• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.3 Landasan Teori

2.3.1 Teori Tindak Tutur

Teori tindak tutur pertama kali dikenalkan oleh John L. Austin yang ditandai dengan muncul karyanya yang bertajuk “How To Do Things With Words”. Dalam karyanya tersebut Austin (1962:94) mengatakan ketika seseorang mengatakan sesuatu, ia juga melakukan sesuatu. Namun teori tersebut baru berkembang secara mantap setelah dikembangkan oleh Searle pada tahun 1969 ditandai dengan terbitnya buku yang berjudul Speech Acts: an Easay in the Philosophy of Language.

Searle (1969) mengatakan seluruh kegiatan komunikasi linguistik terdapat tindak tutur. Ia juga berpendapat bahwa komunikasi bukan hanya sekadar sebuah lambang, kata atau kalimat, namun akan lebih tepat lagi disebut sebagai produk atau hasil dari lambang, kata, atau kalimat yang berbentuk perilaku tindak tutur (the perfomance of speech acts). Dari pemaparan tersebut Searle menyimpulkan bahwa tindak tutur merupakan produk atau hasil dari suatu kalimat dalam kondisi tertentu dan merupakan kesatuan terkecil dari komunikasi linguistik yang dapat berwujud pernyataan, pertanyaan perintah atau yang lainnya (lihat Rohmadi 2010:32). Leech (1983:5) menyatakan tindak tutur atau tindak ujar merupakan suatu kegiatan mengutarakan atau menuturkan suatu tuturan dengan maksud tertentu. Tindak tutur (speech act atau speech event) merupakan suatu pengajaran kalimat untuk menyatakan suatu maksud agar ujaran dari pembicara diketahui oleh pendengar (Kridalaksana 1984:154).

Chaer salah satu linguis dari Indonesia memberikan pandangannya mengenai tindak tutur. Chaer (2004:16) menyatakan tindak tutur merupakan gejala individual, bersifat psikologis dan keberlangsungannya ditentukan oleh kemampuan bahasa si penutur dalam menghadapi situasi tertentu. Hal yang senada juga diutarakan oleh Suwito (1982) bahwa peristiwa tutur (speech event) adalah gejala sosial, terjadi interaksi dalam situasi dan tempat tertentu antara penutur, maka tindak tutur (speech acts) cenderung dikatan sebagai gejala individual, bersifat psikologis dan ditentukan oleh kemampuan bahasa penutur dalam menghadapi situasi tertentu.

Manurut Austin (1962:94) secara pragmatis setidaknya terdapat tiga jenis tindakan yang dapat diwujudkan oleh penutur yaitu lokusi (locutionary act) tindak tutur ilokusi (ilocutionary act) dan tindak tutur perlokusi (perlocutionary act).

Tindak lokusi merupakan tindak tutur untuk menyatakan sesuatu. Tindak tutur ini juga sering disebut dengan The Act of Saying Something (mengatakan sesuatu) oleh karena itu, yang sangat diutamakan dalam tindak tutur lokusi ini adalah isi tuturan yang diungkapkan oleh penutur (Leech dalam Rohmadi 2010:33). Nadar (2009:14) mengatakan tindak tutur lokusioner atau lokusi merupakan tindak tutur yang semata-mata menyatakan sesuatu. Senada dengan hal tersebut, Asih (2012) mengelompokkan tindak tutur lokusi menjadi tiga yaitu: lokusi pernyataan (deklaratif), lokusi perintah (imperatif) dan lokusi pertanyaan (interogatif). Austin (1962:94) mengungkapkan bahwa tindak lokusi berada pada level dasar dari tindak tutur, hal ini dikarenakan untuk memahami tindak tutur lokusi didasari dengan pemahaman fonologi, sintaksis dan semantik. Berdasarkan pernyataan

19

Austin di atas dapat dikatakan bahwa tindak tutur lokusi ini adalah makna dasar atau referensi dari tuturan itu. Perhatikan contoh berikut:

(9) Seseorang dapat dua penghargaan

Secara lokusi contoh di atas dapat dimaknai hanya sebagai sebuah pernyataan bahwa seseorang telah mendapatkan dua penghargaan. Pada tuturan tersebut penutur tidak memiliki maksud apa-apa kepada mitra tuturnya. Tuturan tersebut hanya bertujuan untuk memberikan informasi kepada mitra tuturnya tanpa mengharapkan mitra tuturnya melakukan sesuatu.

Tindak tutur yang kedua adalah tindak tutur ilokusi. Nadar (2009:14) menyatakan ilokusioner merupakan apa yang ingin dicapai oleh penuturnya pada saat menuturkan sesuatu dapat merupakan tindakan menyatakan, berjanji, minta maaf, mengancam, meramalkan, memerintah, meminta, dan lain sebagainya.

Sementara itu Leech (dalam Rohmadi 2010:33) menyatakan tindak tutur ilokusi merupakan tindak tutur yang memiliki fungsi untuk mengatakan atau menginformasikan sesuatu dan juga digunakan untuk melakukan sesuatu. Moore (dalam Rusminto 2010:23) mengatakan bahwa tindak ilokusi merupakan tindak tutur yang sesungguhnya atau yang nyata yang diperformansikan oleh tuturan, seperti janji, sambutan, dan peringatan. Tindak tutur ilokusi bisa dikatakan sebagai tindak terpenting dalam kajian dan pemahaman tindak tutur.

Austin (1962:99) mengatakan tindak tutur ilokusi adalah suatu tindakan dalam mengatakan sesuatu (the act in saying something). Dalam tindak tutur ilokusi terdapat sebuah daya (ilocutionary force). Maksud dari daya ilokusi adalah isi proposisi yang berada dalam tindak tutur ilokusi. Misalnya pada tuturan

„seseorang dapat dua penghargaan‟ dapat memiliki proposisi yang berbeda dalam konteks tertentu. Seebagai pembuktian, contoh tersebut diabreviasi terlebih dahulu menjadi „sd2p‟ (Griffiths 2006:15).

(a) “seseorang dapat dua penghargaan” merupakan sebuah pernyataan penutur mengekspresikan komitmen „sd2p‟ dengan asumsi bahwa mitra tutur sama sekali tidak dan belum mengetahui „sd2p‟

(b) “siapa yang dapat dua penghargaan?” merupakan sebuah pertanyaan yang bermaksud mengetahui identitas diri dari „sd2p‟

(c) “siapa yang dapat dua penghargaan?” merupakan suatu pujian yang dilakukan oleh orang tua pemeroleh penghargaan tersebut. Melalui tuturan itu orang tua memberi kesempatan pada „sd2p‟ mengatakan

“saya”

(d) “siapa yang dapat dua penghargaan?” merupakan suatu tuturan yang mengekspresikan kesombongan „sd2p‟ di depan para penonton.

Dari empat contoh di atas, dapat diketahui bahwa daya dari tindak tutur ilokusi memiliki maksud yang berbeda-beda. Dengan kata lain, ilokusi dapat menimbulkan yang berbeda-beda dari penuturnya bisa bermaksud menyatakan, memuji, meminta, menyombongkan, memerintah dan lain-lain.

Tindak tutur perlokusi merupakan efek atau dampak yang ditimbulkan oleh tuturan terhadap mitra tutur sehingga mitra tutur melakukan tindakan berdasarkan isi tuturan. Hal tersebut merujuk pada apa yang dipaparkan oleh Wijana (1989:19) bahwa suatu tuturan yang diujarkan oleh seseorang seringkali mempunyai daya pengaruh (perlocutionary force) atau suatu efek bagi yang

21

mendengarkannya. Sejalan dengan itu Levinson (dalam Rusminto, 2010:23) mengatakan bahwa tindakan perlokusi lebih mementingkan hasil, karena tindak ini dikatakan berhasil bila mitra tutur melakukan sesuatu yang diinginkan oleh penutur. Lihat contoh berikut ini:

(10) Kemarin saya di tempat ibu saya

Tuturan pada data di atas diutarakan seseorang yang tidak dapat menghadiri undangan rapat kepada orang yang mengundangnya. Kalimat ini mengandung tindak ilokusi memohon maaf, dan tindak perlokusi (efek) harapan adalah orang yang mengundang dapat memakluminya.

Searle (dalam Rohmadi 2010: 34) membagi tindak perlokusi menjadi tiga jenis, yakni (1) tindak tutur perlokusi verbal, yaitu tanggapan dan efek yang ditunjukkan oleh lawan tutur dalam bentuk menerima atau menolak maksud penutur dengan ucapan verbal, misalnya menyangkal, melarang, tidak mengizinkan, mengucapkan terima kasih dan meminta maaf, (2) tindak tutur perlokusi nonverbal adalah tanggapan dan efek yang ditunjukkan oleh lawan tutur dalam bentuk gerakan, seperti, mengangguk, menggeleng, tertawa, senyuman, sedih dan bunyi decakan mulut, dan (3) tindak tutur verbal nonverbal, yaitu tanggapan dan efek yang ditunjukkan oleh lawan tutur dalam bentuk ucapan verbal yang disertai dengan gerakan (nonverbal) misalnya berbicara sambil tertawa, berbicara sambil berjalan, atau tindakan-tindakan yang diminta oleh lawan tutur.