Wang et al. (1998) melaporkan bahwa setelah ikan mati, perubahan- perubahan biokimiawi berlangsung diikuti dengan perubahan secara fisik pada dagingnya. Pada keadaan relaksasi, fosfat berenergi tinggi (ATP) diperoleh dari penguraian keratin fosfat. Adenosin trifosfat (ATP) mulai mengalami penguraian ketika konsentrasi keratin fosfat sama dengan ATP. Penurunan ATP disebut sebagai fase rigor mortis, dan fase rigor mortis secara penuh tercapai ketika ATP berkurang hingga 1 μ mol/g. Pada fase ini daging ikan mengkerut dan menjadi kaku karena terbentuknya ikatan secara permanen antar protein aktin dan myosin menjadi protein kompleks aktomyosin. Pada fillet daging ikan Atlantic salmon (Salmo salar) yang diambil post mortem, fase ini dapat diperlambat dengan penyimpanan pada suhu 0 o C sehingga fase rigor mortis secara penuh dapat dicapai pada jam ke- 60 sampai dengan jam ke-70.
Kolagenase adalah enzim yang dapat menghidrolisa kolagen, yaitu protein yang berbentuk serabut, terdapat hanya pada hewan, misalnya otot achilles dan pada kulit. Aktivitas kolagenase pada post mortem ikan menyebabkan kerusakan tekstur daging ikan, yaitu terpisahnya jaringan ikat daging ikan (gaping). Penelitian terdahulu menyebutkan bahwa pada ikanbandeng (Chanoschanos, Forskal) terdapat aktivitas kolagenase pada fase post rigor. Namun letak kolagenase di dalam organ dalam, aktivitas serta sifat-sifat katalitiknya belum diketahui. Hal ini diperlukan untuk mempelajari kemunduran mutu ikanbandeng. Selain itu, sebagai produk bioteknologi, kolagenase dapat digunakan sebagai alternatif sumber enzim baru, sebab sumber-sumber enzim baru masih diperlukan. Dalam penelitian ini dilakukan purifikasi dan karakterisasikolagenase dari organ dalam ikanbandeng.
Proteolytic enzymes are distributed in all types of organisms including fishes. The cysteine protease is the largest group and includes lysosomal cathepsins were shown to cause softening and degradation of the myofibrillar protein. The action of proteases was regulated with endogenous inhibitors. The purposes of this research were to optimize extraction of protease inhibitor from skin, muscle, and viscera of fishes, to purify chatepsin inhibitor from the selected source, and to study the characteristics of the chatepsin inhibitor. A chatepsin protease inhibitor has been purified to homogeneity from the muscle of milk fish (Chanoschanos, Forskal) and catfishes (Pangasius sp.). Previously, we report the purification and further biochemical characterization of the endogenous chatepsin inhibitor. The purification was carried out by DEAE-Shepadex A-50 and Shepadex G-100. Throughout the purification procedure, chatepsin inhibitory activity was assayed using haemoglobin as substrate. The molecular inhibitor was 16,65 kDa, as estimated by SDS-PAGE and gel filtration. the smaller protein was purified with yield 1,85 % and purity of 16,91 fold. The chatepsin inhibitor was stable in the pH range of 7,0-9,0 with maximum stability at pH 8,0. Inhibitor presented thermal stability at temperature below 60 o C and exhibited maximum activity at temperature of 20-50 o C.
Proteolytic enzymes are distributed in all types of organisms including fishes. The cysteine protease is the largest group and includes lysosomal cathepsins were shown to cause softening and degradation of the myofibrillar protein. The action of proteases was regulated with endogenous inhibitors. The purposes of this research were to optimize extraction of protease inhibitor from skin, muscle, and viscera of fishes, to purify chatepsin inhibitor from the selected source, and to study the characteristics of the chatepsin inhibitor. A chatepsin protease inhibitor has been purified to homogeneity from the muscle of milk fish (Chanoschanos, Forskal) and catfishes (Pangasius sp.). Previously, we report the purification and further biochemical characterization of the endogenous chatepsin inhibitor. The purification was carried out by DEAE-Shepadex A-50 and Shepadex G-100. Throughout the purification procedure, chatepsin inhibitory activity was assayed using haemoglobin as substrate. The molecular inhibitor was 16,65 kDa, as estimated by SDS-PAGE and gel filtration. the smaller protein was purified with yield 1,85 % and purity of 16,91 fold. The chatepsin inhibitor was stable in the pH range of 7,0-9,0 with maximum stability at pH 8,0. Inhibitor presented thermal stability at temperature below 60 o C and exhibited maximum activity at temperature of 20-50 o C.
Aktivitas proteolitik menyebabkan perubahan fungsional dan sifat organoleptik dari daging ikan. Katepsin ditemukan di lisosom serat daging dan di sel fagosit. Lisosom merupakan intraseluler organel yang banyak mengandung enzim hidrolitik dan berperan dalam pencernaan dalam sel. Katepsin merupakan kelompok dari sistein protease diantaranya katepsin B (EC 3.4.22.2) dan L (EC 3.4.22.15) yang dapat menyebabkan terjadinya pelunakan daging (sotening) pada ikan (Ladrat et al. 2006). Katepsin L ditemukan pada sebagian besar proteinase termasuk penyebab degradasi protein mioibril pada surimi ikan Merluccius productus (Morrissey et al. 1995).
Lampiran 1. Rumus-Rumus Yang Digunakan Dalam Perhitungan ................... 23 Lampiran 2. Perhitungan Kurva Baku Pb dan Cd .............................................. 24 Lampiran 3. Berat Penimbangan Sampel ........................................................... 26 Lampiran 4. Berat Penimbangan dan Panjang ikanBandeng (Chanoschanos).27 Lampiran 5. Perhitungan Konsentrasi Pb dan Cd dalam ikan
ASMAUL HUSNIYAH. Analisis Finansial Pembesaran IkanBandeng ( Chanoschanos ) pada Tambak Tradisional dengan Sistem Monokultur dan Polikultur di Kecamatan Mulyorejo, Surabaya, Jawa Timur. Dosen Pembimbing Prof. Moch. Amin Alamsjah. Ir., M. Si., Ph.D dan Kustiawan Tri Pursetyo. S.Pi., M. Vet
Penulisan skripsi ini disusun guna memenuhi salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Biologi pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Malang. Dalam skripsi ini penulis mengambil judul “Pengaruh Berbagai Metode dan Lama Pengolahan terhadap Kandungan Protein dan Lemak Ikanbandeng (Chanoschanos Forks) “
Ikanbandeng ( Chanoschanos Forsk) merupakan ikan bernilai ekonomis tinggi dan salah satu komoditas budidaya ikan yang penting (Rosari, 2014). Produksi ikanbandeng secara nasional saat ini menempati urutan ke-enam setelah rumput laut, patin, nila, lele dan udang. Catatan Kementrian Kelautan Perikanan (KKP) menunjukkan produksi ikanbandeng meningkat lebih dari 17% tiap tahunnya. Produksi ikanbandeng tahun 2012 tercatat 503.400 ton, tahun 2013 ditargetkan mencapai 604.000 ton, dan ditahun 2014 akan tembus 700.000 ton (MAI, 2014).
Kerapatan mangrove pada tambak 1 untuk semai 202 ind/ha, pancang 111 ind/ha, dan pohon 958 ind/ha. Kerapatan mangrove pada tambak 2 untuk tingkat semai 56 ind/ha, pancang 272 ind/ha, dan pohon 47 ind/ha. Kualitas air pada tambak 2 secara umum memenuhi kriteria untuk budidaya ikanbandeng dibandingkan dengan tambak 1. Kelimpahan plankton pada tambak 2 lebih tinggi dari pada tambak 1, kelimpahan diperoleh dengan cara menggunakan metode perhitungan kelimpahan plankton. Hasil produksi ikanbandeng yang diperoleh setelah pemeliharaan 5 bulan yaitu pada tambak 1 adalah 388 Kg dan tambak 2 adalah 592 Kg.
Sampel pada cawan petri dengan ditambahkan media NA lalu diinkubator suhu 37 0 C selama 18 jam. Setelah akhir masa inkubasi koloni yang terbentuk dihitung. Perhitungan jumlah koloni dilakukan menggunakan alat hitung Coloni Counter. Cawan yang dipilih untuk perhitungan ialah yang mengandung antara 30 sampai 300 koloni bakteri. Untuk memperoleh data tentang jumlah koloni bakteri pada ikanbandeng yaitu dengan cara mengambil sampel ikanbandeng yang telah di beri perlakuan dan mengujinya di LaboratoriumBiologi UIN Raden Fatah Palembang.
Ikanbandeng merupakan ikan tambak komoditas unggulan. Produksi ikanbandeng di Indonesia mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Kulit ikan merupakan salah satu bagian pada ikan yang banyak dimanfaatkan selain dagingnya. Kulit ikan banyak digunakan sebagai bahan baku dalam proses pembuatan kerupuk kulit ikan, gelatin, kulit olahan, bahan perekat, serta sumber kolagen untuk kosmetik. Kulit ikan mudah mengalami kebusukan seperti halnya ikan utuh. Tingginya kandungan protein pada kulit ikan menyebabkan kulit ikan mudah mengalami kebusukan. Analisis mikrobiologi, kimia, fisik, dan metode sensori secara organoleptik telah banyak dilakukan untuk mengevaluasi tingkat kesegaran ikan. Informasi dan data mengenai kemunduran mutu secara histologi belum banyak diungkap, oleh karena itu pengukuran mutu secara histologi diperlukan untuk mengungkap karakteristik atau sifat-sifat mutu bahan baku yang tersembunyi.
Ikanbandeng (Chanoschanos) yang dikonsumsi secara luas, dibudidayakan di daerah perairan yang dekat dengan kawasan industri dan pelabuhan di sekitar kawasan pelabuhan Tanjung Emas-Semarang selama bertahun-tahun. Oleh karena itu, perlu adanya penentuan tingkat Pb dan Cd guna menetapkan kelayakan untuk dikonsumsi. Sampel diambil dari lima stasiun di daerah perikanan di sekitar kawasan pelabuhan Tanjung Emas-Semarang. Ikan dikeringkan dalam oven selama 18 jam pada 103 0 C kemudian didestruksi dengan asam nitrat pekat dan peroksida, dan ditentukan dengan Spektrofotometri Serapan Atom (SSA). Data menunjukkan bahwa semua sampel mengandung Pb dan Cd dan konsentrasi stasiun 1 sampai 5 berturut-turut adalah 0,83365: 1,71215: 2,13345: 2,4478: 2,3059 dan 0,0384: 0,10265: 0,0151: 0,0850: 0,11425 ppm. Konsentrasi tersebut telah melebihi ambang batas Standar Nasional Indonesia (SNI) kecuali untuk tingkat Cd pada stasiun 1, 3 dan 4.
sekitar 400 g per ekor, sisik bersih dan meng- kilat, tidak berbau lumpur, dan dengan kandung- an asam lemak omega-3 relatif tinggi. Kriteria yang dipersyaratkan tersebut terutama penampil- an fisik, tidak berbau lumpur, dan kandungan asam lemak omega-3 yang tinggi dapat dipenuhi dari hasil budi daya bandeng secara intensif da- lam keramba jaring apung di laut (Anonim, 2010). Menurut Rachmansyah et al. (2002) kan- dungan EPA (eicosapentaenoic acid) dan DHA (decosahexaenoic acid) pada ikanbandeng yang berasal dari laut masing-masing 1,76 dan 1,39 g/100 g edible portion lebih tinggi dibandingkan ikanbandeng yang dipelihara di tambak yang kandungan EPA dan DHA berturut-turut 1,44 dan 0,44 g/100 g edible portion. Kandungan a- sam lemak omega-3 (EPA dan DHA) pada bebe- rapa jenis ikan laut berkisar antara 0,2-3,90 g/100g edible portion (Fridman, 1988).
Ikanbandeng (Chanoschanos) termasuk ikan bertulang keras (teleostei) dan berdaging putih susu. Struktur daging padat dengan banyak duri halus diantara dagingnya, terutama daging disekitar ekor. Ikanbandeng termasuk ikan yang berukuran besar, berwarna keperakan dan bagian punggung biru kehitaman, memiliki bentuk tubuh memanjang seperti torpedo dengan sirip ekor bercabang sebagai tanda bahwa ikanbandeng tergolong perenang cepat. Kelopak mata menutup keseluruhan mata. Ikan ini memiliki mulut yang kecil, terminal, giginya sedikit dan memiliki tulang penutup insang tambahan sebanyak empat buah. Bentuk sisiknya tipis, kecil, serta tidak mempunyai secute pada bagian perut. Tidak mempunyai jari-jari sirip berbisa, dengan satu sirip punggung yang terletak dipertengahan badan dan sirip perut berbentuk abdominal (Kimura et al. 2000). Morfologi ikanbandeng dapat dilihat pada Gambar 1.
Puji syukur penulis panjatkan kepala Tuhan Yang Maha Esa yang atas berkat, rahmat, dan penyertaan-Nya sajalah penulis dapat menyelesaikan Laporan Skripsi yang berjudul “Identifikasi Keberadaan dan Jenis Mikroplastik Pada IkanBandeng ( Chanoschanos¸Forskal) Di Tambak Wilayah Sem arang”. Laporan Skripsi ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Program S1 Jurusan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang. Dalam laporan ini, dibahas mengenai keberadaan mikroplastik pada ikanbandeng yang dibudidayakan pada tambak, serta air dan sedimen pada lokasi tambak di wilayah Tambak Lorok, Semarang.