfokus pada pertanyaan

· Menganalisis / menilai argumen dan data

· Mendefinisikan konsep

· Menentukan kesimpulan

· Menggunakan analisis logis

· Memproses dan menerapkan informasi

· Menggunakan informasi untuk memecahkan masalah

Soal-soal HOTS (Higher Order of Thinking Skill) bukan berarti soal yang sulit, redaksinya panjang dan berbelit-belit sehingga banyak membuang banyak waktu membacanya dan sekaligus memusingkan peserta didik, tetapi soal tersebut disusun secara proporsional dan sistematis untuk mengukur Indikator Ketercapaian Kompetensi (IKK) secara efektif serta memiliki kedalaman materi sehingga peserta didik pun terangsang untuk menjawab pertanyaan dengan baik.

HOTS (Higher Order of Thinking Skill) menunjukkan pemahaman terhadap informasi dan bernalar (reasoning) bukan hanya sekedar mengingat informasi. Guru tidak hanya menguji ingatan, sehingga kadang-kadang perlu untuk menyediakan informasi yang diperlukan untuk menjawab pertanyaan dan peserta didik menunjukkan pemahaman terhadap gagasan, informasi dan memanipulasi atau menggunakan informasi tersebut. Teknik kegiatan-kegiatan lain yang dapat mengembangkan keterampilan berfikir kritis dan kreatif peserta didik dalam bentuk menjawab pertanyaan- pertanyaan inovatif. Berikut kata kerja operasional yang dapat digunakan guru untuk membuat soal LOTS, MOTS dan HOTS (Anderson, 2001).

Tabel 8.1 Kata Kerja Operasional (Anderson, 2001)

LOTS

Mengetahui M e n g i n g a t kembali

Kata kerja: mengingat, mendaftar, mengulang, menirukan

Memahami M e n j e l a s k a n ide/konsep

Kata kerja:

menjelaskan, mengklasifikasikan, menerima, melaporkan

96 ~ Dr. Ahmad Sulhan, S. Ag., M. Pd. I, Ahmad Khalakul Khairi, M. Ag MOTS

Mengaplikasi

Menggunak an informasi pada domain berbeda

Kata kerja:

menggunakan, mendemonstrasikan, mengilustrasikan

Menganalisis M e n g a n a l i s i s konsep dan ide

Kata kerja:

membandingkan, memeriksa,

mengkritisi, menguji

HOTS

Mengevaluasi

M e n g a m b i l k e p u t u s a n sendiri

Kata kerja: menilai, memutuskan, memilih, mendukung

Mengkreasi Mengkreasi ide/

gagasan sendiri

Kata kerja:

mengkonstruksi, mendesain, kreasi, mengembangkan, menulis

1. Strategi Pembelajaran Tematik dan Penilaian Hots pada Sekolah Dasar (SD/MI)

Perubahan kurikulum dari kurikulum 2006 ke kurikulum 2013 (K-13) disertai harapan peningkatan kualitas pembelajaran di kelas oleh guru. Maksud kelas di sini tidak hanya artikan hanya ruangan sekian meter kali sekian meter, tetapi juga kelas dalam arti luas, karena pembelajaran tematik bukan hanya bisa dilaksanakan di dalam ruang kelas, tetapi juga di luar ruang kelas.

Sekolah Dasar (SD/MI, Kelas I s.d. VI) merupakan awal dari jenjang pendidikan dasar. Kurikulum Sekolah Dasar (SD/

MI) memiliki karakteristik khusus, yaitu tematik-terpadu, yaitu menggabungkan beberapa muatan mata pelajaran menjadi satu tema tertentu. Pembelajaran tematik merupakan suatu strategi pembelajaran yang melibatkan beberapa mata pelajaran untuk memberikan pengalaman yang bermakna

kepada peserta didik. Keterpaduan dalam pembelajaran ini dapat dilihat dari aspek proses atau waktu, aspek kurikulum, dan aspek belajar mengajar (Kemendiknas, 2013: 2).

Tema adalah sebuah hal menjadi pokok bahasan utama.

Sebuah tema pembelajaran bisa dibuat oleh pemerintah, tim pengembang kurikulum, guru, atau berdasarkan kesepakatan antara guru dan peserta didik. Pertimbangan sebuah tema didasarkan pada minat, kebutuhan, dan lingkungan peserta didik. Tema dibuat sederhana, kontekstual, aktual, dan dekat dengan kehidupan sehari-hari peserta didik.

Karakteristik dari pembelajaran tematik antara lain: (1) berpusat kepada peserta didik (student center), (2) memberikan pengalaman langsung (direct experiences), misalnya melalui observasi lapangan, (3) pemisahan mata pelajaran tidak begitu jelas, (4) menyajikan konsep dari berbagai mata pelajaran, (5) bersifat fleksibel, artinya guru dapat mengaitkan bahan ajar dari satu mata pelajaran dengan bahan ajar dari mata pelajaran lainnya, bahkan mengaitkannya dengan keadaan lingkungan sekolah atau peserta didik, dan (6) menggunakan prinsip belajar sambil bermain dan menyenangkan.

Dalam menyusun sebuah tema, sangat diperlukan daya analisis dan kreativitas guru. Pada umumnya guru Sekolah Dasar (SD/MI) adalah guru kelas atau guru borongan. Oleh karena itu, seorang guru Sekolah Dasar (SD/MI) harus paham dalam menganalisis Kompetensi Inti (KI), Kompetensi Dasar (KD), memetakan tema dan menjabarkannya menjadi subtema, silabus, dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Jika KD-KD yang bisa digabungkan menjadi satu tema, maka KD-KD tersebut bisa digabungkan menjadi satu tema tertentu, sedangkan KD-KD yang tidak dapat disatukan, menjadi tema terpisah atau tersendiri.

98 ~ Dr. Ahmad Sulhan, S. Ag., M. Pd. I, Ahmad Khalakul Khairi, M. Ag

Dalam menentukan tema perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut: (1) memperhatikan lingkungan yang terdekat dengan peserta didik, (2) dari yang termudah menuju yang sulit, (3) dari yang sederhana menuju yang kompleks, (4) dari yang konkret menuju yang abstrak, (5) tema yang dipilih harus memungkinkan terjadinya proses berpikir pada peserta didik, dan (6) ruang lingkup tema disesuaikan dengan usia dan perkembangan peserta didik, termasuk minat, kebutuhan, dan kemampuannya (Majid, 2014 : 103).

Dalam melaksanakan pembelajaran di Sekolah Dasar (SD/

MI), guru harus mengetahui karakteristik anak usia Sekolah Dasar (SD/MI). Perkembangan intelektual anak usia Sekolah Dasar (SD/MI) pada tahap operasional konkret (7-11 tahun) yang ditandai oleh kemampuan berpikir konkret dan mendalam, mampu mengklasifikasi dan mengontrol persepsinya. Pada tahap ini, perkembangan kemampuan berpikir peserta didik sudah mantap, kemampuan skema asimilasinya sudah lebih tinggi dalam melakukan suatu koordinasi yang konsisten antar skema (Muhibin, 1995 : 67 dalam Majid 2014 : 8).

Karakteristik perkembangan anak pada usia Sekolah Dasar (SD/MI) biasanya pertumbuhan fisiknya telah mencapai kematangan. Mereka telah mengontrol tubuh dan keseimbangannya. Mereka telah dapat melompat dengan kaki secara bergantian, dapat mengendarai sepeda roda dua, dan dapat menangkap bola, dan telah berkembang koordinasi tangan dan matanya untuk memegang pensil dan maupun memegang gunting. Selain itu, perkembangan sosial anak yang berada pada usia awal kelas Sekolah Dasar (SD/MI), antara lain; mereka telah menunjukkan keakuannya tentang jenis kelaminnya, mempunyai sahabat, telah mampu berbagi, dan mandiri.

Sejalan dengan pembelajaran Higher Order Thinking Skills (HOTS) yang saat ini ditekankan untuk dilaksanakan oleh guru untuk meningkatkan mutu pembelajaran tematik, guru harus mendesain skenario pembelajaran tematik yang mendukung untuk hal tersebut yang secara administratif tercantum pada Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP).

Guru harus menyiapkan bahan ajar, sumber belajar, media pembelajaran/alat peraga, dan instrumen tes untuk mengukur hasil belajar peserta didik.

Pembelajaran HOTS bertujuan untuk mendorong peserta didik untuk memiliki keterampilan berpikir kritis, kreatif, inovatif, dan mampu menyelesaikan masalah. Saat ini, kreativitas dan inovasi menjadi modal penting dalam kesuksesan sebuah bangsa. Kreativitas dan inovasi juga menjadikan sebuah bangsa memiliki daya saing dibandingkan dengan bangsa yang lainnya.

Keikutsertaan Indonesia di dalam studi International TIMSS (Trends in International Mathematics and Science Study) dan PISA (Program for International Student Assessment) sejak tahun 2000 juga menunjukkan bahwa capaian anak-anak Indonesia tidak menggembirakan dalam beberapa kali laporan yang dikeluarkan TIMSS dan PISA yang hanya menduduki peringkat empat besar dari bawah. Penyebab capaian yang rendah ini antara lain adalah karena banyaknya materi uji yang ditanyakan di TIMSS dan PISA tidak terdapat pada kurikulum Indonesia.

Selain itu, hasil studi internasional Programme for International Student Assessment (PISA) menunjukkan prestasi literasi membaca (reading literacy), literasi matematika (mathematical literacy), dan literasi sains (scientific literacy) yang dicapai peserta didik Indonesia sangat rendah. Pada umumnya

100 ~ Dr. Ahmad Sulhan, S. Ag., M. Pd. I, Ahmad Khalakul Khairi, M. Ag

kemampuan peserta didik Indonesia sangat rendah dalam: (1) mengintegrasikan informasi; (2) menggeneralisasi kasus demi kasus menjadi suatu solusi yang umum; (3) memformulasikan masalah dunia nyata ke dalam konsep mata pelajaran; dan (4) melakukan investigasi (Kemenristekdikti, 2019: 2).

Pembelajaran HOTS berfokus pada ranah C-4 (menganalisis), C-5 (mengevaluasi), dan C-6 (mencipta/

mengkreasi). Hal ini berimplikasi kepada pendekatan, model, strategi, metode pembelajaran yang digunakan oleh guru dalam pembelajaran tematik. Mengapa guru didorong untuk melaksanakan pembelajaran HOTS? Karena selama ini pembelajaran yang digunakan dinilai masih berkutat pada kemampuan berpikir tingkat rendah (Lower Order Thinking Skills/LOTS) yaitu: C-1 (mengetahui), C-2 (memahami), dan C-3 (mengaplikasikan) sehingga peserta didik hanya sekedar menghapal atau memahami fakta, konsep, atau prosedur saja, tetapi kurang mampu mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.

Ruh dari sebuah pembelajaran HOTS ada pada kegiatan inti. Pada tahap inilah guru mempraktikkan desain, model, strategi, dan metode pembelajaran tematik. Ada beberapa model pembelajaran tematik yang saat ini disarankan untuk dilaksanakan oleh guru, seperti: pembelajaran berbasis proyek (project based learning), pembelajaran berbasis masalah (problem based learning), penyelesaian masalah (problem solving), dan mencari/menemukan (inquiry/discovery).

Pembelajaran HOTS tergambar dalam penerapan pendekatan saintifik yang meliputi 5M, yaitu: mengamati, menanya, mengumpulkan informasi, menalar/

mengasosiasikan, dan mengomunikasikan. Oleh karena itu, guru harus mampu mengoptimalkan tahapan-tahapan

pendekatan saintifik tersebut dalam pembelajaran tematik sehingga tujuan dari pembelajaran HOTS bisa tercapai.

Di atas sudah disampaikan bahwa kurikulum dan pembelajaran di Sekolah Dasar (SD/MI) adalah tematik- terpadu. Dalam kaitannya dengan pembelajaran HOTS, maka tema atau subtema tersebut dirancang pembelajarannya secara HOTS. Misalnya kalau temanya POHON, maka dari hal ini dapat dibahas dari beberapa muatan mata pelajaran, seperti:

· Muatan mata pelajaran IPA, misalnya: menyebutkan nama-nama pohon, mengidentifikasi bagian-bagian pohon, membedakan pohon yang ditanam di dataran tinggi dan dataran rendah, menjelaskan manfaat pohon untuk kehidupan, menjelaskan fungsi akar pohon, cara menanam pohon yang benar, cara menyiram pohon yang benar, dan sebagainya;

· Muatan mata pelajaran IPS, misalnya: menyebutkan nama-nama pekerjaan yang terkait dengan pohon/

kayu, menyebutkan nama-nama bangunan atau barang meubeul yang menggunakan bahan dasar pohon/ kayu, menyebutkan alat transportasi yang biasa digunakan untuk mengangkut pohon dari hutan, menjelaskan pentingnya pelestarian hutan, dan sebagainya;

· Muatan mata pelajaran Bahasa Indonesia, misalnya : menulis sebuah karangan atau puisi tentang pohon.

Menceritakan ciri-ciri atau kisah sebuah pohon, mendongeng hikayat sebuah pohon tertentu, dan sebagainya;

· Muatan mata pelajaran Matematika, misalnya : menghitung jumlah pohon yang ada di sekitar peserta

102 ~ Dr. Ahmad Sulhan, S. Ag., M. Pd. I, Ahmad Khalakul Khairi, M. Ag

didik, mengurutkan pohon dari yang paling tinggi sampai paling rendah, menghitung jumlah daun yang ada pada sebuah ranting pohon, dan sebagainya;

· Muatan mata pelajaran PPKn, misalnya : jangan menebang pohon di hutan secara sembarangan karena melanggar hukum dan merusak lingkungan, pentingnya menjaga kelestarian hutan sebagai bentuk rasa cinta tanah air, dan sebagainya;

· Muatan mata pelajaran pendidikan agama, misalnya : memahami pohon sebagai salah satu makhluk ciptaan Tuhan YME, mensyukuri manfaat pohon yang banyak dirasakan oleh manusia, dan perlunya menjaga atau merawat pohon sebagai bentuk syukur terhadap nikmat yang dianugerahkan oleh Tuhan YME;

· Muatan mata pelajaran SBdP, misalnya : peserta didik membuat gambar pohon, membuat prakarya berbahan dasar kayu, ranting, atau daun, membuat sampah kompos dari dari daun, dan sebagainya;

Kemampuan berpikir yang dimiliki oleh peserta didik Sekolah Dasar (SD/MI) akan mempengaruhi seluruh kegiatan pembelajaran tematik yang diselenggarakan oleh guru. Oleh karena itu, kegiatan pembelajaran Pendidikan Sains, Bahasa Indonesia, dan Budi Pekerti, serta mata pelajaran lainnya diarahkan pada pendekatan pembelajaran yang bermakna (meaningful learning) yang didasarkan pada pengembangan kemampuan berpikir disesuaikan dengan biopsikologis peserta didik yang hendaknya dijadikan tolok ukur guru, baik dalam pengembangan materi, strategi mengajar, pendekatan, media, maupun dalam melakukan evaluasi hasil belajar.

Belajar yang bermakna (meaningful learning) merupakan

suatu proses dikaitkannya informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang. Anak akan belajar lebih baik di lingkungan alamiah. Belajar akan lebih bermakna jika anak mengalami apa yang dipelajarinya, bukan hanya sekedar mengetahuinya.

Pembelajaran HOTS ditindaklanjuti dengan penilaian HOTS. Pada awal-awal implementasi Kurikulum 2013 (K-13) digaung-gaungkan pentingnya penilaian otentik oleh guru pada aspek pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Penilaian otentik adalah penilaian yang objektif, apa adanya, mengukur ketercapaian kompetensi peserta didik dengan menggunakan instrument tes yang tepat dan relevan.

Penilaian pada aspek pengetahuan dapat menggunakan beberapa jenis instrumen seperti tes lisan, test tulisan, dan penugasan. Penilaian sikap menggunakan lembar observasi, penilaian diri, penilaian teman sejawat, dan penilaian orang tua. Dan aspek keterampilan menggunakan tes praktik, kinerja, proyek, dan portofolio.

Khusus untuk penilaian HOTS, lebih difokuskan pada aspek pengetahuan. Jenis soal yang paling banyak digunakan misalnya Pilihan Ganda (PG) dan uraian. Soal disusun berdasarkan indikator-indikator yang telah ditetapkan pada RPP. Memang tidak mudah dalam menulis soal HOTS.

Kemampuan guru dalam menganalisis dan menentukan Kata Kerja Operasional (KKO) menjadi sangat penting. Ada sekian banyak KKO yang bisa dipilih pada setiap level proses berpikir.

Karakteristik soal HOTS antara lain; (1) mengukur hasil belajar pada level C-4, C-5, dan C-6, (2) diawali dengan stimulus sebagai pengantar bagi peserta didik dalam menjawab

104 ~ Dr. Ahmad Sulhan, S. Ag., M. Pd. I, Ahmad Khalakul Khairi, M. Ag

pertanyaan, dan (3) berbasis permasalahan kontekstual.

Sebuah soal disebut HOTS kalau sama sekali baru diberikan peserta didik, tetapi jika soal tersebut pernah diberikan kepada peserta didik, maka soal tersebut tidak lagi termasuk kategori HOTS. Oleh karena itu, guru harus kreatif dalam melakukan variasi soal dan cukup banyak memiliki bank soal.

Hal yang perlu digarisbawahi adalah bahwa soal HOTS bukan berarti soal yang panjang dan berbelit-belit, bahkan cenderung bertele-tele, tetapi stimulus yang diberikan relevan, tepat, dan sesingkat mungkin. Stimulus bisa dalam bentuk deskripsi, informasi, berita, tabel, gambar, foto, skema, dan sebagainya. Selain itu, pertanyaannya pun harus relevan dengan indikator yang akan diukur ketercapaiannya.

Misalnya, saat guru ingin mengukur pemahaman peserta didik tentang pentingnya menjaga kelestarian hutan, guru bisa memberikan informasi awal berupa berita atau foto hutan yang rusak atau gundul disertai dengan deskripsinya.

Berikutnya, guru menyampaikan pertanyaan yang harus dijawab oleh peserta didik, seperti: mengapa penebangan pohon di hutan masih saja terjadi? Apa dampak penebangan hutan terhadap kelestarian lingkungan? Hal apa yang akan terjadi jika kerusakan hutan terus dibiarkan? Bagaimana sejauh ini penanganan kerusakan hutan oleh pemerintah?

Apa bentuk partisipasi masyarakat dalam menjaga kelestarian hutan? Jika menjadi Bupati/Walikota/Gubernur /Presiden, apa yang dilakukan untuk menjaga kelestarian hutan sebagai penyangga lingkungan hidup? Buatlah sebuah poster atau tulisan yang isinya mengampanyekan pelestarian hutan! dan sebagainya.

Berdasarkan uraian di atas, maka pembelajaran HOTS di Sekolah Dasar (SD/MI) perlu disesuaikan dengan

usia dan tingkat perkembangan berpikirnya. Guru perlu mengembangkan strategi pembelajaran HOTS yang menarik dan menyenangkan sehingga bisa bermakna bagi peserta didik.

Penilaiannya pun disesuaikan dengan indikator ketercapaian kompetensi yang akan diukur dengan menggunakan instrumen yang relevan dan mampu merangsang kemampuan berpikir kritis peserta didik.

2. Pembelajaran Tematik Abad 21 dan HOTS dalam PBM

Diimplementasikannya kurikulum 2013 (K-13) membawa konsekuensi guru yang harus semakin berkualitas dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran tematik.

Mengapa demikian? Karena K-13 mengamanatkan penerapan pendekatan saintifik (5M) yang meliputi mengamati, menanya, mengumpulkan informasi, menalar/mengasosiasikan, dan mengomunikasikan. Lalu optimalisasi peran guru dalam melaksanakan pembelajaran tematik abad 21 dan HOTS (Higher Order Thinking Skills).

Selanjutnya ada integrasi literasi dan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) dalam proses belajar mengajar (PBM). Pembelajaran pun perlu dilaksanakan secara kontekstual dengan menggunakan model, strategi, metode, dan teknik sesuai dengan karakteristik Kompetensi Dasar (KD) agar tujuan pembelajaran tercapai.

Pembelajaran tematik abad 21 secara sederhana diartikan sebagai pembelajaran yang memberikan kecakapan abad 21 kepada peserta didik, yaitu 4C yang meliputi: (1) Communication, (2) Collaboration, (3) Critical Thinking and Problem Solving, dan (4) Creative and Innovative. Berdasarkan Taksonomi Bloom yang telah direvisi oleh Krathwoll dan Anderson,

106 ~ Dr. Ahmad Sulhan, S. Ag., M. Pd. I, Ahmad Khalakul Khairi, M. Ag

kemampuan yang perlu dicapai peserta didik bukan hanya LOTS (Lower Order Thinking Skills), yaitu C1 (mengetahui) dan C-2 (memahami), MOTS (Middle Order Thinking Skills), yaitu C3 (mengaplikasikan) dan C-4 (mengalisis), tetapi juga harus ada peningkatan sampai HOTS (Higher Order Thinking Skills), yaitu C-5 (mengevaluasi), dan C-6 (mengkreasi).

Penerapan pendekatan saintifik, pembelajaran tematik abad 21 (4C), HOTS, dan integrasi literasi dan PPK dalam pembelajaran tematik bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan dalam rangka menjawab tantangan, baik tantangan internal dalam rangka mencapai 8 (delapan) SNP dan tantangan eksternal, yaitu globalisasi.

Untuk mewujudkan hal tersebut di atas, maka guru sebagai ujung tombak pebelajaran tematik harus mampu merencanakan dan melaksanakan PBM yang berkualitas.

Menurut Surya (2014:333) proses belajar mengajar pada hakikatnya adalah suatu bentuk interaksi antara pihak pengajar dan pelajar yang berlangsung dalam situasi pengajaran dan untuk mencapai tujuan pengajaran. Dalam interaksi itu akan terjadi proses komunikasi timbal balik antara pihak-pihak yang terkait yaitu antara guru dan selaku pengajar dan peserta didik selaku pelajar.

Perilaku belajar yang terjadi pada pada diri peserta didik timbul sebagai akibat perilaku mengajar pada guru yang terkait melalui melalui suatu bentuk komunikasi. Jenis komunikasi yang terjadi dalam proses belajar mengajar disebut sebagai komunikasi instruksional yag didalamnya terkait komunikasi dua arah antara pengajar dan pelajar. Oleh karena itu, komunikasi jenis ini disebut sebagai komunikasi dialogis. Dengan komunikasi jenis ini, terjadilah perilaku mengajar dan perilaku belajar yang saling terkait satu dengan

yang lainnya untuk mencapai tujuan insruksional.

Untuk mewujudkan pembelajaran tematik abad 21 dan HOTS, guru harus memiliki keterampilan proses yang baik dalam pembelajaran. Keterampian proses dapat diartikan sebagai keterampilan guru dalam menyajikan pembelajaran yang mampu memberikan pengalaman belajar yang bermakna dan menyenangkan bagi peserta didik. Pembelajaran berpusat kepada peserta didik (student center), dan merangsang peserta didik untuk menyelesaikan masalah. Peran guru dalam PBM bukan hanya sebagai sumber belajar, tapi juga sebagai fasilitator.

Menurut Azhar, keterampilan proses merupakan kemampuan peserta didik untuk mengelola (memperoleh) yang didapat dalam kegiatan belajar mengajar (KBM) yang memberikan kesempatan seluas-luasnya pada peserta didik untuk mengamati, menggolongkan, menafsirkan, meramalkan, menerapkan, merencanakan, mengkomunikasikan hasil perolehan tersebut.

Sedangkan menurut Conny Semiawan, pendekatan keterampilan proses adalah pengembangan sistem belajar yang mengefektifkan peserta didik dengan cara mengembangkan keterampilan memproses perolehan pengetahuan sehingga peserta didik akan menemukan, mengembangkan sendiri fakta dan konsep serta menumbuhkan sikap dan nilai yang dituntut dalam tujuan pembelajaran.

Menurut Mulyasa (2006: 70-92), ada 8 (delapan) keterampilan yang harus dimiliki oleh guru untuk menciptakan pembelajaran yang kreatif dan menyenangkan, antara lain : (1) keterampilan bertanya, (2) memberikan penguatan, (3) mengadakan variasi, (4) menjelaskan, (5) membuka dan

108 ~ Dr. Ahmad Sulhan, S. Ag., M. Pd. I, Ahmad Khalakul Khairi, M. Ag

menutup pelajaran, (6) membimbing diskusi kelompok kecil, (7) mengelola kelas, dan (8) mengajar kelompok kecil dan perorangan.

Keterampilan bertanya, antara lain keterampilan guru dalam menyampaikan pertanyaan kepada peserta didik. Tujuannya untuk melakuan menguji pengetahuan dan pemahaman terhadap materi tertentu, melakukan pendalaman, penelusuran, mengklarifikasi, menguji kemampuan berpikir kritis peserta didik, serta kemampuan untuk menyelesaikan masalah. Pertanyaan bisa disampaikan baik secara lisan ataupun tertulis.

Acuannya dan etikanya antara lain, pertanyaan yang disampaikan harus singkat, padat, dan jelas, redaksinya dapat dipahami oleh peserta didik, dan mampu menarik perhatian peserta didik. Pertanyaan harus menyebar, semua peserta didik diberi hak yang sama untuk menerima dan menjawab pertanyaan guru, jangan diberikan kepada peserta didik tertentu saja.

Pertanyaan harus bersifat terbuka, jangan langsung ditujukan kepada peserta didik tertentu, pastikan bahwa peserta didik siap menjawabnya, karena kalau diberikan kepada peserta didik yang tidak atau belum siap, berpotensi akan mempermalukan peserta didik di hadapan teman-temannya.

Pertanyaan juga bukan diberikan untuk memberikan sanksi kepada peserta didik yang kurang memperhatikan materi yang disampaikan oleh guru.

Keterampilan memberikan penguatan merupakan respon guru terhadap suatu perilaku yang dapat meningkatkan kemungkinan terulangnya kembali perilaku tersebut.

Penguatan dapat dilakukan secara verbal atau non verbal.