• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tumbuh-kembangnya Wacana Pribumi-Non-Pribumi dari Masa ke Masa

F. Acek Botak dan usaha melampaui stereotip masyarakat Cina 1. Acek Botak: penulis dan sekitarnya

F.2. b. Agama dan adat

Setelah tidak diakuinya oleh Negara selama kurang lebih 30 tahun, Konghucu yang merupakan agama sebagian masyarakat Cina di Indonesia. Agama kemudian

menjadi isu menarik yang sepertinya ‘harus’ diangkat di novel-novel yang menceritakan kehidupan masyarakat Cina. Di masa reformasi, setelah tiga novel yang telah dibahas di atas, Acek Botak juga mengikuti corak yang sama. Novel ini tidak lupa menceritakan sisi agama dari masyarakat Cina.

Novel Acek Botak jika dibandingkan dengan novel dari masa reformasi yang lain di atas berada di antara Ca-Bau-Kan dan Dimsum Terakhir. Seperti telah dibahas terlebih dahulu, Dimsum Terakhir dengan dalam membahas sisi agama keluarga Nung. Perdebatan tentangnya muncul ketika salah satu anak Nung (Novera) memutuskan untuk pindah agama. Dari perdebatan tersebut, dapat disimpulkan bahwa Konghucu adalah bagian penting dari identitas orang Cina. Karenanya keluarga Nung tidak menyetujui tindakan yang diambil Novera walaupun, di akhir cerita, setelah Nung meninggal, semuanya menerima kenyataan tersebut. Wacana seputar agama di Acek Botak tidak sampai sedalam itu. Namun, bagi saya, tetap menjadi sebuah titik yang layak didiskusikan.

Di hari pertamanya di Sumatera, sebelum memulai kehidupannya di tanah tersebut, keluarga Bun Nyan terlebih dahulu mendatangi sebuah kelenteng. Di kelenteng tersebut, mereka disambut oleh si penjaga kelenteng. Kemudian, Bun Nyan menyatakan maksudnya untuk tinggal dan berdagang di daerah tersebut. Saran yang ia dapat dari si penjaga kelenteng adalah ia harus menemui Tengku Chaerudin untuk mendapatkan tanah. Dari cerita tersebut dapat ditangkap bahwa kelenteng sebagai tempat ibadah

156 Konghucu yang dianut sebagian besar orang Cina di masa tersebut merupakan pusat dari komunitas Cina yang ada dan yang baru tiba. Kelenteng menjadi semacam pusat informasi yang berguna terutama bagi mereka yang baru saja datang dan mencari arah penghidupan seperti Bun Nyan. Bisa jadi, tidak berhenti hingga titik tersebut, mungkin saja, kelenteng menjadi tempat bertukar pengalaman antara mereka yang telah terlebih dahulu sampai dengan mereka yang baru saja tiba. Si penjaga kelenteng menjawab pertanyaan Bun Nyan dengan lugas. Mungkin saja itu bukanlah saran pertama yang ia berikan. Mungkin saja ia telah berkali-kali mendapat pertanyaan serupa dari mereka yang baru saja tiba sehingga, dengan mudah, ia dapat memberii acuan pada Bun Nyan. Tapi, satu hal yang harus dicatat di sini adalah bahwa kelenteng bukan saja menjadi tempat ibadah namun juga tempat mencari saran. Di sini, kelenteng memiliki peran yang besar di tubuh komunitas masyarakat Cina.

Dengan kenyataan tersebut, dekatnya mereka dengan tempat ibadah, tentu saja agama memainkan peranan penting. Setelah mendapatkan tanah dari Tengku Chaerudin, Bun Nyan sekeluarga langsung memberisihkan tanah tersebut. Di atasnya kemudian didirikan beberapa bangunan. Salah satu bangunan awal, setelah rumah, yang dibangun mereka adalah altar penyembahan Dewa Bumi. Altar tersebut kemudian menjadi bagian penting yang tak terpisahkan dari kehidupan keluarga Bun Nyan. Setiap hari, pada pagi hari, sebelum memulai aktifitas keseharian seperti menggarap ladang dan berjualan, mereka terlebih dahulu memanjatkan doa di altar tersebut.

Pentingnya sisi relijius orang-orang Cina di Acek Botak adalah Konghucu menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari identitas orang Cina. Karenanya sisi relijius ini digambarkan hanya ada di wilayah keseharian semata. Tidak ada diskusi lebih jauh tentang Konghucu, apalagi dalam perbandingan dengan agama dan kepercayaan lain, seperti dalam DBD. Identitas masing-masing pihak (orang-orang yang ada di tanah Sumatra) yang dihargai adalah pendekatan utama di Acek Botak. Tidak ada imajinasi Tjoe Tat Mo tentang bersatunya identitas dan agama dalam novel Acek Botak. Dengan sisi relijius yang hanya muncul dalam kehidupan sehari-hari orang-orang Cina, terutama

157 Bun Nyan, Acek Botak ingin mengatakan bahwa orang Cina harus dipandang dan dihargai berikut dengan segala hal yang turut membentuk identitas seperti agamanya; sebuah pendekatan yang sama dengan yang ada di Dimsum Terakhir yang juga hanya menceritakan agama sebagai praktik keseharian semata. Karenanya di Acek Botak, masing-masing orang dihargai agamanya walaupun tidak ada pembahasan lebih lanjut. Kartinah dan Iyem adalah dua orang perempuan yang ditolong keluarga Bun Nyan dan, kemudian, tinggal bersama mereka setelah melarikan diri dari kamp kuli perkebunan. Yang satu beragama Islam dan yang lain beragama Kristen Katolik. Wacana tentang hidup berdampingan yang damai antar umat beragama lantas menjadi wacana yang tak terelakkan dengan pendekatan yang mencoba menghargai masing-masing pihak dengan identitasnya. Tampaknya inilah wacana terkuat tentang agama di Acek Botak.

F.2.c. Penyebutan: antara Cina, Tionghoa, Pribumi dan Huanna

Di Tanah Harapan ini Keluarga Tan ini jelas bertemu dengan sekian orang asing. Mereka juga adalah orang-orang asing bagi orang-orang yang kemudian disebut pribumi. Dengan hubungan sosial yang terus terjalin diantara orang-orang ini, mereka kemudian, mau tidak mau, saling menamai dengan referensi yang ada di kepala masing-masing. Kemudian mucullah beberapa istilah dalam novel ini: Cina, tionghoa, pribumi dan huanna.

Acek Botak adalah novel pertama yang dibahas di tesis ini yang menggali permasalahan pemanggilan ini lebih jauh. Memang di novel Dimsum Terakhir terdapat satu adegan ketika Rosy bertabrakan dengan angkot di jalan menuju rumah sakit untuk menjenguk Nung, ia marah-marah karena dipanggil ‘Cina pelit’ oleh si kondektur

angkot tapi tidak ada pembahasan lebih lanjut di sana. Si Putri Cina juga mengesankan hal yang sama. Ia menolak disebut Cina dan ingin disebut pribumi saja. Namun, kedua novel tersebut hanya menceritakan dari sudut pandang orang Cina saja yang berkomentar tentang pemanggilan pada diri mereka. Di Acek Botak, masalah

158 pemanggilan ini dibahas lebih lanjut dengan dua sudut pandang yaitu Cina dan pribumi dan masing-masing pihak berkomentar tentangnya.

Ketika keluarga Tan sampai di Sumatra, mereka dipanggil dengan sebutan

‘Cina’ karena mereka datang dari negeri Cina. Namun, kemudian, Bun Nyan menjelaskan bahwa mereka sebenarnya tidak menyukai panggilan tersebut. Mereka lebih senang disebut Tionghoa. Alasannya, mereka bukanlah orang Qin, yang

merupakan kata asal dari kata ‘Cina’. Mereka adalah orang Tionghoa, yang kata dasarnya adalah Tang, yang merupakan dinasti pertama yang menyatukan

daerah-daerah yang sekarang dikenal sebagai RRC. Bahkan, menurut Bun Nyan. “[m]ereka harus meninggalkan kampong halaman mereka beribu mil jauhnya karena dikejar-kejar akan dibunuh oleh Cina, atau orang-orang bekas Dinasti Qin atau pengikut Cin. Orang-orang Cin itulah yang mereka sebut Cina.145

Bahkan isu tentang pemanggilan ini juga ada di obrolan atar pribumi yang tidak melibatkan orang Cina seperti ketika Kartinah dan Iyem membicarakan bagaimana mereka seharusnya memanggil keluarga Bun Nyan. Di obrolan tersebut, Kartinah mengacu pada omongan Bun Nyan tentang identitas mereka walaupun Kartinah cukup kebingungan dengannya. Dengan kenyataan tersebut, artinya, isu identitas dan pemanggilan ini adalah hal yang penting di Acek Botak karena isu ini nyaris tidak hadir di novel-novel sebelumnya di bab III ini.

Dari sisi pemanggilan pada orang Cina, penjelasan Bun Nyan menyatakan

bahwa panggilan ‘Cina’ adalah panggilan yang menyinggung karena hal tersebut adalah

asil pukul rata dan tidak sesuai dengan identitas mereka sendiri yang sebenarnya. Lantas, bagaimana panggilan orang Cina terhadap orang pribumi? Di bagian menjelang akhir cerita, di bagian ketika Atak mengalami diskriminasi karena tidak mendapat pension sebagai tentara pejuang kemerdekaan, muncul cerita tentang asal-muasal diskriminasi tersebut. Dikisahkan bahwa untuk merebut kembali Hindia-Belanda setelah lepas dari Jepang, Belanda membentuk milisi-milisi. Salah satu milisi tersebut adalah

145

159 milisi yang beranggotakan orang Cina, Poh An Tui. Poh An Tui ini banyak melakukan kekejaman terhadap penduduk. Bahkan, kekejaman mereka ini mencakup kekejaman bahasawi. Mereka menghidupkan sentimen anti-pribumi dengan panggilan huanna pada orang pribumi yang berarti primitif. Hal tersebut tidak lain untuk mengembalikan tatanan masyarakat segregatif yang dijalankan Pemerintah Kolonial Belanda sebelum kedatangan Jepang yang mana, dalam tatanan masyarakat tersebut, orang Cina berada satu tingkat lebih tinggi dibandingan pribumi yang merupakan golongan masyarakat terbawah. Tentu saja hal tersebut memancing sentimen di dalam diri masyarakat pribumi. Mereka menolak disebut huanna karena pengertiannya yang merendahkan diri

mereka: “mereka lebih suka disebut pribumi”.146

Dibandingkan dengan DBD, novel pertama yang dibahas di Bab III ini, Acek Botak memiliki pendekatan yang berbeda ketika bercerita tentang identitas orang-orang di Hindia-Belanda. Wacana DBD adalah wacana yang menganjurkan untuk meleburkan identitas-identitas yang ada di Hindia-Belanda; sebuah peleburan atas segala jenis identitas mulai dari bangsa, agama hingga orientasi politik. Hampir mirip dengan Ca-Bau-Kan yang merayakan identitas-identitas yang ada dengan menceritakan berbagai macam identitas orang Cina yang melebur dengan beragam lokalitas di Hindia-Belanda,

Acek Botak mengedepankan identitas-identitas yang ada di Hindia-Belanda. Acek Botak

ingin menghidupi identitas-identitas di Hindia-Belanda yang ada dengan membaca lebih lanjut pemanggilan-pemanggilan yang ada. Novel ini ingin agar masing-masing golongan diacu sesuai dengan sejarahnya masing-masing dan bukan berdasarkan stereotip-stereotip yang bermunculan dari berbagai pihak. Ia ingin masing-masing pihak, pribumi maupun Cina, bercerita tentang identitasnya sehingga menghasilkan perdebatan tentang identitas yang adil pada kedua belah pihak. Di titik ini, wacana di

Acek Botak satu langkah lebih maju dibanding Ca-Bau-Kan yang hanya merayakan idenitas-identitas Cina di Hindia-Belanda semata (baca: sepihak).

146

160 F.3. Acek Botak dan identitas sosial-politik dan ekonomi orang Cina

F.3.a. Identitas sosial-politik: menelusuri posisi orang Cina di masa kolonial

Seperti telah dijelaskan sebelumnya di Bab II, Hindia-Belanda memiliki strata masyarakat dengan tiga strata sosial yang berbeda. Strata yang pertama, yang paling diuntungkan, adalah orang kulit putih. Di bawahnya, yang kedua, adalah mereka yang disebut vreemde oosterlingen yang mana orang Cina berada di dalamnya. Strata terbawah, pihak yang paling tidak diuntungkan, adalah pribumi. Sub-bab ini akan membahas bagaimana perkara ini dinarasikan dalam sebuah novel yang ditulis di masa Reformasi.

Dilihat dari interaksi sosial yang terjadi di dalam Acek Botak, orang-orang Cina digambarkan lebih dekat dengan pribumi daripada dengan orang Belanda. Interaksi orang Cina-orang kulit putih hampir-hampir tidak diperlihatkan. Sedangkan interaksi pribumi-kulit putih, sebaliknya, cukup banyak diceritakan terutamanya di adegan-adegan yang berlatar perkebunan: pribumi diambil sebagai nyai, pengawas perkebunan yang memarahi mandor etcetera. Di antara ketiga jenis interaksi tersebut terdapat sebuah perbedaan yang mendasar dari segi retorika. Interaksi pribumi-kulit putih menggambarkan sebuah arena kekuasaan yang timpang. Kulit memberi perintah dan pribumi mererimanya. Sedangkan, di sisi lain, interaksi sosial pribumi-orang Cina berjalan cenderung setara seakan keduanya berada dalam strata sosial yang sama. Memang, di beberapa ranah, seperti hukum (peradilan), pribumi dan orang Cina ditempatkan dalam satu bentuk peradilan yang sama: Landraad. Namun, di ranah-ranah yang lain, keduanya dengan tegas dipisahkan.

Kontradiksi hubungan pribumi-Cina dalam strata sosial kolonial yang segregatif itu dengan lugas dibicarakan dalam Acek Botak. Di satu sisi, Acek Botak bercerita, di kehidupan sehari-hari, keluarga Bun Nyan, terutama Atak, berinteraksi secara setara dengan orang-orang pribumi. Atak sehari-harinya, setelah bekerja di ladang, berkeliling ke kamp-kamp kuli perkebunan untuk menjajakan barangnya. Di masa-masa

161 perjuangan, Atak bergabung dengan ketentaraan dan bukan milisi khusus orang Cina. Di masa tuanya, Atak membuka kedai dengan pelanggan yang tentu saja kebanyakan adalah pribumi dan kenalannya selama turut berjuang. Di tiga masa tersebut, dengan kondisi sekitar yang berbeda, pola komunikasinya tidak berubah. Mereka tetap setara. Kalaupun Atak dihormati, hal tersebut karena pangkatnya di ketentaraan. Di luar itu,

tidak ada panggilan kehormatan seperti ‘tuan’ yang lazim muncul ketika pribumi

mengacu pada orang kulit putih. Panggilan yang merendahkan yang biasa dipakai tuan-tuan kulit putih di perkebunan pada kuli juga tidak tampak di pergaulan pribumi-orang Cina. Di dalam interaksi sosial pribumi-Cina tersebut yang membedakan hanyalah corak produksi (pekerjaan) keduanya. Atak dibesarkan dan bekerja sebagai seorang pedagang. Sebagian besar teman pribuminya sangat jarang yang menjadi pedagang. Hal tersebut akan dibahas lebih jauh di sub-bab berikutnya.

Apabila dibandingkan dengan novel dengan latar waktu yang sama, namun dari masa yang berbeda (DBD), kita akan mendapati cerita yang sama sekali berbeda. Sepintas kita melihat interaksi antara Dolores, Tat Mo, Moestari dan Noerani sangatlah dekat namun, seperti telah diungkap di awal bab ini, ada jarak yang jauh di interaksi pribumi-orang Cina ini yang mana Tat Mo menjadi sumber pengetahuan dari Noerani dan Moestari dan menciptakan hubungan yang hampir-hampir seperti guru dan murid (tidak setara): sebuah hal yang menunjukkan bahwa mereka berada di kelompok sosial yang berbeda. Ketimpangan tersebut muncul secara tidak sadar di DBD. Kasus yang hampir serupa saya dapati di Ca-Bau-Kan. Ketimpangan muncul secara tidak sadar melalui cerita yang dirangkai seperti centeng selalu pribumi, semua tokoh Cina di sana memiliki pembantu pribumi dan tokoh-tokoh Cina yang muncul sebagian besar adalah pengusaha-pengusaha besar yang biasa dipanggil ‘tuan’. Tidak ada cerita gamblang tentang konstelasi kehidupan sosial segregatif yang jelas merupakan sumber ketimpangan tersebut. Di dalam Acek Botak, meskipun memiliki wacana tentang Cina yang inklusif, dengan penggambaran interaksi sosial yang setara, sumber ketimpangan tadi diceritakan dengan lugas terutama kebijakan-kebijakan kolonial.

162 . Terkait dengan kebijakan segregatif tersebut, di awal kedatangan keluara Bun Nyan diceritakan kondisi Sumatra yang berisi perkebunan-perkebunan milik Pemerintah Kolonial Belanda. Di dalam perkebunan-pekebunan tersebut, kuli-kulinya diberi tempat tinggal yang terpisah-pisah berdasarkan bangsa. Kuli-kuli Cina memiliki tempat tinggal dan lahan bekerja yang berbeda dengan kuli-kuli pribumi yang sebagian besar didatangkan dari Jawa. Lebih jauh, terkait dengan segregasi yang memiliki keuntungannya tersendiri bagi para pendatang Cina adalah kebebasan orang Cina dalam hal perjalanan. Hal tersebut ketika Atak menjemput A Lin yang melarikan diri dari tempat pelacuran. Hal tersebut terjadi ketika malam hari. Beberapa hari sebelum Jepang masuk Sumatra. Mereka, Atak dan A Lin, sempat diberhentikan di sebuah pos penjagaan namun segera dilepaskan setelah diketahui bahwa mereka orang Cina dan mengaku dari sebuah keluarga terpandang. Hal yang serupa diceritakan kembali pada masa Agresi Militer Belanda. Saat itu, di beberapa wilayah, dibagi-bagi antara wilayah

Belanda dan Indonesia. Namun, yang menarik, “[o]rang-orang Tionghoa, dibebaskan memasuki kedua wilayah. Bagi orang Tionghoa, tidak ada batas embarkasi.”147

Sedangkan untuk pribumi, mereka tidak boleh memasuki wilayah yang termasuk ke dalam wilayah Belanda.

Sekarang kita akan memasuki masa pergolakan politik; perebutan kekuasaan politik antara kekuatan republik dan Belanda. Bagaimana posisi orang Cina yang posisinya mendua sebagai warga kelas dua? Di Acek Botak diceritakan seluruh warga Hindia-Belanda gembira ketika mendengar Jepang akan memasuki Hindia-Belanda dan mengusir Belanda. Hal yang sama juga dirasakan keluarga Bun Nyan terutama Atak dan kawan-kawannya baik yang pribumi maupun yang Cina. Setelah kekalahan Belanda, mereka memanfaatkan momen tersebut untuk membumihanguskan kantor-kantor perkebunan beserta dengan arsip-arsip di dalamnya agar nama-nama kuli dan catatan-catatan yang terkait hilang sehingga para kuli menjadi orang bebas termasuk keluarga A Hong dan A Lin. Bersatunya pribumi dan Cina ini kemudian dimanfaatkan oleh Jepang

147

163 dengan membentuk Heiho. Atak dan kawan-kawannya seperti A Hong, Darsono, Asiong, Tek Gan dan Supri lantas bergabung dengan paramiliter bentukan Jepang tersebut.

Mereka latihan setiap pagi sampai sore. Pukul 16 mereka baru pulang ke rumah

masing-masing…latihan terasa berat dan penuh dengan disiplin tentara...empat bulan lamanya mereka latihan dengan tekun. Setelah selesai latihan, mereka dilantik. Kemudian dibagi dalam peleton tertentu. Ternyata keenam sahabat itu, tidak berada dalam satu peleton, justru berlainan peleton.148

Begitulah kehidupan kehidupan orang-orang di daerah Atak pada masa awal pendudukan Jepang. Dari sana tampak bahwa hampir seluruh warga baik yang pribumi maupun yang Cina berpihak pada Jepang yang mereka pikir akan membawa kemerdekaan bagi mereka. Tampaknya kehadiran Jepang tidak hanya mengusir Belanda namun juga segregasi yang selama pendudukan Belanda dihidupi.

Di masa berikutnya, saat Jepang telah kalah, pelatihan ketentaraan yang didapat keenam sahabat tadi digunakan untuk bergerilya melawan Belanda yang mencoba kembali. Sebelum mereka bergabung dengan tentara Republik, mereka masing-masing mencari orang dan membentuk regu yang masing-masing dipimpin oleh keenam sahabat tadi ditambah regu milik Sami, seorang India Tamil, yang bersikeras anak buahnya harus berada di bawah pimpinannya. Pasukan milisi tersebut kemudian menamai dirinya sebagai Pasukan Alap-alap. Dari sana lah Atak dan kawan-kawannya merintis karir militernya. Atak kemudian pensiun dengan pangkat sersan. Hal yang mengenaskan kemudian justru terjadi di masa kemerdekaan karena Atak dan kawan-kawannya yang bukan pribumi seperti Sami, Asiong dan A Hong tidak tidak diakui kewarganegaraannya sehingga dianggap tidak layak mendapatkan pensiun sebagai veteran. Akan tetapi, yang jelas, di masa-masa tersebut digambarkan sekat-sekat yang dibentuk Belanda memudar dan orang Cina memiliki keberpihakan politik yang sama dengan pribumi. Akan tetapi, permasalahan segregasi ini, tidak hilang sama sekali

148

164 karena ada sekelompok orang Cina yang ingin tetap hidup di alam segregasi karena, seperti telah diungkapkan sebelumnya, mereka memiliki keuntungan lebih dibandingkan dengan pribumi. Orang-orang Cina ini diwadahi oleh Belanda, yang tentu ingin mempertahankan kekuasaannya di Hindia-Belanda, dalam Poh An Tui; sebuah kelompok milisi yang beranggotakan orang-orang Cina.

Apabila dibandingkan dengan DBD, yang lahir di masa yang menjadi latar novel tersebut, pandangan politik orang Cina di Acek Botak jelas lebih tegas. Meskipun Tat Mo menunjukkan ketidaksenangannya dengan Belanda namun ia juga sangat sinis dengan pergerakan PKI yang ia kritik habis-habisan dan dianggapnya sebagai kumpulan orang yang tidak mengerti secara mendalam tentang Komunisme. Di DBD juga tak terlihat adanya tokoh Cina yang dengan jelas memihak salah satu pihak di pergolakan politik yang terjadi. Acek Botak, selain lebih tegas, juga berhasil menangkap dampak dari segregasi yang paling tidak memecah orang Cina menjadi dua kelompok: pro-kemerdekaan dan pro-Belanda. Bagaimana jika Acek Botak disandingkan dengan Ca-Bau-Kan yang se-zaman kemunculannya dan berlatar waktu sama? Di kedua novel tersebut, orang-orang Cina digambarkan terpecah juga. Di Ca-Bau-Kan ada para anggota Kongkoan yang pro-Belanda dan Tan Peng Liang yang pro-kemerdekaan dan menjadi pemasok senjata. Namun ada perbedaan yang menurut saya perlu diperhatikan yaitu gaya perjuangannya. Atak, A Hong, Asiong dan Tek Gan menjadi tentara. Sedangkan Tan Peng Liang memberii sokongan ekonomi. Padahal Atak dan A Hong juga pedagang. Artinya, seperti ditekankan di pembahasan novel Ca-Bau-Kan, novel tersebut yang terbit di awal masa Reformasi memang belum lepas dari stereotip orang Cina sebagai orang kaya dan hanya berkecimpung di dunia bisnis bahkan keculasannya yang terus mengikuti kemanapun orang Cina pergi juga hadir di tokoh-tokoh Cinanya. Di sisi lain Acek Botak telah mengkritisi stereotip tersebut.

Dengan penggambaran kondisi dan interaksi sosial-politik yang ada, Acek Botak

merekam dan mengkritisi kontradiksi-kontradiksi yang hadir di masa kolonial terutama ketimpangan yang muncul pada hubungan pribumi-orang Cina. Dengan menceritakan

165 ketimpangan-ketimpangan di masa kolonial tersebut, novel Acek Botak menyediakan sebuah latar yang dapat mengubah cara pandang pada pada yang terjadi kemudian hari seperti tidak diakuinya kewarganegaraan orang-orang Cina meskipun mereka adalah veteran perang kemerdekaan seperti Atak. Dengan kata lain, dengan lugas, Acek Botak

menunjuk hidung Pemerintah Kolonial Belanda, dengan politik segregasinya, sebagai akar permasalahan dan hanya dengan menceritakannya dengan adil masalah hubungan pribumi-Cina dan stereotip yang muncul di dalamnya ini dapat diselesaikan.