• Tidak ada hasil yang ditemukan

Asuhan Keperawatan pada Korban Pemerkosaan

N/A
N/A
Rifky Pou

Academic year: 2025

Membagikan "Asuhan Keperawatan pada Korban Pemerkosaan"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KORBAN PEMERKOSAAN

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Psikiatri Dosen Pengampu: Ns. Siti Hajar, S.Kep, M.Kep., Sp. Kep. J

Di Susun Oleh Kelompok 6:

Roni Mohamad A.R. Patilima 841424144

Rifky Ademulya Pou 841424149

Nur Fadilah Putry Nalole 841424148

Nurhayati Abudi Ali 841424166

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN NON REGULER JURUSAN KEPERAWATAN FAKULTAS OLAHRAGA DAN

KESEHATAN UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO 2024

(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini guna memenuhi tugas kelompok untuk mata kuliah Psikiatri dengan judul: "Asuahan Keperawatan Pada Korban Pemerkosaan".

Dalam penyelesaian tugas ini, kami mendapat bantuan dari berbagai sumber yang dapat kami jadikan sebagai referensi kami, maka kami mengucapkan terima kasih kepada sumber tersebut. Dalam penulisan makalah ini, syukurnya kami tidak mengalami kendala yang berarti, sehingga kami dapat menyelesaikannya dengan baik.

Kami menyadari sepenuhnya bahwa tugas ini masih jauh dari sempurna dikarenakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang kami miliki. Oleh karena itu, kami mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik yang membangun dari berbagai pihak. Kami berharap semoga makalah yang kami buat ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca dan perkembangan dunia pendidikan.

Akhir kata, kami mengucapkan terima kasih. Jika ada kesalahan dalam penulisan, kami mohon maaf.

Gorontalo, 24 November 2024

Kelompok 6

(3)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...i

DAFTAR ISI... ii

BAB I PENDAHULUAN...1

A. Latar Belakang...1

B. Tujuan... 2

C. Manfaat... 2

BAB II PEMBAHASAN...3

A. Konsep Medis... 3

1. Definisi... 3

2. Etiologi... 4

3. Patofisiologi...6

4. Dampak Pemerkosaan...6

5. Klasifikasi... 7

6. Manifestasi Klinis...7

7. Pemeriksaan Fisik dan Penunjang...7

8. Penatalaksanaan...8

B. Konsep Keperawatan...10

1. Pengkajian Keperawatan...10

2. Analisa Data...10

3. Diagnosa Keperawatan...10

4. Intervensi Keperawatan...11

5. Evaluasi Keperawatan...13

BAB III PENUTUP... 15

A. Kesimpulan... 15

B. Saran... 15

DAFTAR PUSTAKA...16

(4)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Pelecehan seksual terhadap anak adalah suatu bentuk penyiksaan anak dimana orang dewasa melampiaskan libidonya pada anak atau dengan kata lain orang yang sudah dewasa mendapatkan stimulasi seksualnya pada anak yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun. Bentuk pelecehan seksual anak termasuk menekan (memaksa) seorang anak untuk melakukan aktivitas seksual, paparan tidak senonoh dari alat kelamin kepada anak, menampilkan pornografi pada anak, kontak seksual yang sebenarnya pada anak, kontak fisik dengan alat kelamin anak, melihat alat kelamin anak tanpa kontak fisik serta menggunakan anak untuk memproduksi pornografi anak (Roy, 2018)

Anak menjadi kelompok yang sangat rentan terhadap kekerasan seksual karena anak selalu diposisikan sebagai sosok lemah atau yang tidak berdaya dan memiliki ketergantungan yang tinggi dengan orang-orang dewasa di sekitarnya.

Hal inilah yang membuat anak tidak berdaya saat diancam untuk tidak memberitahukan apa yang dialaminya. Hampir dari setiap kasus yang diungkap, pelakunya adalah orang yang dekat dengan korban. Tak sedikit pula pelakunya adalah orang yang memiliki dominasi atas korban, seperti orang tua dan guru.

Tidak ada satupun karakteristik khusus atau tipe kepribadian yang dapat diidentifikasi dari seorang pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Dengan kata lain, siapa pun dapat menjadi pelaku kekerasan seksual terhadap anak atau pedofilia. Kemampuan pelaku menguasai korban, baik dengan tipu daya maupun ancaman dan kekerasan, menyebabkan kejahatan ini sulit dihindari. Dari seluruh kasus kekerasan seksual pada anak baru terungkap setelah peristiwa itu terjadi, dan tak sedikit yang berdampak fatal.

Banyak kasus tersebut yaitu kekerasan seksual terhadap anak dapat terjadi di mana saja, bisa di dalam rumah, bisa diluar rumah, bisa di jalan, bisa di sekolah dan bisa di tempat lainnya. Dengan kata lain, kekerasan seksual di zaman sekarang mengintai anak dimana pun mereka berada. Dari segi umur, kasus pelecehan seksual atau pemerkosaan memanglah tidak mengenal berapa pun usia korban

(5)

yang dimana usia mereka masih dibawah umur, hal ini terungkap dari data yang di dapat Tiga tahun terakhir yang dimana menjadi tahun yang memperhatinkan bagi dunia anak Indonesia. Pasalnya Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menemukan ratusan kasus kekerasan seksual terhadap anak yang diduga dilakukan orang terdekat sebagai pelaku.

Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Jasra Putra mengungkapkan, data menunjukkan bahwa pihaknya menemukan 218 kasus kekerasan seksual anak pada 2015. Sementara pada 2016, KPAI mencatat terdapat 120 kasus kekerasan seksual terhadap anak-anak. Kemudian di 2017, tercatat sebanyak 116 kasus. Sementara dari segi umur pelaku, di temukan bahwa pelaku mulai dari anak-anak hingga kakek-kakek. Dalam kasus anak- anak dan remaja biasanya dikarenakan dampak VCD porno dan media internet. Sedangkan untuk usia pelaku yang sudah dewasa lebih dominasi hubungan relasi kuasa, misalnya ayah dengan anak, kakek dengan cucu, tetangga dengan anak di sebelah rumahnya, dukun dengan pasiennya.

B. Tujuan

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui Asuhan Keperawatan pada klien dengan Korban Pemerkosaan.

2. Tujuan Khusus

a. Dapat mendeskripsikan hasil pengkajian terhadap klien b. Dapat menegakkan diagnosa keperawatan terhadap klien c. Dapat menyusun intervensi terhadap klien

d. Dapat melaksanakan implementasi terhadap klien

e. Dapat mengevaluasi tindakan yang sudah diberikan terhadap klien C. Manfaat

1. Penulis

Semoga dengan pembuatan makalah ini penulis dapat menambah wawasan dan  pengalaman tentang materi Asuhan keperawatan pada klien dengan Korban Pemerkosaan.

(6)

2. Institusi

Sebagai bahan pertimbangan dalam menyusun program pembelajaran serta menentukan metode dan media pembelajaran yang tepat.

(7)

BAB II PEMBAHASAN A. Konsep Medis

1. Definisi

Kekerasan seksual terhadap anak menurut End Child Prostitution in Asia Tourism (ECPAT) Internasional merupakan hubungan atau interaksi antara seorang anak dengan seorang yang lebih tua atau orang dewasa seperti orang asing, saudara sekandung atau orang tua dimana anak dipergunakan sebagai objek pemuas kebutuhan seksual pelaku. Perbuatan ini dilakukan dengan menggunakan paksaan, ancaman, suap, tipuan bahkan tekanan.

Pelecehan seksual terhadap anak adalah suatu bentuk penyiksaan anak dimana orang dewasa melampiaskan libidonya pada anak atau dengan kata lain orang yang sudah dewasa mendapatkan stimulasi seksualnya pada anak yang berusia di bawah 18 tahun. Bentuk pelecehan seksual anak termasuk menekan (memaksa) seorang anak untuk melakukan aktivitas seksual, paparan tidak senonoh dari alat kelamin kepada anak, menampilkan pornografi pada anak, kontak seksual yang sebenarnya pada anak, kontak fisik dengan alat kelamin anak, melihat alat kelamin anak tanpa kontak fisik serta menggunakan anak untuk memproduksi pornografi anak (Roy, 2018)

Dapat disimpulkan pemerkosaan adalah suatu tindakan kriminal di saat korban dipaksa untuk melakukan hubungan seksual, khususnya penetrasi dengan alat kelamin di luar kemauannya sendiri. Pemerkosaan dapat terjadi antara orang yang tidak saling kenal, antar teman, orang yang sudah menikah, dan sesama jenis. Penyiksaan seksual (sexual abuse) terhadap anak disebut Pedofilian atau penyuka anak-anak secara seksual. Seorang Pedofilia adalah orang yang melakukan aktivitas seksual dengan korban anak usia 13 tahun ke bawah. Penyakit ini ada dalam kategori Sadomasokisme yaitu suatu kecenderungan terhadap aktivitas seksual yang meliputi pengikatan atau menimbulkan rasa sakit atau penghinaan.

Kekerasan seksual (sexual abuse), dapat didefinisikan sebagai perilaku seksual secara fisik maupun non fisik oleh orang yang lebih tua atau memiliki

(8)

kekuasaan terhadap korban, bertujuan untuk memuaskan hasrat seksual pelakunya. Korban mungkin saja belum atau tidak memahami perlakuan yang dilakukan terhadap dirinya, mereka hanya merasa tidak nyaman, sakit, takut, merasa bersalah, dan perasaan lain yang tidak menyenangkan (Kurnia,2018).

Kekerasan seksual (sexual abuse) pada anak mencakup penganiayaan seksual secara fisik dan non fisik. Kekerasan fisik antara lain menyentuh alat kelamin atau bagian tubuh lain yang bersifat pribadi, seks oral, penetrasi vagina/anus menggunakan penis atau benda lain, memaksa anak membuka pakaian, sampai tindak perkosaan. Sedangkan penganiyaan non fisik diantaranya memperlihatkan benda-benda yang bermuatan pornografi atau aktivitas seksual orang dewasa, eksploitasi anak dalam pornografi (gambar, foto, film, slide, majalah, buku), exhibitionism, atau mengintip kamar tidur/kamar mandi (voyeurism) (Kurnia,2018).

2. Etiologi

Melihat dari teori-teori sebab terjadinya kejahatan menurut kriminologi, maka terjadinya kekerasan seksual terhadap anak dapat disebabkan oleh berbagai faktor yang memengaruhinya demikian kompleks, secara umum dapat disebutkan bahwa faktor-faktor penyebab terjadinya kejahatan seksual pada anak dibagi menjadi 2 bagian yaitu :

1) Faktor intern

Faktor intern adalah faktor-faktor yang terdapat dalam diri individu. Faktor ini khusus dilihat pada diri individu dan hal-hal yang mempunyai hubungan dengan kejahatan seksual meliputi:

a. Faktor Kejiwaan.

Kondisi kejiwaan atau keadaan diri yang tidak normal dari seseorang dapat mendorong seseorang melakukan kejahatan. Misalnya, nafsu seks yang abnormal dapat menyebabkan pelaku melakukan pemerkosaan terhadap korban anak-anak dengan tidak menyadari keadaan diri sendiri. Psikologis (kejiwaan) seseorang yang pernah menjadi korban pemerkosaan sebelumnya seperti kasus Emon yang kejiwaannya telah terganggu sehingga ia kerap melakukan kejahatan

(9)

seksual pada anak.

b. Faktor Biologis.

Pada realitanya kehidupan manusia mempunyai berbagai macam kebutuhan yang harus dipenuhi. Kebutuhan biologis itu terdiri atas tiga jenis, yakni kebutuhan makanan, kebutuhan seksual dan kebutuhan proteksi. Kebutuhan akan seksual sama dengan kebutuhan-kebutuhan lain yang menuntut pemenuhan.

c. Faktor Moral.

Moral merupakan faktor penting untuk menentukan timbulnya kejahatan. Moral sering disebut sebagai filter terhadap munculnya perilaku yang menyimpang. Pemerkosaan, disebabkan moral pelakunya yang sangat rendah. Seperti kasus terbaru yang terjadi di Jakarta Timur yaitu seorang ayah berinisial YS tega memperkosa anak kandungnya sendiri sebanyak 35 kali menyetubuhi si anak.

2) Faktor Ekstern

Faktor ekstern adalah faktor-faktor yang berada di luar diri si pelaku, sebagai berikut:

a. Faktor Sosial Budaya.

Meningkatnya kasus-kasus kejahatan asusila atau perkosaan terkait erat dengan aspek sosial budaya. Akibat modernisasi berkembanglah budaya yang semakin terbuka dan pergaulan yang semakin bebas. Faktor Ekonomi.

Keadaan ekonomi yang sulit menyebabkan seseorang memiliki pendidikan yang rendah dan selanjutnya akan membawa dampak kepada baik atau tidak baiknya pekerjaan yang diperoleh. Secara umum, seseorang yang memiliki tingkat pendidikan rendah cenderung mendapatkan pekerjaan yang tidak layak. Keadaan perekonomian merupakan faktor yang secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi pokok-pokok kehidupan masyarakat. Akibatnya terjadi peningkatan kriminalitas

(10)

termasuk kasus pemerkosaan.

b. Faktor Media Massa.

Media massa merupakan sarana informasi didalam kehidupan seksual. Pemberitaan tentang kejahatan pemerkosaan yang sering diberitahukan secara terbuka dan didramatisasi umumnya digambarkan tentang kepuasan pelaku. Hal seperti ini dapat merangsang para pembaca khususnya orang yang bermental jahat memperoleh ide untuk melakukan pemerkosaan Faktor-fakor yang menyebabkan terjadinya tindakan kekerasan seksual yang dialami oleh subyek adalah sebagai berikut :

- Faktor kelalaian orang tua.

Kelalaian orang tua yang tidak memperhatikan tumbuh kembang dan pergaulan anak yang membuat subyek menjadi korban kekerasan seksual

- Faktor rendahnya moralitas dan mentalitas pelaku.

Moralitas dan mentalitas yang tidak dapat bertumbuh dengan baik, membuat pelaku tidak dapat mengontrol nafsu atau perilakunya.

- Faktor ekomoni.

Faktor ekonomi membuat pelaku dengan mudah memuluskan rencananya dengan memberikan imingiming kepada korban yang menjadi target dari pelaku.

3. Patofisiologi

Kekerasan seksual pada anak dapat terjadi beberapa kali dalam periode berdekatan, bahkan menahun. Walaupun berbeda-beda pada setiap kasus, kekerasan seksual tidak terjadi begitu saja, melainkan melalui  beberapa tahapan antara lain:

a. Tahap awal, pelaku membuat korban merasa nyaman. Ia menyakinkan bahwa apa yang dilakukannya "tidak salah" secara moral. Pelaku

(11)

mencoba menyentuh sisi kebutuhan anak akan kasih sayang dan perhatian, penerimaan dari orang lain, atau mencoba menyamakannya dengan permainan dan menjanjikan imbalan material yang menyenangkan. Pelaku dapat mengintimidasi secara halus ataupun bersikap memaksa secara kasar.

b. Tahap kedua, adalah interaksi seksual. Perilaku yang terjadi bisa saja hanya berupa mengintip sampai perilaku yang intensitasnya berat, yaitu memakas anak untuk melakukan hubungan seksual. Setelah kejadian tersebut, pelaku mengancam korban agar merahasiakan apa yang terjadi kepada orang lain.

c. Tahap berikutnya, adalah tahapan dimana korban mau menceritakan pengalamannya kepada orang lain. Kemungkinan korban merahasiakan pengalamannya sampai berusia dewasa, atau menceritakannya kepada orang yang mempunyai kedekatan emosional dengannya, sehingga ia merasa aman.

Anak yang memiliki resiko mengalami kekerasan seksual biasanya adalah anak-anak yang biasa ditinggalkan sendiri dan tidak mendapat pengawasan dari orang yang lebih dewasa, terutama ibu. Tidak hanya kehadiran secara fisik, kedekatan emosional antara ibu dan anak pun merupakan faktor yang penting.

4. Dampak Pemerkosaan

Dampak yang muncul dari pemerkosaan kemungkinan adalah depresi, fobia, mimpi buruk, curiga terhadap orang lain dalam waktu yang cukup lama.

Adapula yang merasa terbatasi di dalam berhubungan dengan orang lain, berhubungan seksual dan disertai dengan ketakutan akan muculnya kehamilan akibat dari pemerkosaan. Bagi korban pemerkosaan yang mengalami trauma psikologis yang sangat hebat ada kemungkinan akan merasakan dorongan yang kuat untuk bunuh diri akibat yang ditimbulkan atau konsekuensi negatif pada fisik dan psikologis yang bertahan lama, sekitar sepertiga korban  pemerkosaan terkena trauma fisik seperti luka, penyakit menular, dan hamil. Lebih dari satu tahun setelah pemerkosaan, korban masih merasakan ketakutan dan kecemasan yang berkaitan dengan  pemerkosaan, ketidakpuasan seksual, depresi dan

(12)

problem keluarga.

5. Klasifikasi

Menurut Resna dan Darmawan (dalam Huraerah, 2006), tindakan kekerasan seksual dapat dibagi atas tiga kategori, yaitu :

a. Perkosaan. Pelaku tindak perkosaan biasanya pria. Perkosaan terjadi pada suatu saat di mana pelaku lebih dulu mengancam dengan memperlihatkan kekuatannya kepada anak. Bila perkosaan dilakukan dengan kekerasan pada anak, akan merupakan suatu resiko terbesar karena penganiayaan sering berdampak emosi tidak stabil.

b. Incest, digambarkan sebagai kejadian relasi seksual diantara individu yang berkaitan darah. Secara lebih luas, yaitu menerangkan hubungan seksual ayah tiri dengan anak tiri, antar saudara tiri. Padahal kedua hubungan seksual yang terakhir ini tidak terjalin pada individu yang berkaitan darah. Incest merupakan perbuatan terlarang bagi hamper setiap lingkungan budaya. Incest biasabya terjadi dalam waktu yang lama dan sering menyangkut suatu proses terkondisi.

c. Eksploitasi. Eksploitasi seksual meliputi prostitusi dan pornografi.

Sering melibatkan suatu kelompok secara berpartisipasii, dapat terjadi sebagai sebuah keluarga atau di luar rumah bersama beberapa orang dewasa dan tidak berhubungan dengan anak-anak dan merupakan suatu lingkungan seksual. Pada beberapa kasus meliputi keluarga-keluarga, seluruh keluarga ayah, ibu dan anak-anak dapat terlibat. Hal ini merupakan situasi patologi di mana kedua orang tua sering terlibat kegiatan seksual dengan anak- anaknya dan mempergunakan anak - anak sebagai prostitusi atau untuk pornografi. Eksploitasi anak-anak membutuhkan intervensi dan penanganan yang serius.

Komisi Perlindungan Anak, Kekerasan seksual meliputi: mencolek, m eraba, menyentuh hingga melontarkan kata-kata berorientasi seksual pada anak- anak. Diperparah dengan tindakan pencabulan, pemerkosaan, sodomi, dan sejenisnya. (Sinar Harapan, 13 Maret 2004). Yuwono (2015) menyebutkan bahwa bentuk-bentuk kekerasan seks, sexual gesture (serangan seksual secara

(13)

visual termasuk eksibisionisme, sexual remarx (serangan seksual secara verbal).

Menurut Brison (Kusmiran, 2011) kekerasan seksual dapat bersifat verbal atau non-verbal yang disertai ancaman atau intimidasi, penganiayaan. Sampai pada pembunuhan. Menurut Collier (Kusmiran, 2011) kategori kekerasan seksual meliputi pelecehan seksual, ancaman perkosaan, percobaan perkosaan, perkosaan disertai kekerasan, perkosaan disertai pembunuhan, dan pemaksaan untuk melacur.

Kekerasan seksual berdasarkan intensitasnya dikategorikan pada pelecehan seksual dan serangan seksual. Pelecehan seksual diberi batasan dari ringan sampai sedang, seperti siulan nakal, kedipan mata, gurauan atau olok-olok yang menjurus pada seks, memandangi tubuh mulai dari ujung rambut sampai mata kaki, pernyataan mengenai tubuh atau penampilan fisik, memberi isyarat berkonotasi seksual, memperlihatkan gambar-gambar porno, memperlihatkan organ seks, mencolek, meraba, dan mencubit. Sedangkan serangan seksual dikategorikan sebagai kekerasan seksual dengan intensitas berat. Serangan seksual berakhir pada hubungan seksual secara paksa. (Kusmiran, 2011).

6. Manifestasi Klinis

Ciri-Ciri anak yang mengalami kekerasan seksual menurut Zastrow (dalam Huraerah, 2006), yaitu:

a. Tanda-tanda perilaku

1) Perubahan-perubahan mendadak pada perilaku dari bahagia ke depresi atau permusuhan,dari bersahabat ke isolasi atau dari komunikatif ke penuh rahasia.

2) Perilaku ekstrim

Perilaku lebih agresif atau lebih pasif dari teman sebayanya atau dari perilaku individu sebelumnya, menjadi sensitive dan gampang marah.

3) Gangguan Tidur

Takut pergi ke tempat tidur, sulit tidur atau terjaga dalam waktu yang lama, takut tidur sendiri, mimpi buruk.

4) Perilaku regresif

Kembali pada perilaku awal perkembangan anak tersebut, seperti

(14)

mengompol, mengisap jempol.

5) Perilaku anti-sosial atau nakal

Bermain-main api, mengganggu anak lain atau binatang tindakan- tindakan merusak

6) Perilaku menghindar

Takut akan atau menghindar dari orang tertentu (orang tua, kakak, tetangga, saudara lain, pengasuh, lari dari rumah, nakal,membolos sekolah.

7) Perilaku seksual yang tidak pantas

Masturbasi berlebihan, berbahasa atau bertingkah porno melebihi usianya, perilaku seduktif terhadap anak yang lebih muda,menggambar porno.

8) Penyalahgunaan NAPZA

Alkohol atau obat terlarang khususnya pada anak remaja.

9) Bentuk perlakuan salah terhadap diri sendiri (self abuse)

Merusak diri sendiri, gangguan makan, berpartisipasi pada kegiatan- kegiatan beresiko tinggi, percobaan atau melakukan bunuh diri

b. Tanda-tanda Kognisi

Tidak dapat berkonsentrasi: sering melamun dan berkhayal, fokus perhatian singkat/terpecah.Minat sekolah memudar: menurunnya perhatian pada tugas sekolah dibanding sebelumnya. Respons atau reaksi berlebihan: khususnya terhadap gerakan tiba – tiba dan orang lain dalam jarak dekat. Tanda-tanda Sosial – emosional

1) kepercayaan diri : perasaan tidak berharga

2) Menarik Diri : mengisolasi dari teman, lari ke dalam khayalan atau ke bentuk-bentuk lain yang tidak berhubungan.

3) Depresi tanpa penyebab jelas: Perasaan tanpa harapan dan ketidakberdayaan, pikiran dan pernyataan-pernyataan ingin bunuh diri.

4) Ketakutan berlebihan: Kecemasan, hilang, kepercayaan terhadap orang lain.

(15)

5) Keterbatasan Perasaan: Tidak dapat mencintai, tidak riang seperti sebelumnya atau sebagaimana dialami teman dekatnya.

c. Tanda-tanda Fisik

1) Perasaan sakit yang tidak jelas: mengeluh sakit kepala, sakit perut, tenggorokan tanpa penyebab jelas, menurunnnya berat badan secara drastis, tidak ada kenaikan berat badan secara memadai, muntah- muntah.

2) Luka-luka pada alat kelamin atau mengidap penyakit kelamin: Pada vagina, penis atau anus yang ditandai dengan pendarahan, lecet, nyeri atau gatal-gatal di seputar alat kelamin (menderita penyakit seksual) dan kekerasan seksual pada korban juga akan mengakibatkan kehamilan.

Tanda dan gejala menurut Janne Wess,2008 yaitu : 1) Balita

a. Tanda-tanda fisik, antara lain memar pada alat kelamin atau mulut, iritasi kencing, penyakit kelamin, dan sakit kerongkongan tanpa penyebab jelas bisa merupakan indikasi seks oral.

b. Tanda perilaku emosional dan sosial, antara lain sangat takut kepada siapa saja atau pada tempat tertentu atau orang tertentu, perubahan kelakuan yang tiba-tiba, gangguan tidur (susah tidur, mimpi buruk, dan ngompol), menarik diri atau depresi, serta perkembangan terhambat.

2) Anak usia prasekolah

Gejalanya sama ditambah tanda-tanda berikut :

a. Tanda fisik: antara lain perilaku regresif, seperti mengisap jempol, hiperaktif, keluhan somatik seperti sakit kepala yang terus- menerus, sakit perut, sembelit.

b. Tanda pada perilaku emosional dan sosial: kelakuan yang tiba- tiba berubah, anak mengeluh sakit karena perlakuan seksual.

c. Tanda pada perilaku seksual: masturbasi berlebihan, mencium secara seksual, mendesakkan tubuh, melakukan aktivitas seksual terang-terangan pada saudara atau teman sebaya, tahu banyak tentang

(16)

aktivitas seksual, dan rasa ingin tahu berlebihan tentang masalah seksual.

3) Anak usia sekolah

Memperlihatkan tanda-tanda di atas serta perubahan kemampuan belajar, seperti susah konsentrasi, nilai turun, telat atau bolos, hubungan dengan teman terganggu, tidak percaya kepada orang dewasa, depresi, menarik diri, sedih, lesu, gangguan tidur, mimpi buruk, tak suka disentuh, serta menghindari hal-hal sekitar buka pakaian.

4) Remaja

Tandanya sama dengan di atas dan kelakuan yang merusak diri sendiri, pikiran bunuh diri, gangguan makan, melarikan din, berbagai kenakalan remaja, penggunaan obat terlarang atau alkohol, kehamilan dini, melacur, seks di luar nikah, atau kelakuan seksual lain yang tak biasa. Sedangkan menurut Townsend (1998) simtomatologi dari penganiayaan/kekerasan seksual pada anak (sexual abuse) antara lain:

a. Infeksi saluran kemih yang sering

b. Kesulitan atau nyeri saat berjalan atau duduk

c. Kemerahan atau gatal pada daerah genital, menggaruk daerah tersebut secara sering atau gelisah saat duduk

d. Sering muntah

e. Perilaku menggairahkan, dorongan masturbasi, bermain seks dewasa sebelum waktunya

f. Ansietas berlebihan dan tidak percaya kepada orang lain Penganiyaan se ksual pada anak yang lain

7. Pemeriksaan Fisik dan Penunjang a. Pemeriksasan Fisik

Saat melakukan pemeriksaan fisik, gunakan prinsip “head to toe”.

Artinya, pemeriksaan fisik harus dilakukan secara sistematis dari ujung kepala sampai ke ujung kaki. Pelaksanaan pemeriksaan fisik juga harus memperhatikan keadaan umum korban. Apabila korban tidak sadar atau keadaan umumnya buruk, maka pemeriksaan untuk pembuatan visum dapat

(17)

ditunda dan dokter fokus untuk ”life saving” terlebih dahulu. Selain itu, dalam melakukan pemeriksaan fisik, perhatikan kesesuaian dengan keterangan korban yang didapat saat anamnesis. Pemeriksaan fisik yang dilakukan dapat dibagi menjadi pemeriksaan umum dan khusus.

Pemeriksaan fisik umum mencakup:

1) Tingkat kesadaran, 2) Keadaan umum, 3) Tanda vital,

4) Penampilan (rapih atau tidak, dandan, dan lain-lain),

5) Afek (keadaan emosi, apakah tampak sedih, takut, dan sebagainya), 6) Pakaian (apakah ada kotoran, robekan, atau kancing yang terlepas), 7) Status generalis,

8) Tinggi badan dan berat badan, 9) Rambut (tercabut/rontok)

10) Gigi dan mulut (terutama pertumbuhan gigi molar kedua dan ketiga), 11) Kuku (apakah ada kotoran atau darah di bawahnya, apakah ada kuku

yang tercabut atau patah),

12) Tanda-tanda perkembangan seksual sekunder, 13) Tanda-tanda intoksikasi NAPZA, serta

14) Status lokalis dari luka-luka yang terdapat pada bagian tubuh selain daerah kemaluan.

Untuk mempermudah pencatatan luka-luka, dapat digunakan diagram tubuh seperti pada gambar berikut :

(18)

Pemeriksaan fisik khusus bertujuan mencari bukti-bukti fisik yang terkait dengan tindakan kekerasan seksual yang diakui korban dan mencakup pemeriksaan:

1) Daerah pubis (kemaluan bagian luar), yaitu adanya perlukaan pada jaringan lunak atau bercak cairan mani

2) Penyisiran rambut pubis (rambut kemaluan), yaitu apakah adanya rambut pubis yang terlepas yang mungkin berasal dari pelaku, penggumpalan atau perlengketan rambut pubis akibat cairan mani 3) Daerah vulva dan kulit sekitar vulva/paha bagian dalam (adanya

perlukaan pada jaringan lunak, bercak cairan mani)

4) Labia mayora dan minora (bibir kemaluan besar dan kecil), apakah ada perlukaan pada jaringan lunak atau bercak cairan mani

5) Vestibulum dan fourchette posterior (pertemuan bibir kemaluan bagian bawah), apakah ada perlukaan

6) Hymen (selaput dara), catat bentuk, diameter ostium, elastisitas atau ketebalan, adanya perlukaan seperti robekan, memar, lecet, atau hiperemi). Apabila ditemukan robekan hymen, catat jumlah robekan, lokasi dan arah robekan (sesuai arah pada jarum jam, dengan korban dalam posisi litotomi), apakah robekan mencapai dasar (insersio) atau tidak, dan adanya perdarahan atau tanda penyembuhan pada tepi robekan

7) Vagina (liang senggama), cari perlukaan dan adanya cairan atau lendir 8) Serviks dan porsio (mulut leher rahim), cari tanda-tanda pernah

melahirkan dan adanya cairan atau lendir

9) Uterus (rahim), periksa apakah ada tanda kehamilan

10) Anus (lubang dubur) dan daerah perianal, apabila ada indikasi berdasarkan anamnesis

11) Mulut, apabila ada indikasi berdasarkan anamnesis,

12) Daerah-daerah erogen (leher, payudara, paha, dan lain-lain), untuk mencari bercak mani atau air liur dari pelaku, serta

(19)

13) Tanda-tanda kehamilan pada payudara dan perut.

Saat melakukan pemeriksaan fisik, dokumentasi yang baik sangat penting.Selain melakukan pencatatan dalam rekam medis, perlu dilakukan pemotretan bukti-bukti fisik yang ditemukan. Foto-foto dapat membantu dokter membuat visum et repertum. Dengan pemotretan, korban juga tidak perlu diperiksa terlalu lama karena foto-foto tersebut dapat membantu dokter mendeskripsi temuan secara detil setelah pemeriksaan selesai

b. Aspek Pemeriksaan Penunjang 1) Pemeriksaan Swab dan Sampel

Pemeriksaan Swab dan sampel menurut Magalhaes T dalam jurnal berjudul Biological Evidence Management for DNA Analysis in Cases of Sexual Assault sangat penting untuk dijadikan sebagai bukti adanya kontak seksual antara korban dengan pelaku dan membantu penyidik dalam menemukan pelaku kejahatan seksual. Joanne Archambault menyatakan bahwa 44% tersangka didapatkan dengan menggunakan analisis DNA yang diperoleh dari pemeriksaan swab dan sampel, sehingga dengan melakukan pemeriksaan swab dan pengumpulan sampel sangat membantu investigasi dan penyelesaian kasus kejahatan seksual. Pemeriksaan cairan biologis pada tubuh merupakan hal yang sangat penting hal ini dikarenakan hasil dari pemeriksaan ini digunakan sebagai bukti dalam sebuah kasus kejahatan seksual. Swab yang diperoleh dari tubuh korban diperlukan untuk pemeriksaan DNA yang dapat digunakan oleh penyidik dalam menemukan pelaku kejahatan seksual.

2) Pemeriksaan darah dan urin

Pemeriksaan darah dan urin harus dilakukan terutama apabila ada riwayat konsumsi obat – obat dan alkohol. Peran sampel darah dan urin adalah untuk dilakukan pemeriksaan analisis toksikologi. Pemeriksaan toksikologi ini sangat dipengaruhi oleh lama waktu ketika korban meminum obat atau alkohol hingga melapor ke rumah sakit. Semakin lama durasi korban melapor sesudah meminum obat atau alkohol maka

(20)

semakin kecil pula zat – zat yang dapat ditemukan dalam darah akibat proses dari metabolisme tubuh. Pemeriksaan darah berperan dalam membantu dokter mencegah penyakit menular seksual terutama HIV.

3) Pemeriksaan kehamilan

Pemeriksaan kehamilan dengan metode HCG sangat penting untuk dilakukan. Didalam buku victim of sexual violance : A hand book for Helper digunakan pemeriksaan ini digunakan untuk membuktikan apakah korban hamil akibat dari kasus kejahatan seksual sehingga d okter dapat melakukan tatalaksana yang tepat untuk kehamilannya.

Korban yang dinyatakan hamil akibat kasus kejahatan seksual dalam buku Rape Investigation Handbook dapat dilakukan pemeriksaan DNA dengan menggunakan sampel dari kehamilan dan fetus dari korban.

Hasil pemeriksaan DNA tersebut dapat digunakan sebagai bukti kasus kejahatan seksual tersebut. Di Indonesia, fungsi dari pemeriksaan kehamilan adalah sebagai bukti yang ditulis dalam visum et repertum yang akan digunakan oleh penyidik untuk menindaklanjuti sebuah kasus kejahatan seksual.

8. Penatalaksanaan

Ada dua macam terapi pengobatan yang dapat dilakukan penderita stres pasca trauma, yaitu dengan menggunakan farmakoterapi dan psikoterapi.

Pengobatan farmakoterapi dapat berupa terapi obat (terapi anti depresiva) (Kaplan dkk, 1997). Sedangkan pengobatan psikoterapi, ada tiga tipe psikoterapi, yaitu: anxiety management, cognitive therapy, dan exposure therapy.

a. Anxiety Management

Terapis mengajarkan beberapa ketrampilan untuk membantu mengatasi gejala stres pasca trauma melalui:

1) relaxation training, yaitu belajar mengontrol ketakutan dan kecemasan secara sistematis dan merelaksasikan kelompok otot- otot utama

2) Breathing retraining, yaitu belajar bernafas dengan perut secara

(21)

perlahan-lahan, santai dan menghindari bernafas dengan tergesa- gesa yang menimbulkan perasaan tidak nyaman, bahkan reaksi fisik yang tidak baik, seperti jantung berdebar-debar dan sakit kepala

3) Positive thinking dan self-talk, yaitu belajar untuk menghilangkan pikiran negatif dan mengganti dengan pikiran positif ketika menghadapi hal-hal yang membuat stres

4) Asserrtiveness training, yaitu belajar bagaimana mengekspresikan harapan, opini, dan emosi tanpa menyalahkan atau menyakiti orang lain

5) Thought stopping, yaitu belajar bagaimana mengalihkan pikiran ketika sedang memikirkan hal-hal yang membuat stres.

b. Cognitive Therapy

Terapis membantu untuk merubah kepercayaan yang tidak rasional yang mengganggu emosi dan mengganggu kegiatan-kegiatan individu.

Tujuan kognitif terapi adalah untuk mengidentifikasi pikiran-pikiran yang tidak rasional dan mengadopsi pikiran yang lebih realistik untuk mencapai emosi yang lebih seimbang.

c. Exposure Therapy

Terapis membantu menghadapi situasi yang khusus, orang lain, obyek, memori atau emosi yang mengingatkan pada trauma dan menimbulkan ketakutan yang tidak realistik dalam kehidupannya.

B. Konsep Keperawatan

1. Pengkajian Keperawatan

Pada tahap ini ada beberapa faktor yang perlu dieksplorasi baik pada klien sendiri maupun keluarga berkenan dengan kasus halusinasi yang meliputi :

a. Indentitas klien

b. Keluhan utama atau alasan masuk c. Faktor predisposisi

d. Faktor presipitasi e. Pemeriksaan fisik

(22)

f. Psikososial g. Status Mental

h. Kebutuhan perencanaan ulang i. Mekanisme koping

j. Aspek pengetahuan k. Aspek medis

2. Analisa Data

Diagnosa dapat ditegakkan sesuai dengan data subjektif dan data objektif, serta penggunaan pohon masalah mampu melihat penyebab serta affect kasus.

3. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan merupakan suatu penilaian klinis mengenai respons klien terhadp masalah atau proses kehidupan yang dialaminya baik yang berlangsung actual maupun potensial. Diagnosis keperawatan bertujuan untuk mengidentifikasi respons klien indivisu, keluarga dan komunitas terhadap situasi yang berkaitan dengan kesehatan (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017).

Diagnose keperawatan yang muncul pada kasus keperawatan jiwa pada anak yang mengalami kekerasan seksual antara lain sebagai berikut :

a. Resiko bunuh diri d.d gangguan psikologis (penganiayaan masa kanak- kanak, riwayat bunuh diri sebelumnya dan penyalahgunaan zat).

(D.0135).

b. Isolasi sosial b.d Ketidaksesuaian nilai-nilai dengan norma, ketidaksesuaian perilaku sosial dengan norma, perubahan status mental d.d merasa ingin sendirian, menarik diri, tidak berminat/menolak berinteraksi dengan orang lain atau lingkungan, merasa berbeda dengan orang lain, merasa tidak mempunyai tujuan yang jelas, afek datar, afek sedih, tidak ada kontak mata dan tidak bergairah/lesu. (D. 0121).

c. Harga diri rendah kronis b.d terpapar situasi traumatis dan d.d menilai diri negatif (mis, tidak berguna, tidak tertolong), merasa malu/bersalah, merasa tidak mampu melakukan apapun, merasa sulit konsentrasi, sulit tidur, kontak mata kurang, lesu dan tidak bergairah, berbicara pelan dan

(23)

lirih dan pasif. (D. 0086)

4. Intervensi Keperawatan

Intervensi keperawatan adalah segala treatmen yang dikerjakan oleh perawat yang didasarkan pada pengetahuan dan penilaian klinis untuk mencapai luaran (outcome) yang diharapkan. Tindakan keperawatan adalah perilaku atau aktivitas spesifik yang dikerjakan oleh perawat untuk mengimplementasikan intervensi keperawatan (Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018). Penyusunan perencanaan keperawatan diawali dengan melakukan pembuatan tujuan dari asuhan keperawatan. Tujuan yang dibuat dari tujuan jangka panjang dan jangka pendek.

Diagnosa keperawatan

Kriteria Hasil Intervensi Keperawatan

Resiko bunuh diri d.d gangguan psikologis

(penganiayaan masa

kanak-kanak, riwayat bunuh diri sebelumnya dan penyalahgunaan zat). (D.0135)

Setelah dilakukan intervensi

keperawatan selama 2 x 8 jam diharapkan kontrol diri meningkat dengan kriteria hasil sebagai berikut :

1. Perilaku melukai diri sendiri menurun.

2. Verbalisasi keinginan bunuh diri menurun.

3. Verbalisasi isyarat bunuh

Pencegahan bunuh diri (I14538).

Observasi :

1. identifikasi gejala risiko bunuh diri (mis. Gangguan mood, halusinasi, delusi, panik,

penyalahgunaan zat, kesedihan,

gangguan kepribadian).

2. Identifikasi keinginan dan pikiran rencana bunuh diri.

3. Monitor lingkungan bebas bahaya secara rutin (mis, barand

(24)

diri menurun.

4. Verbalisasi ancaman bunuh diri menurun.

5. Verbalisasi rencana bunuh diri menurun.

6. Perilaku Merencanakan bunuh diri menurun.

7. Alam perasaan depresi

menurun

pribadi, pisau cukur, jendela).

4. Monitor adanya perubahan mood atau perilaku.

Terapeutik :

1. Libatkan dalam

perencanaan perawatan mandiri.

2. Libatkan keluarga dalam perencanaan perawatan.

3. Lakukan pendekatan langsung dan tidak

menghakimi saat

membahas bunuh diri.

4. Berikan lingkungan dengan pengamanan ketat dan mudah di pantau (mis, tempat tidur dekat ruang perawat).

5. Tingkatan pengawasan pada kondisi tertentu (mis, rapat saraf, pengantin shift).

Edukasi :

1. Anjurkan mendiskusikan perasaan perasaan yang di

(25)

alami kepada orang lain 2. Anjurkan menggunakan

sumber pendukung (mis, layanan spritual, penyediaan layanan) 3. Jelaskan tindakan

pencegahan bunuh diri kepada kelurga atau orang terdekat

4. Informasikan sumber daya masyarakat dan program yang tersedia.

Kolaborasi :

1. Kolaborasi tindakan keselamatan kepada PPA 2. Rujuk kepelayanan

mental, jika perlu.

5. Evaluasi Keperawatan

Tujuan dari evaluasi adalah untuk melihat dan menilai kemampuan klien dalam mencapai tujuan, menentukan apakah tujuan keperawatan telah tercapai atau belum, serta mengkaji penyebab jika tujuan asuhan keperawatan belum tercapai (Asmadi, 2008). Tujuan evaluasi adalah untuk melihat kemampuan pasien dalam mencapai tujuan. Hal ini bisa dilaksanakan dengan mengadakan hubungan dengan pasien.

(26)

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan

Ketika seseorang mengalami kekerasan atau pelecehan secara seksual baik itu secara fisik maupun psikologis, maka kejadian tersebut dapat menimbulkan suatu trauma yang sangat mendalam dalam diri seseorang tersebut terutama pada anak-anak dan remaja.

Dan kejadian traumatis tersebut dapat mengakibatkan gangguan secara mental, yaitu Post Traumatic Stress Disorder (PTSD). Tingkatan gangguan stress pasca trauma berbeda-beda bergantung pada seberapa parah kejadian tersebut mempengaruhi kondisi psikologis dari korban.

Untuk menyembuhkan gangguan stress pasca trauma pada korban kekerasan atau pelecehan seksual diperlukan bantuan baik secara medis maupun psikologis, agar korban tidak merasa tertekan lagi dan bisa hidup secara normal kembali seperti sebelum kejadian trauma. Dan pendampingan itu sendiri juga harus dengan metode-metode yang benar sehingga dalam menjalani penyembuhan atau terapi korban tidak mengalami tekanan- tekanan baru yang diakibatkan dari proses pendampingan itu sendiri.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan diatas saran yang dapat kami buat yaitu untuk lebih memperdalam lagi tentang Asuhan Keperawatan pada Korban Pemerkosaan karena dalam makalah kami tentunya masih banyak kekurangannya.

(27)

DAFTAR PUSTAKA

Doenges, M. E., Moorhouse, M. F., & Murr, A. C. (2016). Rencana Asuhan Keperawatan:

Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta: EGC.

Anonim. 2008. Halusinasi . Dimuat dalam. http://harnawatiaj.wordpress.com/ [Diakses : 12 Oktober 2019]

Kusumawati dan Hartono . 2010 . Buku Ajar Keperawatan Jiwa . Jakarta : Salemba Medika Stuart dan Sundeen . 2005 . Buku Keperawatan Jiwa . Jakarta : EGC.

Hidayati, N. (2020). Pendekatan Holistik dalam Penanganan Korban Kekerasan Seksual. Jurnal Keperawatan Holistik, 14(2), 123-134.

Yosep , iyus. 2011. Kepera/watan Jiwa. Bandung : PT. Refika Aditama

Keliat Budi Ana. 1999. Proses  Keperawatan Kesehatan Jiwa edisi I. Jakarta : EGC

Nita Fitria. 2009. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan untuk 7 Diagnosis Keperawatan Jiwa Berat. Jakarta:

Salemba Medika.

Nurhayati, S. (2019). Peran Perawat dalam Pemulihan Psikologis Korban Kekerasan Seksual.

Jurnal Keperawatan Indonesia, 12(3), 145-152

Rasmun,(2001). Keperawatan Kesehatan Mental Psikiatri Terintegrasi Dengan KeluargaKonsep, Teori, Asuhan Keperawatan dan Analisa Proses Interaksi (API).

Jakarta : fajar Interpratama.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian terlihat bahwa banyak item tindakan dalam pemberian asuhan keperawatan pada pasien korban pasung dilakukan perawat dengan baik seperti

Berdasarkan hasil penelitian terlihat bahwa banyak item tindakan dalam pemberian asuhan keperawatan pada pasien korban pasung dilakukan perawat dengan baik seperti

Makalah ini membahas tentang asuhan keperawatan lansia yang mengalami gangguan psikologis

Dokumen ini berisi tentang Asuhan Keperawatan Keluarga untuk anak dan remaja yang disusun oleh mahasiswa Keperawatan Universitas Negeri

Makalah ini membahas tentang pendekatan fisik, tujuan, dan fokus asuhan keperawatan

Laporan ini berisi konsep dasar, teori, dan asuhan keperawatan terkait gastroenteritis

Makalah ini membahas tentang Asuhan Keperawatan Teoritis Unstable Angina Pectoris

Makalah tentang asuhan keperawatan untuk anak dengan Down Syndrome dari Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan