• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fenomenologi Pernikahan se-kufu pada Masyarakat Palembang Komunitas

Dalam dokumen Turnitin HAKI Kritik Hadis (Halaman 120-126)

`Alawiyyin dalam Perspektif Surah Al-Hujarat: 13

Izmawanti, Idrus Al-Kaff, Erika Septiana Universitas Islam NegeriRaden Fatah Palembang

Abstrak

Melihat fenomena yang ada, didapati suatu perbedaan tata cara pernikahan yang dilakukan oleh sebagian orang islam. Yaitu masyarakat Alawiyyin yang berada di kota palembang dengan tata cara pernikahan masyarakat muslim pada umumnya yang berada di kota palembang. Masyarakat Alawiyyin menerapkan hukum kafa’ah di dalam pernikahannya. Oleh karena itu pembahasan ini diteliti untuk mengetahui alasan-alasan seperti apa saja yang menyebabkan hal tersebut ada. Kemudian dihubungkan fenomena tersebut dengan sebuah teori sosiologi yang dikemukakan oleh seorang tokoh David O Sears yang memandang prilaku manusia terdiri dari tiga aspek, yaitu aspek kognitif, afektif dan konatif.Kesimpulan dari pembahasan ini menunjukan adanya perbedaan pemahaman ‘Alawiyyin dengan beberapa mufassir terkait al-Hujurat ayat 13.

Kata-kata taqwa ( atqaakum ) pada al-Hujurat ayat 13, ‘Alawiyyin mengatakan bahwa tertuju pada Rasulullah Saw sedangkan beberapa mufassir bahwa usaha manusia dalam mencapai tingkat kataqwaan kepada Allah Swt. Oleh karena itu tarkait kafa’ah pernikahan bagi komunitas ‘Alawiyyin di utamakan dengan tujuan menjaga keturunan sampai ke Rasulullah Saw.

Kata kunci: ayat musawah, komunitas ‘Alawiyyin, Fenomenologi.

Pendahuluan

Keberagaman suku dan ras di seluruh dunia menjadi suatu topik yang sangat menarik, keberagaman ini pun menimbulkan suatu tradisi yang berbeda-beda terkhusus untuk masyarat Arab yang tersebar di seluruh pelosok indonesia.108Terdapat juga hal yang sangat menarik di dalam tradisi pernikahan dengan kalangan masyarakat arab terkhusus keturunan alawiyyin yang ada di kota palembang.109, dalam tradisi tersebut terdapat suatu aturan dalam pernikahan yang hanya boleh dilakukan jika mereka memilih satu keturunan yang sama, yaitu nasab mereka harus bersambung dengan Nabi Muhammad Saw. Dengan kata lain pernikahan harus dilakukan antara ahlul bait saja.

Ketika terjadi dilapangan ditemukan sebagian laki-laki dari kaum alawiyyin yang disebut sebagai sayyyid mereka boleh menikahi wanita yang bukan dari keturunan mereka yang biasa disebut akhwal, sedangkan wanita dikalangan mereka yang disebut sebagai syarifah tidak boleh menikah dengan lelaki selain golongan mereka. Hal tersebut menimbulkan kejanggalan dan pertanyaan disebagian masyarakat awam yang menyaksikan fenomena tersebut.

Melihat fenomena tersebut, sebagian orang berpendapat hal tersebut tidak dibenarkan dengan dalil ayat al-Qur’an surah al-Hujarat 13 menegaskan:

Artinya: ”Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi”

Melihat sudut pandang yang berbeda inilah, menarik keinginan untuk meneliti tentang Fenomenologi Pernikahan se-kufu Pada Masyarakat Palembang Komunitas `Alawiyyindalam Perspektif Surah Al-Hujarat: 13

108 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2004), hlm 1

109 Sayyid dan Syarifahialah keturunan nabi Muhammad Saw, yang bernasab kepada Sayyidah Fatimah dan Ali lewat anak mereka hasan dan husein. Lihat dalam bukunya Idrus Alwi Almasyhur, Sekitar Kafa’ah Syarifah dan Dasar Hukum Syarifahnya, (Jakarta: Yayasan Al-Mustarsyidin, 2002), hlm. 25

Batasan dan Pokok Masalah

Agar tidak terjadinya pembahasan yang multitafsir dalam menentukan batasan dan pokok permasalahan, dalam hal ini peneliti hanya menyajikan 2 fokus masalah yakni apa penyebab terjadinya perkawinan sekufu’yang terjadi pada kalangan Alawiyyin, kemudian bagaimana pandangan al-Qur`an terhadap pernikahan se-kufu’. Melihat fenomena yang terjadi pada komunitas Alawiyyinketurunan Arab di Kota Palembang.

Metodologi Penelitian

Penelitian ini merupakan perpaduan antara penelitian lapangan dan pustaka. Penelitian lapangan ini bersifat kualitatif dengan menggunakan pendekatan antropologis. Karena penelitian ini bersifat antropologis, maka dalam pengumpulan data, penulis menggunakan dua metode, yaitu wawancara dan observasi110.

Pengumpulan data yang berbentuk wawancara dilakukan dengan beberapa sayyid dan syarifah dari kalangan Alawiyyin Palembang. Wawancara yang dilakukan bertujuan untuk mencari pemahaman kepada mereka tentang pernikahan Sekufu’

yang terjadi dari dahulu hingga sekarang serta pemahaman tentang al-Hujurat ayat 13.

Di samping wawacara, untuk memperoleh data penelitian ini juga menggunakan metode observasi. Metode ini digunakan untuk mengetahui kegiatan kalangan orang Arab yang berada di kota Palembang. Seperti mendatangi majelis-majelis mereka yang dilakukan hanya para syarifah-syarifah saja walaupun ada juga orang akhwal akan tetapi tidak banyak. Biasanya kegiatan seperti ini dilakukan dirumah-rumah mereka saja.

Untuk menganalisis data, penulis menggunakan beberapa tahapan yakni tahapan mereduksi data, memaparkan bahan empirik, dan kemudian menarik kesimpulan serta memverifikasikannya. Seluruh data yang berasal dari hasil wawancara, pengamatan, arsip maupun dokumen laporan ditelaah. Setelah itu data yang masih kasar tersebut direduksi untuk disederhanakan, sehingga dapat digolongkan dan diorganisir.

110 Sugoyono, Metode Penelitian Kombinasi, (Bandung: Alfabeta, 2015), hlm 188

Datakemudiandipaparkandalambentuktekssehinggamembantudalamp enyusunananalisisdanupayamerumuskankonsep.Data yang dipaparkanterse butkemudianditafsirkanmaknanyadandiverifikasihasilverifikasitentusajaperl uditinjaudenganmelihatkembalikelapanganataudidiskusikansecara informal maupun formal.

Pembahasan

Istilah kafa’ah secara bahasa adalah kesetaraan, keseimbangan dan kesesuaian.Sedangkan menurut istilah dalam islam kafa’ah adalah perasaan keserasian antara calon suami dan istri sebelum menikah yang mana mereka tidak merasa keberatan jika dilangsungkannya pernikahan.

Didapati suatu tradisi yang dilakukan oleh masyarakat kota Palembang, Sumatera Selatan,disini ditemukan tradisi yang berbeda dengan masyarakat lain pada umumnya. Tradisi yang dilakukan orang masyarakat Alawiyyin kota palembang sama seperti yang dilakukan oleh masyarakat kota palembang pada umumnya, namun terjadi hanya beberapa hal saja yang berbeda, yang berbeda hanya di segi tat cara atau prosesinya saja. Hal yang pertama kali dilakukan adalah mungga.Hal yang dilakukan pertama kali oleh orang keturunan Arab adalah mungga (akad nikah). Akan tetapi biasanya sebelum dilakukan hal tersebut, mereka mengadakan tradisi lamaran/tunangan yang biasa disebut dengan ungkapan ngebet, 111 yaitu datang nya pihak dari keluarga laki-laki yang membawa cincin sebagai simbolnya. Ketaika berlangsungnya acara yang hadir hanya pihak laki-laki saja yang merupakan kerabat terdekat dan yang memasangkan cincin ibu dari calon pengantin pria. Kemudian pada acara lamaran atau seserahan mas kawin biasanya dikenal dengan fateha112di mana keluarga laki-laki memberikan seserahan dan biasanya terdapat dua pilihan untuk pelaksanaan acara bisa dilakukan di tempat laki-laki tersebut ataupun di tempat perempuan.

111 Istilah ngebet adalah bahasa yang digunakan oleh orang Arab Palembang yang berarti mengikat si calon pengantin perempuan. Hasil wawancaradengan Toha Alhabsyi, Pengajar Tahfidzul Qur’an, Khoirun Nasyien, Kuto tanggal 02 Juli 2018.

112 Istilahfatehaadalah bahasa yang digunakan oleh orang Arab Palembang yang berarti seserahan (lamaran). Hasil wawancaradengan Habib Novel Bahsin.

Tingkatan nilai menusia untuk memperoleh derajat yang mulia disisi Allah Swt, secara global dan dipahami memang mengacu kepada surah al-hujurat ayat 13 yang menyatakan:

ْم ُك َمَر ْكَا َّن ِا ۚ اْوُفَراَعَتِل َلِٕى ۤاَبَقَّو اًبْوُع ُش ْمُكٰنْلَعَجَو ىٰثْنُاَّو ٍرَكَذ ْنِّم ْمُكٰنْقَلَخ اَّنِا ُساَّنلا اَهُّيَآٰي

ٌرْيِبَخ ٌمْيِلَع َ ّٰالل َّنِا ۗ ْمُكىٰقْتَا ِ ّٰالل َدْنِع

“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah telah menjadikan kalian berupa laki-laki dan perempuan dan dijadikan kalian berbangsa dan bersuku agar kalian saling mengenal. Bahwa sesungguhnya orang yang dimuliakan diantara kalian di sisi Allah adalah yang paling taqwa diantara kalian. Sesungguhnya Allah maha mengetahui dan mengenal.”

Dalam ayat ini, Allah memberitahu kepada manusia bahwa mereka diciptakan dari diri yang satu, yang kemudian dari diri itulah Allah menciptakan Adam dan Hawa, kemudian setelah itu diciptakanlah manusia itu menjadi berbagai suku-suku dan berbagai bangsa-bangsa. Ada yang berpendapat bahwa kata syu’ba bermakna sebagai kabilah non arab sedangkan kobail merupakan suku Arab itu sendiri, namun jika dilihat dari asal kejadiannya manusia sama-sama diciptakan dari tanah liat.113

Telah meriwayatkan Abu Dawud bahwa sesungguhnya ayat ini turun karena suatu peristiwa terjadi pada sahabat Nabi yang bernama Abu Hindin, pekerjaannya yaitu sering membekam Nabi dengan cara dikeluarkannya darah kotor dari kepala Nabi, kemudian Nabi memerintahkan kepada kabilah Bani bayadah untuk menikahkan Abu Hindin dengan seorang wanita dikalangan kaum mereka. Kemudian mereka bertanya “Apakah patut kami mengawinkan gadis-gadis kami dengan budak-budak?” Maka diturunkan ayat ini sebagai teguran kepada mereka untuk tidak memandang remeh seseorang karena suatu kedudukan.

Kemudian ayat ini juga berhungan dengan sebuah peristiwafathul makkah, yang terjadi pada tahun kedelapan hujrah, ketika itu Nabi memerintahkan

113 Kementrian Agama Ri, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2010),hlm 414

kepada Bilal untuk mengumandangkan azan, sebagai tanda kepada mereka dalam melaksanakan shalat berjamaah. ‘Attab bin Usaid ketika melihat Bilal naik ke atas Ka’bah untuk berazan, berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah mewafatkan ayahku sehingga tidak sempat menyaksikan peristiwa hari ini.

‘Haris bin Hisyam, ia berkata, Muhammad tidak akan menemukan orang lain untuk berazan kecuali burung gagak yang hitam ini.” Maksud dari perkataannya yaitu menghina Bilal dikarenakan kulitnya yang hitam. Setelah kejadian tersebut Malaikat jibril mendekati nabi dan memberi tahu kepada Nabi perihal yang mereka katakan. Lalu turunlah ayat yang berisi tentang larangan kepada manusia agar jangan berlaku sombong karena mempunyai kedudukan, harta, pangkat, yang dengannya berlaku sombong dan menghina orang miskin.Dijelaskan juga bahwa mulianya seseorang itu karena dasar taqwa mereka kepada Allah.114

Ulama’ menyepakati bahwadiin atau diyanahadalah penentu derajat seseorang dalam beragama, sebagaimana termasuk dalam masalah kafa’ahbahkan ulama’ malikiyah berpendapat bahwa agama inilah yang dijadikan salah satu kreteria dalam masalah kafa’ah. Pendapat mereka didukung pada ayat Qur’an dalam surah as-Sajdah ayat 18:

َنوَت ْسَي َل اًق ِساَف َناَك ْنَمَك اًنِمْؤُم َناَك ْنَمَفَا

Artinya: “Apakah orang-orang beriman itu sama dengan orang-orang yang fasik? mereka tidak sama”. (Qs. As-Sajdah: 18)

Sebagian ulama’ tidak menentukan suku dan bangsa sebagai acuan dalam hukum kafa’ah. Disamping berpegang pada dalil diatas, terdapat juga realita pada saat Nabi hidup beliau menyaksikan hal tersebut dan beliau tidak mempermasalahkannya.115 Di antaranya ialah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukahari dan Muslim yang bunyinya:

114 Kementerian Al-Quran dan Tafsirnya Agama RI, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2010), hlm 416

115 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2011), hlm 143

هلوم ديز نب ةماسأ حكنت نا سيق تنب ةمطاف ملسو هيلع الله ىلص الله لوسر رمأ

Dalam dokumen Turnitin HAKI Kritik Hadis (Halaman 120-126)