• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rumusan Hubungan Kesatuan Sila-Sila Pancasila yang Saling Mengisi dan Saling Mengkualifikasi.Saling Mengisi dan Saling Mengkualifikasi

Dalam dokumen PENDIDIKAN PANCASILA UNTUK PERGURUAN TINGGI (Halaman 99-104)

PANCASILA SEBAGAI SISTEM FILSAFAT

F. Rumusan Hubungan Kesatuan Sila-Sila Pancasila yang Saling Mengisi dan Saling Mengkualifikasi.Saling Mengisi dan Saling Mengkualifikasi

Kesatuan sila-sila Pancasila yang “Majemuk Tunggal”,

“Hierarkhis” “Piramidal”, memiliki sifat yang saling mengisi dan saling mengkualifikasi. Maksudnya bahwa dalam setiap sila Pancasila terkandung nilai dari keempat sila lainnya. Atau dalam setiap sila senantiasa dikualifikasi oleh keempat sila lainnya. Hal tersebut dapat djelaskan sebagai berikut :

1. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, berarti dia harus ber-Kemanusiaan yang adil dan beradab, ber-Parsatuan Indonesia, ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/

perwakilan, serta ber-Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indone- sia.

2. Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab; berarti dia ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, ber-Parsatuan Indonesia, ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyaratan/

perwakilan, dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

3. Sila Persatuan Indonesia; adalah ber-Ketuhanan YME, berkemanusiaan yang adil dan beradab, berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan /

4. Sila Kerakyatan dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan; adalah ber-Ketuhanan YME, Berkemanusiaan yang adil dan beradab, Berparsatuan Indonesia dan Berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

5. Sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia; adlah ber- Ketuhanan YME, berkemanusiaan yang adil dan beradab, Berparsatuan Indonesia, dan Berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyaratan/perwakilan.

(Notonagoro, 1975: 43-44).

G. Kesatuan Sila-Sila Pancasila Sebagai Suatu Sistem Filsafat Kesatuan dari sila-sila Pancasila pada hakikatnya bukanlah hanya bersifat formal logis saja, namun dia juga meliputi kesatuan ontologis, dasar epistemologis, dan dasar aksiologis dari sila-sila Pancasila terse- but. Sebagaimana dijelaskan terdahulu bahwa kesatuan sila-sila Pancasila adalah bersifat hierarkhis dan berbentuk piramidal, hal tersebeut memnggambarkan bahwa hubungan hirarkhi sila-sila Pan- casila dalam urut-urutan yang luas (kuantitas). Dan dalam pengertian inilah hubungan kesatuan sila-sila itu dalam arti formal dan logis.

Selain kesatuan sila-sila Pancasila itu hirarkhis dalam hal kuantitas juga dalam isi sifatnya yaitu menyangkut makna serta hakikat sila- sila Pancasila. Kesatuan yang demikian meliputi kesatuan dalam hal dasar ontologis, dasar epistemologis serta dasar aksiologis dari sila- sila Pancasila. (Natonogoro, 1984: 61, dan 1975: 52-57). Dengan demikian secara filosofis pancasila itu sebagai suatu kesatuan sistem filsafat memiliki “dasar ontologis, dasar epistemologis, dan dasar aksiologis sendiri”, yang berbeda dengan sistem filsafat lainnya, seperti falsafat materialisme, liberalisme, pragmatisme, komunisme, idealisme dan faham-faham filsafat lainnya yang ada di atas dunia.

1. Dasar Antropologis Sila-sila Pancasila

Pancasila yang terdiri atas lima sila setiap silanya bukanlah meru- pakan asas yang berdiri sendiri-sendiri, tapi merupakan satu kesatuan dasar ontologis. Dasar ontologis Pancasila pada hakikatnya adalah manusia yang memiliki hakikat mutlak monopluralis, dan oleh karenanya hakikat dasar ini juga disebut sebagai dasar antropologis.

Karena subjek pendukung pokok sila-sila Pancasila adalah manusia, hal tersbut dapat dijelaskan sebagai berikut :

“Bahwa yang berketuhanan Yang Maha Esa adalah manusia, demikian pula yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang ber- parsatuan, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksa- naan dalam permusyawaratan/perwakilan juga manusia, serta yang berkeadilan sosial pada hakikatnya adalah semuanya manusia

(Notonagoro, 1975:23)

Demikian pula bila dilihat dari segi filsafat negara bahwa Pancasila adalah dasar filsafat negara. Maka karena pendukung pokok negara adalah rakyat, pada hal unsur rakyat itu adalah manusia, maka tepatlah bila dikatakan bahwa hakikat dasar antropologis dari sila-sila Pancasila adalah manusia itu sendiri.

Berikutnya bahwa manusia sebagai pendukung pokok-pokok sila- sila Pancasila, secara ontologis memiliki hal-hal yang mutlak, yang terdiri atas susunan koderat raga dan jiwa jasmani dan rohani. Sifat kodrat manusia adalah sebagai makhluk individu dan makhluk sosial, serta kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk pribadi berdiri sendiri dan sebagai makhluk Tuhan Yang Mesa. Oleh karena kedudukan koderat manusia sebagai makhluk pribadi dan sebagai makhluk Tuhan inilah maka secara hirarkhis sila pertama Ktuhanan Yang Maha Esa mendasari dan menjiwai keempat sila Pancasila lainnya. (Natonagoro, 1975: 53).

2. Dasar Epistemologis Sila-Sila Pancasila

Sebagai suatu sistem filsafat Pancasila pada hakikatnya juga merupakan sistem pengetahuan. Sehingga Pancasila dalam kehidupan sehari-hari dia menjadi pedoman dan dasar bagi bangsa Indonesia, baik dalam memandang ralitas alam semesta, manusia, bangsa, dan negara tentang makna hidup, maupun dalam menyelesaikan masalah dalam hidup dan kehidupan.

Pada hakikatnya dasar Epistemologi Pancasila tidak dapat dipisahkan dengan dasar ontologisnya. Sebagai ideologi Pancasila bersumber pada nilai-nilai dasar dari pancasila itu sendiri. Oleh karena itu maka dasar epistemologi Pancasila tidak dapat dipisahkan dengan konsep dasar tentang hakikat manusia. Maka kalau manusia meru-

terhadap bangunan epistemologi, adalah bangunan epistemologi yang ditempatkan dalam bangunan filsafat manusia (Pranarka, 1996: 32).

Ada tiga persoalan mendasar yang berhubungan epistemologi:

Pertama tentang sumber pengetahuan manusia. Kedua tentang teori kebenaran mansuia. Dan Ketiga tentang watak dari pengetahuan manusia (Titus, 1984: 20).

Sementara persoalan epistemologi dalam hubungannya dengan Pancasila adalah sebagai berikut:

Bahwa Pancasila sebagai suatu objek pengetahuan pada hakikat- nya menjadi “sumber pengetahuan Pancasila” dan “susunan penge- tahuan Pancila”. Tentang sumber pengetahuan Pancasila dia meru- pakaan nilai-nilai yang ada pada bangsa Indonesia sendiri, dia bukan bersumber dari bangsa lain. Dia bukanlah hasil perenungan/pemikiran dari beberapa orang semata, tapi dia merupakan hasil rumusan oleh wakil-wakil bangsa Indonesia dalam mendirikan negara Indonesia.

Sehingga bangsa Indonesia menjadi kausa materialis dari Pancasila.

Kemudian karena sumber pengetahuan Pancasila itu adalah bangsa Indonesia sendiri yang memiliki nilai-nilai adat istiadat serta kebu- dayaan dan nilai-nilai religius, maka diantara bangsa Indonesia sebagai pendukung sila-sila Pancasila dengan Pancasila sendiri sebagai suatu sistem pengetahuan memiliki kesesuaian yang bersifat korespondensi.

Selanjutnya tentang susunan Pancasila sebagai suatu sistem pengetahuan, karena Pancasila memiliki susunan yang bersifat for- mal logis, baik yang menyangkut kualitas maupun kuantitasnya, baik dalam arti susunan dari sila-silanya, maupun dari isi arti dari sila-sila Pancasila yang bersifat hierarkhis dan berbentuk piramidal. Kemudian ada tiga yang berkaitaan dengan isi arti Pancasila, yaitu:

Pertama: Isi arti sila-sila Pancasila yang bersifat umum dan uni- versal. Ini merupakan intisari atau esinsi dari Pancasila, sehingga men- jadi pangkal tolak derivasi baik dalam pelaksanaan dibidang kene- garaan dan tertib hukum Indonesia, serta dalam praksis dalam berbagai bidang kehidupan sehari-hari.

Kedua: Isi arti Pancasila yang umum dan kolektif. Maksudnya isi arti Pancasila adalah merupakan pedoman kolektif negara dan bangsa Indonesia terutama dalam tertib hukum Indonesia.

Ketiga: Isi arti Pancasila yang bersifat khusus dan konkrit.

Maksudnya bahwa isi arti Pancasila dalam realisasi praksis dalam berbagai bidang kehidupan. Sehingga memiliki sifat yang khusus, konkrit dan dinamis. (Notonagoro, 1975: 16-40).

3. Dasar Aksiologis Sila-Sila Pncasila

Sila-sila dalam Pancasila sebagai suatu sistem filsafat dia memiliki satu kesatuan dasar aksiologis, sehingga nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila pada hakikatnya juga merupakan suatu kesatuan.

Berkaitan dengan aksiologis (teori tentang nilai) ini dia sangat dipengaruhi oleh titik tolak dan sudut pandang dalam menentukan pengertian nilai dan hierarkhinya. Misalnya, bagi kaum materialis memandang hakikat nilai yang tertinggi adalah nilai material. Kaum Hidonis berpandangan bahwa nilai tertinggi adalah berupa kenikmatan dan kebahagiaan. Namun pada hakikatnya segala sesuatu itu bernilai, tergantung nilai macam apa saja yang ada serta bagaimana hubungan niali tersebut dengan manusia.

Berkaitan dengan nilai ini Max. Sscheler menggolongkan nilai (tinggi rendahnya suatu nilai) itu kepada empat golongan:

a. Nilai-nilai kenikmatan. Nilai ini erat kaitannya dengan indera manusia. Sehingga sesuatu itu bernilai (tinggi nilainya) mana kala ia menyenangkan, dan sesuatu itu tidak bernilai (rendah nilainya) manakala tidak menyenangkan, terutama bila dikaitkan dengan indera manusia.(Die Werireidhe des Anggenehmen und Unangehmen). Yang menyebabkan manusia senang atau menderita.

b. Nilai-nilai Kehidupan. Dalam tingkatan ini terdapat beberapa nilai yang penting bagi kehidupan manusia (Werte des vitalen Fuhlens).

Musalnya nilai kesegaran jasmani, kesehatan, serta kesejahteraan umum.

c. Nilai-nilai Kejiwaan: Nilai yang terdapat dalam tingkatan ini ada milai –nilai kejiwaan (geistige werte) yang sama sekali tidak tergantung kepada keadaan jasmani atau lingkungan. Misalnya nilai keindahan, kebenaran, serta pengetahuan murni yang dicapai melalui filsafat.

d. Nilai-Nilai Kerokhanian: Nilai yang terdapat dalam tingkatan ini antara laain adalah modalitas nilai dari yang suci (Wer Modalitat der Hielgen und Unbeilingen). Misalnya nilai-nilai pribadi.

(Driyarkara, 1978).

Sementara Notonagoro membedakan tingkatan nilai menjadi tiga macam, yaitu:

a. Nilai material, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi jasmani manusia.

b. Nilai Vital: yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk mengadakan suatu aktifitas atau kegiatan.

c. Nilai-nilai Kerokhanian. Yaitu segala sesuatu yang berguna bagi rohani manusia, yang dapat dibagi dalam empat macam tingkatan berikut, Petama: Nilai kebenaran, yaitu nilai yang bersumber pada akal, rasio, budi atau cipta manusia. Kedua: Nilai keindahan atau estetis. Yaitu nilai yang bersumber pada perasaan manusia. Ketiga:

adalah nilai kebaikan atau nilai moral. Yaitu nilai yang bersumber pada unsur kehendak (will, wollen, karsa) manusia. Dan keempat:

nilai religius. Yang merupakan nilai kerokhanian tertinggi dan bersifat mutlak. Karena nilai nilai religius ini berhubungan dengan kepercayaan dan keyakinan manusia dan nilai religius ini bersumber pada wahyu yang berasal dari Tuhan Yang Maha Esa.

Menurut Notonagoro, nilai-nilai yang ada dalam Pancasila itu adalah termasuk dalam nilai kerokhanian, tetapi nilai kerokhanian yang mengakui nilai material dan nilai vital. Sehingga dengan demikian nilai- nilai Pancasila yang mengandung nilai kerokhanian itu juga mengandung nilai-nilai lain secara lengkap dan harmonis. Yaitu nilai material, nilai vital dan nilai kebenaran serta nilai keindahan (estetis), nilai kebaikan, nilai moral, maupun nilai kesucian yang secara keseluruhan bersifat sistemayik;hierarkhis. Artinya sila pertama pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai basisnya sampai dengan sila Keadilan Sosial sebagai tujuannya. (Darmodihardjo, 1978).

Dalam dokumen PENDIDIKAN PANCASILA UNTUK PERGURUAN TINGGI (Halaman 99-104)