• Tidak ada hasil yang ditemukan

ءايلولا نم لإ نهجوزت لو ءافكلا نم لإ ءاسنلا اوحكنت ل

Dalam dokumen Turnitin HAKI Kritik Hadis (Halaman 126-135)

هلوم ديز نب ةماسأ حكنت نا سيق تنب ةمطاف ملسو هيلع الله ىلص الله لوسر رمأ

Hubungan masalah kafa’ah pernikahan‘alawiyyin terkadang dikaitkan dengan surah al-Hujurat ayat 13, maka dengan itu penulis melakukan wawancara kepada beberapa ulama ‘alawiyyin palembang. Berdasarkan hasil wawancara dari beberapa tokoh Habaib di Palembang diantaranya Sayyid Umar Muhdor, beliau mengatakan bahwa surah al-Hujurat ayat 13 ini memberikan suatu penjelasan bahwa Allah-lah yang memliki qudrah dan iradah di dalam menjadikan menusia bersuku-suku dan berbangsa-bangsa dengannya dianjurkan kepada seluruh manusia untuk perlunya saling mengenal dan saling memahami antara yang satu dengan yang lainnya. Namun tidak dipungkiri bahwa ayat diatas pun menegaskan bahwa dari seluruh suku yang multikompleks terdapat juga suku yang mulia, diantara berbagai bangsa ada bangsa yang terbaik. Kemudian beliau mengutip ayat yang berbunyi “ sesungguhnya yang paling dimuliakan diantara kalian dihadapan Allah yaitu mereka yang paling baik taqwanya” lantas beliau mengatakan lagi “ siapakah yang memiliki ketakwaan yang tinggi tersebut? “ Nabilah manusia yang paling bertaqwa, kata beliau. Yang paling baik taqwanya dan yang paling mulia yaitu Rasulullah Saw. Kemudian beliau mengatakan lagi bahwa kata atqaakum yaitu yang paling mulia memiliki dua makna : makna yang pertama adalah paling mulia dari sisi nasab dan yang paling mulia dari sisi ketaqwaan, nasab tidaklah menjadi penentu untuk meraih kemuliaan jika ia tidak bertaqwa, memuliakan orang yang bertaqwa merupakan cerminan dari ketaqwaan seseorang juga, taqwa tiadaklah terjadi kecuali bagi hati yang salim, oseseorang yang memiliki sifat tawadhu’ mereka dapat memahami kelebihan masing-masing dari manusia. Beliau juga menjelaskan bahwa syarat sahnya menikah itu ada dua aspek, yaitu aspek primer dan sekunder, yang merupakan salah satu contoh dari sekunder ini ialah kafa’ah dalam artian makna hukumnya tidak wajib, Imam Syafi’i pun berkata bahwa kafa’ah merupakan bagian dari agama, karena fenomena yang didapati pada zaman dahulu berbeda dengan fenomena zaman sekarang, sebab zaman dahulu walaupun ada sebagian yang menikah dengan ahlil kitab, mereka memang benar ahlu kitab. Beliau juga menjelaskan bahwa syarat yang pokok dalam syarat sahnya pernikahan adalah kafa’ah syarifah, sebab jika calon suaminya orang yang bertaqwa namun tidak memiliki nasab yang bersambung kepada Nabi maka putuslah nasabnya Syarifah tersebut, jika seorang syarifah tersebut hanya mengandalkan nasabnya tanpa taqwa maka akan sia-sia pula. Kafa’ah untuk syarifah wajib hukumnya, karena Rasulullah

sendirilah yang berpesan jikalau tidak menjaga nasabku maka terputuslah syafaatku pada hari kiamat kelak.117

Setelah melakukan wawancara dan mendengar dari penjelasan Ust Muhdhor tersebut, maka dapat disimpulkan dengan apa yang beliau jelaskan mengenai surah al-Hujurat ayat 13 ini secara garis besarnya mengandung 2 aspek:

Pertama, aspek dari nilai ketaqwaan. Mereka mengatakan bahwa al-Hujurat ayat 13 nilai ketaqwaan itu terletak pada Rasulullah Saw. Nilai ketaqwaan ini memang harus di dasari dengan mujahadah atau sungguh-sungguh, jadi seseorang itu tidak bisa dikatakan bertaqwa walaupun ia bernasabkan orang yang mulia, walaupun dari keturunan Rasululllah langsung. Penulis pun berkesimpulan bahwa jika seseorang yang ingin mendapatkan predikat sebagai orang yang muttaqin tentunya harus dengan sungguh-sungguh, jika itu yang dilakukan maka keinginannya akan tercapai, hal tersebut didasari dengan firman Allah dalam surah al-‘Ankabut ayat 69, yang artinya “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.”

Kedua, aspek antara kepribadian dan kafa’ah. Di dalam aspek kedua ini penulis melihat dan menyimpulkan dari hasil wawancara yang dilakukan, bahwa seseorang itu akan mendapatkan jodoh tidak jauh dari kepribadiannya masing-masing sebagaimana terdapat Al-Qur’an surah al-Ahab ayat 35, yang artinya“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.”

117 Wawancara dengan habib S. Umar Muhdhor Syihab, S.Ag, Plaju tanggal 08 Januari 2018.

Ust Muhdhor juga mengatakan bahwa kalau seandainya ada seorang laki-laki yang bertaqwa akan tetapi dia bukan habib maka tidak bisa untuk mendapatkan syarifah, dikarenakan mereka keturunan sayyidah Fatimah118. Oleh karena itu, dari hasil wawancara tersebut diambil kesimpulan bahwa antara kepribadian dan kafa’ah itu tidak bisa disamakan, sudah menjadi sunnatullah jika laki-laki yang beriman akan mendapatkan perempuan yang beriman begitupun sebaliknya. Akan tetapi hal semacam ini tidak berlaku dalam kafa’ah, walaupun seorang laki-laki yang bertaqwa (akhwal) maka ia masih tetap tidak boleh menikahi syarifah karena hal tersebut dapat memutuskan nasab Nabi Muhammad Saw.

Pendapat yang kedua dikemukakan oleh habib Syakir beliau, beliau menjelaskan konsep kafa’ah sebenarnya bukan saja berlaku pada keturunan Alawiyyin, kafa’ah juga berlaku bagi keturunan lainnya, dapat diambil contoh yaitu suku bugis, keturunan sultan dll, mereka sangat menjaga nasab mereka dengan tidak boleh menikah kecuali pada suku atau dari ras mereka sendiri, hal tersebut tentu berlaku juga dengan keturunan Alawiyyinyang sangat teliti dan hati-hati di dalam menjaga nasab mereka. Beliau juga mengatakan bahwa kafa’ah itu merupakan syarat nuzum(keharusan) namun tidak membatalkan suatu pernikahan jika tidak sekufu. Meskipun demikian terdapat juga pendapat ulama yang mengatakan bahwa nuzum merupakan syarat sahnya dalam suatu pernikahan. Jadi, jikalah tidak sekufu’ walaupun ada persetujuan dari walinya, maka pernikahannya tidak sah, dengan kata lain pernikahannya bisa dianggap sebagai zina, dikarenakan sebagian besar dari para Alawiyyin mengambil pendapat bahwa kafa’ah merupakan syarat sahnya suatu pernikahan. Kemudian Beliau berkata hubungan fenomena ini dengan surah al-Hujurat sangat tidak berkenaan dikarenakan ayat ini sangat global. Hububgannya bisa dilihat dari dali surah al-Ahzab ayat 33. Bagi masyarakat Alawiyyin kafa’ah ini bisa juga dikatakan sebagai tradisi, karena mereka berasal dari keturunan mulia yaitu keturunan nabi Muhammad Saw, dan sepatutnya lah mereka menjaga nasab tersebut dengan menjadikan kafa’ah sebagai syarat sahnya pernikahan.119

118 Wawancara dengan habib S. Umar Muhdhor Syihab, S.Ag, Plaju tanggal 08 Januari 2018.

119 Wawancara dengan Ust Syakir, Kuto tanggal 20 Desember 2017.

Dari penjelasan Sayyid Syakir Al-Habsyi ini, disimpulkan bahwa beliau ini lebih menekankan kepada hukum kafa’ah itu sendiri. Beliau ini termasuk orang yang memberikan hujjah/ dalil untuk lebih menguatkan alasan mengapa mereka paraAlawiyyin harus menjaga dengan sangat perhatian masalah kafa’ah ini. Pertama beliau menjelaskan bahwa sesungguhnya kafa’ah tidak hanya berlaku pada kaum Alawiyyyin saja akan tetapi kaum (suku-suku) lain menerapkan sistem kafa’ah ini, contoh suku Bugis.

Akan tetapi dari penjelasannya ini diketahui bahwa suatu kaum saja diperbolehkan untuk menjaga keturunan marganya apalagi kaum Alawiyyin yang notabenenya memang berasal dari keturunan darah Rasul yang mulia.

Kemudian yang diteliti dari penjelasan Sayyid Syakir ini masih menjelaskan masalah kafa’ah dan menekankan tentang hukum dari pernikahan itu sendiri, beliau menjelaskan bahwa kafa’ah itu merupakan syarat dari sahnya suatu pernikahan, jadi menurutnya jika seseorang yang tidak Se-kufu’ maka tidak sah nikahnya bahkan bisa dikatakan zina jika melakukan hubungan. Pendapat ini menurut penulis bersifat ekstrim (keras).

Jika dikaji dari segi hukum Fiqh itu sendiri ditemukan bahwa ada ulama’

yang memasukkan kafa’ah ini sebagai syarat sah pernikahan. Jika dianalisa dari pemikirannya, maksud beliau menetapkan hukum yang ekstrim ini agar orang-orang akhwal yang berniat untuk mendekati syarifah menjadi takut untuk menikahi syarifah begitu juga yang terjadi pada syarifahnya.

Pendapat ketiga, yang dikemukakan oleh Ahmad Syukri Shahab, yang mengatakan bahwa Surah al-Hujurat ayat 13 menegaskan bahwa manusia diciptakan berbangsa-bangsa, bersuku-suku, dengan tujuan untuk saling mengenal. Kita pahami kalimat lita’aarofu itu bukan berarti untuk “saling mengenal” akan tetapi lebih kepada “saling memahami”. Karena sama seperti halnya dengan kata ‘adil, ‘adil bukan berarti menempatkan sesuatu dengan sama rata akan tetapi menempatkan sesuatu pada tempatnya. Kemudian kalimat atqaakum diartikan dengan Rasulullah Saw, yaitu orang yang paling bertaqwa karena disini menunjukkan paling (superlative). Berkenaan dengan kafa’ah kalau dikaitkan dengan al-Hujurat ayat 13 ini, saya menilai dari segi sosiologinya saja.

Dari segi sosiologinya, pernikahan Alawiyyin ini dinamakan asimetris (bahasa Sosioligi) dan dalam ilmu Antropologi itu disebut dengan Endogami yang artinya tidak ada timbal balik. Bahkan sebenarnya bukan hanya di kalangan

Alawiyyin saja yang terjadi seperti ini. Dari konteks realitasnya, menikah itu menghubungkan dua keluarga dan ini merupakan kekhususan dari keluarga Alawiyyin tidak bisa disamakan dengan yang lain. Sama halnya ada satu hari yang disucikan dalam sepekan yaitu hari Jum’at, dan itu merupakan sudah ketentuan awal. Semuanya sudah ditugaskan masing-masing, seperti di negara kita ada rakyat ada raja semuanya saling melengkapi begitu juga dengan Alawiyyin itu sendiri dan tidak bisa manusia itu dikatakan terbagi dua atau bertingkat-tingkat akan tetapi sudah sesuai dengan tugas dan hak nya masing-masing. Sebenarnya yang dianggap mengucilkan diri sendiri itu dari syarifahnya, mereka menarik diri mereka dari yang lain. Kemudian cerdasnya ulama’ zaman dahulu cara mereka mengikat akhwal menjadi bagian sayyid, meraka lakukan dengan mengikat yaitu dengan menyusui atau susuan dan menjadi saudara sesusuan.120

Melihat penjelasan yang disampaikan oleh Syukri Shahab, beliau mengatakan bahwa manusia memang diciptakan bersuku-suku, bangsa. Dengan banyaknya jumlah manusia dan bersuku-suku, berbangsa-bangsa tentu di antaranya terdapat berbangsa-bangsa/ suku yang paling baik, yaitu Rasulullah Saw.

Kemudian beliau tidak banyak menjelaskan tentang dalil-dalil dan hukum daripada kafa’ah itu sendiri, akan tetapi beliau ini lebih menjelaskan menggunakan pendekatan sosiologis. persatuan di kalangan Alawiyyin ini sangat erat bahkan ada mereka yang membuat lembaga kemasyarakatan sendiri yang dinamai dengan rabithah.

Dari hasil pengamatan dan data-data yang didapat oleh penulis, di kalangan para habaib itu sendiri memang mereka sudah dilatih dan diberikan pengarahan khususnya kepada para syaroifnya, agar mereka menjaga darah keturunan Nabi dengan cara harus mencari jodoh dari kalangan yang habaib, hal tersebut memang terbukti dengan cara mereka kebanyakan menjodohkan anak puteri mereka.

Kesimpulan yang dapat penulis simpulkan dari penjelasan Sayyid Syukri ini memang ada rasa khawatir di setiap indivdu dari para habaib maupun syarifah, kaum habaib ini dituntut untuk menjaga keturunan Nabi dengan cara menikahkan anak puteri mereka dengan habib juga. Dan para syarifah pun

120 Wawancara dengan Syukri Shahab, UIN Raden Fatah Palembang, Fakultas Syariah dan Hukum tanggal 02 Agustus 2018.

juga dituntut agar tidak menikah selain kepada habib. Jika mereka melanggar hal tersebut, hal ini bisa menjauhkan hubungan silaturrahmi mereka terhadap sanak saudara, karena dari yang penulis lihat selama melakukan wawancara, jika syarifah yang menikah dengan akhwal maka syarifahnya diasingkan dari keluarga, itulah yang membuat mereka lebih memikirkan hal tersebut sebelum melanggar.

Dari penjelasan ketiga pendapat di atas terkait dengan pemahaman Alawiyyin terhadap pernikahan dan Al-Qur’an surah al-Hujurat ayat 13 memiliki pemahaman yang sama terkhusus kepada dalil-dalilnya, akan tetapi terdapat sedikit perbedaan cara mereka menyampaikan terkait alasan-alasan mereka dalam penerapan dan pemahaman surah al-Hujurat ayat 13 tersebut.

Penutup

Pemahaman tokoh ulama’ Alawiyyin yang berkaitan dengan surah al-Hujurat ayat 13 bahwa manusia itu tidak memiliki pembagian dan tingkatan, namun penafsiran terhadap ayat dalam kalimat atqaakum itu ialah Nabi Muhammad Saw, sedangkan keturunan dan nasab yang bersambung kepada Rasulullah itu merupakan suatu kemuliaan karena sudah menjadi ketentuan dan ketetapan dari Allah Swt.

Terkait dengan fenomena tersebut penulis merujuk kepada teori yang dikemukakan oleh David O Sears yang membagi tindakan manusia itu menjadi tiga aspek, yaitu aspek kognitif (pengetahuan dan pendidikan), aspek afektif (sikap simpati atau antipati), dan aspek konatif (kecenderungan yang disikapi apakah ia menolak atau membiarkannya. Namun jika dikatkan dengan pernikahan syarifah maka letak pernikahan mereka berbeda dengan yang dilakukan masyarakat muslim pada umumnya. Terkhusus kepada syarifah diutamakan harus memilih menikah dengan yang sekufu’ juga yaitu sayyid (keturunan Rasulullah Saw)

Daftar Pustaka

Abdurrahman, Dudung, Metodologi Penelitian Sejarah Islam, Yogyakarta, Ombak, 2012.

Abu Zayd, Hashar Hamid, Al-Qur`an Hermeneutik dan Kekuasaan, Bandung, Korpus, 2003.

Afzalurrahman, Indeks Al-Qur`an, Jakarta, PT Bumi Aksara, 2001.

Agama, Kementerian,Al-Qur`an dan Tafsrinya, Jakarta, Sinergi Pustaka Indonesia.

_________Al,Qur`an dan Terjemahannya, Jakarta, Sinergi Pustaka Indonesia, 2012.

Ali Shabuni, Muhammad, Shafwatu At-Tafāsir, Libanon,Bairut Fikr, t.th.

Alwasilah, Pokok Penelitian Kualitatif Dasar-dasar Merancang dan Melakukan Penelitian Kualitatif, Jakarta, Kiblat Buku Utama, 2003.

Almunadi, Ulumul Qur`an 1, Palembang,Grafika Telindo Press, 2012.

Anwar, Abu, Ulumul Qur`an Sebuah pengantar, PekanBaru,Amzah, 2002.

Hamka, Tafsir Al-Azhar, Singapura,Pustaka Nasional PTE LTD, 2003.

Harahap, Syahrin, Metodologi Studi dan Penelitian Ilmu-ilmu Ushuluddin, Jakarta,Raja Grafindo Persada, 2000.

Mahalli Jalaluddin,Suyuti Jalaluddin,Tafsir Jalalāin, Bandung,Sinar Baru Algensindo, 2014.

_______________, Asbabun Nuzul, Jakarta,Pustaka Al-Kautsar, 2014.

FENOMENA

Dalam dokumen Turnitin HAKI Kritik Hadis (Halaman 126-135)