• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perubahan Status

Dalam dokumen PEMERINTAHAN DESA - UIR (Halaman 58-62)

PENATAAN DESA

C. Perubahan Status

Terkait dengan kebijakan penggabungan dua desa untuk menjadi 1 (satu) desa baru, proses ini harus diawali dengan ada­

nya kesepakatan dari seluruh komponen masyarakat desa setem­

pat, dan posisi letak desa juga harus berada pada posisi yang berdampingan atau berdekatan satu sama lainnya, selanjutnya juga harus memenuhi segala persyaratan dan prosedur tentang proses pembentukan dari desa baru dengan kebijakan untuk penggabung an dari 2 (dua) desa menjadi 1 (satu) desa baru.

Berdasarkan ketentuan pada pasal tersebut di atas, maka dapat dinyatakan bahwa dalam hal adanya keinginan untuk me rubah status dari suatu kelurahan menjadi suatu desa, maka pemerintah daerah Kabupaten/Kota dapat melaksanakannya atau menindaklanjutinya dengan catatan bahwa perubahan sta­

tus tersebut harus diawali atau didasarkan kepada “keinginan atau prakarsa dari masyarakat desa/kelurahan setempat” dan bukan atas prakarsa yang datang dari unsur pemerintah daerah Kabupaten/Kota setempat. Proses perubahan status tersebut ha­

rus memenuhi persyaratan yang telah diatur di dalam peraturan perundang­undangan yang dalam hal ini salah satunya adalah Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 Tentang Desa.

Dalam hal perubahan status dari suatu Kelurahan menjadi suatu Desa, maka segala sarana dan prasarana yang ada selama ini ditetapkan menjadi milik desa dan menjadi tanggungjawab desa yang bersangkutan untuk mengurus atau mengelolanya, sa­

rana dan prasarana tersebut ditujukan dan diperuntukkan untuk keperluan dan kepentingan dari masyarakat desa se tempat. Ter­

kait dengan pendanaan perubahan status dari Kelurah an men­

jadi Desa dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dari Kabupaten/Kota yang ber sangkutan.

Berdasarkan penjelasan Pasal 11 ayat (2) Undang­Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang dimaksud dengan

“menjadi beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Ka­

bupaten/Kota adalah termasuk untuk memberikan dana pur­

natugas (pesangon) bagi unsur Kepala Desa dan Perangkat Desa lainnya yang diberhentikan sebagai akibat atau konsekuensi dari perubahan status Desa menjadi Kelurahan.

Perubahan status dari Desa menjadi Kelurahan atau se­

baliknya dari Kelurahan menjadi Desa harus ditetapkan melalui

suatu Peraturan Daerah dari Kabupaten/Kota yang bersangkutan dengan prosedur dan persyaratan yang telah diatur dalam Per­

aturan Perundang­undangan.

Selanjutnya dalam suatu prosedur pembentukan “desa baru”, khususnya dari sisi inisiatif pembentukan desa baru ter­

sebut, maka unsur pemerintah dapat mengambil inisiatif dalam suatu proses pengajuan desa baru kepada pemerintah kabupaten/

kota, yang dalam hal ini hanyalah khusus untuk pembentukan suatu desa di kawasan industri dan perkantoran sebagai kawasan khusus untuk mendukung dan menyukseskan suatu pembangun­

an nasional yang bersifat khusus.

Pada kawasan yang bersifat khusus dan strategis bagi ke­

penting an pembangunan nasional, seperti dinyatakan pada Pasal 13 Undang­Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dijelaskan bahwa; “Pemerintah dapat memprakarsai pembentuk­

an suatu Desa di kawasan yang bersifat khusus dan strategis bagi kepentingan nasional”.

Hal ini dimaksudkan bahwa jika pemerintah atau pemerintah daerah akan membuat suatu perencanaan dan kebijakan tentang penetapan kawasan dan yang bersifat khusus dan strategis untuk kelancaran kepentingan atau menyukseskan suatu pelaksanaan pembangunan nasional secara berkala, maka dalam hal ini pem­

bentukan dari desa baru juga akan dapat dilaksanakan melalui prakarsa, inisiatif dan usulan dari unsur lembaga pemerintah atau lembaga pemerintah daerah, sehingga pemerintah daerah akan dapat memajukan pembangunan di wilayahnya masing­masing.

Selanjutnya dijelaskan dalam Pasal 14 Undang­Undang No­

mor 6 Tahun 2014 tentang Desa, bahwa; “Pembentukan, pengha­

pusan, penggabungan, dan/ atau perubahan status Desa menjadi

Kelurahan dan Kelurahan menjadi Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 11 Undang­undang no­

mor 6 Tahun 2014 atau kelurahan dapat berubah status menjadi Desa. Sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 12 ditetapkan dalam suatu Peraturan Daerah”.

Oleh karena itu, dalam hal perubahan status dari Desa men­

jadi Kelurahan atau sebaliknya dari Kelurahan menjadi desa ha­

rus ditetapkan dalam suatu Peraturan Daerah. Peraturan Daerah tersebut sebagai dasar legalitas (keabsahan secara yuridis) dari suatu kelembagaan desa dan maupun ke lembagaan dari pemerin­

tahan kelurahan. Peraturan daerah tersebut sekurang­kurangnya berisikan tentang;

– Dasar pemikiran perbahan status, – tujuan perubahan status,

– sasaran perubahan status, – prosedur perubahan status, dan

– waktu pelaksanaan perubahan status yang akan dilaksanakan.

Dari sisi persyaratan dan prosedur dari pembentukan, peng­

hapusan, dan penggabungan suatu desa, telah diatur dengan jelas dan tegas pada Pasal 15 Undang­Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang menjelaskan sebagai berikut;

“Peraturan Daerah tentang Persyaratan dan prosedur dari pembentukan, penghapusan dan penggabungan desa, meliputi;

(1) Rancangan Peraturan Daerah tentang pembentukan, peng ­ hapusan, penggabungan, dan/atau perubahan status Desa menjadi kelurahan atau kelurahan menjadi Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 yang telah men dapatkan persetujuan bersama Bupati/Walikota dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah diajukan kepada Gubernur.

(2) Gubernur melakukan evaluasi terhadap Rancangan Per a­

tur an Daerah tentang pembentukan, penghapusan, peng­

ga bungan, dan /atau perubahan status menjadi Desa atau sebaliknya kelurahan menjadi Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan urgensi, kepentingan nasional, kepentingan daerah, kepentingan masyarakat Desa, dan/

atau peraturan perundang­undangan”.

Berdasarkan ketentuan di atas, maka dapat diketahui bahwa Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang pembentuk­

an, penghapusan, penggabungan, fan/atau perubahan status desa menjadi kelurahan atau kelurahan menjadi desa sebelum diaju­

kan kepada Gubernur harus telah mendapatkan persetujuan ber­

sama antara Bupati/Walikota dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) setempat.

Selanjutnya Rancangan Peraturan Daerah tersebut diaju­

kan kepada Gubernur, dalam hal ini rancangan peraturan daerah tersebut akan dievaluasikan oleh Gubernur dengan memperhati­

kan dan mempertimbangkan hal­hal sebagai berikut;

– Urgensi Peraturan Daerah tersebut – Kepentingan nasional

– Kepentingan daerah

– Kepentingan masyarakat desa

– Peraturan perundang­undangan yang terkait

Selain prosedur dan proses pembentukan Peraturan Daerah, maka terkait dengan proses penghapusan dan penggabungan suatu desa, telah diatur dalam Pasal 16 Undang­Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang desa, pasal tersebut mengatur dengan jelas tentang persyaratan dan prosedur pembentukan desa baru, yakni:

(1) Gubernur menyatakan persetujuan terhadap Rancangan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15

paling lama 20 (dua puluh) hari setelah menerima Rancangan Peraturan Daerah.

(2) Dalam hal Gubernur memberikan persetujuan atas Ran cang­

an Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota melakukan penyem­

purnaan dan penetapan menjadi Peraturan Daerah paling lama 20 (dua puluh) hari.

(3) Dalam hal Gubernur menolak untuk memberikan persetujuan terhadap Rancangan Peraturan Daerah sebagaimana di mak­

sud dalam ayat (1), Rancangan Peraturan Daerah terse but tidak dapat disahkan dan tidak dapat diajukan kembali dalam waktu 5 (lima) tahun setelah penolakan oleh Gubernur.

(4) Dalam hal Gubernur tidak memberikan persetujuan atau tidak memberikan penolakan terhadap Rancangan Peraturan Daerah yang dimaksud dalam Pasal 15 dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bupati/Walikota dapat mengesahkan Rancangan Peraturan Daerah tersebut serta sekre taris daerah mengundangkannya dalam Lembaran Daerah.

(5) Dalam hal Bupati/Walikota tidak menetapkan Rancangan Peraturan Daerah yang telah disetujui oleh Gubernur, makan Rancangan Peraturan Daerah tersebut dalam jangka waktu 20 (dua puluh) hari setelah tanggal persetujuan Gubernur dinyatakan berlaku dengan sendirinya.

Berdasarkan ketentuan seperti tersebut di atas, maka dapat diketahui bahwa Gubernur harus telah memberikan rekomendasi persetujuan terhadap Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tersebut dalam waktu yang selambat­lambatnya 15 (lima belas) hari setelah Rancangan Peraturan Daerah tersebut diterima oleh Gubernur.

Apabila Gubernur menerima dan memberikan rekomendasi persetujuan terhadap Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tersebut, maka pemerintah daerah Kabupaten/Kota harus telah melakukan penyempurnaan dan penetapan terhadap peraturan daerah tersebut dalam batas waktu paling lama 20 (dua puluh) hari.

Namun apabila Gubernur menolak untuk memberikan suatu persetujuan terhadap Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tersebut, maka rancangan peraturan daerah tersebut tidak dapat disahkan dan juga tidak dapat untuk diajukan kembali dalam masa waktu 5 (lima) tahun setelah penolakan oleh Gubernur.

Pada kondisi yang lain, apabila Gubernur tidak memberikan rekomendasi persetujuan atau juga tidak memberikan rekomen­

dasi penolakan terhadap Rancangan Peraturan Daerah tersebut selama kurun waktu 15 (lima belas) hari, maka Bupati/Walikota dapat mengesahkan Rancangan Peraturan Daerah tersebut, yang selanjutnya dapat diundangkan dalam Lembaran Daerah oleh Sekretrias Daerah Kabupaten/Kota setempat. Begitu juga pada kondisi apabila Bupati/Walikota tidak menetapkan Rancangan Peraturan Daerah yang telah mendapat rekomendasi persetuju­

an dari Gubernur, maka Rancangan Peraturan Daerah tersebut dapat dinyatakan berlaku dengan sendirinya.

Ketentuan selanjutnya dari Peraturan Daerah tentang pem­

bentukan, penghapusan, penggabungan dan perubahan status suatu desa menjadi kelurahan, dan begitu juga dengan perubahan status suatu kelurahan menjadi desa tersebut dijelaskan dalam Pasal 17 undang­undang nomor 6 tahun 2014 tentang desa, yakni:

1. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota tentang pembentukan, penghapusan, penggabungan, dan perubahan status Desa men jadi kelurahan atau kelurahan Menjadi Desa di undang­

kan setelah mendapat nomor registrasi dari Gubernur dan kode Desa dan Menteri.

2. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai lampiran peta batas wilayah Desa.

Berdasarkan ketentuan pada pasal tersebut di atas dapat di nyatakan bahwa Peraturan Daerah tentang pembentukan, penghapusan, penggabungan dan perubahan status desa men­

jadi kelurahan dan kelurahan menjadi desa dapat dindangkan setelah mendapat nomor registrasi dari Gubernur setempat dan kode Desa dari Menteri. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota tersebut harus disertai dengan lampiran peta batas wilayah desa.

Dalam hal pembuatan peta desa berdasarkan penjelasan pasal 17 U ndang­Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa harus mengikutsertakan instansi teknis terkait.

Pada saat ini, secara substansi dalam Undang­Undang N omor 6 Tahun 2014 tentang Desa selain dari mengatur per u­

bahan status suatu desa menjadi kelurahan juga diatur atau dapat dilakukan perubahan status dari suatu kelurahan menjadi desa, kondisi ini tentunya berbeda dengan sustansi Undang­Undang yang mengatur tentang desa sebelumnya yakni undang­undang nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, dan meru­

pakan sesuatu yang baru dalam suatu proses penyelenggara an pemerintahan desa dan kelurahan di Indonesia, oleh karena itu dalam implementasinya tentu perlu untuk mempertimbangkan dan memperhatikan hal­hal yang menjadi persyaratan dalam undang­undang tentang desa tersebut pada saat ini.

Berdasarkan penjelasan dari Pasal 12 ayat (1) Undang­

Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, maka yang di­

maksud dengan “mengubah status kelurahan menjadi suatu desa

adalah perubahan status kelurahan menjadi desa atau kelurahan sebagian menjadi Desa dan sebagian tetap menjadi Kelurahan.

Hal tersebut juga dilakukan dalam jangka waktu tertentu untuk menyesuaikan adanya kelurahan yang kondisi dari kehidupan masyarakatnya masih bersifat sangat perdesaan.

D. Perbandingan Dengan UU Nomor 32 Tahun 2004

Dalam dokumen PEMERINTAHAN DESA - UIR (Halaman 58-62)