• Tidak ada hasil yang ditemukan

Makalah Khitbah/Peminangan Dalam Al-Islam dan Kemuhammadiyahan

N/A
N/A
raka guncang mulia

Academic year: 2024

Membagikan "Makalah Khitbah/Peminangan Dalam Al-Islam dan Kemuhammadiyahan"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

AL-ISLAM DAN KEMUHAMMADIYAHAN

KHITBAH/PEMINANGAN

Dibuat Oleh:

Raka Guncang Mulia NIM. 22250021

Dosen Pengampu:

Dody Wisono, M.Pd.

Program Studi Teknik Lingkungan Fakultas Teknik dan Konservasi Universitas Muhammadiyah Berau

2024

(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah SWT. Atas rahmat dan hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul "Khitbsh" dengan tepat waktu.

Makalah disusun untuk memenuhi tugas Mata Pelajaran Al-Islam dan Kemuhammadiyahan (AIK). Selain itu, makalah ini bertujuan menambah wawasan tentang khitbah/peminangan bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada pak Dody Wisono, M.Pd. selaku dosen Mata kuliah AIK. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada semua pihak yang telah membantu diselesaikannya makalah ini.

Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, saran dan kritik yang membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Berau, 4 Juni 2024

Penulis

(3)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...iii

DAFTAR ISI...iv

BAB 1. PENDAHULUAN...5

1.1 Latar Belakang...5

1.2 Rumusan Masalah...6

BAB 2. PEMBAHASAN...7

2.1 Pengertian Khitbah...7

2.2 Hukum peminangan...8

2.3 Hikmah peminangan...11

2.4 Syarat orang yang boleh dipinang...12

2.5 Syarat Melakukan Khitbah...12

BAB 3. PENUTUP...14

3.1 Kesimpulan...14

3.2 Saran...14

DAFTAR PUSTAKA...16

(4)

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perkawinan merupakan salah satu sunnah yang diperintahkan oleh Nabi kita Muhammad SAW, sebagaimana dalam sabdanya yang diriwayatkan oleh muttafaqun‘alaih yang berasal dari Abdullah Ibn Mas’ud: “Wahai para pemuda, siapa diantaramu telah mempunyai untuk kawin, maka kawinlah; karena perkawinan itu lebih menghalangi penglihatan (dari maksiat) dan lebih menjaga kehormatan (dari kerusakan seksual). Siapa yang belum mampu hendaklah berpuasa; karena puasa itu baginya akan mengekang syahwat”.

Dalam pandangan Islam perkawinan itu bukanlah hanya urusan perdata semata, bukan pula sekedar urusan keluarga dan masalah budaya, tetapi masalah dan urusan agama, oleh karena itu perkawinan dilakukan untuk memenuhi sunnah Allah dan sunnah Nabi dan dilaksanakan sesuai dengan petunjuk Allah dan petunjuk Nabi. Di samping itu, perkawinan juga bukan untuk mendapatkan ketenangan hidup sesaat, tetapi untuk selama hidup. Oleh karena itu seseorang mesti menentukan pilihan pasangan hidupnya itu secara hati-hati dan dilihat dari berbagai segi.

Ada beberapa motivasi yang mendorong seorang laki-laki memilih seorang perempuan untuk pasangan hidupnya dan demikian pula dorongan seorang perempuan memilih laki-laki menjadi pasangan hidupnya. Yang pokok diantaranya adalah karena kecantikan dan kegagahan, karena kekayaannya, karena kebangsaannya dan karena agamanya. Islam tidak mengajarkan hidup membujang yang banyak diyakini para rahib.

Nikah disyariatkan Allah seumur dengan perjalanan hidup manusia, sejak nabi Adam dan Hawa di surga, pernikahan adalah ajran pertama dalam islam. Setelah di tentukan pilihan pasangan yang akan di nikahi sesuai dengan kriteria yang di tentukan, Langkah selanjutnya adalah penyampaian kehendak untuk menikahi pilihan yang telah ditentukan.Penyampaian kehendak untuk di nikahi seseorang itu di namai KHITBAH atau dalam bahasa indonesianya di namakan

“Peminangan”.

(5)

1.2 Rumusan Masalah 1. Pengertian Khitbah 2. Hukum peminangan 3. Hikmah peminangan

4. Syarat orang yang boleh dipinang

(6)

BAB 2. PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Khitbah

Menurut bahasa Khitbah berasal dari kata khathaba, Yakhthubu, wa khitbatan, artinya yaitu peminangan. Sedangkan khitbah menurut istilah ialah sebuah permintaan dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan yang akan dinikahinya, kemudian laki-laki tersebut datang ke pihak perempuan yang akan dinikahinya atau kepada keluarganya untuk menjelaskan tentang keadaan dirinya, serta berbicara tentang pernikahan yang akan dilangsungkan dengan segala kebutuhan untuk pernikahan dan kebutuhan masing-masing. Fuqaha setuju bahwa khitbah tersebut merupakan janji untuk menikah, khitbah tidak dilihat sebagai suatu aqad dalam pernikahan dan khitbah tidak memiliki konsekuensi hukum akad perkawinan.

Kata “peminangan” berasal dari kata “pinang, meminang” (kata kerja).

Meminang sinonimnya adalah melamar, yang dalam bahasa arab disebut

“khitbah”. Menurut etimologi, meminang atau melamar artinya “meminta wanita untuk dijadikan istri (bagi diri nya sendiri atau orang lain)”. Menurut terminologi, peminangan ialah “kegiatan upaya ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita”. Atau, “seorang laki-laki meminta kepada seorang perempuan untuk menjadi istrinya, dengan cara-cara yang umum berlaku di tengah tengah masyarakat”.

Peminangan merupakan pendahuluan perkawinan, disyar’iatkan sebelum ada ikatan suami istri dengan tujuan agar waktu memasuki perkawinan didasarkan kepada penelitian dan pengetahuan serta kesadaran masing-masing pihak. Jika seorang laki-laki telah mantab dalam memilih kebaikanya, rela dengan perempuan yang dipiihnya dengan sifat-sifatnya, dan mengetahui kehidupanya serta menaggung kebahagiaan baginya, dan mencapai keinginanya, maka mengkitbahlah laki-laki tersebut terhadap wanita yang diinginkanya.

Khitbah (meminang) merupakan pernyataan yang jelas atas keingginan menikah, ia adalah langkah-langkah menuju pernikahan meskipun khitbah tidak berurutan dengan mengikuti ketetapan, yang merupakan dasar dalam jalan

(7)

penetapan, dan oleh karena itu seharusnya dijelaskan dengan keinginan yang benar dan kerelaan penglihatan.

Dalam hadis disebutkan:

“dari jabbir bin abdulloh berkata; “Rasululloh brsabda: jika seseorang meminang peremuan, maka jika mamu hendaknya ia melihatnya sehingga ia menginginkan untuk menikahinya maka lakukanlah sehingga engkau melihatnya sesuatu yang menarik untuk menikahinya maka nikahilah.”

Adapun perempuan yang boleh dipiinang adalah yang memenuhi syarat sebagai berikut:

a. Tidak dalam pinangan orang lain.

b. Pada waktu dipinang tidak ada penghalang syar’i yang melarang dilangsungkannya pernikahan.

c. Perempuan itu tidak dalam masa iddah karena talak raj’i.

d. Apabila perempuan dalam masa iddah karena talak ba’in, hendaklah 2.2 Hukum peminangan

لللو لحالنُج

ْمُكْيلللع المْيِف

ْمُت ْضّرلع

ْنِم ٖهِب

ِةلبْطِخ

ِءۤالسّنلا

ْمُتْنلنْكلا ْولا

ْٓيِف

ْۗمُكِسُفْنلا لمِللع

ُ ااا

ْمُكّنلا

ّنُهلن ْوُرُكْذلتلس

ْنِكاللو

ّنُه ْوُدِعالوُت ّل اًارِس

ّلِا ا ْوُل ْوُقلت ْنلا

ًل ْولق اًف ْوُرْعّم لللو ۗە

ا ْوُمِزْعلت لةلدْقُع

ِحالكّنلا ىااتلح

لغُلْبلي

ُباتِكْلا

ۗٗهلللجلا ا ْٓوُمللْعالو ل ااا ّنلا

ُمللْعلي

ْٓيِف الم

ْمُكِسُفْنلا

ُۚهْوُرلذْحالف ا ْٓوُمللْعالو

ل ااا ّنلا

ٌر ْوُفلغ

ٌࣖمْيِللح

۝٢٣٥

Artinya :

Dan tidak ada dosa bagimu atas kata sindiran untuk meminang perempuan- perempuan atau (keinginan menikah) yang kamu sembunyikan dalam hati. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka. Akan tetapi, janganlah kamu berjanji secara diam-diam untuk (menikahi) mereka, kecuali sekadar mengucapkan kata-kata yang patut (sindiran). Jangan pulalah kamu menetapkan akad nikah sebelum berakhirnya masa idah. Ketahuilah bahwa Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu. Maka, takutlah kepada-Nya. Ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun (Q.S. Al-Baqarah : 235).

(8)

Ayat ini menjelaskan apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh laki- laki terhadap perempuan yang masih dalam masa idah. Dan tidak ada dosa bagimu, wahai kaum laki-laki, meminang perempuan-perempuan itu yang masih dalam masa idah, baik idah cerai mati maupun karena ditalak tiga, selain yang ditalak raj'i (satu atau dua), dengan sindiran, seperti ucapan, "Aku suka dengan perempuan yang lembut dan memiliki sifat keibuan", atau kamu sembunyikan keinginanmu dalam hati untuk melamar dan menikahinya jika sudah habis masa idahnya. Demikian ini karena Allah mengetahui bahwa kamu tidak sabar sebagai lelaki akan menyebut-nyebut keinginanmu untuk melamar dan menikahinya kepada mereka, yakni perempuan-perempuan tersebut setelah habis idahnya.

Tetapi janganlah kamu, wahai laki-laki, membuat perjanjian, baik secara langsung maupun tidak langsung namun terkesan memberi harapan untuk menikah dengan mereka, yakni perempuan-perempuan yang masih dalam masa idah, secara rahasia, yakni hanya diketahui berdua, kecuali sekadar mengucapkan kata-kata sindiran yang baik. Dan janganlah kamu, wahai para lelaki, menetapkan akad nikah kepada perempuan yang ditinggal mati suaminya atau ditalak tiga sebelum habis masa idahnya, sebab akad nikahmu akan dianggap batal. Ketahuilah bahwa Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu, yakni ketertarikanmu kepada perempuan itu untuk segera menikahinya, maka takutlah kepada-Nya, dari melanggar hukum-hukum-Nya. Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun atas kesalahan akibat kelemahan dirimu, Maha Penyantun dengan memberimu kesempatan bertobat.

Hukum meminang itu ada dua yaitu:

a. Jaiz (diperbolehkan), yaitu apabila wanita yang akan di khitbah tidak dalam pinangan orang lain dan wanita itu tidak dalam masa iddah.

b. Haram (dilarang) yaitu apabila wanita itu sudah bersuami, apabila wanita itu sudah dahulu dipinang oleh laki-laki lain, dan apabila wanita itu dalam masa iddah talak raj’I, talak bain ataupun iddah, karena ditinggal suaminya meninggal.

Pertama, Hukum Meminang pinangan orang lain. Hadist dalam hal melamar pinangan orang lain pada dasarnya dilarang. Jika seseorang tetap juga akan

(9)

meminang wanita yang dipinang orang tersebut, kemudian akan dinikahinya, itu berarti dia telah melakukan perbuatan dosa. Dengan demikian tentang pernikahan yang dilakukan setelah melewati peminangan yang dilarang itu, telah di temukan dari beberapa pendapat ulama. Menurut jumhur ulama nikah tersebut boleh dan dianggap tetap sah, atau tidak fasakh, akan tetapi orang itu telah melakukan perbuatan dosa. Hal ini berasalan karena yang dilarang itu hanyalah meminang, sedangkan meminang itu tidak termasuk ke dalam syarat atau rukun dalam pernikahan, oleh sebab itu nikah tetap sah karena disebabkan terjadinya peminangan yang salah. Sedangkan menurut Daud al-Zhahiri yang berbeda pendapat, bahwa nikah yang sudah disebutkan itu ialah fasakh, baik sudah di hubungan suami isteri atau belum.

Daud al-Zhahiri bahwa larangan melamar pinangan orang lain yang bertujuan untuk menuju ke pernikahan, bukan pada hal pinangan itu saja. Itu sebabnya dilarang melamar pinangan yang sudah dipinang orang lain. Dengan demikian jika tidak patuh pada larangan tersebut dapa menjadikan perkawinan fasid dan wajib fasakh, baik setelah terjadi hubungan suami isteri ataupun belum.

Maliki telah menemukan tiga qaul, yaitu yang pertama pendapat dari jumhur, kedua pendapat Zhahiriah, ketiga pendapat Malik sendiri, yaitu sebelum terjadinya pergaulan suami istri, nikah itu dianggap fasakh, tetapi jika telah terjadi hubungan suami isteri, tidak fasakh. Dengan Demikian semua pendapat yang jelaskan oleh ulama-ulama di atas sangat argumentative.

Daud Zhahiri, menjelaskan bahwa larangan melamar pinangan orang lain yang ada di dalam hadis ini berarti sebuah larangan menikahi pinangan yang sudah dipinang. Jadi larangan tersebut tidak berhenti dan bukan hanya sebatas larangan peminangan, tetapi lebih dari itu ialah sebuah larangan untuk menikah dengan pinangan orang lain. Dan ini terlihat lebih sesuai dengan dengan tujuan dan maksud dari dilarangnya meminang pinangan orang lain yang sudah ditetapkan oleh hadis-hadis.

Kedua, haram melamar seseorang wanita dalam masa iddah. Melamar wanita dalam masa iddah di itu haramkan, telah dijelaskan dalam Qs. Al Baqarah : 235 yang diungkapkan secara terang terangan. Diperbolehkan bagi laki-laki yang akan

(10)

meminang wanita yang ingin dinikahinya tetapu masih dalam masa iddah, maka dari untuk mengungkapkan hal tersebut sebagai contoh mengatakan : “saya suka dengan wanita sepertimu, atau jangan kau melupakanku” ungkapan diatas menjelaskan bahwa adanya larangan untuk meminang wanita yang masih dalam masa iddah, seperti dengan mengatakan “saya ingin menikahimu” . Karena Ungkapan tersebut diungkapkan secara berterus terang dan tidak membawa arti lain kecuali menikah. Hal tersebut tidak menjamin seorang waita yang akan dinikahinya memberitahukan bahwa masa iddahnya telah habis sebelum waktunya tiba.

Akan tetapi kebanyakan ulama telah menyebutkan bahwa tunangan itu hukumnya mubah, karena tuningan itu ibarat janji dari kedua pihak untuk menuju ke pernikahan. Ada juga sebagian ulama menyebutkan bahwa peminangan hukumnya sunnah alasannya yaitu dengan akad nikah atau akad yang luar biasa bukan sepeti akad-akad yang lain, maka dari itu sebelumnya telah disunnahkan bahwa khitbah sebagai proses persiapan untuk menuju ke jenjang pernikahan menjadi keluarga yang harmonis dan bahagia.

2.3 Hikmah peminangan

Sebagai wadah perkenalan antara dua belah pihak yang akan melaksanakan pernikahan. Dalam hal ini, mereka akan saling mengetahui tata etika calon pasangannya masing-masing, kecendrungan bertindak maupun berbuat ataupun lingkungan sekitar yang mempengaruhinya. Walaupun demikian, semua hal itu harus dilakukan dalam koridor syariah. Hal demikian diperbuat agar kedua belah pihak dapat saling menerima dengan ketentraman, ketenangan, dan keserasian serta cinta sehingga timbul sikap saling menjaga, merawat dan melindungi.

Sebagai penguat ikatan perkawinan yang diadakan sesudah itu, karena dengan peminangan itu kedua belah pihak dapat saling mengenal. Bahwa Nabi SAW berkata kepada seseorang yang telah meminang perempuan:” melihatlah kepadanya karena yang demikian akan lebih menguatkan ikatan perkawinan”.

(11)

2.4 Syarat orang yang boleh dipinang

Pada dasarnya, seluruh orang yang boleh dinikahi merekalah yang boleh dipinang. Sebaliknya, mereka yang tidak boleh untuk dinikahi, tidakboleh pula untuk dipinang. Dalam hal ini, meminang seseorang yang akan dinikahi adalah mubāḥ (boleh) dengan ketentuan sebagai berikut:

a. Perempuan yang dipinang tidak terikat oleh akad perkawinan.

b. Perempuan yang dipinang tidak berada dalam masa iddah ṭalāq raj’i.

c. Perempuan yang dipinang bukan pinangan orang lain.

2.5 Syarat Melakukan Khitbah a. Syarat Mustahsinah (lebih baik)

Syarat mustahsinah adalah syarat yang berupa anjuran kepada seorang laki- laki yang akan melamar seorang perempuan agar ia meneliti lebih dahulu perempuan yang akan dilamarnya itu. Sehingga, dapat menjamin kelangsungan hidup berumah tangga kelak. Syarat mustahsinah ini bukanlah syarat yang wajib dipenuhi, tetapi hanya berupa anjuran dan kebiasaan yang baik. Yang termasuk syarat mustahsinah itu adalah:

1. Perempuan yang akan dilamar hendaklah sejodoh dengan laki-laki yang meminangnya, seperti sama kedudukannya, sama-sama baik rupanya, sama dalam tingkat sosial ekonominya, dan sebagainya.

2. Perempuan yang akan dilamar hendaknya perempuan yang mempuanyi sifat kasih sayang dan mampu memberikan keturunan sesuai dengan anjuran Rasulullah saw.

3. Perempuan yang akan dilamar hendaknya perempuan yang jauh hubungan darah dengan laki-laki yang akan melamarnya. Islam melarang laki-laki menikahi seorang perempuan yang sangat dekat hubungan darahnya.

4. Hendaknya laki-laki mengetahui keadaan-keadaan jasmani, budi pekerti, dan sebagainya dari perempuan yang akan dilamar.

b. Syarat Lazimah

(12)

Syarat lazimah adalah syarat yang wajib dipenuhi sebelum proses melamar atau khitbah dilakukan. Sahnya lamaran bergantung kepada adanya syarat-syarat lazimah. Syarat lazimah tersebut adalah:

1. Perempuan yang akan dilamar tidak sedang dilamar laki-laki lain. Apabila 2. sedang dilamar laki-laki lain, maka laki-laki tersebut telah melepaskan hak

pinangnya sehingga perempuan dalam keadaan bebas.

3. Perempuan yang akan dilamar tidak dalam masa iddah. Masa iddah adalah masa menunggu bagi seorang perempuan yang ditalak suaminya. Haram hukumnya melamar peempuan yang sedang dalam masa iddah talak raji’i.

4. Perempuan yang akan dilamar hendaklah yang boleh dinikahi. Artinya, perempuan tersebut bukan mahrom bagi laki-laki yang akan melamarnya.

(13)

BAB 3. PENUTUP

3.1 Kesimpulan

1. Khitbah adalah sebuah permintaan dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan yang akan dinikahinya, kemudian laki-laki tersebut datang ke pihak perempuan yang akan dinikahinya atau kepada keluarganya untuk menjelaskan tentang keadaan dirinya, serta berbicara tentang pernikahan yang akan dilangsungkan dengan segala kebutuhan untuk pernikahan dan kebutuhan masing-masing.

2. Hukum peminangan itu ada 2, yaitu jaiz (diperbolehkan) dan haram (dilarang). Diperbolehkan apabila wanita yang akan di khitbah tidak dalam pinangan orang lain dan wanita itu tidak dalam masa iddah sedangkan dilarang apabila wanita itu sudah bersuami, apabila wanita itu sudah dahulu dipinang oleh laki-laki lain, dan apabila wanita itu dalam masa iddah talak raj’I, talak bain ataupun iddah, karena ditinggal suaminya meninggal.

3. Hikmah khitbah ialah sebagai wadah perkenalan antara dua belah pihak yang akan melaksanakan pernikahan.

4. Syarat wanita yang boleh dipinang adalah perempuan yang dipinang tidak terikat oleh akad perkawinan, tidak berada dalam masa iddah ṭalāq raj’i, dan Perempuan yang dipinang bukan pinangan orang lain.

3.2 Saran

Peminangan atau khitbah adalah langkah awal dalam melakukan pernikahan.

Karena dengan peminangan dapat mengetahui kriteria atau masalah pribadi dari wanita yang akan dipinangnya, supaya masing-masing pihak dalam melakukan pernikahan tidak ada lagi masalah atau ragu-ragu di dalam pernikahan. Bagi seorang laki-laki dan wanita yang sedang dalam masa khitbah hendaklah memaksimalakan masa tersebut untuk mencari informasi yang diperlukan dari setiap pasangan sehingga tidak akan berakibat pada kekecewaan atau kerugian yang ditimbulkannya. Dan diharapkan saling terbuka dalam memebrikan informasi serta tidak saling membohongi karena kebohongan merupakan sesuatu

(14)

yang haram untuk dilakukan dan termasuk dosa besar untuk sebagian orang tertentu, adzab yang pedih dari Allah akan menimpa pada orang yang suka berbohong. Oleh sebab itu sebaiknya setiap pasangan yang masih dalam masa khitbah agar lebih berhati-hati dalam meneliti calon pasangannya dan tidak tergesa-gesa dalam mengambil keputusan karena kebohongan dalam khitbah tidak mempengaruhi keabsahan pernikahan yang telah terjadi.

(15)

DAFTAR PUSTAKA

A. Darussalam. “Peminangan Dalam Islam (Perspektif Hadis Nabi Saw.” Jurnal TAHDIS 9, no. 2 (2018): 163–64.

Abdul Rosyad Shiddiq. Kado Pernikahan. Jakarta Timur: PUSTAKA AL- KAUSAR, 25-26.

Beni Ahmad Saebani. Fiqih Munakahat. Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2013.

Ismail. “Khitbah Menurut Perspektif Hukum Islam.” jurnal Al-Hurriyah, 10, no. 2 (2009): 64.

M. Dahlan R. Fikih Munakahat. Yogyakarta: CV BUDI UTAMA, 2012.

Muhammad Ali, Fiqih Munakahat, Metro-Lampung, Laduny Alifatama, Cetakan Ke III, 2020.

Mukhamad Sukur. “Perbandingan Hukum Terhadap Status Barang Akibat Pembatalan Khitbah Secara Sepihak Menurut Empat Madzhab.” jurnal AHKAM 6, no. 1 (2018): 109–10.

Sudarto. Fikih Munakahat. Jawa timur: Qiara Media partner, 2018.

Saebani, B. A. (2008). Perkawinan dalam hukum Islam dan undang-undang:

Perspektif fiqh munakahat dan UU no. 1/1974 tentang poligami dan problematikanya.

Referensi

Dokumen terkait

Substansi dari penelitian ini adalah membahas tentang bagaimana persepsi masyarakaat dan 

Melaksanakan dan menjunjung tinggi Agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.. Menegakkan dan menjunjung tinggi Agama Islam sehingga terwujud

Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Muhammadiyah Tanjung Redeb Posisi Agama Islam di Antara Agama-Agama di Dunia.. Makalah Metodologi

Makalah Pokok-pokok Ajaran

Muhammadiyah, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah 7 Ujian Tengah Semester UTS 8 Kel 3 Pemahaman agama dalam Muhammadiyah  Masailul khamsah  Pengertian agama  Karakter pemahaman

Makalah ini membahas dinamika tasawuf dalam konteks ajaran

Makalah ini membahas konsep ketuhanan dalam agama Islam berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits, menyoroti ajaran mendasar tentang sifat-sifat Tuhan dan hubungan-Nya dengan

Makalah membahas tentang hubungan agama Islam dengan