SISTEM PENILAIAN HASIL BELAJAR DI SEKOLAH PENYELENGGARA PENDIDIKAN INKLUSIF DI KALIMANTAN SELATAN
Imam Yuwono ([email protected]) ABSTRAK
Permasalahan implementasi penilaian hasil belajar dalam seting pendidikan inklusif di sekolah reguler. Dengan adanya anak berkebutuhan khusus yang bersekolah/belajar bersama anak- anak pada umumnya di sekolah reguler membawa implikasi pada perubahan layanan pendidikan mulai dari perencanaan pembelajaran, kegiatan pembelajaran dan penilaian hasil belajar yang berorientasi pada kebutuhan semua anak.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dan strategi atau desain penelitiannya yaitu studi kasus. Kasus dalam penelitian ini adalah sekolah, yaitu Sekolah Uji Coba Implementasi Pendidikan Inklusif SDN X di Kalimantan Selatan melaksanakan penilaian hasil belajar dalam seting pendidikan inklusif. Teknik pengumpulan data penelitian dengan menggunakan wawancara dan studi dokumentasi.
Hasil temuan dari penelitian ini adalah : Pertama Pemahaman konsep penilaian hasil belajar dalam seting pendidikan inklusif yaitu membedakan cara menilai hasil belajar siswa pada umumnya dengan siswa berkebutuhan khusus. Perbedaan-perbedaan tersebut seperti dalam menentukan ketuntasan belajar (mastery learning) atau batas lulus (passing grade), bobot atau kedalaman materi yang dinilai, teknik/cara/strategi dan instrumen/perangkat penilaian serta sistem laporan penilaian hasil belajar. Kedua Cara melaksanakan penilaian hasil belajar dalam seting pendidikan inklusif dimulai dari perencanaan penilaian hasil belajar, pelaksanaan penilaian hasil belajar dan sistem pelaporan penilaian hasil belajar yang perlu disesuaikan dengan kebutuhan khusus anak. Ketiga Tantangan yang dihadapi di sekolah.uji coba implementasi pendidikan inklusif SDN X di Kalimantan Selatan yaitu para guru masih kurang memahami konsep penilaian hasil belajar dalam seting pendidikan inklusif, merasa kesulitan untuk menilai hasil belajar siswa berkebutuhan khusus, dan merasa beban tugasnya bertambah dengan adanya anak berkebutuhan khusus. Keempat Upaya- upaya yang dilakukan guru-guru di sekolah uji coba implementasi pendidikan inklusif dalam mengantisipasi tantangan yang dihadapinya yaitu membaca buku referensi dan pedoman yang berkenaan dengan penilaian hasil belajar dalam seting pendidikan inklusif. Mengadakan tambahan waktu seperti les privat, diskusi dengan teman seprofesi, banyak bertanya atau konsultasi ke Guru Pembimbing Khusus, konsultasi kepada Dinas Pendidikan dan Nara Sumber, mengadakan diskusi intern untuk menyamakan persepsi mengenai penilaian hasil belajar dalam seting pendidikan inklusif, mengadakan sosialisasi kepada orang tua siswa dan koordinasi dengan pihak terkait lainnya.
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL……….
LEMBAR PENGESAHAN ………. . … ABSTRAK ……… ….
DAFTAR ISI ………
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ………
B. Fokus dan Pertanyaan Penelitian ………..
C. Konsep Dasar ………
D. Tujuan Penelitian ………..
E. Manfaat Penelitian ………
F. Pendekatan Penelitian ………..
G. Lokasi Penelitian ………..
BAB II. PENILAIAN HASIL BELAJAR DALAM SETING PENDIDIKAN INKLUSIF
A. Pendidikan Inklusif ………..
B. Anak Berkebutuhan Khusus ………
C. Kegiatan Pembelajaran dalam Seting Pendidikan Inklusif..………..
D. Penilaian Hasil Belajar dalam Seting Pendidikan Inklusif .. ………
E. Hasil-Hasil Penelitian yang Relevan ………..………..
BAB III METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian ………
B. Strategi/Desain Penelitian . …….………..
C. Lokasi dan Informan Penelitian ………
D. Prosedur Pelaksanaan Penelitian.………..
E. Teknik Pengumpulan Data Penelitian ..………
F. Teknik Analisis Data Penelitian .………..
G. Pengembangan Instrumen Penelitian ..………..
BAB. IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian Penelitian ………
1. Deskripsi Data ………..
2. Analisis Data ………
B. Pembahasan Penelitian ………
1. Pemahaman Guru tentang Konsep Penilaian Hasil Belajar dalam Seting Pendidikan Inklusif ………..
2. Cara melaksanakan Penilaian Hasil Belajar di Sekolah Uji Coba
Implementasi Pendidikan Inklusif SDN X di Kota Sukabumi ………... ….
3. Tantangan yang Dihadapi Sekolah dalam Penilaian Hasil Belajar. ……….
4. Upaya yang Dilakukan untuk Mengantisipasi Tantangan yang Dihadapi
i iii
4 5
7 9 10 14 15 16 17
21 24 26 42 51
51 53 54 56 59 61 61
62 62 70 112
119 122 129 130
Sekolah ……….
BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI
A. Kesimpulan ………… ………
B. Implikasi……….. ………..
C. Rekomendasi .………
DAFTAR PUSTAKA ……….………
133 135 138 152
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Mulai awal tahun 90-an terjadi perubahan mendasar dalam dunia pendidikan luar biasa (pendidikan khusus) di Indonesia. Perubahan tersebut yaitu lahirnya paradigma pendidikan inklusif yang sarat dengan muatan kemanusiaan dan penegakan hak-hak azazi manusia. Inti (core) dalam paradigma pendidikan inklusif yaitu sistem pemberian layanan pendidikan dalam keberagamaan, dan falsafahnya yaitu menghargai perbedaan semua anak. Seperti dikatakan Skjorten (2003:31) bahwa “Konsekuensi yang paling penting dari perubahan-perubahan ini adalah pengakuan dan penghargaan akan adanya keberagaman.”
Pada tataran operasional layanan pendidikannya menggeser pola segregasi (Sekolah Luar Biasa) menuju pola inklusi (Sekolah Reguler). Pendidikan inklusif membawa perubahan mendasar yaitu adanya pergeseran pemikiran dari pendidikan khusus (special education) bergeser ke pendidikan kebutuhan khusus (special needs education), hal ini berarti telah terjadi perubahan dalam kesadaran dan sikap para perencana dan praktisi pendidikan, keadaan, metodologi, penggunaan konsep-konsep terkait dan sebagainya. Meskipun pengenalan itu dilakukan melalui pendidikan luar biasa (PLB), pada dasarnya gagasan perubahan yang dibawanya jauh lebih luas dari hanya pada PLB. Sesuai dengan namanya, pendidikan inklusif adalah sebuah konsep atau pendekatan pendidikan yang berusaha menjangkau semua orang tanpa kecuali.
Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan melalui Dinas Pendidikan, sangat antusias dalam merespon perubahan paradigma ini. Dinas Pendidikan Provinsi Kalimantan Selatan berupaya untuk mencoba mensosialisasikan pendidikan inklusif, mengadakan round table discussion, workshop, rapat kerja, pendidikan dan pelatihan serta rapat koordinasi dengan pihak- pihak terkait. Pada awalnya ide tentang pendidikan inklusif di sekolah reguler dianggap menakutkan untuk dimulai oleh beberapa pihak. Ada pihak yang menganggap ide itu terlalu mengada-ada, dan ada pula yang mengatakan pendidikan inklusif hanyalah mimpi belaka atau
“inklusi adalah illusi”. Di antara yang pro dan kontra terhadap pendidikan inklusif, Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan tetap konsisten untuk memulai mengadakan uji coba, karena
Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan menganggap pendidikan inklusif merupakan salah satu alternatif dalam akselerasi peningkatan kesejahteraan masyarakat Kalimantan Selatan dalam rangka mendukung pencapaian visi Kalimantan Selatan tahun 2012, khususnya dalam upaya pemerataan pendidikan.
Upaya pemerataan pendidikan di Provinsi Kalimantan Selatan mempunyai arti yang sangat strategis untuk mencerdaskan bangsa dan selaras dengan pesan dari Pendidikan Untuk Semua (PUS). Pendidikan inklusif merupakan pilihan yang sesuai dengan prinsip pendidikan untuk semua. Pendidikan Inklusif merupakan program unggulan. Salah satu strategi yang ditempuh dalam mengimplementasikan Pendidikan Inklusif di Provinsi Kalimantan Selatan yaitu dengan melaksanakan Uji Coba Implementasi Pendidikan Inklusif di beberapa Sekolah Dasar dan sekolah menengah. Dengan Pendidikan Inklusif diharapkan dapat menjadi salah satu upaya untuk meningkatkan partisipasi anak bersekolah (pemerataan kesempatan pendidikan) dan dalam waktu yang bersamaan dapat meningkatkan mutu pendidikan.
Implementasi pendidikan inklusif di Provinsi Kalimantan Selatan berimplikasi atau mengandung konsekuensi logis terhadap penyelenggaraan pendidikan di sekolah reguler, antara lain sekolah harus lebih terbuka, ramah terhadap anak, dan tidak diskriminatif. Sekolah Dasar (SD) yang dijadikan uji coba harus memulai mengimplementasikan pendidikan inklusif. Ada kesan tergesa-gesa memang dalam menggulirkan uji coba ini, para perencana pendidikan di kabupaten dan kota serta para praktisi di lapangan dibekali dengan pemahaman konsep pendidikan inklusif yang diselenggarakan relatif singkat. Kemudian dibentuk Tim Pendidikan Inklusif Kabupaten/Kota, hanya sayangnya tim itu sendiri tidak semuanya paham tentang pendidikan inklusif, sehingga andilnya dalam pengelolaan dan pemberi dukungan (support) ke sekolah uji coba tidak optimal. Akan tetapi di sisi lain ada hal yang membanggakan yaitu sebagian SD uji coba jauh sebelum digulirkannya uji coba, secara natural telah menerima anak berkebutuhan khusus di sekolahnya. Jadi dengan adanya uji coba ini mereka bersikap biasa saja, tidak merasa terpaksa, malahan menjadi ajang pemicu untuk meningkatkan kinerja para gurunya dalam meningkatkan layanan pendidikan bagi semua anak termasuk anak berkebutuhan khusus.
Kehadiran anak berkebutuhan khusus di sekolah uji coba, berdampak pada penerimaan, sikap kepala sekolah, guru, tenaga administrasi, siswa, orang tua siswa dan masyarakat sekitar terhadap eksistensi anak berkebutuhan khusus. Dengan demikian kehadiran dan inklusifnya anak berkebutuhan khusus di sekolah dasar dalam tatanan proses belajar mengajar akan berdampak
pada proses perubahan kelas. Selain dihadapkan pada kelas klasikal guru juga diberikan tanggung jawab baru untuk mendidik, membina dan membimbing dan mengajarkan materi dengan keberagaman kebutuhan siswa (Hidayat : 2005).
Kegiatan pembelajaran dalam setting pendidikan inklusif harus berpusat kepada anak (child centered), anak harus aktif belajar (active learning). Maka seyogyanyalah kegiatan pembelajaran menjadi fokus utama untuk terus menerus ditingkatkan kualitasnya. Menurut Depdiknas, UNESCO, dan UNICEF (2003) bahwa kegiatan pembelajaran harus aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan. Kegiatan Pembelajaran yang Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan (PAKEM) merupakan suatu tuntutan atau keharusan untuk dilaksanakan dan sesuai dengan seting pendidikan inklusif.
Dalam seting pendidikan inklusif kegiatan pembelajaran harus aktif. Aktif dimaksudkan bahwa dalam kegiatan pembelajaran guru perlu menciptakan suasana sedemikian rupa sehingga siswa aktif bertanya, mempertanyakan, dan mengemukakan gagasan. Peran aktif dari siswa amat penting dalam rangka pembentukan generasi yang kreatif, yang mampu menghasilkan sesuatu untuk kepentingan dirinya dan orang lain. Kreatif juga dimaksudkan agar guru menciptakan kegiatan belajar yang beragam sehingga memenuhi berbagai tingkat kompetensi siswa dan kelainan siswa (anak-anak berkebutuhan khusus). Menyenangkan adalah suasana belajar- mengajar yang menyenangkan sehingga siswa memusatkan perhatiannya secara penuh pada belajar sehingga waktu curah perhatiannya tinggi. Keadaan aktif, kreatif dan menyenangkan tidaklah cukup jika proses pembelajarannya tidak efektif, yaitu tidak menghasilkan kompetensi yang harus dikuasi siswa setelah proses pembelajaran berlangsung. Pembelajaran memiliki sejumlah tujuan pembelajaran yang harus dicapai, yaitu tercapainya kompetensi-kompetensi itu sendiri. Jadi Efektif yaitu tercapainya tujuan pembelajaran atau tercapainya kompetensi- kompetensi yang dikuasai siswa. Bila pembelajaran hanya aktif dan menyenangkan tetapi tidak efektif, maka pembelajaran tersebut tak ubahnya seperti bermain biasa. (Depdiknas, UNESCO, UNICEF : 2003).
Tiap kegiatan belajar harus mempunyai suatu tujuan yang perlu dinilai dengan berbagai cara. Penilaian harus menjabarkan hasil belajar, yaitu memberikan gambaran mengenai keberhasilan siswa dalam mengembangkan serangkaian keterampilan (psikomotor), pengetahuan (kognitif), dan perilaku (afektif) selama pembelajaran, topik atau kurikulum yang fleksibel.
Untuk mengetahui ketercapaian kompetensi setiap siswa maka peranan penilaian sangat besar
artinya. Dalam seting pendidikan inklusif penilaian hasil belajar secara sistematis dan berkelanjutan bertujuan untuk menilai hasil belajar siswa di sekolah, mempertanggung jawabkan penyelenggaraan pendidikan kepada masyarakat, dan mengetahui mutu pendidikan pada sekolah. Penilaian yang berkelanjutan berarti melakukan pengamatan secara terus menerus tentang sesuatu yang diketahui, dipahami, dan dapat dikerjakan oleh peserta didik. Observasi ini dapat dilakukan beberapa kali dalam setahun, misalnya awal tahun, pertengahan tahun dan akhir tahun. Penilaian yang berkelanjutan bisa juga dilakukan melalui: observasi, portofolio, bentuk ceklis (keterampilan, pengetahuan, dan perilaku), tes dan kuis, dan penilaian diri serta jurnal reflektif. (Direktorat PLB, Braillo Norway dan UNESCO: 2004).
Tujuan pembelajaran di “kelas inklusi” beragam karena semua siswa itu unik. Siswa memiliki pengalaman, keterampilan, pengetahuan dan sikap yang berbeda. Semua siswa memberikan kontribusinya, membawa masukan dan memberi warna tersendiri dalam kegiatan pembelajaran. Hal ini harus dijadikan bahan pertimbangan oleh para guru dalam menyusun tujuan pembelajaran untuik semua siswa. Tujuan pembelajaran tersebut harus benar-benar bermakna dan bermanfaat bagi siswa dalam kehidupan sehari-harinya. Kaitannya dengan tujuan pembelajaran, Suderajat (2003), mengemukakan sebagai berikut : Dalam rumusan tujuan pembelajaran kecakapan hidup atau life skill dapat didefinisikan sebagai suatu kecakapan mengaplikasikan kemampuan dasar keilmuan atau kemampuan dasar kejuruan dalam kehidupannya sehari-hari, sehingga bermakna dan bermanfaat bagi taraf kehidupannya serta harkat dan martabatnya serta memberikan manfaat bagi masyarakat dan lingkungannya.
Kecakapan hidup sebagai hasil belajar terdiri atas kecakapan hidup yang bersifat umum (general life skill) dan kecakapan hidup yang bersifat khusus (specific life skill). Hasil belajar siswa yang mencerminkan penguasaan tiga potensi yaitu nilai dan sikap (afektif), potensi intelektual (kognitif) dan potensi fisik manual atau potensi indrawi (motorik atau psikomotorik) sebenarnya bukan hanya berupa hafalan tentang materi pengetahuan, melainkan kompetensi dasar keilmuan dan atau kejuruan berbasis nilai agama yang bermanfaat dalam kehidupannya, yang dapat dikembangkannya sendiri di kemudian hari dalam masyarakat masa depan yaitu masyarakat belajar (learning society).
Seorang siswa belajar mengaktualisasikan potensi indrawinya melalui proses melihat, proses mendengar, proses penciuman, proses merasakan dengan mulut dan lidah, proses mengukur dengan tangan, proses berjalan dengan kaki, proses berbicara atau komunikasi, dan
setelah itu barulah ia belajar untuk menguasai dan memiliki konsep keilmuan dalam arti kecakapan akademik serta menguasai dan memiliki nilai agama dalam arti kecakapan mengendalikan diri atau kecakapan personal dan sosial. Implikasinya bahwa dalam kegiatan pembelajaran hendaknya menggunakan berbagai metoda sehingga mendorong penggunaan berbagai macam sarana dan bahan pembelajaran atau multi media. Intinya bahwa kegiatan pembelajaran harus aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan. Faktor guru besar sekali untuk menciptakan hal ini. Guru harus dapat menciptakan lingkungan belajar yang menarik dan menyenangkan bagi semua siswa tanpa memandang usia, karakteristik, jenis kelamin, kemampuan atau latar belakangnya. Lingkungan belajar tersebut dapat meningkatkan keaktifan siswa dan keefektifan belajar. Kelas seharusnya merupakan tempat yang menyenangkan dan merangsang siswa untuk belajar, kelas dirancang teratur, bersih dan menarik.
Untuk mengetahui perkembangan, kemajuan, dan hasil belajar siswa selama program pendidikan maka sistem penilaian yang dilaksanakan harus komprehensif dan fleksibel. Dalam seting pendidikan inklusif, sistem penilaian yang diharapkan di sekolah yaitu sistem penilaian yang fleksibel. Penilaian disesuaikan dengan kompetensi semua anak termasuk anak berkebutuhan khusus. Penilaian yang fleksibel memiliki dua model, yaitu dengan tes yang datanya bisa kuantitatif dan kualitatif, salah satu contohnya fortofolio. Penerimaan siswa tanpa tes serta ujian dilakukan secara lokal bagi tingkat dasar dengan model sistem kenaikan kelas otomatis. Dengan demikian, peluang ini bisa dimanfaatkan untuk menuju cara melaksanakan proses pembelajaran yang ramah bagi semua siswa, karena proses pembelajarannya senantiasa disesuaikan dengan kebutuhan dan karakteristik setiap siswa. (Sunanto et all. ,2004:86-87). Hal ini selaras dengan pendapat Budimansyah (2002:114) sebagai berikut ”Penilaian yang baik hendaknya memperhatikan kondisi dan perbedaan-perbedaan individual (individual differences).”
Penilaian dilakukan secara berkelanjutan (continuous evaluation) agar dapat mendorong penelaahan dan perefleksian siswa terhadap kemampuan siswa dalam melakukan pembelajaran dan hasil yang dicapainya. Artinya ini merupakan suatu proses penilaian yang dilakukan secara terus menerus dan tidak berhenti serta terfokus pada ujian akhir saja, namun semua proses dilihat secara seksama, sehingga guru memperoleh gambaran yang utuh mengenai kondisi belajar siswa dari awal sampai akhir.
Agar setiap siswa memperoleh perhatian yang sama tetapi diberi yang berbeda sesuai kebutuhannya, maka guru menyusun buku penilaian individu yang berisi rangkuman seluruh hasil belajar siswa (hasil tes, hasil tugas perorangan, hasil praktikum, hasil pekerjaan rumah, dsb.) tercatat dan terorganisir secara sistematik (Sunanto et all., 2004:87).
Karena masih adanya peraturan-peraturan sistem penilaian hasil belajar yang dibuat pemerintah yang kontradiksi dengan sistem penilaian hasil belajar dalam seting pendidikan inklusif, pelaksanaan penilaian hasil belajar dalam seting pendidikan inklusif di sekolah reguler menjadi tantangan (permasalahan). Banyak pihak (siswa, orang tua, dan masyarakat) yang merasa tidak sesuai dan tidak adil bagi anak pada umumnya dengan penilaian yang dilakukan bagi anak-anak berkebutuhan khusus yang bersekolah di sekolah reguler. Contohnya sewaktu dilaksanakan studi pendahuluan di salah satu sekolah uji coba implementasi pendidikan inklusif diperoleh informasi bahwa penilaian dalam seting pendidikan inklusif belum mereka pahami oleh para guru seperti apa wujud yang sebenarnya serta diperoleh informasi pula bahwa sistem kenaikan kelas anak berkebutuhan khusus naik terus, tetapi untuk anak pada umumnya ada yang tidak naik kelas. Hal ini menimbulkan kecemburuan anak pada umumnya, orang tua siswa dan masyarakat.
Berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi yang dilakukan Dinas Pendidikan Provinsi Kalimantan Selatan banyak guru di Sekolah Reguler (Khususnya di SD Uji Coba Implementasi Pendidikan Inklusif) yang merasa kesulitan ketika menilai hasil belajar dan membuat laporan penilaian hasil belajar siswa berkebutuhan khusus di sekolahnya. Hal ini mungkin karena pelaksanaan uji coba yang terlalu cepat digulirkan tanpa diikuti dengan kegiatan sosialisasi dan pembekalan yang memadai bagi para perencana pendidikan di daerah dan praktisi pendidikan (kepala sekolah dan guru di sekolah uji coba implementasi pendidikan inklusif) sehingga sistem penilaian dengan seting pendidikan inklusif belum mereka pahami.
Berlatar belakang kepada hal inilah maka penulis merasa perlu melakukan penelitian mengenai “Penilaian Hasil Belajar di Sekolah Uji Coba Implementasi Pendidikan Inklusif SDN X di Propinsi Kalimantan Selatan”, yaitu untuk mengetahui bagaimana guru-guru memahami konsep penilaian hasil belajar dalam seting pendidikan inklusif, mengetahui perencanaan dan cara melaksanakan penilaian hasil belajar dalam seting pendidikan inklusif, mengetahui tantangan-tantangan dan upaya pemecahan masalah yang dihadapinya dalam melaksanakan penilaian hasil belajar di sekolah uji coba tersebut, sehingga diperoleh pokok-
pokok temuan yang dapat memberikan kontribusi dalam penyusunan rencana penilaian hasil belajar dan cara melaksanakan penilaian hasil belajar dalam seting pendidikan inklusif.
B. Fokus dan Pertanyaan Penelitian
Perencanaan pembelajaran, kegiatan pembelajaran dan penilaian hasil belajar merupakan tiga aspek yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya dalam pendidikan. Ketiga aspek tersebut saling keterkaitan dan saling mempengaruhi dalam upaya mengembangkan serangkaian kognitif, apektif dan psikomotor siswa. Dalam tataran mikro pendidikan, penilaian hasil belajar memiliki nilai penting untuk mendeskripsikan perubahan yang terjadi mengenai perkembangan siswa atau hasil belajar siswa. Atas dasar pemikiran tersebut maka fokus penelitian adalah “Penilaian hasil belajar yang dilakukan oleh guru-guru di sekolah uji coba implementasi pendidikan inklusif SDN X di Propinsi Kalimantan Selatan”
Pertanyaan penelitian adalah :“Bagaimanakah penilaian hasil belajar di Sekolah Uji Coba Implementasi Pendidikan Inklusif SDN X di Propinsi Kalimantan Selatan?”
Secara rinci dapat dijabarkan dalam sub pertanyaan penelitian sebagai berikut :
1. Bagaimanakah pemahaman guru-guru tentang konsep penilaian hasil belajar dalam seting pendidikan inklusif di Sekolah Uji Coba Implementasi Pendidikan Inklusif SDN X di Propinsi Kalimantan Selatan?
a. Bagaimanakah pemahaman guru tentang konsep penilaian hasil belajar secara umum?
b. Bagaimanakah pemahaman guru tentang konsep penilaian hasil belajar dalam seting pendidikan inklusif?
2. Bagaimanakah cara melaksanakan penilaian hasil belajar di Sekolah Uji Coba Implementasi Pendidikan Inklusif SDN X di Propinsi Kalimantan Selatan?
a. Bagaimanakah perencanaan penilaian hasil belajar yang dilakukan oleh guru?
b. Bagaimanakah guru melaksanakan penilaian hasil belajar dalam seting pendidikan inklusif?
c. Bagaimanakah cara mengolah data hasil penilaian hasil belajar yang dilakukan oleh guru?
d. Bagaimanakah cara menyusun laporan penilaian hasil belajar yang dilakukan oleh guru?
3. Tantangan apa saja yang dihadapi oleh guru-guru dalam penilaian hasil belajar di Sekolah Uji Coba Implementasi Pendidikan Inklusif SDN X di Propinsi Kalimantan Selatan?
4. Upaya apa saja yang dilakukan oleh guru-guru di Sekolah Uji Coba Implementasi Pendidikan Inklusif SDN X di Propinsi Kalimantan Selatan untuk mengantisipasi tantangan penilaian hasil belajar yang dihadapinya?
C. Konsep Dasar
Penelitian ini berjudul “Penilaian Hasil Belajar di Sekolah Uji Coba Implementasi Pendidikan Inklusif”. (Studi Kasus tentang Penilaian Hasil Belajar oleh Guru di Sekolah Uji Coba Implementasi Pendidikan Inklusif SDN X di Propinsi Kalimantan Selatan).
Untuk memberikan arah yang jelas tentang maksud dari judul penelitian seperti merujuk pada pertanyaan penelitian yang tergambarkan tersebut terdapat dua konsep dasar yaitu :
1. Penilaian Hasil Belajar oleh Guru
Peniaian pendidikan di sekolah reguler terdiri atas penilaian hasil belajar oleh pendidik, penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan dan penilaian hasil belajar oleh Pemerintah.
Penilaian yang dimaksud di sini adalah penilaian hasil belajar oleh pendidik atau guru.
Penilaian merupakan suatu proses yang dilakukan melalui perencanaan, pengumpulan informasi, pelaporan, dan penggunaan informasi tentang hasil belajar siswa. Tyler (Arikunto, 2005:3) mengemukakan bahwa “Penilaian merupakan sebuah proses pengumpulan data untuk menentukan sejauhmana, dalam hal apa, dan bagian mana tujuan pendidikan telah tercapai. Jika belum, bagaimana yang belum dan apa sebabnya.”
Penilaian hasil belajar dalam seting pendidikan inklusif dilakukan secara berkelanjutan (continuous evaluation) agar dapat mendorong penelaahan dan perefleksian siswa terhadap kemampuan siswa dalam melakukan pembelajaran dan hasil belajar yang dicapainya.
Artinya ini merupakan suatu proses penilaian yang dilakukan secara terus menerus dan tidak berhenti serta terfokus pada ujian akhir saja, namun semua proses dilihat secara seksama, sehingga guru memperoleh gambaran yang utuh mengenai kondisi belajar siswa dari awal sampai akhir. Agar setiap siswa memperoleh perhatian yang sama tetapi diberi yang berbeda sesuai kebutuhannya, maka guru menyusun buku penilaian individu yang berisi rangkuman
seluruh hasil belajar siswa (hasil tes, hasil tugas perorangan, hasil praktikum, hasil pekerjaan rumah, dsb.) tercatat dan terorganisir secara sistematik Sunanto et all. (2004:87)
Penilaian melalui pengamatan dan pengumpulan informasi, dimanfaatkan untuk menentukan keputusan berdasarkan informasi atau data yang diperoleh. Penilaian yang berkelanjutan berarti melakukan pengamatan secara terus menerus tentang sesuatu yang diketahui, dipahami, dan yang dapat dikerjakan oleh peserta didik. Observasi ini dilakukan beberapa kali dalam setahun, misalnya awal tahun, pertengahan tahun dan akhir tahun. Penilaian yang berkelanjutan bisa juga dilakukan melalui observasi, portofolio, bentuk ceklis (keterampilan, pengetahuan, dan perilaku), tes dan kuis, dan penilaian diri serta jurnal reflektif.
Dengan menggunakan penilaian yang berkelanjutan, guru dapat mengadaptasi perencanaan dan pengajarannya menurut kebutuhan peserta didik, sehingga semua akan mendapatkan peluang untuk belajar sukses. Dalam penilaian yang berkelanjutan, semua peserta didik berkesempatan untuk menunjukkan apa yang diketahui dan dilakukan dengan kemampuan yang berbeda menurut berbagai gaya pembelajarannya. Penilaian inipun dapat mengidentifikasi kelemahan (tertinggal dari peserta didik yang lain) dalam pemahamannya. Penilaian yang berkelanjutan merupakan alat bantu untuk berkomunikasi dengan orang tua dan pengasuh perihal kekuatan dan kelemahan peserta didik, agar mereka berpartisipasi dalam program yang terintegrasi, seperti hal-hal yang menghubungkan antara kegiatan di kelas dan di rumah. Informasi tersebut biasanya terlambat karena hasil ujian disampaikan pada akhir tahun.
Kegiatan pembelajaran dan penilaian akan meningkat jika guru mengidentifikasi hasil belajar secara khusus. Perencanaan kegiatan pembelajaran yang baru, dimulai dengan mengidentifikasi hasil belajar. Penilaian autentik (hasilnya akurat) berarti suatu proses menilai prestasi siswa yang dicapai berdasarkan kinerja realistis dan sesuai dengan kondisi objektif yang dicapai siswa. Teknik-teknik penilaiannya adalah dengan observasi ( dapat dilakukan dengan cara cacatan anekdot, pertanyaan, dan tes penyaringan), penilaian fortofolio, umpan balik, dan penilaian keterampilan dan sikap.
Hasil akhir untuk siswa harus berhubungan dengan apa yang dapat mereka lakukan sebelumnya dan apa yang dapat mereka lakukan sekarang. Hal ini tidak ada hubunganya dengan tes standar yang dilakukan tiap akhir tahun pelajaran. Siswa dalam kelompok usia atau kelas yang sama mungkin mempunyai setidaknya tiga tahun perbedaan dalam hal kemampuan umum di antara mereka dan dalam matematika bisa sampai tujuh tahun perbedaannya.
Tes akhir tahun harus menjadi salah satu komponen penilaian komprehensif dari kemajuan siswa. Penilaian ini ditujukan pada peningkatan kesadaran guru, siswa dan orang tua atau pengasuh tentang kemampuan siswa. Ini juga harus digunakan untuk mengembangkan strategi untuk kemajuan selanjutnya.
2. Pendidikan Inklusif
Selama ini, banyak pihak yang memahami bahwa istilah “pendidikan inklusif” diartikan dengan “mengikutsertakan anak berkelainan/anak luar biasa/anak cacat” di kelas “reguler”
bersama dengan anak-anak lainnya. Pendidikan inklusif mempunyai arti yang lebih luas.
Pendidikan inklusif memang mengikutsertakan anak berkelainan seperti anak yang memiliki kesulitan melihat atau mendengar, yang tidak dapat berjalan atau yang lebih lamban dalam belajar. Namun, secara luas pendidikan inklusif juga berarti melibatkan seluruh siswa tanpa terkecuali, seperti siswa yang menggunakan bahasa yang berbeda dengan bahasa pengantar yang digunakan di dalam kelas, siswa yang beresiko putus sekolah karena sakit, kelaparan atau tidak berprestasi dengan baik, siswa yang berasal dari golongan agama yang berbeda, sedang mengandung, terinfeksi HIV/AIDS dan anak yang berusia sekolah tapi tidak sekolah.
Etscheidt (Hidayat, 2005:13) mengemukakan bahwa ”Pendidikan inklusif didasari oleh pemikiran masyarakat yang inklusif. Artinya dalam kenyataan di masyarakat terjadi variasi atau perbedaan kepercayaan, aspirasi, dan kemampuan.” Berarti pendidikan dipandang sebagai upaya memberdayakan individu yang memiliki keragaman. Misi pendidikan yang paling penting adalah meminimalkan hambatan belajar dan memenuhi kebutuhan belajar setiap siswa. Setiap siswa dihargai eksistensinya, ditumbuhkan harga dirinya, dikembangkan motivasinya dan diterima sebagaimana adanya, sehingga setiap siswa akan berkembang optimal sesuai dengan potensinya.
UNESCO (2001:16) mengemukakan mengenai pendidikan inklusif sebagai berikut :
This refers to schools, centres of learning and educational systems that are open to all children. For this to happen, teachers, schools and systems may need to change so that they can better accommodate the diversity of needs that pupils have and that they are included in all aspects of school-life. It also means a process of identifying any barriers within and around the school that hinder learning, and reducing or removing these barriers.
Sekolah yang inklusif adalah sekolah yang menampung semua siswa di kelas yang sama.
Sekolah yang inklusif juga merupakan tempat setiap anak dapat diterima, menjadi bagian dari kelas tersebut, dan saling membantu dengan guru dan teman sebayanya, maupun anggota masyarakat lain agar kebutuhan individualnya terpenuhi.
Karakteristik “Pendidikan Inklusif”, yaitu : Pendidikan untuk semua, menggunakan kurikulum biasa tapi yang fleksibel, pembelajaran bersifat memenuhi kebutuhan individual, lingkungan pembelajaran ramah, menekankan pada proses pembelajaran, pendidikan berpusat pada anak, menggunakan pendekatan yang komprehensif, dan memberikan kesamaan kesempatan bagi semua anak.
D. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian secara umum yaitu ingin memperoleh gambaran mengenai penilaian hasil belajar yang dilakukan oleh guru-guru di Sekolah Uji Coba Implementasi Pendidikan Inklusif SDN X di Propinsi Kalimantan Selatan serta menemukan dan memberikan rekomendasi yang dapat digunakan sebagai acuan dalam penyusunan rencana penilaian hasil belajar dan cara melaksanakan hasil belajar dalam seting pendidikan inklusif?
Secara lebih terperinci berdasarkan sub pertanyaan penelitian maka tujuannya sebagai berikut :
1. Memperoleh gambaran tentang pemahaman guru-guru mengenai konsep penilaian hasil belajar dalam seting pendidikan inklusif di Sekolah Uji Coba Implementasi Pendidikan Inklusif SDN X di Propinsi Kalimantan Selatan
2. Memperoleh gambaran tentang cara melaksanakan penilaian hasil belajar di Sekolah Uji Coba Implementasi Pendidikan Inklusif SDN X di Propinsi Kalimantan Selatan
3. Memperoleh gambaran tentang tantangan-tantangan yang dihadapi oleh guru-guru dalam penilaian hasil belajar di Sekolah Uji Coba Implementasi Pendidikan Inklusif SDN X di Propinsi Kalimantan Selatan
4. Memperoleh gambaran tentang upaya-upaya yang dilakukan oleh guru-guru di Sekolah Uji Coba Implementasi Pendidikan Inklusif SDN X di Propinsi Kalimantan Selatan untuk mengantisipasi tantangan penilaian hasil belajar yang dihadapinya
5. Memperoleh pokok-pokok temuan yang dapat memberikan kontribusi dalam perencanaan penilaian hasil belajar, cara melaksanakan penilaian hasil belajar dan laporan penilaian hasil belajar dalam seting pendidikan inklusif.
E. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian adalah :
1. Sebagai bahan masukan bagi para perencana pendidikan dan praktisi di lapangan mengenai cara melaksanakan penilaian hasil belajar dalam seting pendidikan inklusif.
2. Sebagai bahan pertimbangan bagi guru dalam merencanakan, melaksanakan dan melaporkan penilaian hasil belajar dalam seting pendidikan inklusif di kelas.
3. Sebagai bahan rujukan bagi penelitian maupun penulisan karya ilmiah yang selanjutnya yang berkaitan dengan penilaian hasil belajar dalam seting pendidikan inklusif.
F. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif.
Alasan pemilihan pendekatan ini karena penelitian ini ingin berupaya untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi di lapangan, mengutamakan proses bagaimana data dapat diperoleh sehingga data tersebut menjadi akurat dan layak digunakan dalam penelitian. Kaitannya dengan penelitian ini yaitu ingin mengungkap pemahaman guru mengenai konsep penilaian hasil belajar dalam seting pendidikan inklusif, cara melaksanakan penilaian hasil belajar dalam seting pendidikan inklusif, tantangan yang dihadapi oleh guru, dan upaya guru dalam menganitipasi tantangan penilaian hasil belajar dalam seting pendidikan inklusif yang dihadapinya di sekolah uji coba implementasi pendidikan inklusif SDN X di Propinsi Kalimantan Selatan.
Strategi dalam penelitian ini yaitu studi kasus. Studi kasus dipilih karena secara umum dengan studi kasus dapat memberikan akses atau peluang yang luas kepada peneliti untuk menelaah secara mendalam, detail, intensif dan komprehensif terhadap unit yang diteliti. Kasus analisis yang dijadikan penelitian ini adalah sekolah, yaitu sekolah uji coba ImplementasiPendidikan Inklusif SDN X di Propinsi Kalimantan Selatan dalam melaksanakan penilaian hasil belajar dalam seting pendidikan inklusif.
Untuk mendapatkan data yang dibutuhkan maka peneliti menggunakan teknik pengumpulan data dengan wawancara dan studi dokumentasi. Wawancara dalam penelitian ini
bertujuan mengumpulkan keterangan tentang penilaian hasil belajar di sekolah uji coba implementasi pendidikan inklusif SDN X di Propinsi Kalimantan Selatan. Secara terperinci wawancara ini bertujuan untuk mengumpulkan keterangan tentang pemahaman guru mengenai konsep penilaian dalam seting pendidikan inklusif, mengumpulkan keterangan tentang cara melaksanakan penilaian hasil belajar di Sekolah Uji Coba Implementasi Pendidikan Inklusif SDN X di Propinsi Kalimantan Selatan, mengumpulkan keterangan tentang tantangan yang dihadapi oleh guru-guru dalam penilaian hasil belajar di Sekolah Uji Coba Implementasi Pendidikan Inklusif, mengumpulkan keterangan tentang upaya-upaya yang dilakukan oleh guru- guru dalam mengantisipasi tantangan yang dihadapinya, dan mengumpulkan pokok-pokok temuan yang dapat memberikan kontribusi dalam menyusunan rencana penilaian hasil belajar, cara melaksanakan penilaian hasil belajar dan melaporkan penilaian hasil belajar dalam seting pendidikan inklusif.
Teknik pengumpulan data lainnya adalah studi dokumentasi yaitu setiap pernyataan tertulis yang disusun oleh seseorang (kepala sekolah/guru) atau lembaga untuk keperluan pengujian suatu peristiwa atau menyajikan akunting. Dokumen ialah setiap bahan tertulis ataupun film yang berkenaan dengan cara melaksanakan penilaian hasil belajar di sekolah uji coba implementasi pendidikan inklusif SDN X di Propinsi Kalimantan Selatan.
Mengingat jumlah guru di Sekolah Uji Coba Implementasi Pendidikan Inklusif SDN X di Propinsi Kalimantan Selatan banyak (ada 10 orang), maka penulis terlebih dahulu menggunakan kuesioner yaitu untuk memilih guru-guru yang akan dijadikan informan, hal ini dilakukan supaya pemilihannya tepat yaitu perwakilan dari guru yang dianggap memahami konsep penilaian dalam seting pendidikan inklusif dua orang, guru yang dianggap belum memahami konsep penilaian dalam seting pendidikan inklusif dua orang, serta guru yang berada di tengah-tengahnya dua orang, ditambah dengan seorang kepala sekolah.
G. Lokasi Penelitian
Fenomena yang terjadi berada di lokasi Sekolah Dasar yang digunakan sebagai Uji Coba Implementasi Pendidikan Inklusif oleh Dinas Pendidikan Provinsi Kalimantan Selatan, yaitu SDN X di Banua Hanyar. Yang menjadi kasusnya adalah kasus sekolah dalam penilaian hasil belajar oleh Guru di Sekolah Uji Coba Implementasi Pendidikan Inklusif. Informan dalam
penelitian ini adalah Guru berjumlah enam orang dan seorang Kepala Sekolah di Sekolah Uji Coba Implementasi Pendidikan Inklusif SDN X di Propinsi Kalimantan Selatan.
Sekolah Uji Coba Implementasi Pendidikan Inklusif SDN X di Propinsi Kalimantan Selatan merupakan sekolah reguler yang cukup representatif ditinjau dari segi sarana/prasarana sekolah , jumlah tenaga guru ada 10 orang dan jumlah siswa 191 orang serta dukungan biaya dari Pemerintah Propinsi Kalimantan Selatan yang cukup memadai. Jumlah siswa berkebutuhan khususpun banyak yaitu ada 41 orang. Sehingga tepat sekali untuk dijadikan lokasi penelitian, yaitu dalam upaya menjelaskan secara mendalam , detail, intensif dan komprehensif mengenai pemahaman guru-guru tentang konsep penilaian hasil belajar dalam setting pendidikan inklusif, cara melaksanakan penilaian hasil belajar, tantangan yang dihadapi oleh guru-guru, upaya mengatasi tantangan yang dihadapi, dan pokok-pokok temuan yang dapat memberikan kontribusi dalam penyusunan rencana penilaian hasil belajar dan cara melaksanakan penilaian hasil belajar dalam seting pendidikan inklusif.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Pendidikan Inklusif
Pendidikan inklusif adalah pendidikan yang mengakomodasi semua anak tanpa memandang kondisi fisik, intelektual, emosional, sosial, maupun kondisi lainnya. Pendidikan yang memungkinkan semua anak belajar berasama-sama tanpa memandang perbedaan yang mungkin ada pada mereka. Pendidikan yang berupaya memenuhi kebutuhan setiap anak.
Pendidikan yang dilaksanakan tidak hanya di sekolah formal, tetapi juga di lembaga pendidikan dan tempat lain.
Sunanto et all. (2004:3) menjelaskan mengenai pendidikan inklusif sebagai berikut : Pendidikan inklusif adalah pendidikan yang memberikan layanan kepada setiap anak, tidak terkecuali. Pendidikan yang memberikan layanan terhadap semua anak tanpa memandang kondisi fisik, mental, intelektual, sosial, emosi, ekonomi, jenis kelamin, suku, budaya, tempat tinggal, bahasa dan sebagainya. Semua anak belajar bersama-sama, baik di kelas/sekolah formal maupun nonformal yang berada di tempat tinggalnya yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan masing-masing anak.
Seting pmbelajaran dengan karakteristik inklusif guru diharapkan mampu memahami bahwa setiap siswa memiliki perbedaan baik dari kemampuan, kecerdasan, konsentrasi, minat, motivasi. Dari keberagaman siswa tersebut guru hendaknya mampu memahami kebutuhan siswa secara individual, walaupun mengajar di sekolah reguler secara klasikal. Guru harus mampu memberi dukungan dan stratgei pengajaran khusus bagi siswa-siswa yang mebutuhkan bantuan, serta melaksanakan penilaian yang sesuai dengan kemampuan siswa dan berdasarkan hasil asesmen.
Menjadi sekolah yang terbuka (welcoming) menuntut berbagai persiapan yang harus dilakukan. Nilai penting dalam melaksanakannya adalah ditumbuhkembangkannya sikap positif dan menghargai serta menerima adanya perbedaan individu dari siswa. Dalam hal ini sekolah lebih dituntut untuk dapat mengembangkan kondisi yang lebih kondusif dalam pembelajaran
yang berpusat pada siswa/anak dan memandang perbedaan sebagai suatu yang normal/biasa serta perlu penanganan secara adil didasarkan kebutuhannya.
“Pendidikan inklusif” berarti bahwa sebagai guru bertanggung jawab untuk mengupayakan bantuan dalam menjaring dan memberikan layanan pendidikan pada semua anak dari otoritas sekolah, masyarakat, keluarga, lembaga pendidikan, layanan kesehatan, pemimpin masyarakat dan lain-lain. (Direktorat PLB, Braillo Norway dan UNESCO: 2004).
Di beberapa tempat, semua anak mungkin masuk sekolah, tetapi masih terdapat beberapa anak yang terpisahkan dari keikutsertaan dalam pembelajaran di kelas. Misalnya peserta didik yang menggunakan bahasa ibu yang berbeda dengan buku-buku pelajaran dan bacaan yang digunakan, tidak pernah diberi kesempatan untuk aktif dalam kelas, memiliki masalah gangguan penglihatan dan atau mendengar; atau tidak pernah mendapatkan bantuan ketika mengalami hambatan belajar. Guru bertanggung jawab untuk menciptakan lingkungan belajar yang kondusif agar seluruh peserta didik dapat dan ingin belajar serta merasa terlibat di kelas dan di sekolah.
Sekolah perlu berupaya menjadi sekolah yang "ramah terhadap anak”. Sekolah yang
“ramah” terhadap anak merupakan sekolah di mana anak memiliki hak untuk belajar untuk mengembangkan potensinya seoptimal mungkin di dalam lingkungan yang aman dan terbuka.
Tujuannya untuk meningkatkan partisipasi dan pembelajaran pada setiap anak, daripada hanya memfokuskan pada mata pelajaran dan ujian saja. Menjadi “ramah” terhadap anak itu penting, tapi belum bermakna apabila keterlibatan dan partisipasi dalam pembelajaran itu tidak tercipta dengan baik.
Anak datang ke sekolah untuk belajar, tapi sebenarnya guru juga ikut belajar, misalnya guru memperoleh hal yang baru tentang cara mengajar yang lebih efektif dan menyenangkan agar seluruh peserta didik dapat belajar secara optimal (misalnya dalam membaca, menulis dan berhitung yang sesuai dengan kebutuhannya). Lingkungan pembelajaran yang ramah ialah ramah kepada anak dan guru, berarti : Anak dan guru belajar bersama sebagai suatu komunitas belajar, menempatkan anak sebagai pusat pembelajaran, mendorong partisipasi aktif anak dalam belajar, dan guru memiliki minat untuk memberikan layanan pendidikan yang terbaik.
Semua anak memiliki hak untuk belajar, tanpa memandang perbedaan fisik, intelektual, sosial, emosi, bahasa atau kondisi lainnya, seperti yang ditetapkan dalam Konvensi Hak Anak di
mana semua pemerintah di dunia menandatanganinya. Di Indonesia tercantum dalam UU No.23 tahun 2002 tentang perlindungan anak.
Guru perlu mengetahui bagaimana cara mengajar anak dengan latar belakang dan kemampuan yang beragam. Peningkatan kemampuan ini dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti : pelatihan, tukar pengalaman, lokakarya, membaca buku, mengeksplorasi/menggali sumber lain kemudian mempraktekkannya di dalam kelas.
Seting“Pendidikan Inklusif”, setiap orang berbagi visi yang sama tentang bagaimana anak harus belajar, bekerja dan bermain bersama. Mereka yakin, bahwa pendidikan hendaknya inklusif, adil dan tidak diskriminatif, sensitif terhadap semua budaya, serta relevan dengan kehidupan sehari-hari anak dan keluarganya. Guru, administrator, dan peserta didik menghargai perbedaan kemampuan, karakteristik, sosial ekonomi dan latar belakang penggunaan bahasa.
Pendidikan Inklusif mengajarkan kecakapan hidup dan gaya hidup sehat, agar peserta didik dapat menggunakan informasi yang diperoleh untuk melindungi diri dari penyakit dan bahaya.
Pendidikan Inklusif tidak ada kekerasan terhadap anak, pemukulan atau hukuman fisik.
Pendidikan Inklusif mendorong guru, administrator sekolah, anak, keluarga dan masyarakat untuk membantu pembelajaran anak. Misal; di kelas, peserta didik beserta guru bertanggung jawab kepada pembelajaran dan secara aktif berpartisipasi di dalamnya. Belajar berkaitan dengan materi apa yang dibutuhkan dan bermakna dalam kehidupannya. “Pendidikan Inklusif ” juga mempertimbangkan kebutuhan, minat, dan keinginan kita sebagai guru. Ini berarti memberikan kesempatan kepada kita untuk belajar bagaimana mengajar yang lebih baik.
Pendidikan Inklusif merupakan perkembangan terbaru model pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus yang secara formal ditegaskan dalam pernyataan Salamanca pada Konferensi Dunia tentang Pendidikan Berkelainan bulan Juni 1994, bahwa ”Prinsip mendasar dari pendidikan inklusif adalah selama memungkinkan, semua anak seyogyanya belajar bersama- sama tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada mereka”
Kaitannya dengan Pendidikan Inklusif, Stainback (Budiyanto, 2005:18) memberikan batasan yang relatif lebih spesifik dalam konteks seting persekolahannya, yaitu sekolah yang menampung semua siswa di kelas yang sama. Sekolah ini menyediakan program pendidikan yang layak, menantang, tetapi sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan setiap siswa, maupun bantuan dan dukungan yang dapat diberikan oleh para guru agar anak-anak berhasil. Lebih dari itu, sekolah inklusif juga merupakan tempat setiap anak dapat diterima, menjadi bagian dari
kelas tersebut, dan saling membantu dengan guru dan teman sebayanya, maupun anggota masyarakat lain agar kebutuhan individualnya dapat terpenuhi.
Salah satu karakteristik terpenting dari Sekolah Inklusif adalah satu komunitas yang kohesif, menerima dan responsive terhadap kebutuhan individual siswa. Untuk itu, Sapon-Shevin (Sunardi: 2002) mengemukakan lima profil pembelajaran di sekolah inklusif, yaitu :
1. Pendidikan Inklusif berarti menciptakan dan menjaga komunitas kelas yang hangat, menerima keanekragaman, dan menghargai perbedaan.
2. Mengajar kelas yang hetorogen memerlukan perubahan pelaksanaan kurikulum secara mendasar.
3. Pendidikan Inklusif berarti menyiapkan dan mendorong guru untuk mengajar secara interaktif.
4. Pendidikan Inklusif berarti penyediaan dorongan bagi guru dan kelasnya secara terus menerus dan penghapusan hambatan yang berkaitan dengan isolasi profesi.
5. Dengan pendidikan inklusif berarti melibatkan orang tua secara bermakna dalam proses perencanaan begitu pula dengan keterlibatan masyarakat sekitarnya.
Hal ini membawa implikasi pada ketercapaian indikator keberhasilan pendidikan inklusif pada suatu sekolah yaitu adanya saling menghargai, toleransi, menjadi bagian suatu masyarakat, diberikan kesempatan untuk mengembangkan keterampilan dan bakat, saling membantu, belajar dari satu sama lain, dan membantu orang untuk menolong dirinya sendiri dan masyarakatnya. Di bawah ini dikemukakan bagan karakteristik lingkungan inklusif yaitu lingkungan pembelajaran yang ramah. (Direktorat PLB, Braillo Norway dan UNESCO: 2004)
Bagan 2.1 :
Karakteristik Lingkungan Inklusif: Lingkungan Pembelajaran yang Ramah
Pendidikan Inklusif seyogyanya dipandang sebagai sebuah prinsip fundamental yang mendasari semua kebijakan baik di level internasional, nasional, regional dan lokal (Symposium Internasional : 2005). Dalam implementasinya maka perlu dilakukan kolaborasi dan mengkoordinasikan upayanya untuk mencapai keberlangsungan pengembangan masyarakat yang inklusif dan ramah terhadap pembelajaran semua anak. Akan tetapi disadari bahwa dalam prakteknya, pendidikan inklusif menuntut terpenuhinya berbagai persyaratan, antara lain dari segi sarana, tenaga kependidikan, kurikulum, manajemen waktu belajar, model penilaian hasil belajar, dan lain-lain. Inilah yang memerlukan waktu untuk penyiapannya.
Perlindungan;
melindungi SEMUA anak dari kekerasan, pelecehan dan penyiksaan Melibatkan SEMUA
anak tanpa memandang perbedaan
Sensitif budaya, menghargai perbedaan, dan menstimulasi pembelajaranuntuk SEMUA anak Lingkungan Inklusif,
Ramah terhadap Pembelajaran Berdasakan visi dan nilai yangsama Keadilan Jender dan
Non-diskriminasi
Meningkatkan partisipasi dan kerjasama
Menerapkan pola hidup sehat Keluarga, guru,
dan masyarakat terlibat dalam pembelajaran anak
Belajar disesuaikan dengan kehidupan sehari-hari anak;
Anak bertanggungjawab ataspembelajarannya sendiri
Memberikan kesempatan bagi guru untuk belajar, dan mengambil manfaat dari pembelajaran itu
B. Anak Berkebutuhan Khusus
Setiap manusia termasuk anak memiliki perbedaan. Dengan perbedaan maka manusia saling membutuhkan karena mereka memiliki kekurangan atau kelebihan. Perbedaan-perbedaan anak tersebut ada yang sedemikian rupa sehingga memerlukan kebutuhan khusus dalam kehidupannya. Dalam pernyataan Salamanca (2004) menyebutkan bahwa setiap anak mempunyai karakteristik, minat, kemampuan dan kebutuhan belajar yang berbeda-beda.
Istilah anak berkebutuhan khusus mengalami perkembangan seiring dengan perubahan kesadaran masyarakat dan budaya masyarakat dalam menyikapi berbagai tantangan kehidupan pada era globalisasi. Istilah anak berkebutuhan khusus mulai muncul bersamaan dengan perubahan paradigma baru pendidikan yaitu dalam pendikan inklusif. Istilah anak berkebutuhan khusus tersebut bukan berarti menggantikan istilah anak cacat/anak luar biasa/anak berkelainan.
Konsep lebih luas dan positif serta ada kaitannya dengan pendidikan. Seperti dikemukakan Sunanto (Hidayat :2005) bahwa kebutuhan khusus yang dimaksud dalam hal ini adalah kebutuhan yang ada kaitannya dengan pendidikan.
Secara garis besar anak berkebutuhan khusus terdiri dari anak berkebutuhan khusus yang bersifat menetap (permanen) dan anak berkebutuhan khusus yang bersifat sementara (temporer).
Anak berkebutuhan khusus yang permanen adalah akibat dari kecacatan atau kelainan tertentu, misalnya anak yang memiliki gangguan penglihatan (visual impairment) akan membutuhkan huruf yang diperbesar, atau huruf Braille yang menjadi kebutuhan khususnya. Anak yang memiliki gangguan pendengaran (hearing impairment) akan membutuhkan keterarahwajahan ketika berkomunikasi dengan orang lain, yaitu dengan cara melihat gerak bibir (lip reading) lawan bicaranya. Bagi anak yang memiliki gangguan pendengaran lainnya ada yang memerlukan bahasa isyarat untuk berkomunikasi.
Anak berkebutuhan khusus baik yang permanen maupun yang temporer memiliki hambatan belajar tergantung penyebab dan kondisinya. Hambatan belajar yang dimiliki berbeda setiap anak disebabkan tiga hal yaitu faktor fisik, faktor psikhis dan faktor lingkungan. Faktor fisik karena adanya gangguan fisiknya, seperti gangguan penglihatan, gangguan gerak, gangguan pendengaran. Faktor psikhis yang dimaksud berhubungan dengan kesiapan mental anak, akan berpengaruh pada motif belajar, minat, perhatian, konsentrasi, masalah kepercayaan diri, kehilangan kontrol diri dan sebagainya. Faktor lingkungan yang dimaksud merupakan tempat belajar, suasana pembelajaran, alat-alat pembelajaran atau media pembelajaran dan strategi
pembelajaran. Untuk lebih memperjelas pemahaman mengenai anak berkebutuhan khusus yang bersifat permanen dan temporer dapat dilihat pada bagan di bawah ini.
Bagan 2.2:
Anak Berkebutuhan Khusus
C. Kegiatan Pembelajaran dalam Seting Pendidikan Inklusif
Kegiatan pembelajaran begitu amat penting peranannya dalam upaya mengembangkan kompetensi siswa secara optimal, maka seyogyanyalah proses pembelajaran menjadi fokus utama untuk terus menerus ditingkatkan kualitasnya. Bjorndal dan Lieberg (Johnsen, 2003:308) menjelaskan mengenai perangkat kriteria umum untuk kegiatan pembelajaran yang berkualitas sebagai berikut :
ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS
ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS YANG BERSIFAT PERMANEN
• Anak-anak cacat/kelainan fisik (penglihatan, pendengaran, tubuh), mental, emosional, dan sosial )
• Anak-anak yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa
ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS YANG BERSIFAT
TEMPORER
• Anak-anak di daerah terpencil atau terbelakang
• Anak-anak pada masyarakat adat yang terpencil
• Anak-anak yang mengalami bencana alam
• Anak-anak yang mengalami bencana sosial/korban perang/kerusuhan
• Anak-anak yang tidak mampu dari segi ekonomi
• Anak-anak yang terlantar
• Anak-anak tunawisma
• Anak-anak pekerja
• Anak-anak yang tinggal dan /atau bekerja di jalanan
• Anak-anak yang dilembagakan
• Konsisten dengan seluruh program pengajaran
• Cukup sesuai dengan tujuan
• Bervariasi dan serba ragam
• Adaptif terhadap individu dan kelompok siswa
• Seimbang dan kumulatif
• Relevan dan bermakna
• Terbuka terhadap integrasi optimal dengan kegiatan belajar lain
• Terbuka terhadap pilihan siswa.
Kegiatan pembelajaran merupakan inti dari proses pendidikan secara keseluruhan dengan guru sebagai pemegang peran utama. Dalam kegiatan pembelajaran tersirat adanya satu kesatuan kegiatan yang tak terpisahkan antara siswa yang belajar dan guru yang mengajar antara kedua kegiatan ini terjalin interaksi yang saling menunjang. (Usman: 1995)
Peranan guru dalam kegiatan pembelajaran memiliki peranan yang amat penting. Peranan guru adalah terciptanya serangkaian tingkah laku yang saling berkaitan yang dilakukan dalam suatu situasi tertentu serta berhubungan dengan kemajuan perubahan tingkah laku dan perkembangan siswa yang menjadi tujuannya.
Kegiatan pembelajaran di sekolah uji coba implementasi pendidikan inklusif perlu didesain sesuai dengan seting pendidikan inklusif agar dapat mengaktifkan siswa, dapat mengembangkan kreatifitas siswa sehingga efektif namun tetap menyenangkan. Untuk mengatasi keragaman strategi belajar individual yang berbeda-beda , guru reguler dan guru pendidikan kebutuhan khusus perlu mengadaptasikan lingkungan belajar sehingga tiap siswa dapat mengembangkan dan menggunakan beberapa strategi dan metode belajar sesuai dengan kebutuhannya. Johnsen (2003:311). Rye (Johnsen, 2003:313) mengemukakan delapan prinsip interaksi antara guru dan siswa yaitu :
1. Menunjukkan perasaan positif 2. Beradaptasi dengan siswa 3. Berbicara dengan siswa
4. Memberikan pujian dan penghargaan yang relevan 5. Membantu siswa memfokuskan perhatiannya 6. Membantu memberi makna pada pengalaman siswa
7. Menguraikan dan menjelaskan
8. Membantu siswa mencapai kedisiplinan diri.
Kegiatan pembelajaran dalam setting pendidikan inklusif harus berpusat kepada anak (child centered), anak harus aktif belajar (active learning). Maka seyogyanyalah kegiatan pembelajaran menjadi fokus utama untuk terus menerus ditingkatkan kualitasnya. Menurut Depdiknas, UNESCO, dan UNICEF (2003) bahwa kegiatan pembelajaran harus aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan. Kegiatan Pembelajaran yang Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan (PAKEM) merupakan suatu tuntutan atau keharusan untuk dilaksanakan dan sesuai dengan seting pendidikan inklusif.
PAKEM adalah singkatan dari Pembelajaran yang Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan. Aktif dimaksudkan bahwa dalam proses pembelajaran guru perlu menciptakan suasana sedemikian rupa sehingga siswa aktif bertanya, mempertanyakan, dan mengemukakan gagasan. Peran aktif dari siswa amat penting dalam rangka pembentukan generasi yang kreatif, yang mampu menghasilkan sesuatu untuk kepentingan dirinya dan orang lain. Kreatif juga dimaksudkan agar guru menciptakan kegiatan belajar yang beragam sehingga memenuhi berbagai tingkat kompetensi siswa dan kelainan siswa (anak-anak berkebutuhan khusus).
Menyenangkan adalah suasana belajar-mengajar yang menyenangkan sehingga siswa memusatkan perhatiannya secara penuh pada belajar sehingga waktu curah perhatiannya tinggi.
Keadaan aktif, kreatif dan menyenangkan tidaklah cukup jika proses pembelajarannya tidak efektif, yaitu tidak menghasilkan kompetensi yang harus dikuasi siswa setelah proses pembelajaran berlangsung. Sebab pembelajaran memiliki sejumlah tujuan pembelajaran yang harus dicapai, yaitu tercapainya kompetensi-kompetensi itu sendiri. Jadi Efektif yaitu tercapainya tujuan pembelajaran atau tercapainya kompetensi-kompetensi yang dikuasi siswa.
Bila pembelajaran hanya aktif dan menyenangkan tetapi tidak efektif, maka pembelajaran tersebut tak ubahnya seperti bermain biasa. (Depdiknas, UNESCO, dan UNICEF : 2003).
Pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan secara garis besar dapat digambarkan seperti pada Tabel 2.1 dan 2.2.
Tabel 2.1
Hubungan antara Siswa dan Guru dalam Kegiatan Pembelajaran yang menyenangkan
SISWA GURU
Siswa terlibat dalam berbagai kegiatan yang mengembangkan pemahaman dan kemampuan mereka dengan penekanan pada belajar melalui berbuat
Guru menggunakan berbagai alat bantu dan cara membangkitkan semangat, termasuk menggunakan lingkungan sebagai sumber belajar untuk menjadikan pembelajaran menarik, menyenangkan, dan cocok bagi siswa
Guru mengatur kelas dengan memajang buku-buku dan bahan belajar yang lebih menarik dan menyediakan sudut/pojok baca
Guru menerapkan cara mengajar yang lebih kooperatif dan interaktif, termasuk cara belajar kelompok
Guru mendorong siswa untuk menemukan caranya sendiri dalam pemecahan suatu masalah, untuk mengungkapkan gagasannya, dan melibatkan siswa dalam menciptakan lingkungan sekolahnya
Tabel 2.2.
Hubungan antara Siswa dan Guru dalam Kegiatan Pembelajaran
SEGI AKTIF KREATIF EFEKTIF MENYENANGKAN
SISW A
• Bertanya
• Mengemukaka
n gagasan
• Mempertanyak an
gagasan orang lain dan gagsaannya
• Merancang/
membuat sesuatu
• Menulis/
mengarang
• Menguasai keterampila n yang diperlukan
Membuat anak :
• Berani mencoba berbuat
• Berani bertanya
• Berani
mengemukakan pendapat/gagsan
• Berani
mempertanyakan gagasan orang lain
GUR U
• Memantau
kegiatan belajar siswa
• Memberi umpan balik
• Mengajukan pertanyaan yang menantang
• Mempertanyak an gagasan siswa
• Mengemba ngkan kegiatan yang beragam
• Membuat alat bantu belajar sederhana
• Mencapai tujuan pembelajar an
Tidak membuat anak :
• Takut salah
• Takut
ditertawakan
• Takut dianggap sepele
Pembelajaran yang Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan perlu diterjemahkan dan dilaksanakan ke dalam bentuk kegiatan yang dapat dilaksanakan di kelas. Kita mencoba
membandingkan dengan gaya lama kita dalam mengajar, sekarang coba kita bayangkan tentang kegiatan pembelajaran yang lebih aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan. Bayangkan pula tentang peran guru, kegiatan siswa, pemanfaatan sumber belajar yang berbeda dengan sebelumnya.
Hal-hal yang harus diperhatikan oleh para guru dalam melaksanakan PAKEM yaitu :
1. Memahami sifat yang dimiliki anak
Harus dipahami bahwa anak memiliki sifat rasa ingin tahu dan berimajinasi. Kedua sifat itu merupakan modal dasar bagi perkembangan sifat/berfikir kritis dan kreatif. Kondisi pembelajaran di mana guru memberikan pujian anak karena hasil karyanya, guru mengajukan pertanyaan yang menantang dan guru memberi motivasi auntuk melakukan percobaan , merupakan pembelajaran yang kaya seperti yang dimaksud.
2. Mengenal anak secara individu (perorangan)
Dalam PAKEM perbedaan individual perlu diperhatikan dan harus tercermin dalam kegiatan pembelajaran. Seperti dikemukakan sebelumnya bahwa dalam pendidikan inklusif sangat menghargai perbedaan. Dengan menghargai perbedaan berimplikasi terhadap sistem perencanaan pembelajaran, strategi pembelajaran dan sistem penilaian hasil belajar dalam seting pendidikan inklusif. Semua siswa dalam kelas tidak selalu mengerjakan kegiatan yang sama, melainkan berbeda sesuai dengan kecepatan belajarnya. Siswa yang mempunyai kemampuan lebih dapat dimanfaatkan untuk membantu temannya yang lemah (tutor sebaya).
Dengan mengenal kemampuan anak, kita dapat membantunya bila mendapat kesulitan sehingga belajar anak tersebut menjadi optimal, sesuai dengan potensi yang dimilikinya.
3. Memanfaatkan perilaku anak dalam pengorganisasian belajar.
Anak sebagai makhluk sosial sejak kecil secara alami bermain bersama, berpasangan atau berkelompok dalam bermain. Perilaku ini dapat dimanfaatkan dalam pengorganisasian belajar. Dalam melakukan tugas atau membahas sesuatu, anak dapat bekerja berpasangan atau dalam kelompok. Berdasarkan pengalaman, anak akan menyelesaikan tugas dengan baik bila mereka duduk berkelompok. Duduk seperti ini memudahkan mereka untuk berinteraksi dan bertukar pikiran. Namun demikian, anak perlu juga menyelesaikan tugas secara perorangan agar bakat individunya berkembang.
4. Mengembangkan kemampuan berpikir kritis, kreatif dan kemampuan memecahkan masalah.
Pada prinsipnya dalam kehidupan ini senantiasa ada tantangan atau masalah yang perlu dipecahkan. Hal ini memerlukan kemampuan berfikir kritis dan kreatif. Kritis untuk menganalisa masalah dan kreatif untuk melahirkan alternatif pemecahan masalah. Kedua jenis berfikir tersebut, kritis dan kreatif berasal dari rasa ingin tahu dan imajinasi yang keduanya ada pada diri anak sejak lahir, oleh karena itu tugas guru adalah mengembangkannya, antara lain dengan sering memberikan tugas dan/atau mengajukan pertanyaan yang terbuka. Pertanyaan yang dimulai dengan kata-kata “Apa yang terjadi jika....” adalah lebih baik daripada yang dimulai dengan kata-kata “Apa, berapa, kapan”, yang umumnya tertutup (jawaban betul hanya satu).
5. Mengembangkan ruang kelas sebagai lingkungan belajar yang menarik.
Ruang kelas harus ditata sedemikian rupa agar menarik. Hasil pekerjaan siswa sebaiknya dipajangkan untuk memenuhi ruang kelas. Pajangan hasil karya siswa diharapkan untuk memotivasi siswa untuk bekerja lebih baik dan menimbulkan inspirasi bagi siswa lain.
Yang dipajangkan dapat berupa hasil kerja perorangan, berpasangan, atau kelompok.
Pajangan dapat berupa gambar, peta, diagram, model, benda asli, puisi, karangan, kliping, dan sebagainya. Ruang kelas yang penuh dengan pajangan hasil pekerjaan siswa, dan ditata dengan baik, dapat membantu dalam kegiatan pembelajaran karena dapat dijadikan rujukan ketika membahas suatu masalah.
6. Memanfaatkan lingkungan sebagai sumber belajar
Lingkungan, baik lingkungan fisik, sosial atau budaya merupakan sumber yang sangat kaya untuk bahan belajar anak. Lingkungan dapat berperan sebagai media belajar, tetapi juga sebagai objek kajian (sumber belajar). Penggunaan lingkungan sebagai sumber belajar sering membuat anak merasa senang dalam belajar. Belajar dengan menggunakan lingkungan tidak selalu harus ke luar kelas. Bahan dari lingkungan dapat dibawa ke ruang kelas untuk menghemat biaya dan waktu. Pemanfaatan lingkungan dapat mengembangkan sejumlah keterampilan seperti mengamati (dengan seluruh indera), mencatat, merumuskan pertanyaan, berhipotesis, mengklasifikasi, membuat tulisan, dan membuat gambar/diagram.
7. Memberikan umpan balik yang baik untuk meningkatkan kegiatan belajar
Kualitas hasil belajar akan meningkat jika terjadi interaksi dalam belajar. Pemberian umpan balik dari guru kepada siswa merupakan salah satu bentuk interaksi antara guru dan siswa. Umpan balik hendaknya lebih mengungkap kekuatan daripada kelemahan siswa. Cara memberikan umpan balik harus secara santun hal ini agar siswa lebih percaya diri dalam menghadapi tugas-tugas belajar selanjutnya. Guru harus konsisten memeriksa hasil pekerjaan siswa dan memberikan komentar dan catatan. Catatan guru berkaitan dengan pekerjaan siswa lebih bermakna bagi pengembangan diri siswa daripada hanya sekedar angka.
8. Membedakan antara aktif fisik dan aktif mental
Aktif mental lebih diinginkan daripada aktif fisik. Sering bertanya, mempertanyakan gagasan orang lain dan mengungkapkan gagasan merupakan tanda-tanda aktif mental. Siswa tidak merasa takut ditertawakan, tidak takut disepelekan, tidak takut dimarahi jika salah merupakan syarat berkembangnya aktif mental.
Berikut tabel beberapa contoh kegiatan pembelajaran dan kemampuan guru yang bersesuaian.
Tebel 2.3 :Kegiatan Pembelajaran dan Kemampuan Guru yang Bersesuaian Kemampuan Guru Kegiatan Pembelajaran
(1) (2)
1. Guru merancang dan mengelola
kegiatan pembelajaran yang mendorong beragam, siswa untuk
berperan aktif dalam pembelajaran. Mengatur tempat duduk siswa berkebutuhan khusus jika di kelas .
misalnya ada siswa dengan gangguan pendengaran. Agar siswa dapat berkomunikasi atau dapat menangkap penjelasan guru dengan baik (dengan membaca gerakan bibir/membaca ujaran) maka siswa harus duduk di depan atau baris ke dua.
Guru melaksanakan kegiatan pembelajaran , misalnya :
• Percobaan
• Diskusi kelompok
• Memecahkan masalah
• Mencari informasi
• Menulis laporan/cerita/puis
• Berkunjung ke luar kelas
2. Guru menggunakan alat bantu dan sumber belajar yang beragam. Di samping menggunakan alat bantu dan sumber belajar yang beragam guru juga harus memahami dan mengetahui cara mengoperasikan alat bantu khusus misalnya alat bantu mendengar (ABM) untuk siswa dengan gangguan pendengaran
Sesuai mata pelajaran, guru menggunakan, misal :
• Alat yang tersedia atau dibuat sendiri
• Gambar
• Studi kasus
• Nara sumber
• Lingkungan