• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rambu-rambu Pelaksanaan Pembelajaran

BAB VII PROSEDUR PERENCANAAN

B. Rambu-rambu Pelaksanaan Pembelajaran

80 ~ Dr. Ahmad Sulhan, S. Ag., M. Pd. I, Ahmad Khalakul Khairi, M. Ag

B. Rambu-rambu Pelaksanaan Pembelajaran Tematik

d) Penggabungan antara ide selalu dicari untuk menentukan ide yang lebih baik dan menyempurnakannya.

Guru, atau guru bersama-sama dengan murid, melakukan ramu pendapat untuk me-nemukan mata rantai penghubung yang tertu-ju kepada pusat kendali. Dalam hal menemu-kan rantai penghubung ini nampaknya ada dua hal yang perlu kita perhatikan. Pertama, ramu pendapat untuk menemukan rantai penghubung ini mungkin lebih baik cocok untuk dilaksanakan dikelas-kelas yang lebih tinggi di SD/MI.

Alasannya adalah mereka sudah memahami adanya sejumlah mata pe-lajaran yang diajarkan di SD/MI dengan ciri-cirinya masing-masing. Kedua, untuk kelas-kelas awal mata rantai penghubung dite-tapkan sendiri oleh guru. Mata rantai peng- hubung ini dapat diwujudkan dalam perta-nyaan pemandu.

Cobalah sekali lagi dilihat contoh-contoh pertanyaan dalam modul-modul terdahulu, terutama pertanyaan dalam tugas/

kegiatan lanjutan. Semua pertanyaan tersebut merupakan pertanyaan pemandu yang menunjukan kaitan yang bermakna an-tara berbagai konsep, baik dalam satu bidang studi atau bidang-bidang studi lain.

Mata rantai penghubung yang ditemu-kan secara ramu pendapat dapat membentuk pertanyaan, ide, topik, orang atau benda, yang kesemuaannya cukup diungkapkan me-lalui sebuah kata atau kalimat pendek yang tertuju ke tema kendali.

Guru menulikiannya didaerah masing-masing mata pelajaran di-tempat suatu mata rantai hubungan digo-longkan. Sebagai contoh, marilah kita perha-tikan bagan yang pernah kita pelajari, dengan catatan bahwa ide dan tiopik yang tercantum disitu bukan merupakan hasil ramu pendapat tetapi lebih ditentukan oleh guru, karna bagan ini diperuntukkan kelas

82 ~ Dr. Ahmad Sulhan, S. Ag., M. Pd. I, Ahmad Khalakul Khairi, M. Ag

satu SD/MI. Yang lebih dipentingkan dalam mempelajari kembali bagan ini adalah adanya rantai penghubung saja.

Gambar 8. 1: Tema yang disorot dari beberapa mata pelajaran

Bahasa Indonesia:

Tanya jawab

PPKN:

berbelanja

Matematika:

Uang: kenal mata uang Nilai mata uang Nilai tukar

Dalam kegiatan belajar-mengajar den-gan tema berbelanja, dapat dikaitkan dengan pelajaran matematika.

Topik atau pokok ba-hasan yang terkait adalah uang, yang selan-jutnya dapat diuraikan menjadi sub-sub po-kok bahasan.

Mengenal mata uang, mengetahui nilai uang, mengetahui nilai tukar, mampu mnjumlahkan dan mampu mengurangkan. Kaitan dengan pelajaran PPKN. Adalah pokok bahasan hidup hemat. Sedangkan kaitannya dengan pelajaran Bahasa Indonesia adalah kemampuan berdikiusi atau tanya-jawab. Sekali lagi mata rantai penghubung dalam bagan mata rantai diatas ditetapkan oleh guru, dan bukan hasil ramu pendapat.

3) Media

Dalam pelaksanaan pembelajaran terpadu, media sangat diperlukan. Karna pembelajaran terpadu lebih baik menekankan kebermaknaan hasil belajar, maka dengan

sendirinya dibutuhkan media yang tepat dan jumlah yang banyak. Oleh karna itu diperlukan waktu untuk menyiapkan alat/bahan.

4) Metode

Metode memegang peranan penting dalam pembelajaran, lebih-lebih dalam pembelajaran terpadu. Dalam kaitan dengan metode ini, dalam pembelajaran terpadu diperlukan metode yang berpariasi atau multi metode.

5) Penataan Kelas dan Fasilitas Belajar

Penataan kelas dan fasilitas belajar memegang peranan yang sangat penting didalam proses belajar-mengajar, baik pembelajaran secara konvensional maupun secara tematik.

Dalam pembahasan ini yang dipentingkan adalah khusus penataan kelas dan fasilitas belajar untuk pembelajaran tematik. Manakala sifat pembelajaran ini klasikal, maka penataan kelas tidak perlu dirisaukan. Kelas tersusun seperti layaknya murid-murid duduk di bangku masing-masing menghadap kedepan (ke guru). Namun, apabila murid-murid bekerja dalam kelompok-kelompok kecil maka bangku harus diatur melingkar sehingga mereka saling berhadapan. Saling berhadapan ini penting karena mereka harus berinteraksi/

berkomunikasi secara langsung dengan teman sejawat.

Oleh karna itu diperlukan bangku yang bisa diatur guna memaksimalkan interaksi mereka.

Fasilitas belajar juga tidak kalah penting dibandingkan dengan penataan kelas. Sekali lagi, murid-murid SD/MI masih dalam tahap perkembangan kognitif operasional konkret.

Ketersediaan fasilitas belajar yang berupa benda-benda nyata yang ada didalam sekitar sangat diperlukan. mengapa harus benda-benda nyata yang ada didalam sekitar? Benda-benda ini

84 ~ Dr. Ahmad Sulhan, S. Ag., M. Pd. I, Ahmad Khalakul Khairi, M. Ag

mudah dan mungkin juga sudah dikenal atau diketahui oleh anak. Benda-benda asing yang tidak dikenal juga menyulitkan anak dalam mempelajarinya. Sebagai contoh, kalau anak-anak di Jawa tentu sudah tau atau mengenal burung dara. Kalau mereka disuruh mempelajari burung cenderawasih yang keberadaannya hanya di Irian, tentu mereka akan mengalami kesulitan. Mereka sulit membayangkan seperti apa burung Cendrawasih itu. Pengalaman langsung terhadap benda memegang peranan penting dalam proses belajr mereka.

Ketersediaan bahan/materi yang memadai bagi anak juga penting. Kalau mereka harus belajar dalam kelompok- kelompok kecil, maka dalam tiap kelompok harus tersedia bahan/materi tersebut dalam jumlah yang memadai.

Misalnya, kelompok yang terdiri atas tiga orang yang sedang belajar mengenai belalang, maka paling tidak harus tersedia satu ekor belalang.

Apabila guru akan melakukan demonstrasi, maka penataan kelas dan fasilitas belajar juga memegang peranan yang sangat penting. Kelas harus diatur sedemikian rupa sehingga semua murid dapat mengamati jalannya demonstrasi. Kalau perlu murid-murid maju kedepan dekat dengan pelaksanaan demokrasi yang dilakukan oleh guru. Materi/media harus cukup memadai (dalam jumlah dan ukuran) sehingga terlihat oleh semua murid (Tisno Hadisubrot, 2000: 5. 5-5. 10).

BAB IX

KONSEP

HIGHER ORDER OF THINKING SKILL

(HOTS) PADA PEMBELAJARAN TEMATIK DI SEKOLAH DASAR (SD/MI)

Alice Thomas dan Glenda Thorne (2009) mendefinisikan istilah HOTS sebagai cara berpikir pada tingkat yang lebih tinggi daripada menghafal, atau menceritakan kembali sesuatu yang diceritakan orang lain. Konsepnya, menyempurnakan konsep dalam teori pendidikan klasik Taksonomi Bloom yang mengategorikan berbagai tingkat pemikiran, mulai dari yang terendah hingga yang tertinggi. Dari pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, sampai dengan evaluasi.

Konsep Taksonomi Bloom yang esensinya adalah tujuan pembelajaran, terbagi dalam tiga ranah ialah knowledge, attitude, dan skill. Oleh Ki Hadjar Dewantara disebut sebagai daya cipta, daya rasa, dan daya karsa. Knowledge atau daya cipta merupakan keterampilan mental seputar pengetahuan.

Attitude atau daya rasa adalah sisi emosi seputar sikap dan perasaan. Sedangkan skill atau daya karsa berhubungan dengan kemampuan fisik dan keterampilan.

Keterampilan mental seputar pengetahuan dengan tingkatan kemampuan berpikir inilah HOTS menempati posisinya. Menurut Lorin Anderson dan David Krathwohl

86 ~ Dr. Ahmad Sulhan, S. Ag., M. Pd. I, Ahmad Khalakul Khairi, M. Ag

(2001), tingkat kemampuan berpikir dimulai dari (1) mengingat; (2) memahami; (3) mengaplikasikan; (4) menganalisis; (5) mengevaluasi sampai dengan (6) mencipta.

Tingkatan kemampuan berpikir (1), (2), dan (3) dikategorikan sebagai Lower Order Thinking Skills (LOTS) atau kemampuan berpikir tingkat rendah. Sedangkan tingkatan kemampuan berpikir (4), (5), dan (6) dikategorikan sebagai HOTS atau kemampuan berpikir tingkat tinggi.

Mungkin inilah yang dimaksud dengan mengejar ketertinggalan mutu pendidikan oleh Menristekdikti. Selama ini kita baru mampu mengimplementasi pembelajaran LOTS dan belum beranjak ke HOTS. Sedangkan di banyak negara, HOTS sudah bukan barang baru lagi.

Upaya Kemenristekdikti mengejar ketertinggalan melalui implementasi HOTS patut dihargai dan diapresiasi. Sekalipun demikian, implementasi serta merta tanpa didahului sosialisasi yang cukup, HOTS benar-benar menyebabkan suasana hot (panas).

Bukan untuk yang pertama kali Kemenristekdikti mengambil kebijakan pendidikan tanpa sosialisasi cukup yang kemudian menimbulkan culture shock dan kegaduhan.

Implementasi Kurikulum 2013 yang terkesan tergesa- gesa, penerapan kebijakan lima hari sekolah yang setengah dipaksakan. Juga sistem zonasi penerimaan peserta didik baru yang belum matang, dan migrasi ujian nasional berbasis kertas ke ujian nasional berbasis komputer dengan persiapan infrastruktur minim, adalah beberapa contoh di antaranya.

A. Strategi Inkubatif

Kebijakan pendidikan dipastikan dengan maksud dan tujuan mulia. Tetapi, maksud dan tujuan mulia belum tentu

berhasil dicapai jika strategi dan cara yang ditempuh tidak matang. Dalam hal ini apakah prasyarat untuk diterapkan kebijakan sudah disiapkan dengan baik? Sejalan dengan itu, bagaimana dengan uji-coba pra-implementasi. Tidak kalah pentingnya adalah sosialisasi kepada masyarakat atas kebijakan pendidikan yang akan diambil.

Implementasi dari LOTS ke HOTS dalam UNBK dipastikan tidak efektif apabila tidak didahului dengan proses pembelajaran HOTS. Selain itu, guru semestinya terbiasa mengevaluasi pembelajaran tematik dengan menggunakan HOTS. Untuk itu guru perlu dilatih terlebih dahulu. Proses pembelajaran sangat urgen untuk hasil belajar dan bukan sekadar evaluasi, bahkan UNBK saja.

1. Asal Muasal Istilah HOTS

HOTS awalnya dikenal dari konsep Benjamin S.

Bloom dkk. dalam buku berjudul Taxonomy of Educational Objectives: The Classification of Educational Goals (1956) yang mengategorikan berbagai tingkat pemikiran bernama Taksonomi Bloom, mulai dari yang terendah hingga yang tertinggi. Konsep ini merupakan tujuan-tujuan pembelajaran tematik yang terbagi ke dalam tiga ranah, yaitu Knowledge (keterampilan mental seputar pengetahuan), Attitude (sisi emosi seputar sikap dan perasaan), dan Skill (kemampuan fisik seperti keterampilan).

Konsep Taksonomi untuk menentukan tujuan belajar ini dapat kita sebut sebagai tujuan akhir dari sebuah proses pembelajaran tematik. Jadi, setelah proses pembelajaran tertentu, peserta didik diharapkan dapat mengadopsi keterampilan, pengetahuan, serta sikap yang baru.

HOTS sendiri merupakan bagian dari ranah knowledge

88 ~ Dr. Ahmad Sulhan, S. Ag., M. Pd. I, Ahmad Khalakul Khairi, M. Ag

yang ada dalam Taksonomi Bloom dan bertujuan untuk mengasah keterampilan mental seputar pengetahuan. Ranah knowledge versi Bloom ini kemudian direvisi oleh Lorin Anderson, David Karthwohl, dkk. pada 2001. Urutannya diubah menjadi enam, yaitu:

1. Mengingat (remembering) 2. Memahami (understanding) 3. Mengaplikasikan (applying) 4. Menganalisis (analyzing) 5. Mengevaluasi (evaluating) 6. Mencipta (creating)

Tingkatan 1 hingga 3 dikategorikan sebagai kemampuan berpikir tingkat rendah (LOTS), sedangkan tingkat 4 sampai 6 dikategorikan sebagai kemampuan berpikir tingkat tinggi (HOTS).

HOTS (Higher Order Thinking Skills) yang artinya kemampuan berpikir tingkat tinggi. Istilah ini pertama kali muncul sebagai salah satu buah pikir seorang psikolog pendidikan Amerika, Benjamin Samuel Bloom. Salah satu kontribusinya untuk pendidikan terbit pada tahun 1956 melalui buku Taxonomy of Educational Objectives (Taksonomi Tujuan Pendidikan) yang intinya menjelaskan bahwa tujuan pendidikan memiliki tiga aspek utama, yaitu knowledge (pengetahuan), attitude (emosi dan sikap), serta skill (aktivitas fisik).

Gambar 8.1 Bloom’s Digital Taxonomy Verbs

Setiap aspek kemudian memiliki taksonomi atau klasifikasi untuk mencapai tujuan akhir pendidikan, seperti meningkatnya kemampuan knowledge, attitude, maupun skill peserta didik yang kelak berguna untuk menghadapi persaingan di masa depan. Taksonomi yang dibuat oleh Bloom dari tingkat terendah hingga tertinggi adalah knowledge (pengetahuan), comprehension (pemahaman), application (penerapan), analysis (analisis), synthesis (perpaduan), dan evaluation (penilaian). Klasifikasi tersebut, kemudian direvisi oleh David Reading Krathwohl, seorang psikolog pendidikan

90 ~ Dr. Ahmad Sulhan, S. Ag., M. Pd. I, Ahmad Khalakul Khairi, M. Ag

dari Amerika, bersama dengan Lorin W. Anderson pada tahun 2000. Urutan taksonomi yang dibuat oleh mereka sebagai bentuk penyempurnaan Taksonomi Bloom adalah sebagai berikut:

a. Tingkat terendah dari Taksonomi Bloom versi revisi adalah remember atau mengingat. Contoh dari soal tipe ini misalnya, “Rubiks Cube merupakan contoh dari bangun ruang berupa ….” Jawabannya adalah kubus. Soal tersebut hanya meminta peserta didik untuk mengandalkan ingatan.

b. Tingkat berikutnya adalah understand atau memahami.

Contoh dari soal tipe ini misalnya, “Jumlah sisi sejajar yang dimiliki kubus adalah ….” Jawabannya, sisi depan kubus sejajar dengan sisi belakang, sisi atas dengan bawah, dan kanan dengan kiri. Berdasarkan ingatan tersebut, peserta didik dapat memahami bahwa kubus memiliki 3 pasang sisi yang berhadapan.

c. Tingkat selanjutnya dari taksonomi di atas adalah apply atau menerapkan. Contoh dari soal tipe ini misalnya,

“Jumlah sisi sejajar yang dimiliki rubiks cube adalah

….” Kita telah mengingat bahwa rubiks cube berbentuk serupa dengan kubus dan kita memahami bahwa setiap kubus memiliki 3 pasang sisi yang berhadapan. Dengan demikian, kita bisa mengaplikasikan bahwa rubiks cube memiliki 3 pasang sisi yang berhadapan.

d. Ketiga klasifikasi sebelumnya dinamakan dengan tipe soal LOTS (Lower Order Thinking Skills) atau kemampuan berpikir tingkat rendah. Sementara itu, tingkat berikutnya merupakan tingkat pertama dari HOTS, yaitu analyze atau menganalisis. Contoh dari

soal tipe ini misalnya, “Jika suatu rubiks cube memiliki sisi sebesar 6 cm maka panjang diagonal sisinya adalah

….”

Gambar 8.2 Revisi Urutan Taksonomi Bloom oleh David Reading Krathwohl, & Lorin W. Anderson (2000) Setelah mengetahui klasifikasi tingkat pembelajaran tematik, lalu bagaimana cara kita bisa membedakan apakah suatu soal masuk ke dalam kategori HOTS atau tidak? Berikut klasifikasi penggunaan kata yang dapat dijadikan patokan dalam membuat soal tipe HOTS:

92 ~ Dr. Ahmad Sulhan, S. Ag., M. Pd. I, Ahmad Khalakul Khairi, M. Ag

Gambar 8.3 Klasifikasi Penggunaan Kata yang Dapat Dijadikan Patokan dalam Membuat Soal Tipe HOTS

Dari gambar di atas, dapat disimpulkan bahwa soal tipe HOTS memang lebih mendayagunakan logika dan kemampuan berpikir analitis kita dibandingkan dengan tipe LOTS. Pilihan kata yang digunakan pada tingkat HOTS antara lain, analisis, membandingkan, menyimpulkan, menciptakan, mengombinasikan, dan merencanakan sementara pilihan kata pada tingkat LOTS adalah mengingat, menyusun, menduplikasi, memilih, dan merangkum.

Sesungguhnya, soal tipe HOTS itu tidak selamanya sulit dan tipe soal yang sulit juga belum tentu HOTS karena

pada dasarnya, HOTS hanya menitikberatkan pada soal yang mampu merangsang kemampuan analisis dan problem solving, bukan pada tipe soal rumit di luar kapasitas peserta didik.

B. Mengintegrasikan Higher Order of Thinking Skill (HOTS) pada Pembelajaran Tematik di Sekolah Dasar (SD/MI)

Seiring dengan implementasi kurikulum 2013, diharapkan adanya perubahan paradigma pada pelaksanaan pembelajaran tematik di sekolah. Guru sebagai ujung tombak perubahan dapat mengubah pola pikir dan strategi pembelajaran yang pada awalnya berpusat pada guru (teacher centered) berubah menjadi berpusat pada peserta didik (student centered). Guru diharapkan lebih kreatif dan inovatif dalam menyajikan materi pelajaran. Terciptanya manusia pebelajar yang produktif, kreatif dan inovatif dapat terwujud melalui pelaksanaan pembelajaran tematik yang dapat dilaksanakan di berbagai lingkup dengan menggunakan kemampuan berpikir kritis dan kreatif. Pembelajaran tematik yang dapat diterapkan adalah pembelajaran dengan memberdayakan untuk berfikir tingkat tinggi (high order thinking). Kurikulum 2013 telah mengadopsi taksonomi Bloom yang direvisi oleh Anderson dimulai dari level mengetahui, memahami, menerapkan, menganalisis, mengevaluasi dan mencipta. Karena tuntutan Kurikulum 2013 harus sampai pada taraf mencipta, maka peserta didik harus terus menerus dilatih untuk menghasilkan sesuatu yang baru.

Higher Order of Thinking Skill (HOTS) adalah kemampuan berpikir kritis, logis, reflektif, metakognitif, dan berpikir kreatif yang merupakan kemampuan berpikir

94 ~ Dr. Ahmad Sulhan, S. Ag., M. Pd. I, Ahmad Khalakul Khairi, M. Ag

tingkat tinggi. Higher Order of Thinking Skill (HOTS) atau kemampuan berpikir tingkat tinggi merupakan suatu kemampuan berpikir yang tidak hanya membutuhkan kemampuan mengingat saja, namun membutuhkan kemampuan lain yang lebih tinggi, seperti kemampuan berpikir kreatif dan kritis.

Pemberian materi sains disesuaikan dengan hakikatnya yaitu sebagai produk, proses, dan sikap ilmiah, sehingga diharapkan akan terbentuk juga sikap ilmiah pada peserta didik. Penerapan beberapa model pembelajaran tematik seperti pembelajaran berbasis proyek (Project based learning), pembelajaran berbasis masalah (Problem based learning), belajar penemuan (Discovery/ inquiry) menjadi peluang bagi guru untuk menerapkan kegiatan pembelajaran tematik pada level HOTS (Higher order thinking skill).

Pada prakteknya, penerapan pembelajaran HOTS bukan hal yang mudah dilaksanakan oleh guru. Disamping guru harus benar-benar menguasai materi dan strategi pembelajaran, guru pun dihadapkan pada tantangan dengan lingkungan dan intake peserta didik yang diajarnya. Adapun karakteristik pembelajaran pada HOTS (Higher Order of Thinking Skill) yaitu:

· Berfokus pada pertanyaan

· Menganalisis / menilai argumen dan data

· Mendefinisikan konsep

· Menentukan kesimpulan

· Menggunakan analisis logis

· Memproses dan menerapkan informasi

· Menggunakan informasi untuk memecahkan masalah

Soal-soal HOTS (Higher Order of Thinking Skill) bukan berarti soal yang sulit, redaksinya panjang dan berbelit-belit sehingga banyak membuang banyak waktu membacanya dan sekaligus memusingkan peserta didik, tetapi soal tersebut disusun secara proporsional dan sistematis untuk mengukur Indikator Ketercapaian Kompetensi (IKK) secara efektif serta memiliki kedalaman materi sehingga peserta didik pun terangsang untuk menjawab pertanyaan dengan baik.

HOTS (Higher Order of Thinking Skill) menunjukkan pemahaman terhadap informasi dan bernalar (reasoning) bukan hanya sekedar mengingat informasi. Guru tidak hanya menguji ingatan, sehingga kadang-kadang perlu untuk menyediakan informasi yang diperlukan untuk menjawab pertanyaan dan peserta didik menunjukkan pemahaman terhadap gagasan, informasi dan memanipulasi atau menggunakan informasi tersebut. Teknik kegiatan-kegiatan lain yang dapat mengembangkan keterampilan berfikir kritis dan kreatif peserta didik dalam bentuk menjawab pertanyaan- pertanyaan inovatif. Berikut kata kerja operasional yang dapat digunakan guru untuk membuat soal LOTS, MOTS dan HOTS (Anderson, 2001).

Tabel 8.1 Kata Kerja Operasional (Anderson, 2001)

LOTS

Mengetahui M e n g i n g a t kembali

Kata kerja: mengingat, mendaftar, mengulang, menirukan

Memahami M e n j e l a s k a n ide/konsep

Kata kerja:

menjelaskan, mengklasifikasikan, menerima, melaporkan

96 ~ Dr. Ahmad Sulhan, S. Ag., M. Pd. I, Ahmad Khalakul Khairi, M. Ag MOTS

Mengaplikasi

Menggunak an informasi pada domain berbeda

Kata kerja:

menggunakan, mendemonstrasikan, mengilustrasikan

Menganalisis M e n g a n a l i s i s konsep dan ide

Kata kerja:

membandingkan, memeriksa,

mengkritisi, menguji

HOTS

Mengevaluasi

M e n g a m b i l k e p u t u s a n sendiri

Kata kerja: menilai, memutuskan, memilih, mendukung

Mengkreasi Mengkreasi ide/

gagasan sendiri

Kata kerja:

mengkonstruksi, mendesain, kreasi, mengembangkan, menulis

1. Strategi Pembelajaran Tematik dan Penilaian Hots pada Sekolah Dasar (SD/MI)

Perubahan kurikulum dari kurikulum 2006 ke kurikulum 2013 (K-13) disertai harapan peningkatan kualitas pembelajaran di kelas oleh guru. Maksud kelas di sini tidak hanya artikan hanya ruangan sekian meter kali sekian meter, tetapi juga kelas dalam arti luas, karena pembelajaran tematik bukan hanya bisa dilaksanakan di dalam ruang kelas, tetapi juga di luar ruang kelas.

Sekolah Dasar (SD/MI, Kelas I s.d. VI) merupakan awal dari jenjang pendidikan dasar. Kurikulum Sekolah Dasar (SD/

MI) memiliki karakteristik khusus, yaitu tematik-terpadu, yaitu menggabungkan beberapa muatan mata pelajaran menjadi satu tema tertentu. Pembelajaran tematik merupakan suatu strategi pembelajaran yang melibatkan beberapa mata pelajaran untuk memberikan pengalaman yang bermakna

kepada peserta didik. Keterpaduan dalam pembelajaran ini dapat dilihat dari aspek proses atau waktu, aspek kurikulum, dan aspek belajar mengajar (Kemendiknas, 2013: 2).

Tema adalah sebuah hal menjadi pokok bahasan utama.

Sebuah tema pembelajaran bisa dibuat oleh pemerintah, tim pengembang kurikulum, guru, atau berdasarkan kesepakatan antara guru dan peserta didik. Pertimbangan sebuah tema didasarkan pada minat, kebutuhan, dan lingkungan peserta didik. Tema dibuat sederhana, kontekstual, aktual, dan dekat dengan kehidupan sehari-hari peserta didik.

Karakteristik dari pembelajaran tematik antara lain: (1) berpusat kepada peserta didik (student center), (2) memberikan pengalaman langsung (direct experiences), misalnya melalui observasi lapangan, (3) pemisahan mata pelajaran tidak begitu jelas, (4) menyajikan konsep dari berbagai mata pelajaran, (5) bersifat fleksibel, artinya guru dapat mengaitkan bahan ajar dari satu mata pelajaran dengan bahan ajar dari mata pelajaran lainnya, bahkan mengaitkannya dengan keadaan lingkungan sekolah atau peserta didik, dan (6) menggunakan prinsip belajar sambil bermain dan menyenangkan.

Dalam menyusun sebuah tema, sangat diperlukan daya analisis dan kreativitas guru. Pada umumnya guru Sekolah Dasar (SD/MI) adalah guru kelas atau guru borongan. Oleh karena itu, seorang guru Sekolah Dasar (SD/MI) harus paham dalam menganalisis Kompetensi Inti (KI), Kompetensi Dasar (KD), memetakan tema dan menjabarkannya menjadi subtema, silabus, dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Jika KD-KD yang bisa digabungkan menjadi satu tema, maka KD-KD tersebut bisa digabungkan menjadi satu tema tertentu, sedangkan KD-KD yang tidak dapat disatukan, menjadi tema terpisah atau tersendiri.

98 ~ Dr. Ahmad Sulhan, S. Ag., M. Pd. I, Ahmad Khalakul Khairi, M. Ag

Dalam menentukan tema perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut: (1) memperhatikan lingkungan yang terdekat dengan peserta didik, (2) dari yang termudah menuju yang sulit, (3) dari yang sederhana menuju yang kompleks, (4) dari yang konkret menuju yang abstrak, (5) tema yang dipilih harus memungkinkan terjadinya proses berpikir pada peserta didik, dan (6) ruang lingkup tema disesuaikan dengan usia dan perkembangan peserta didik, termasuk minat, kebutuhan, dan kemampuannya (Majid, 2014 : 103).

Dalam melaksanakan pembelajaran di Sekolah Dasar (SD/

MI), guru harus mengetahui karakteristik anak usia Sekolah Dasar (SD/MI). Perkembangan intelektual anak usia Sekolah Dasar (SD/MI) pada tahap operasional konkret (7-11 tahun) yang ditandai oleh kemampuan berpikir konkret dan mendalam, mampu mengklasifikasi dan mengontrol persepsinya. Pada tahap ini, perkembangan kemampuan berpikir peserta didik sudah mantap, kemampuan skema asimilasinya sudah lebih tinggi dalam melakukan suatu koordinasi yang konsisten antar skema (Muhibin, 1995 : 67 dalam Majid 2014 : 8).

Karakteristik perkembangan anak pada usia Sekolah Dasar (SD/MI) biasanya pertumbuhan fisiknya telah mencapai kematangan. Mereka telah mengontrol tubuh dan keseimbangannya. Mereka telah dapat melompat dengan kaki secara bergantian, dapat mengendarai sepeda roda dua, dan dapat menangkap bola, dan telah berkembang koordinasi tangan dan matanya untuk memegang pensil dan maupun memegang gunting. Selain itu, perkembangan sosial anak yang berada pada usia awal kelas Sekolah Dasar (SD/MI), antara lain; mereka telah menunjukkan keakuannya tentang jenis kelaminnya, mempunyai sahabat, telah mampu berbagi, dan mandiri.