MASYARAKAT CINA DAN KEKERASAN OBYEKTIF DALAM
KARYA SASTRA; SEBUAH KRITIK IDEOLOGI ATAS
MULTIKULTURALISME
TESIS
Untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar Magister Humaniora (M. Hum)
di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Oleh :
Alwi Atma Ardhana
106322012
Program Magister Ilmu Religi dan Budaya
Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta
vi
vii
PERSEMBAHAN
Karya ini secara khusus saya persembahkan kepada
kedua orang tuaku,
Babe (Aliman Susilo Ajib, S. IP) dan Mami (Wiwik Hasta Pratiwi),
kedua adikku tercinta,
Lita dan Ara,
viii
KATA PENGANTAR
Sejatinya, sebuah tesis adalah sebuah bagian kecil dari proses pendewasaan seseorang secara intelektual dan personal; sebuah proses untuk memberi makna pada lingkungan sekitar dan menyumbangkan sesuatu (sebuah jawaban mungkin?). meskipun saya dapat dikatakan telah menyelesaikan tesis ini, di titik ini, saya tidak yakin bahwa telah benar-benar memberi jawaban pada permasalahan yang ada melalui tesis ini. Akan tetapi, saya yakin benar bahwa saya kini memiliki pemaknaan yang lebih baik atas pertanyaan (permasalahan) yang ada. Permasalahan terkait dengan ideologi dan identitas masyarakat Cina di Indonesia, yang saya coba angkat di tesis ini - bukanlah sebuah permasalahan yang bisa dipecahkan dalam waktu yang singkat. Jadi, selesainya tesis ini – meskipun telah menggunakan energi ekstra dalam proses pengerjaannya - hanyalah sebuah peran kecil yang saya ambil dalam
‘permainan’ di wilayah tersebut. Dan peran kecil saya tersebut tidak mungkin adanya jika saya saya tidak mendapat sokongan yang luar biasa dari banyak pihak. Karenanya halaman-halaman berikut ini saya persembahkan untuk mengucap terima kasih pada pihak-pihak tersebut.
Yang pertama dan utama, saya ingin berterima kasih kepada kedua orang tua saya –babe dan mami – yang sejak awal, dengan segala kepercayaan dan keteguhan hatinya yang dimilikinya, mendukung pilihan studi lanjutan anaknya meskipun pilihannya agak ‘tidak wajar’. Saya juga berterima kasih pada dua adik perempuan saya – Lita dan Ara – yang selalu menemukan cara untuk mendorong saya untuk tidak menyerah. Terima kasih juga pada Pakdhe Edi, Budhe Indi’, Budhe Suster dan Mbeta (Bernadetta Diah Ariani) untuk dorongannya dengan caranya masing-masing. Berikutnya, saya ingin mengucapkan terima kasih pada keluarga baru saya terutamanya istri saya tercinta – Indra Puspita Dewi – yang kesetiaan, kesabaran, dan
ketabahannya semenjak masih berstatus ‘pacar’ haram jika masih diragukan (saya yakin menunggu orang sekolah itu lebih berat dari orang sekolah). Keluarga Halim -
papah dan mamah mertua - saya kira juga lebih dari pantas disebut di kesempatan ini mengingat dorongan dan keyakinan mereka pada saya tak terkira pentingnya dalam proses penulisan tesis ini.
ix dengan segala kenekatan, gunakan untuk menyusun tesis yang seadanya ini. Untuk semua staf pengajar di Ilmu Religi dan Budaya, saya juga haturkan terima kasih yang seluas-luasnya: Dr. FX. Baskara T. Wardaya, S.J., Dr. G. Budi Subanar, S.J., Dr. George Aditjondro dan dosen-dosen lain yang tak dapat sebutkan satu per satu. Jikalau ada kesalahan – dan pasti adanya – dalam tesis ini, hal tersebut sepenuh-penuhnya disebabkan oleh kemalasan dan keteledoran saya semata dan bukan karena kerja keras dosen-dosen sekalian. Selain itu, saya juga hendak berterima kasih pada semua staf Ilmu Religi dan Budaya: khususnya Mbak Desi (terima kasih untuk
kegigihan ‘teror’-nya - trust me it works!) dan Mas Mul (terima kasih untuk kopi
dan pertanyaan ‘nylekit’ ‘kapan rampung?’-nya dan maaf atas abu rokoknya ya,
mas. Saya khilaf.).
Rasa terima kasih yang tak terkira saya ucapkan pada kawan-kawan senasib dan sepenanggungan di IRB, mediasastra.com, eks-Sastra Sanata Dharma, ‘New Star’, kontrakan Monjali dan sekitarnya: Zuhdi dan tentu saja Mbak Laksmi (sembah miring wolak-walik plungkak-plungkik buat tuan dan nyonya ndalem Kabunan), Mando (obrigado, camarada!), Lisis, Aban Irpang, Gintani, Pongkot, Bang Ben, Mas Win, Amsa, thunder buddy saya - Acong, Muji (terima kasih untuk segalanya yang ruwet, ribet dan njelimet!), Fafa, Doni, Jati, Arham, Imran, Lamser, Frans, Ani,
Vini, Umi, Padmo, Rendra, Jeje, Herman ‘Cheng’ (jebul kowe lulus e ngenteni aku to!), Pak Moko dan kawan-kawan lain yang tak dapat saya cantumkan satu per satu.
Akhirul kalam, terima kasih banyak dan tertawalah sebelum tertawa itu dilarang!
Yogyakarta, 1 Agustus 2014
x
ABSTRAK
Permasalahan identitas masyarakat Cina di Indonesia adalah sebuah permasalahan yang pelik karena selalu terkait dengan ideologi dominan yang berkuasa. Untuk itu saya ingin mengunjungi kembali permasalahan tersebut tapi pada kesempatan ini melalui karya-karya sastra; sebuah pilihan yang berangkat dari keyakinan bahwa karya sastra memiliki daya tawarnya yang unik. Hal tersebut karena bagi saya tumbuh-kembangnya komunitas masyarakat Cina di Indonesia terendapkan dan terwakili dengan baik dalam dunia sastra.
Ketika ditelusuri lebih mendalam, enam karya, dari tiga masa yang berbeda, yang saya kaji memiliki hubungan yang ambivalen (symptomatic) dengan ideologi dominan pengelompokkan masyarakat di masanya masing-masing. Menariknya, karena tak sepenuhnya tunduk pada ideologi dominan tadi, karya-karya tersebut menunjukkan permasalahan dan posisi masyarakat Cina sesungguhnya. Drama di Boven Digoel karya Kwee Tek Hoay, dari masa Politik Etis, menunjukkan bagaimana masyarakat Cina memiliki kesulitan untuk menjadi pribumi karena posisinya yang lebih diuntungkan sebagai akibat dari politik segregasi. Dengan kata lain, terdapat sebuah superioritas yang selalu menaungi hubungan Bangsa Cina dan kaum Indonesier (pribumi) sehingga persatuan identitas urung tercapai. Di Lucy Mei Ling yang ditulis di masa kejayaan Orde Baru, identitas berbasis superioritas ekonomi masyarakat Cina ini masih kental terasa. Novel ini tak mampu membahasakan permasalahan yang ada berkenaan dengan ketimpangan identitas (ekonomis) tadi karena politik asimilasi a la Orde Baru yang mewajibkan hilangnya sejarah (identitas). Di masa pasca-Orde Baru yang membawa multikulturalisme sebagai ideologi dominannya, karya-karya sastra bertema kehidupan masyarakat Cina memiliki kecenderungan menarasikan masyarakat Cina sebagai kelompok masyarakat yang merupakan korban penindasan kultural semata. Sehingga, sisi kultural identitas mereka harus dirayakan keberadaannya. Padahal jika dilihat secara historis, permasalahan dengan identitas masyarakat Cina bukan semata-mata urusan kultural. Sesungguhnya kepentingan ekonomis rezim penguasalah yang mendasari semua kebijakan-kebijakan tadi.
Hasilnya adalah cara pandang esensialis dan ahistoris terhadap posisi dan identitas masyarakat Cina di Indonesia. Perayaan multikulturalisme yang saya temui adalah perayaan kultural yang hanya menjunjung kesetaraan tanpa mempertimbangkan ketimpangan berbasis ekonomi yang ada.
xi
ABSTRACT
The case of Chinese-Indonesian is not a simple case for it was always related to reigning regimes and its’ dominant ideologies. From such understanding, I revisit the case. Yet, in this research, I sought to seek the case through the realm of literature for I believe that literary works offer unique ways of perceiving the case. Moreover, I believe the up-and-downs of the community of Chinese-Indonesians were well sedimented and represented in the realm of literature.
When further acts of analysing were taken, the six literary works, from three different eras, I chose to be the subjects of the research showed an ambivalent (symptomatic) relationship with the ideologies of social-categorization of their times. Those six literary works (novels) led me to the transgressive side of the dominant ideologies and deeper understanding of the problems with the identity and position of Chinese-Indonesians. Drama di Boven Digoel written by Kwee Tek Hoay from Colonial Indonesia showed me how the ‘privileged’ socio-economic position – thus identity – of Chinese-Indonesians during the heyday of the Ethical Policy (politics of segregation) had become a hard-to-break wall to be pribumi. The next novel, Lucy Mei Ling, showed how difficult it was for a writer to write about Chinese-Indonesians during the golden days of the politics of assimilation – the identification of Chinese-Indonesians through their economic presence and not the ethno-cultural presence. The novel contributed to the analysis in the sense of showing the deepest logic of assimilative social-categorization in New Order Indonesia. It showed us – for one more time - how dominant ideology became our horizon of identification while providing the language we use. In contemporary Indonesian literature, Chinese-Indonesians theme have become more and more visible. It happens under the light of multiculturalism with the celebration of Chinese-Indonesians’ culture and victimized minority.
Furthermore, the four novels from post-New Order Indonesia with their complicated relationship with the dominant ideology (multiculturalism) showed the ideological edge of multiculturalism; its’ transgressive side; the abandonment of economic analysis. The abandonment itself was caused by over-exposure of cultural celebration (essentialism) and the story of victimization (ahistoricism). Thus, multiculturalism is driving us away from the real problem in the realm of economic gap created by older regimes.
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ……….……….…....…. i
HALAMAN PERSETUJUAN UJIAN TESIS…....…………..…………..…...…ii
HALAMAN PENGESAHAN TESIS ………...… iii
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN ………. iv
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ………. v
MOTTO ……….… vi
PERSEMBAHAN ……….……...… vii
KATA PENGANTAR ……….…………..…. viii
ABSTRAK ………..…….…. ix
ABSTRACT ……….………...…. xi
DAFTAR ISI ……….…….. xii
BAB I PENDAHULUAN ………..… 1
A. Latar Belakang ………...………... 1
B. Rumusan Masalah ………..……..……...…… 13
C. Tujuan Penelitian ………...…..…... 13
D. Manfaat Penelitian ………..…...……….… 14
E. Kajian Pustaka ………...………... 14
F. Kerangka Teoritik ………...………..…….……….... 23
F.1. Multikulturalisme : Sejarah, Wacana dan Kritik Atasnya ..…. 29
F.2. Wacana Korban dan Fantasinya tentang Cina di (Sastra) Indonesia...41
BAB II TUMBUH-KEMBANGNYA WACANA PRIBUMI-NON-PRIBUMI DARI MASA KE MASA ………...…………..……… 53
A. Politik Etis: Identitas Non-Pribumi (Cina) dalam Kepentingan Ekonomis Kolonial ………..………...……. 54
xiii
A.2. Pendidikan ………...……….... 61
A.3. Politik dan Hukum ………...………….... 64
B. Orde Baru: Identitas Cina Warisan Kolonial dalam Politik Asimilasi.... 66
B.1. Sosial dan Budaya ……….……...…… 71
B.2. Politik dan Ekonomi……….……...………. 76
C. Masa Reformasi: Multikulturalisme dan Perayaan atas Hal-Hal yang
Dipinggirkan ………...………….. 84
C.1. Sosial dan Budaya ………....………….... 88
C.2. Politik dan Ekonomi ………...………...….………. 92
BAB III WACANA CINA DAN (IDEOLOGI) KARYA SASTRA
DARI MASA KE MASA ………...………….………. 97
A. Drama di Boven Digul: Kolonialisme dan Masyarakat Cina ...……. 99
A. 1. Drama di sekitar Drama di Boven Digul……....…..………. 99
A. 2. Drama di Boven Digul dan Peleburan Identitas melalui Narasi
tentang Bahasa dan Agama...… 102
A. 3. Drama di Boven Digul dan Peleburan Identitas melalui Narasi Politik …... 108
A.4. Wacana Peleburan Identitas dan Politik Segregasi
di Masa Kolonial…...…....112
B. Lucy Mei Ling dan Politik Asimilasi Orde Baru…...112
B.1. Lucy Mei Ling sebagai Sebuah Usaha Menyelamatkan Identitas
Kultural Masyarakat Cina dalam Politik Asimilasi...…………...115
B.2. Wacana Cina sebagai Identitas Ekonomi....………....121
C. Ca-Bau-Kan: Narasi tentang Orang Cina di antara Stereotip, Trauma pada Kekerasan dan Pengangkatan Kultural………...………..123
C.1. Ca-Bau-Kan dan Penulisnya……...…...…………..123
xiv C.3. Ca-Bau-Kan dan Identitas Sosial-Ekonomi-Politik Cina…...127
C.4. Ca Bau Kan sebagai Sebuah Perayaan Kultural…….………130
D. Putri Cina : Sebuah Lamentasi atas Posisi Diuntungkan
Masyarakat Cina….………...132
D.1. Putri Cina dan sekitarnya…...…....………132
D.2. Putri Cina dan Identitas Kultural Cina…....………134
D.3. Putri Cina dan Identitas Sosial-Ekonomi Orang Cina………137
D.4. Wacana Masyarakat Cina sebagai Korban yang Mapan
secara Ekonomis …..………...…….... 140
E. Dimsum Terakhir: KeCinaan dan Keperempuanan………...141
E.1. Dimsum terakhir: Penulis Keturunan Cina dan Karyanya.…..141
E.2. Dimsum Terakhir: Identitas Kultural Cina Indonesia
di Masa Reformasi……...……….………….142
E.3. Identitas Sosial-Politik-Ekonomi Cina di Indonesia……....…146
E.4. Dimsum Terakhir dan Kegalauan Identitas Cina
di Indonesia….…...…....…148
F. Acek Botak dan Usaha Melampaui Stereotip Masyarakat Cina….…...149
F.1. Acek Botak: Penulis dan sekitarnya..………..…………..149
F.2. Acek Botak dan Identitas Kultural Orang Cina..………….…153
F.3. Acek Botak dan Identitas Sosial-Politik dan
Ekonomi Orang Cina...……..160
F.4. Wacana Sejarah sebagai Jalan Keluar Melampaui Stereotip
Ekonomi Masyarakat Cina..……….…..………..168
BAB IV IDEOLOGI MULTIKULTURALISME DAN IDENTITAS CINA
WARISAN KOLONIAL DAN ORDE BARU..………..…170
A. Symptom dalam Karya Sastra yang
xv A.1. Wacana Superioritas Kritis Kwee Tek Hoay di Masa Politik
Segregasi Kolonial……...………...171
A.2. Superioritas Ekonomis dan Inferioritas Kultural di Lucy Mei Ling…...178
A.3. Multikulturalisme dan Kekerasan di Empat Novel Masa Reformasi...….184
A.4. Multikulturalisme setelah Symptom-Symptom…...…………205
A.5. Multikulturalisme setelah Usainya Perayaan……...…...217
BAB V PENUTUP…….…..……….………….……..…227
1 BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
“Cina” adalah sebuah kata yang asing di telinga saya paling tidak hingga menjelang lulus sekolah dasar. Bahkan saat itu, saya tidak dapat mengidentifikasi orang
dengan label tersebut. Padahal saya lahir dan mengalami sebagian masa kecil saya di
pusat kota Jogja. Rumah saya hanya berjarak satu kilometer dari Tugu Jogja. Saya
tinggal di rumah peninggalan keluarga ibu saya yang tidak jauh dari jalan raya dan
berada di belakang deretan pertokoan. Dengan kondisi tersebut, seharusnya saya akrab
dengan istilah ‘Cina’. Karena – seperti yang saya sadari ketika dewasa – daerah pertokoan di pusat kota dimiliki oleh orang-orang Cina. Bahkan ternyata – ini baru saya
sadari setelah menjelang lulus sekolah dasar tadi - tetangga sebelah rumah yang
sama-sama membuka toko kelontong adalah seorang Cina. Lantas, apa yang kemudian
membuat saya dapat menilai apakah seseorang tersebut Cina atau bukan? Jawabannya
adalah iklan sebuah produk di televisi yang seingat saya memiliki tokoh-tokoh dari
berbagai latar budaya. Salah satu tokohnya adalah seseorang bernama Acong. Nama
yang cukup aneh, paling tidak untuk saya, jika dibandingkan dua tokoh lain di iklan
tersebut memiliki nama yang dekat dengan telinga saya: Joko dan Sitorus. Saya tinggal
di Jogja jadi ‘Joko’ tentu sangat familiar. Sedangkan untuk nama ‘Sitorus’, jelas saya
sangat akrab. Ayah saya adalah seorang Jawa-Deli – orang Jawa yang lahir dan besar di
Sumatra Utara –seperti halnya kakek saya - yang merupakan keturunan dari kuli-kuli
kontrak asal Jawa yang diculik dari Jawa oleh Belanda. Jadi, nama marga Batak seperti
Sitorus adalah hal yang biasa saya dengar. Tapi ‘Acong’? Itu baru asing. Dalam iklan
tersebut, Acong adalah anak seorang pedagang beras dan ia adalah keturunan Cina. Dari
sana lah, saya kemudian mampu mengidentifikasi orang-orang Cina karena iklan
tersebut menautkan beberapa hal di luar ciri-ciri fisik – seperti perdagangan – dengan
2
Sebelum saya melihat iklan tersebut, saya bahkan tak dapat melihat tetangga sebelah
rumah tadi sebagai seorang Cina padahal saya selalu memanggilnya Bu Pin Hwa.
Dampak lain dari iklan tersebut yang terjadi di sekitar saya, ada seorang anak di sekolah
saya yang kemudian mendapat panggilan ‘Acong’. Menjadi Cina lah dia.
Beberapa tahun setelahnya, Indonesia dipenuhi dengan kekacauan. Yang saya
ingat ibu saya kemudian mengeluh karena tingginya harga barang-barang. Dan saya
menjadi akrab dengan demonstrasi mahasiswa dan istilah-istilah yang sering diteriakkan
di sana seperti KKN, sembako, MPR, DPR, dwifungsi ABRI dan lain-lain. Hingga
sekolah menengah pertama, hanya itu yang saya ingat. Ketika saya telah di sekolah
menengah atas, saya yang iseng membaca sembarang buku mengetahui tragedi-tragedi
di balik kekacauan tersebut. Buku tersebut ditulis oleh seorang aktivis 98 yang kini
menjadi anggota dewan dari Gerindra. Dari buku tersebut saya mengetahui bahwa ada
penculikan atas aktivis-aktivis mahasiswa dan pembunuhan dalam skala besar atas
orang-orang Cina. Yang langsung saya tanyakan saat itu, kenapa orang-orang Cina
dibunuh? Buku tersebut hanya menyebutkan adanya pembunuhan namun tak
menjelaskan alasannya. Baru di kemudian hari saya sadar ada sebuah sentimen
mendalam atas masyarakat Cina di Indonesia. Ada sesuatu yang salah dalam identitas
mereka. Apakah itu? Pertanyaan ini adalah pertanyaan utama di tesis ini.
Ketika saya mengingat kembali cerita tentang ketidakmampuan saya
mengidentifikasi ‘Cina’ dan pertemuan saya dengan tokoh ‘Acong’ si bocah dalam iklan, saya – terima kasih pada Teori Kritis! – dapat menyadari bahwa tidak ada seorang
pun yang lahir dengan sebuah identitas. Identitas adalah sebuah bentukan. Identitas
bahkan baru muncul ketika subyek ditautkan dengan sebuah referen yang mana bisa
terus berubah. Jadi, identitas tidak bersifat tetap. Contohnya identitas seorang anak di
sekolah dasar saya tadi yang tiba-tiba menjadi seorang Cina karena iklan di televisi.
Berangkat dari kejadian tersebut, saya membayangkan bahwa identitas Cina pasti tak
sama dari masa ke masa. Referen-referen yang diberikan pasti selalu berbeda juga. Dan
3
begitu, kejadian semacam yang terjadi di tahun 1998 pasti merupakan sebuah akibat
dari pembentukan identitas tertentu. Saya ingin mengetahuinya dan ikut mengkritisi
pembentukan identitas Cina yang ada saat ini.
Tidak perlu membaca buku terlalu banyak untuk mengetahui bahwa di masa
Orde Baru, berbagai bentuk kebudayaan orang-orang Cina dilarang. Mereka juga tidak
diperbolehkan untuk bekerja dalam pemerintahan. Tapi, anehnya, di masa tersebut kita
juga dapat dengan mudah menyebutkan nama-nama orang-orang Cina berpengaruh
yang ada di balik Soeharto. Saya kira kejadian di tahun 1998 berhubungan dengan
dualitas kebijakan-kebijakan Orde Baru terhadap masyarakat Cina. Tapi, saya juga
berpikir bahwa Orde Baru pasti bukan satu-satu penguasa yang memiliki pendekatan
tertentu terhadap masyarakat Cina apalagi masyarakat Cina telah ada di Indonesia sejak
ratusan tahun yang lalu. Jika kita melihat sejarah yang ada, kejadian seperti yang terjadi
di tahun 1998 juga terjadi di penghujung kekuasaan Jepang di Indonesia. Dalam laporan
jurnalistik yang dikemas seperti novel yang ditulis oleh Kwee Thiam Tjing dengan
pseudonim Tjamboek Berdoeri – wartawan berbagai macam surat kabar - berjudul
Indonesia Dalem Api dan Bara (1946), kita disuguhkan pandangan dari dalam tentang
kejadian tragis yang terjadi di Malang tersebut. Mirip dengan 1998, saat itu, toko-toko
milik orang Cina dijarah dan dibakar. Rumah-rumahnya diserang dan dirusak. Sedang
pemiliknya dibunuh. Isunya saat itu adalah orang-orang Cina dianggap sebagai pemilik
modal antek Jepang dan tidak simpatik dengan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Isu
tersebut jelas menunjukkan kemana identitas Cina ditautkan. Artinya, saat itu ada
konstruksi identitas yang mungkin berbeda dari yang ada di masa Orde Baru tapi
berdampak kurang lebih sama dengan yang terjadi di pertengahan tahun 1998. Apakah
keduanya berhubungan yang berarti Orde Baru tidak benar-benar mampu
menyelesaikan permasalahan terkait dengan Cina yang diwariskan dari masa-masa
sebelumnya?
Saat ini ideologi yang sering didengung-dengungkan untuk mengkaji masalah
4
runtuhnya Orde Baru. Perayaan terhadap ekspresi kultural masyarakat Cina mulai
digalakkan. Perayaan Cap Go Meh yang tadinya dilarang kini menjadi tontonan publik
yang dinantikan. Dengan begitu ijin perayaan tentu kini bukan lagi menjadi masalah.
Bahkan, perayaan tersebut masuk ke dalam agenda tahunan pemerintah daerah yang
memanfaatkannya untuk menaikkan jumlah wisatawan. Sekarang ini juga tidak sulit
untuk menemukan buku yang terkait dengan Cina di toko buku. Buku-buku sejarah
yang menceritakan sejarah masyarakat Cina di Indonesia bukan lagi bacaan yang harus
dibaca dengan sembunyi-sembunyi. Pengarang-pengarang Cina pun bermunculan
dengan novel-novel yang dilihat dari judulnya jelas hendak bercerita tentang orang
Cina. Saking diperhatikannya urusan yang terkait dengan hak masyarakat Cina,
penyebutan atas mereka pun dibicarakan di tingkat pemerintahan. Hasilnya, penggunaan
lema ‘Tionghoa’ lebih dianjurkan daripada ‘Cina’. Alasannya, lema ‘Tionghoa’ lebih tidak derogatif dibandingkan dengan ‘Cina’. Tapi, saya masih ingin menggunakan
istilah ‘Cina’ untuk penelitian ini.1 Kesemarakan perayaan identitas Cina ini tidak lepas dari penindasan kultural yang terjadi di masa Orde Baru. Apalagi dengan
berkembangnya pemikiran multikulturalisme di Indonesia, perayaan kultural jelas
semakin meluas. Multikulturalisme sekarang ini menjadi wadah penghancuran
diskriminasi dan pengangkatan ekspresi kultural masyarakat Cina.
Pendekatan multikulturalisme yang digaung-gaungkan adalah diangkatnya
identitas-identitas yang tertindas (minoritas) hingga mencapai kesetaraan dengan,
1 Alasannya, jika memang perubahan tersebut dimaksudkan untuk menghilangkan sentimen yang ada,
seharusnya yang dibahas adalah asal-muasal sentimen tersebut dan bukan penamaan-ulang untuk e jadi wadah se ti e ya g sa a. Bahka , agi saya, a a Tio ghoa e iliki ke e deru ga membuat sentimen yang ada menguat karena – meskipun istilah tersebut pernah digunakan dahulu sebelum masa Soeharto – nama tersebut kini menjadi asing lagi. Keasingan ini justru wadah yang baik untuk sentimen yang ada. Selain itu, kesan derogatif atas sebuah identitas seperti identitas etnis adalah hal yang lumrah ditemui. Saya kira setiap pemanggilan etnis selalu memiliki sisi derogatif karena ada sentimen dan stereotip atas setiap etnis yang ada e.g. ketika kita e ye ut Jawa ter aya g sosok
5
katakanlah, mayoritas. Karenanya dengan ideologi ini, penerbitan novel-novel tentang
masyarakat Cina atau ditulis oleh pengarang Cina adalah hal yang dianggap sebagai
jalan keluar dari diskriminasi yang ada. Segala pengangkatan ini, pembacaan saya,
berangkat dari sebuah penempatan atas identitas-identitas yang tertindas tadi. Untuk
diangkat, identitas-identitas tersebut haruslah identitas-identitas pihak yang menjadi
korban. Jadi, multikulturalisme membaca kondisi diskriminasi dalam kacamata
pelaku-korban yang mana pelaku-korbannya harus diangkat (dirayakan) identitasnya. Dengan begitu,
posisi masyarakat Cina dibaca sebagai korban di Indonesia. Di titik ini, saya memiliki
masalah dengan multikulturalisme. Yang pertama, dalam kondisi diskriminatif, tidak
ada hubungan pelaku-korban yang mencolok. Keduanya tak pernah selalu korban dan
juga tak pernah selalu pelaku karena diskriminasi selalu berdasarkan sebuah ideologi
yang menciptakan nilai-nilai diskriminatif i.e. para pelaku diskriminasi pada dasarnya
adalah korban sebuah ideologi juga yang memanipulasi segala pikira dan tindakannya.
Hal tersebut tampak dalam kejadian ketika seseorang melakukan diskriminasi atas orang
lainnya, ‘pelaku’-nya tersebut tidak akan merasa ia sedang melakukan sesuatu yang salah karena ia melakukannya berdasarkan nilai-nilai tertentu yang dominan di masa
tersebut. Titik berat pada hubungan pelaku-korban yang ada dalam multikulturalisme
membuat kita sesungguhnya melupakan masalah sebenarnya dan hanya menyalahkan
pada pelakunya. Padahal, yang seharusnya dituju adalah penghancuran nilai-nilai
diskriminatif dari masa lalu yang mungkin masih bertahan hingga kini.
Lebih jauh tentang masalah di multikulturalisme, multikulturalisme memiliki
kecenderungan ahistorisme dan esensialisme yang tinggi. Dengan fokus pada hubungan
pelaku-korban tadi, tentu multikulturalisme hanya akan membaca adanya dua subyek
saja dalam sejarah, yaitu pelaku dan korban. Dalam sejarah a la multikulturalisme,
hanya akan ada dua hal tersebut. Untuk kasus identitas Cina di Indonesia, sudut
pandang tersebut sangat tidak tepat. Masyarakat Cina, saya kira, dalam sejarahnya di
Indonesia tak selalu menempati posisi seperti ketika Soeharto masih memenangkan
6
dilarang bahkan memiliki ‘modal’ lebih dibandingkan dengan pribumi. Sebagai contoh saja, jumlah karya sastra, yang diterbitkan di masa kolonial, yang pengarangnya orang
Cina tidaklah sedikit. Karya-karya tersebut juga bercerita tentang kehidupan masyarakat
Cina. Bahkan, mereka memiliki penerbitan dan surat kabarnya sendiri. Artinya, di masa
kolonial tidak ada pelarangan atas ekspresi kultural masyarakat Cina. Bagaimana
mungkin multikulturalisme membaca fenomena semacam itu? Padahal, menurut saya,
masa Kolonial adalah masa yang krusial ketika membicarakan identitas Cina dan
hubungannya dengan identitas pribumi. Jelas, Pemerintah Kolonial Belanda memiliki
pandangan dan kebutuhan tersendiri terhadap masyarakat Cina seperti halnya Orde Baru
yang kemudian menempatkan masyarakat Cina di posisi tertentu.
Bersamaan dengan ahistorisme tersebut, saya yakin adanya esensialisme dalam
melihat identitas Cina. Esensialisme ini muncul dalam bentuk ‘korban’ dan ekspresi
kultural tadi. Ketika kita mengidentifikasi masyarakat Cina sebagai korban
terus-menerus tanpa mempedulikan masa dan kekuasaan yang ada saat itu, identitas Cina
menjadi tetap. Berikutnya, dengan pengangkatan ekspresi kultural, yang berangkat dari
pemposisian masyarakat Cina sebagai korban, tadi identitas Cina kemudian hanya akan
dibaca melalui ekspresi kulturalnya semata. Hal tersebut membuat masyarakat Cina
didefinisikan berdasarkan agama, bahasa, makanan dan lain-lain. Padahal, identitas
Cina – bahkan hingga saat ini – juga lekat dengan hal-hal yang dekat di wilayah
ekonomi. Lebih jauh, sampai saat ini, saya kira stereotip masyarakat Cina yang terkuat
ada di wilayah ekonomi dan bukan kultural. Jika kita terlalu berfokus pada
pembentukan identitas Cina menggunakan faktor-faktor kultural, akar dan proses
pembentukan identitas masyarakat Cina yang terkait dengan ekonomi ini tidak akan
terbaca. Sayangnya, itulah yang seharusnya kita tuju saat ini untuk mengakhiri
ketimpangan identitas yang ada dalam konsep pribumi dan non-pribumi.
Di atas adalah asumsi saya sesuatu yang akan dipegang namun terus akan saya
ragukan di tesis ini sampai saya benar-benar mencapai sebuah kesimpulan. Satu hal
7
terutamanya multikulturalisme – ketika mengidentifikasi Cina melalui tulisan-tulisan
non-fiksi e.g. karya sejarah, buku politik, otobiografi etc. Saya akan melihat semuanya
melalui karya sastra. Berikut ini beberapa alasannya. Pertama, tentu karena saya adalah
seorang lulusan Fakultas Sastra. Menjadi seorang lulusan Fakultas Sastra yang
benar-benar mencintai karya sastra tidaklah mudah di Indonesia. Kehidupan kritik sastra di
Indonesia adalah seperti sebagian besar hal di negara ini berada dalam kondisi yang
menyedihkan. Sebagai contohnya, bagaimana mungkin seorang profesor sastra di
sebuah forum sastra tingkat nasional berkata “[s]emua pendapat mengenai sastra pada hakikatnya adalah kritik sastra”?2 Bagi saya, komentar tersebut menunjukkan
bagaimana kritik sastra kehilangan gairah hidupnya di Indonesia. Ada sebuah
keengganan kuat di dalamnya untuk menancapkan tonggak-tonggak standar untuk
menilai karya sastra. Karya-karya sastra di Indonesia - yang begitu melimpah dengan
berbagai temanya dari pengarang yang latar belakangnya sama beragamnya dengan
tema karya mereka – seolah-olah seperti pejalan kaki di depan rumah saja yang hanya
numpang lewat tanpa diperhatikan lebih lanjut; seperti tak ada sisi kehidupan mereka
yang menarik untuk dijadikan bahan perdebatan dan diambil pelajarannya. Jadi, saya
ingin meningkatkan gairah atas kritik sastra karena saya percaya (kritik) sastra memiliki
sesuatu untuk diberikan pada pembacanya.
Alasan berikutnya, karena lemahnya standar-standar yang ada untuk melihat
karya sastra – meskipun buku-buku teori kritik sastra baik yang praktis maupun teoritis
dari Barat kini telah dapat dengan mudah ditemukan dalam Bahasa Indonesia – karya
sastra seringkali dianggap sebagai tulisan personal yang hanya dapat dinikmati
berdasarkan alasan-alasan personal juga. Hal tersebut mungkin tidak salah sepenuhnya
namun jelas pandangan tersebut datang dari premis bahwa karya sastra itu bebas-nilai
dan lepas dari pengaruh luaran seperti kondisi sosial dan ideologi dominan. Bagaimana
jika sastra tidak se-‘murni’ itu? Ketika saya berkuliah di fakultas Sastra (jurusan Sastra
2
Komentar ini saya kutip dari makalah Budi Dharma dengan judul “astra I do esia Mutakhir: Kritik da
8
Inggris), dari semester pertama hingga akhirnya saya lulus, kepala saya dijejali dengan
karya-karya kanon dari negara-negara berbahasa Inggris seperti karya-karya
Shakespeare, William Blake dan Joseph Conrad. Karya-karya Joseph Conrad, yang
salah satu karyanya berlatar-tempat di hutan Kalimantan, pada awalnya saya terima
selayaknya novel-novel lainnya dan saya tak ada masalah dengan cerita-cerita yang ia
angkat. Tetapi semua itu berubah ketika di tahun-tahun berikutnya di Fakultas Sastra,
saya membaca buku berjudul ‘aneh’: Orientalism (1978). Orientalism ,yang ditulis oleh seorang Palestina namun tinggal di Amerika bernama Edward Said, meninju muka saya
sekuat kombinasi hook kanan Muhammad Ali yang merobohkan George Foreman
dengan menuliskan bahwa banyak karya sastra yang ditulis pengarang-pengarang kulit
putih – termasuk Conrad - memiliki sebuah kecenderungan ketika menarasikan
orang-orang Timur. Ada kesan ke-liyan-an (inhumanitas) dalam narasi mereka. Gilanya,
Edward Said juga menunjukkan bahwa ke-liyan-an tersebut ternyata merupakan bagian
dari sebuah bangunan pemikiran yang oleh Said disebut sebagai orientalisme. Saya pun
roboh. Tak pernah terlintas dalam benak saya bahwa sastra, yang saat itu masih
menduduki posisi adiluhung di kepala saya, bisa memiliki kecenderungan yang
mungkin tak berlebihan jika disebut rasis. Itulah kali pertama saya menyadari bahwa
imajinasi seseorang, termasuk pengarang, memiliki hubungan yang sangat rumit dengan
ideologi dan lingkup hidupnya. Dengan begitu, sesungguhnya karya sastra adalah situs
yang baik untuk mengkritisi ideologi dan lingkup hidup itu sendiri karena keduanya
hidup di dalam karya sastra.
Tentu alasan kedua saya tersebut masih terlalu mudah untuk dipatahkan.
Bukankah, katakanlah, tulisan sejarah juga pasti dipengaruhi dari sebuah ideologi dan
tentunya ideologi juga hidup di dalamnya? Bukankah ia lebih ‘nyata’ sehingga lebih
mudah untuk mengkritisi dibandingkan dengan karya sastra yang fiktif belaka? Bagi
saya, ke-fiktif-an karya sastra membawa sesuatu yang lebih nyata dibandingkan dengan
tulisan sejarah. Dalam studi sejarah yang saya kenal di Indonesia, perdebatan terlalu
9
Kebenaran dalam studi sejarah selalu ditandingkan dengan kebenaran lain. Pada karya
fiksi, tidak ada perdebatan semacam itu karena semua pihak tahu benar bahwa yang
mereka hadapi adalah karya fiksi seberapapun muatan sejarahnya. Saya pun tak yakin
kalau pengarang tahu benar apakah yang ia tulis adalah kebenaran atau kebohongan tapi
itulah yang ia lihat. Jadi, melalui karya sastra, ideologi muncul dalam bentuk
termurninya karena ia datang dari ‘kebohongan’, fantasi dan rekayasa linguistik.
Rekayasa linguistik berarti usaha memunculkan fantasi si pengarang ke dalam karya
sastra sedekat mungkin. Artinya, kita tak lagi memperdebatkan kebenaran fakta karya
sastra tersebut namun dapat dengan langsung menuju fantasi si pengarang dan
menilainya dari pilihan katanya semisal. Sebaliknya. dalam perdebatan studi sejarah,
cukup sulit mengkaji dengan sudut pandang kritik ideologi karena tulisan-tulisan
tersebut memiliki pretensi pada obyektifitas yang tinggi. Pretensi ini membangun
tembok yang lebih tebal untuk menutupi sisi imajinatif (fantasi) sehingga cukup sulit
untuk menggapainya. Padahal, fantasi adalah sisi yang penting dalam sebuah studi kritik
ideologi. Dengan begitu, saya melihat karya sastra adalah jalan masuk yang lebih baik
untuk mengkaji ideologi.
Lalu, apakah semua karya sastra dapat dengan mudah dijadikan obyek sebuah
studi kritik ideologi? Tentu tidak. Jelas kita membutuhkan karya sastra yang ditulis oleh
pengarang yang memiliki fantasi menarik. Hal tersebut karena fantasi yang menarik
berarti pengarangnya memiliki visi tertentu atas kehidupan yang ia lihat dan coba ia
dorong ke depan dalam dunia naratifnya. Visi ke depan inilah yang sifatnya sangat
ideologis. Di sini, saya telah memilih enam karya sastra dari berbagai masa di Indonesia
untuk diletakkan di atas meja bedah ideologis. Bagi saya, mengkaji karya sastra dari
berbagai masa adalah sesuatu yang sangat krusial untuk penelitian saya. Dengan
menganalisa karya sastra yang datang dari berbagai masa dengan ideologi dominannya
yang beragam, saya akan dapat memberikan sebuah perbandingan yang akan
menunjukkan bagaimana identitas Cina tidak pernah bersifat tetap. Ia selalu berubah
10
yang ada dapat sangat kontradiktif satu sama lain. Enam karya sastra tersebut adalah
Drama di Boven Digoel (1933) karya Kwee Tek Hoay, Lucy Mei Ling (1978) karya
Motinggo Busye, Ca Bau Kan (1999) karya Remy Sylado, Putri Cina (2006) karya
Sindhunata, Dimsum Terakhir (2006) karya Clara Ng dan Acek Botak (2009) karya Idris
Pasaribu.
Lebih jauh, enam karya tersebut saya pilih di awal penelitian karena sebuah
alasan. Alasan tersebut adalah mereka memiliki visi yang menarik yang langsung
terlihat bahkan dari judulnya atau hanya dari beberapa halaman awalnya. Alasan
pemilihan Drama di Boven Digoel (selanjutnya akan disebut DBD) adalah karena DBD
memiliki lingkup penokohan yang janggal di masanya. Novel yang ia tulis awalnya
sebagai cerita bersambung tersebut membangun dunia narasi dimana orang Cina dan
pribumi terus mengalami kontak dan keduanya menjadi tokoh utama. Kebanyakan
novel yang ditulis oleh Cina Peranakan, yang tradisi penulisannya seringkali disebut
sebagai sastra Melayu-Tionghoa, menceritakan hanya pribumi saja atau hanya Cina
saja. Dan judulnya menandakan bahwa ia bercerita tentang kejadian seputar perjuangan
Partai Komunis Indonesia melawan penjajah di tahun 1926 – sebuah isu yang
sesungguhnya sedikit sekali menyentuh kehidupan orang-orang Cina di Hindia-Belanda.
Saya pikir itu adalah sebuah hal yang menarik untuk ditelusuri.
Berikutnya, Lucy Mei Ling yang ditulis oleh Motinggo Busye yang terkenal
dengan karyanya Malam Jahanam. Memberi judul karya semacam itu untuk dijadikan
santapan publik di masa Soeharto adalah tindakan yang kata ‘berani’ pun tak cukup
mendefinisikannya. Motinggo Busye memberi judul novelnya dengan sebuah nama
khas Cina di masa ketika penggunaan nama Cina dilarang. Maksud saya, itu seperti
mengantarkan nyawa kepada Babinsa atau Babinmas setempat. Keberanian Motinggo
Busye jelas layak mendapatkan perhatian lebih.
Berikutnya adalah empat novel dari masa setelah kejatuhan Soeharto dan rezim
11
di masa reformasi yang benar-benar dimaksudkan untuk berbicara tentang kehidupan
masyarakat Cina di Indonesia sebagai tanggapan atas yang terjadi selama tiga puluh dua
tahun di belakang. Menariknya, sebagian novel tersebut ditulis di masa ketika Soeharto
masih berada di istana Negara. Jadi, pasti ada pergulatan menarik antara dua masa
dengan dua semangat yang berbeda di dalamnya. Karenanya, saya mengambilnya.
Selanjutnya adalah Putri Cina yang ditulis oleh seorang romo yang tulisan feature-nya
tentang sepak bola sangat saya nikmati, Sindhunata. Sepengetahuan saya, novel tersebut
adalah novel pertama karya seorang pengarang keturunan Cina yang bercerita tentang
kehidupan masyarakat Cina di Indonesia. Novel ini jelas harus ada dalam daftar obyek
penelitian saya. Setelah ada Dimsum Terakhir. Novel karya Clara Ng karena novel ini
membangun penokohan tokoh-tokoh utamanya yang semuanya Cina dengan stereotip
atas Cina yang ada. Tokoh-tokohnya adalah orang-orang Cina yang tinggal di sebuah
daerah di Jakarta yang terkenal sebagai daerah Cina. Mereka hidup berdagang dan
masih membakar hio. Dengan penokohan semacam itu, tentu novel ini memiliki
pendekatan yang unik untuk membahas stereotip dan diskriminasi. Novel terakhir
adalah Acek Botak – satu-satunya novel yang latar tempatnya bukan di Jawa. Pertama,
saya tertarik dengan novel ini karena latar tempatnya yang merupakan tanah leluhur
saya, Sumatra Utara. Dengan tokoh-tokohnya yang datang dari berbagai latar belakang
kultural yang berbeda (Batak, Jawa, Cina dan India), hal tersebut jelas memberi nuansa
kedekatan dengan identitas saya. Yang kedua, yang lebih nyambung dengan penelitian
ini, novel ini menggambarkan perjalanan identitas Cina dengan utuh secara historis.
Narasi utamanya dimulai ketika satu keluarga asal Cina datang ke Sumatra dan memulai
hidup baru. Sudut pandang historis ini jelas akan berguna bagi penelitian saya.
Selanjutnya, untuk mengkaji ideologi multikulturalisme dalam karya-karya
sastra di atas, saya memanfaatkan pendekatan psikoanalisa sebagaimana dikembangkan
oleh Slavoj Zizek sejak akhir tahun 1980-an. Kenapa Zizek? Siapa yang tidak tertarik
ketika melihat Zizek berpidato atau membaca buku berjudul Looking Awry atau First as
12
pada studi kritik ideologi hasil pengembangan Zizek dimulai ketika saya menonton
video ceramahnya yang guyonan tongue-in-cheek-nya “nyelekit”.3 Pada kasus penelitian
ini, ketertarikan saya untuk menggunakan teori milik Zizek terbangun ketika saya
membaca bukunya yang berjudul Violence (2008). Sejujurnya, yang membuat saya
tertarik adalah sikap Zizek yang acapkali politically incorrect ketika menanggapi
konflik antar identitas; sebuah sikap yang terkadang, menurut saya, membuatnya
mampu lebih kritis. Di buku tersebut Zizek mengkritisi konsep toleransi terutamanya di
Barat. Toleransi saat ini adalah sebuah nilai yang posisinya mungkin sama sakralnya
dengan kutipan ayat dari kitab suci. Dan Zizek mengkritisinya. Dengan sikapnya
tersebut ia kemudian mampu menunjukkan batas-batas ideologis toleransi. Bahkan, ia
mampu menunjukkan akar masalah konflik identitas berupa ideologi dominan yang
membangun fantasi atas orang lain. Sederhananya, menurut Zizek, “[w]hat exploded in
violence was a web of symbols, images, and attitudes”.4 Pembacaan saya dari teks Zizek
tersebut adalah jika ada sesuatu yang harus dibongkar agar konflik antar identitas ini tak
berkelanjutan adalah sumber dari identitas orang lain yang ada di benak kita. Identitas
orang lain di benak kita tersebut lah yang membuat kita mampu melakukan kekerasan
fisik pada mereka.
Sikap Zizek di buku tersebut memberi saya sebuah sudut pandang baru atas
multikulturalisme mengingat toleransi yang dikritisi Zizek berada dalam gerbong
ideologi multikulturalisme. Saya menjadi lebih kritis pada segala perayaan ekspresi
kultural sebagai tanggapan atas permasalahan identitas Cina di Indonesia. Bisa jadi
karya-karya sastra yang saya sebutkan di atas adalah salah satu bentuk dari perayaan
kultural tersebut. Seandainya demikian, saya menjadi ragu jika karya tersebut lantas
mampu benar-benar membicarakan identitas Cina di Indonesia yang tingkat
kerumitannya dapat disejajarkan dengan kerumitan konseptualisasi Negara-Bangsa di
Indonesia sendiri. Saya menjadi ragu bahwa permasalahan identitas Cina di Indonesia
3
Nyelekit adalah istilah dala Bahasa Jawa ya g dala Bahasa I do esia erarti e yakitka .
Ungkapan ini biasa digunakan untuk menunjukkan jika kritik yang diberikan terlalu tajam.
4
13
hanya terkait dengan isu kultural semata. Bahkan saya meragukan kalau identitas Cina
adalah identitas kultural semata. Jadi, baiklah, mari kita lanjutkan diskusi ini ke tataran
yang lebih mendalam.
B. Rumusan Masalah
Dengan kegelisahan-kegelisahan saya yang berkutat di sekitar wacana
pribumi-non-pribumi, identitas Cina dan ideologi-ideologi yang menaunginya, sebagai
konsekuensi konseptualnya untuk kepentingan penemuan yang berarti dalam tesis ini,
berikut ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang harus diketemukan jawabannya:
1. Seperti apa wacana yang menaungi narasi tentang identitas dan hubungan
pribumi dan non-pribumi di keenam karya sastra yang telah saya pilih untuk
menjadi obyek penelitian?
2. Bagaimana karya-karya sastra Indonesia pasca-Orde Baru menghadapi ideologi
multikulturalisme terutama konsep kekerasan dan kesetaraannya?
C. Tujuan penelitian
Berdasarkan pertanyaan-pertanyaan yang saya rumuskan di bagian sebelumnya,
saya akan merumuskan tujuan penelitian ini.
1. Mengenali wacana yang memayungi isu pribumi-non-pribumi dalam
karya-karya sastra Indonesia. Saya harap bagian ini akan memberikan perbandingan
(kontras) antara konteks karya dan karyanya. Dengan begitu kita dapat
mengetahui bobot kritis dan historis karya-karya tadi.
2. Membaca cara bertahan karya-karya sastra dari hegemoni wacana kekerasan
yang dominan dalam multikulturalisme. Saya berharap akan mendapatkan
symptom-symptom yang dapat digunakan untuk mencari alternatif di luar
14 D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang akan didapat dari penelitian ini akan saya kategorikan dalam dua
poin. Poin yang pertama adalah manfaat bagi diri saya sebagai seorang intelektual. Bagi
saya, penelitian ini mengajari saya untuk selalu ‘curiga’ pada segala macam wacana. Ini
membuat saya untuk tidak memandang rendah produk kebudayaan apapun karena
darinya kita dapat menemukan ideologi yang sedang bekerja di dalam masyarakat.
Sehingga permasalahan sosial di dalam masyarakat dapat dirumuskan dan mulai digagas
jalan keluarnya. Dengan begitu, harapannya, tugas intelektual untuk mendorong
perubahan sosial ke arah yang lebih baik dapat dijalankan. Poin kedua adalah manfaat
yang berkaitan dengan khalayak umum. Di penelitian ini saya mengupas, harapannya
hingga tuntas, kolonialisme sebagai ideologi dan dampaknya pada hubungan sosial
pribumi-non-pribumi. Dari penelitian ini, saya berharap dapat ikut memberi sumbangan
ide tentang akar permasalahan yang menjadi sumber segala kekerasan yang menimpa
masyarakat Cina di Indonesia. Harapan saya, ketika akar permasalahan ditemukan, kita
dapat mengarahkan diskusi seputar hubungan sosial yang adil ke arah yang lebih
konstruktif.
E. Kajian Pustaka
Tentu, saya bukanlah orang pertama yang meneliti tentang identitas Cina di
Indonesia. Sebelum saya, banyak pemikir dan penulis yang telah mencoba menelaah
permasalahaan Cina di Indonesia dengan berbagai pendekatan. Bagian ini adalah wadah
yang saya khususkan untuk mengapresiasi pemikiran-pemikiran tersebut. Tidak lupa
saya juga berharap dapat mendapatkan posisi yang strategis di antara hasil
penelitian-penelitian tersebut agar analisa yang saya lakukan nantinya berhasil memberikan
15 E.1. “Negara dan Etnis Tionghoa”5
Saya pikir cukup sulit untuk melakukan penelitian masyarakat Cina di Indonesia
– apapun obyek penelitian dan sudut pandangnya – tanpa terlebih dahulu menjabarkan hasil penelitian-penelitian Leo Suryadinata. Selain karena ia telah banyak menulis
tentang masyarakat Cina sejak awal karir intelektualnya (tahun 1970-an), cakupan
studinya tentang kondisi masyarakat Cina di Indonesia – bahkan beberapa di antaranya
dilakukan melalui perbandingan dengan kondisi di Negara tetangga – sangatlah luas. Di
satu sisi, ia dapat berbicara tentang sepak terjang masyarakat Cina di dunia politik serta
peranan sosial mereka. Di satu sisi, ia juga dapat bercerita tentang kebudayaan dan
tradisi sastra Melayu-Tionghoa di Indonesia. Jadi, saya kira saya harus mencermati
terlebih dahulu tulisan-tulisan Leo Suryadinata sebelum melangkah lebih jauh.
Buku yang akan saya kaji di sini adalah Negara dan Etnis Tioghoa yang terbit
tahun 2002. Saya memilih buku ini karena buku ini terdiri dari esai-esai Leo
Suryadinata yang ditulis dari berbagai tahun dan kesempatan. Artinya, buku ini
mencakup berbagai isu dari berbagai masa di Indonesia menggunakan sudut pandang
yang mungkin beragam. Namun ada sebuah sudut pandang yang membuat esai-esai ini
dapat dikumpulkan ke dalam satu buku tanpa membuat pembacanya kebingungan, yaitu
semua esai ini menganalisa tentang tanggapan Negara terhadap masyarakat Cina. Di
kesempatan ini saya tidak akan menjabarkan seluruh tulisan yang ada di buku. Saya
hanya akan mengarahkan konsentrasi pada dua tulisan saja – Etnis Tionghoa di Asia
Tenggara dan Indonesia dan Negara dan Minoritas Tionghoa di Indonesia - karena
kedua tulisan ini adalah tulisan paling komperhensif dan representatif di buku ini dilihat
dari kedalaman data dan panjangnya. Di tulisan pertama dalam buku tersebut yang
5
16
diberi tajuk Etnis Tionghoa di Asia Tenggara dan Indonesia,6 Leo Suryadinata
menunjukkan berbagai permasalahan terkait identitas Cina – yang terkadang dianggap
non-pribumi – di negara-negara Asia Tenggara. Menurut Leo Suryadinata, masyarakat
Cina pada awalnya memang adalah orang asing yang datang ke Negara-negara di Asia
Tenggara untuk mencari penghidupan baru. Jumlahnya terus meningkat seiring dengan
kolonialisme yang semakin mapan. Di bukunya Leo Suryadinata menulis, “[l]owongan
kerja dan kesempatan baru ini menarik etnis Tionghoa ke daerah yang dulu dikenal
sebagai Nanyang. Nanyang adalah istilah Tionghoa yang berarti Samudera Selatan”.7
Setelah Negara-negara di Asia Tenggara, menurut Leo Suryadinata, terjadi
permasalahan dengan para pemukim Cina tersebut. Beberapa di antara mereka menjadi
pribumi melalui proses pembauran. Akan tetapi, sebagian lainnya tetap dianggap
menjadi non-pribumi alias warga asing. Karenanya pemerintah baru di Negara-negara
tersebut – salah satunya Indonesia – membuat kebijakan-kebijakan terkait dengan
identitas para pemukim asal Cina tersebut. Ternyata, beberapa pemerintah tidak selalu
memiliki pendekatan yang sama dari waktu ke waktu terhadap pemukim asal Cina tadi
sesuai dengan perkembangan politik dan konseptualisasi Negara dan bangsanya. Di
beberapa negara seperti Filipina dan Thailand, perubahan kewarganegaraan para
pemukim Cina tadi berjalan cenderung mulus “karena cenderung mendefinisikan
bangsa dalam terminologi budaya”.8 Proses pembauran ini dimulai sejak tahun 1970-an.
Akan tetapi di Negara lain seperti Vietnam permasalahannya lebih rumit. Setelah
penggabungan antara Vietnam Utara dan Vietnam Selatan, kebijakan luar negeri
Vietnam yang telah bersatu berubah arah dan condong ke arah Anti-Komunis (Baca :
Anti-Cina) – terima kasih pada perang Amerika di Vietnam – sehingga muncul
sentimen pada warga asal Cina. Di sini terlihat sekali bahwa identitas pribumi dan
non-pribumi yang dihadapi masyarakat Cina adalah masalah yang ditinggalkan oleh
6
Tulisan ini adalah makalah yang dipresentasikan pada sebuah sidang khusus pada Musyawarah Keluarga Besar Ke-I Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) di Batam pada tanggal 29 November 2000.
7 (Suryadinata, Negara dan Etnis Tionghoa: kasus Indonesia, 2002, p. 8) 8
17
kolonialisme. Bagaimana kondisinya di Indonesia? Itu juga pertanyaan yang dilontarkan
Leo Suryadinata ketika memulai membahas Indonesia.
Untuk kasus Indonesia, Leo Suryadinata memang membahasnya dengan rinci
karena memang tujuan tulisan-tulisannya adalah untuk mencari pemecahan masalah
identitas Cina di Indonesia. Leo Suryadinata membaca bahwa terus dipercayanya
ke-non-pribumi-an masyarakat Cina merupakan dampak langsung dari proses kolonialisme
di Indonesia. Sebagaimana dijelaskan dalam tulisan keduanya yang telah saya sebut di
atas, di masa ketika Indonesia masih berada di bawah kekuasaan VOC, penduduk
Hindia-Belanda dibagi menjadi tiga kelompok berdasarkan agama dan ras: Kristen,
Islam dan Non-Kristen. Setelah kebangkrutan VOC dan Hindia-Belanda diambil-alih
oleh Kerajaan Belanda, subyek-subyek kekuasaannya dibagi ke dalam empat kelompok:
kulit putih, orang-orang asing yang disetarakan dengan kulit putih (orang Jepang adalah
salah satunya), pribumi dan orang-orang asing yang dapat disetarakan dengan pribumi
(masyarakat Cina termasuk ke dalam golongan ini). Di awal abad ke-20,
pengelompokkan dikembalikan menjadi tiga kelompok lagi: kelompok teratas adalah
orang kulit putih, di tengah adalah mereka yang disebut sebagai pemukim asing asal
Asia (Cina, Arab dll.) dan yang paling dirugikan – seperti kata Leo Suryadinata – adalah
pribumi.9 Dengan kondisi tersebut - ditambah beberapa sistem lain seperti sistem
kapitan, surat jalan dan pemukiman terpisah yang memisahkan Cina dar pribumi –
menurut Leo Suryadinata, hampir tidak mungkin saat itu orang berpikir tentang identitas
tanpa mendasarinya dengan konsep superioritas ras. Hal tersebutlah yang lantas terus
terbawa hingga masa kemerdekaan.
Dari pemaparan Leo Suryadinata, ada beberapa jalan yang kemudian dijalankan
oleh pemerintah Indonesia untuk menanggapi kondisi tersebut. Salah satu yang paling
ternama adalah asimilasi. Pada masa awal kemerdekaan Indonesia (masa Demokrasi
Liberal), tidak ada kebijakan asimilasi. Konsep asimilasi baru dirumuskan, dikenalkan
9
18
dan dijalankan pada masa Orde Lama. Namun, menurutnya, asimilasi baru benar-benar
dijalankan dengan gencar pada masa Orde Baru. Bahkan di masa Soeharto tersebut,
menurutnya, yang terjadi bukanlah asimilasi namun absorpsi yaitu penghilangan
identitas Cina. Arah kebijakan semacam itu kemudian berujung pada
kebijakan-kebijakan diskriminatif seperti pembatasan lapangan pekerjaan, pelarangan Konghucu,
pembatasan jumlah mahasiswa dari etnis Cina, nomor seri yang berbeda dan perubahan
istilah dari ‘Tionghoa’ menjadi ‘Cina’. Pembacaannya – terutama terkait dengan perubahan istilah – kebijakan-kebijakan tersebut dikarenakan “pelampiasan
ketidaksukaan pribumi kepada Tiongkok yang Komunis dan menghina etnis
Tionghoa”.10 Terlihat di titik ia melihat semangat anti-komunis yang dipupuk di masa
Orde Baru dengan subur membawa racial prejudice terhadap orang Cina.
Lebih lanjut, sebenarnya, menurut Leo Suryadinata, inti permasalahan terletak
pada ketidakjelasan definisi Bangsa Indonesia - siapa yang dapat disebut sebagai
pribumi atau orang Indonesia dan apa dasarnya. Dilihat dari sejarah tentang pemikiran
identitas kebangsaan (di) Indonesia, seperti dituliskan oleh Leo Suryadinata, sebelum
masa Orde Baru terdapat banyak pemikiran yang mendefinisikan Bangsa Indonesia
tidak menggunakan ras namun menggunakan budaya dan orientasi politik seperti yang
diperkenalkan oleh Soekarno, Hatta, Cipto Mangunkusumo, Raden Sutomo dan Amir
Sjarifudin. Menurutnya, jika saat ini Indonesia mengembangkan dan menjalankan
pemikiran-pemikiran Bangsa berdasarkan budaya dan politik tadi tentu tidak ada lagi
permasalahan dengan identitas Cina. Sayangnya, semua itu berubah semenjak Orde
Baru. Orde Baru memang tidak merumuskan konsep Bangsa berasarkan ras-nya namun
kebijakan-kebijakan diskriminatifnya menjelaskan semuanya.
Dari pemaparan dua tulisan yang terlalu panjang jika disebut esai ini, saya
melihat bahwa identitas non-pribumi pada masyarakat Cina adalah sebuah bentukan
yang terus berubah dari masa ke masa. Masing-masing masa juga saling mempengaruhi
10
19
terutama di tataran ideologi. Seperti yang kini kita ketahui, ideologi asimilasi Orde Baru
memang berusaha memasukkan masyarakat Cina ke dalam konsep Bangsa Indonesia
dengan pribumisasi-nya. Akan tetapi, hal tersebut tetap dilakukan dengan memegang
teguh konsep-konsep rasial warisan kolonialisme sehingga membuat banyak kondisi
diskriminatif bagi masyarakat Cina. Walhasil, identitas Cina terus ada dan berbeda dari
pribumi dalam kerangka rasial – tentu beserta dengan stereotipnya. Dengan begitu,
dalam penelitian saya ini, saya akan mempertimbangkan kolonialisme lebih jauh ketika
melihat wacana identitas yang dibangun dalam karya sastra beserta dengan pengaruhnya
ke depan. Mengingat kuatnya ideologi kolonial, tentu saya juga akan melihat cara para
pengarang menanggapinya. Saya merasakan adanya superioritas dan inferioritas yang
muncul bergantian ketika Leo Suryadinata menjabarkan sejarah identitas Cina
sebagaimana diberikan oleh Negara – VOC, Kerajaan Belanda, Soekarno dan Soeharto
– namun belum dianalisa dengan lebih jauh. Superioritas dan inferioritas adalah sesuatu yang sentimennya mampu menancap dengan dalam, jadi saya rasa karya sastra pasti
terpengaruh olehnya. Saya ingin melihat apakah ideologi termutakhir kita
(multikulturalisme) mampu mengatasinya. Kini saya akan melihat identitas Cina dari
sudut pandang kajian representasinya dalam seni mengingat obyek penelitian saya
adalah karya seni agar posisi studi saya lebih jelas.
E.2. “Sastra Cina Peranakan dalam Bahasa Melayu”11
Buku di atas yang ditulis oleh Leo Suryadinata telah menjelaskan kepada kita
perkembangan komunitas masyarakat Cina di Indonesia di hadapan kebijakan-kebijakan
negara yang berubah-ubah. Di kesempatan ini saya akan masuk ke perkembangan sastra
masyarakat Cina di Indonesia. Seperti yang telah saya tuliskan di atas bahwa
perkembangan sastra – meskipun tak selalu sejalan dengan perkembangan kondisi
sekitarnya – akan selalu dipengaruhi oleh kondisi sekitarnya. Buku yang ditulis oleh
11
20
Claudine Salmon ini saya pilih untuk dibahas lebih jauh salah satunya karena alasan
tersebut. Alasan lain pemilihan buku ini adalah karena buku ini merupakan salah satu
karya akademis pertama yang dengan meyakinkan meletakkan sastra Melayu-Cina
(Melayu Lingua Franca) sebagai sebuah tradisi sastra di Indonesia dan merupakan
bagian dari sejarah sastra Indonesia – sebuah ide yang di masa penulisan buku belum
populer.
Lebih lanjut, buku ini digarap oleh Claudine Salmon berangkat dari
keprihatinannya atas konsep dan sejarah sastra Indonesia yang masih sangat terpaku
pada konsep-konsep yang dikembangkan oleh sarjana-sarjana Belanda terutama melalui
Balai Pustaka. Sejarah yang dimaksudkannya adalah sejarah bahwa puisi modern
Indonesia dimulai oleh Muhammad Yamin dan prosa modern dimulai oleh Marah Rusli
dengan Siti Nurbaya-nya seperti yang ditekankan oleh Teeuw. Karenanya ia, dengan
semangat yang sama dengan Nio Joe Lan dan John B. Kwee untuk mengangkat tradisi
sastra Melayu-Cina, berusaha dengan rinci membuat semacam ulasan singkat tentang
tradisi ini. Hasilnya, ia berhasil mendapatkan data kuantitatif yang mengejutkan. Ada
sekitar 800 pengarang dan penerjemah dengan jumlah karya lebih dari dua puluh ribu
yang merupakan bagian dari apa yang ia sebut sebagai sastra Cina Peranakan dalam
Bahasa Melayu.12 Dan karya-karya tersebut terdiri dari terjemahan, syair, prosa dan
drama dengan pengarang Cina Peranakan yang berasal dari berbagai tempat di
Nusantara. Namun, menurut Claudine Salmon, bukan itu saja yang membuat sastra
Cina-Melayu tadi menjadi sebuah tradisi. Rentan waktu yang panjang adalah alasan
lainnya. Claudine Salmnon mencatat bahwa tradisi sastra tersebut dimulai dari separuh
akhir abad ke-19 hingga tahun 1960-an – sebuah hal yang harusnya dipertimbangkan
ketika membicarakan sejarah sastra Indonesia.
Selain itu, setelah merampungkan buku ini, ada sebuah hal penting yang bisa
kita dapat dari buku ini berkenaan dengan tradisi sastra Melayu-Cina. Hal tersebut
12
21
adalah pengaruh. Setelah membaca penjelasan-penjelasan Claudine Salmon, saya
menangkap bahwa tradisi-tradisi kepenulisan yang mempengaruhi para pengarang Cina
Peranakan ini adalah tradisi-tradisi yang juga mempengaruhi sastra Indonesia secara
umum di kemudian hari. Beberapa pengaruh yang saya lihat tercatat di buku ini di
antaranya adalah huruf Arab, Bahasa Melayu dan sastra dari Eropa. Kemiripan
pengaruh ini membuat ide Claudine Salmon bahwa sastra Melayu-Cina ini adalah
bagian dari sejarah sastra Indonesia modern tak terbantahkan sehingga lebih dari
sekedar layak untuk dikaji bahkan hingga sekarang ini.
Lebih jauh, inti dari buku ini adalah pendataan sekaligus pembabakan tahap
awal atas karya-karya yang masuk ke tradisi sastra ini. Menurut Claudine Salmon, ada
empat masa – hingga tahun 1960-an – dalam tradisi sastra ini: masa awal mula hingga
1910, masa 1911-1923, masa 1924-1942, dan masa 1945-1960-an. Claudine Salmon
melakukan pembabakan tersebut berdasarkan bahasa dan huruf yang digunakan, bentuk
karya serta tema yang diangkat. Sebagai contoh, di masa awal mula, para pengarang
dari masa tersebut sebagian masih banyak menggunakan huruf Arab dan baru akan
beranjak ke penggunaan huruf latin. Fenomena yang terjadi di pertengahan hingga akhir
abad ke-19 tersebut terjadi karena beberapa pengarang Cina berhubungan dekat dengan
Islam, bahkan beberapa di antara seperti Abdoel Karim Tjiat, Intje Ismael, Kiai Hadji
Koesta dan lain-lain telah memeluk Islam.13 Contoh lainnya adalah ketertarikan pada
karya-karya sastra Melayu Klasik. Dengan pembabakan semacam itu, buku ini sangat
membantu saya memulai penelitian ini. Alasannya, pembabakan tersebut – lengkap
dengan penjabaran pengaruh-pengaruh dalam tradisi sastra Cina Peranakan – juga
mengungkap bahwa tradisi sastra ini berubah seiring dengan perkembangan sosial,
politik dan ekonomi; sebuah hal yang, pada dasarnya, coba saya buktikan di tesis ini
terutamanya yang terkait dengan politik etnisitas di Indonesia.
13
22
Salah satu hal khusus yang juga saya dapati di buku ini adalah bahwa
perkembangan sastra Cina Peranakan sangat terpengaruh dengan kondisi penjajahan di
Indonesia; sebuah hal yang menguatkan kecurigaan saya bahwa pemasalahan
masyarakat Cina di Indonesia terkait dengan penjajahan Belanda. Di masa awal mula
hingga 1910 terjadi pergeseran penggunaan huruf (dari Arab ke Latin). Pergeseran ini
tentu seiring dengan semakin menguatnya cengkeraman Belanda di Indonesia baik
secara politik maupun ekonomi. Salah satu hal yang ditunjukkan Claudine Salmon
terkait dengan pergeseran huruf tadi adalah berkembangnya dunia percetakan dan
penerbitan yang rata-rata dimiliki oleh orang Belanda atau Cina. Sebagai contoh adalah
Ta Teng Kie, yang merupakan seorang penyair, menulis puisi tentang dibukanya rel
kereta api jurusan Cikarang-Kedung dan diterbitkan oleh seorang Belanda bernama
Alex Regensburg. Beberapa fenomena serupa yang lain juga dicatat oleh Claudine
Salmon.14 Artinya, kekuasaan ekonomi dan politik Belanda di Indonesia turut
berpartisipasi dalam perkembangan sastra Cina Peranakan. Lebih lanjut, di wilayah isi
hal yang serupa juga terjadi. Tema mulai berubah di masa setelah 1910. Ketertarikan
pada kejadian-kejadian khas kolonial seperti tingkah laku korup para pejabat, fenomena
kawin antar Bangsa, kehidupan nyai dan lain-lain menjadi hal yang wajar ditemui di
dalam karya sastra Cina Peranakan.15 Melalui pembabakan ini, menurut saya, Claudine
Salmon benar-benar menunjukkan bagaimana kolonialisme mempengaruhi perhatian
para pengarangnya.
Yang saya yakini kemudian adalah bahwa identitas masyarakat Cina di
Indonesia terus berubah di bawah pengaruh ideologi dominan masanya. Di tesis ini,
saya kembali ingin megkaji identitas tersebut dengan mempertimbangkan ideologi
dominan masa kini. Dengan kata lain, saya ingin mengkaji babak lain yang belum
termaktub dalam studi Claudine Salmon ini.
14
Lih. Ibid., Hal. 6-7
15
23 F. KERANGKA TEORITIK
Saya percaya bahwa identitas seseorang bukanlah sesuatu yang terberi, dalam
artian alamiah, dan bersifat tetap. Identitas merupakan bentukan dari kondisi di sekitar
subyek dan bergerak seiring dengan perubahan kondisi yang terjadi. Pandangan
semacam ini adalah paham para pemikir ilmu kemanusiaan yang oleh Suman Gupta, di
bukunya yang mengelaborasi tentang politik identitas dan identitas politik di ranah
kajian sastra, disebut sebagai ‘social constructionist’.16 Dalam tubuh pemikiran para pemikir social constructionists ini ada berbagai macam pendekatan dengan penekanan
yang berbeda-beda. Yang saya ambil untuk saya jadikan sebagai pegangan di penelitian
ini adalah sudut pandang Slavoj Zizek yang menghubungkan identitas subyek dengan
ideologi. Titik berat pada ideologi untuk melihat identitas di pemikiran Zizek bukanlah
sesuatu yang mengherankan mengingat tradisi pemikirannya yang berangkat dari
Marxisme. Dan di tradisi pemikiran Marxis, konsep ideologi memang dekat dengan
konsep identitas (kesadaran kelas). Ideologi, yang dianggap Marx sebagai sebuah
‘kesadaran palsu’ (false consciousness), berisi bukan semata seperangkat doktrin, namun juga cara seseorang memahami peran sosialnya dengan ide, nilai, etika dan
gambaran tertentu.17 Disebut sebagai ‘kesadaran palsu’ oleh Marx karena dalam sistem
kapitalis, buruh ‘diharuskan’ gagal melihat ke-buruh-annya dan menganggap bahwa tidak ada pembedaan dan antagonisme kelas di dalam masyarakat. Dimana posisi Zizek
dalam melihat hubungan ideologi-identitas ini terutama dalam karya sastra? Bagaimana
pula konsep identitas multikulturalisme, sebagai sebuah ideologi, menurut Zizek?
Di pendekatan Marxis yang kini banyak disebut sebagai pendekatan Marxis
‘ortodoks’ atau, menggunakan istilah Terry Eagleton, ‘vulgar’,18
karya sastra berada di
wilayah yang disebut sebagai supra-structure (lantai atas) bersama dengan
institusi-institusi ‘non-ekonomi lain seperti sistem peradilan (hukum), Negara (politik), dan
16
Lih., (Gupta, 2007)
17 Lih., (Eagleton, 2006, p. 8) 18