• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tumbuh-kembangnya Wacana Pribumi-Non-Pribumi dari Masa ke Masa

C. Ca-Bau-Kan : narasi tentang orang Cina di antara stereotip, trauma pada kekerasan dan pengangkatan kultural

C.4. Ca Bau Kan sebagai sebuah perayaan kultural

Yang terlihat sangat membekas di benak Remy Sylado ketika menyusun narasi novelnya ini adalah penindasan kultural masyarakat Cina selama masa Orde Baru. Meskipun tidak disebutkan dengan terang (hanya di bagian sekapur sirih) di narasinya - karena memang latarnya yang berada jauh di belakang masa Orde Baru – namun titik

berat narasinya yang ‘merayakan’ ekspresi kultural masyarakat Cina menunjukkan hal

tersebut. ‘Perayaan’ bahasa, nama, hari besar dan lain-lain adalah jalan yang diambil oleh Remy Sylado untuk mengatasi permasalahan dengan identitas Cina di Indonesia yang ditinggalkan Orde Baru. Ca Bau Kan, bagi saya, adalah sebuah tanggapan atas kebijakan-kebijakan diskriminatif Orde Baru.

Di masa Orde Baru, sebagaimana telah saya jabarkan di bab sebelumnya, menganut pendekatan asimilatif untuk mengatasi permasalahan pribumi-non-pribumi yang ditinggalkan rezim-rezim sebelumya. Dengan pendekatan semacam itu, masyarakat Cina Cina tidak diberi ruang gerak di wilayah kultural dan hanya

128

131 diperbolehkan untuk berkembang bebas di wilayah ekonomis. Hilangnya identitas kultural masyarakat Cina di masa Orde Baru tersebutlah yang mendorong Remy Sylado untuk menghidupkan kembali identitas tersebut. Contoh terbaik yang digunakan untuk memberi gambaran tersebut adalah pengelompokkan masyarakat Cina berdasarkan ekspresi kulturalnya. Tokoh-tokoh Cina di novel ini dibagi, dan dibedakan satu dengan lainnya, berdasarkan kebudayaan yang paling mempengaruhinya; ada yang memiliki dialek Sunda, Jawa, Betawi dan lain-lain.

Perayaan semacam itu saya lihat memiliki kedekatan dengan pendekatan multikulturalisme yang mengedepankan identitas kultural sebuah kelompok masyarakat. Dalam teori multikulturalisme, ekspresi kultural setiap kelompok masyarakat harus dihargai dan memiliki tempat yang sama dengan ekspresi kelompok-kelompok lain karena semua bentuk kebudayaan bersifat setara satu sama lain. Di kasus masyarakat Cina di Indonesia, ekspresi kultural masyarakat Cina tidak mendapatkan ruang hidup terutamanya di masa Orde Baru. Karenanya, jika menggunakan logika multikulturalisme yang digunakan Remy Sylado, ekspresi-ekspresi kultural tersebut harus mulai dimunculkan ke kesadaran publik lagi agar terjadi kesetaraan. Kesetaraan dengan memberi ruanh hidup bagi ekspresi kultural masyarakat Cina inilah yang menjadi titik yang ingin dituju oleh Remy Sylado melalui Ca Bau Kan. Akan tetapi, ada sebuah permasalahan yang tak dibahas dengan mendalam oleh Remy Sylado dan menjadi sebuah ganjalan di narasi ciptaannya: permasalahan ekonomi. Secara ekonomis, tokoh-tokoh Cinanya tampak tidak setara dengan tokoh-tokoh pribumi karena hampir semua tokoh Cina merupakan pemilik usaha besar dan mapan secara ekonomis. Fenomena ini juga melupakan salah satu masalah terkait dengan identitas Cina yang merupakan warisan dari rezim-rezim pemerintahan yang lalu. Kenapa hal tersebut tidak tersentuh? Kenapa narasi jalan keluar terkait dengan masyarakat Cina di Indonesia hanya menempatkan mereka sebagai korban semata? Apakah multikulturalisme tidak memiliki metode untuk melihat hal tersebut?

132 D. Putri Cina : sebuah lamentasi atas posisi diuntungkan masyarakat Cina D.1. Putri Cina dan sekitarnya

Putri Cina ditulis oleh seorang romo keturunan Cina, bermarga Liem, yang cukup ternama di arena kesenian Indonesia bernama Sindhunata atau yang biasa dipanggil Romo Sindhu. Romo Sindhu lahir di kota Batu, Malang, Jawa Timur, pada tanggal 12 Mei 1952. Ayahnya bernama Liem Swie Bie dan ibunya bernama Koo Soen Ling. Ia tinggal di Malang hingga menyelesaikan pendidikannya di Seminarium Marianum, Lawang, Malang, di tahun 1970. Kemudian, ia melanjutkan pendidikannya di Sekolah Tinggi Filsafat Driyakra Jakarta dan Institut Filsafat Teologi Kentungan Yogyakarta (hingga 1980). Kemudian, studi doktoralnya ia jalani di Hocshule fur Philosophie, Philosophische Fakultat SJ Munchen, Jerman (1986-1992) dengan disertasi bertajuk Menanti Ratu Adil-Motif Eskatologis dari Ratu Adil dalam Protes Petani di Jawa Abad ke-19 dan Awal Abad ke-20. Mulai tahun 1970-an, hingga kini, ia telah berkecimpung di dunia kepenulisan terutama di dunia jurnalisme. Ia pernah menjadi wartawan untuk majalah terbitan Balai Pustaka, Teruna. Kini ia menjadi penulis feature dan berbagai macam rubrik di banyak koran dan majalah. Ia juga merupakan penanggung jawab sekaligus pemimpin redaksi majalah BASIS.

Sejak tahun 1980-an, ia telah menjadi salah satu penulis produktif di Indonesia. Ia tidak hanya menulis karya sastra namun juga karya non-fiksi dengan beragam tema mulai dari yang dianggap serius seperti filsafat Jawa dan filsafat Barat hingga hal-hal yang dianggap remeh, namun dekat dengan masyarakat Indonesia, seperti sepak bola. Karya sastra buah pemikirannya antara lain Anak Bajang Menggiring Angin, Air Kata-Kata, Tak Enteni Keplokmu, Tanpa Bunga dan Telegram Duka etcetera. Selain menulis karya dalam Bahasa Indonesia, ia juga menulis dalam Bahasa Jawa. Karya sastra dalam Bahasa Jawa dari Romo Sindhu antara lain, Aburing Kupu-kupu Kuning, Redi Merapi

dan lain-lain. Lebih jauh, dari sekian banyak karya fiksinya, baik yang ber-Bahasa Indonesia maupun Bahasa Jawa, hanya Putri Cina yang berkutat dengan masalah Cina. Tampaknya, Romo Sindhunata memang tak mau melewatkan kesempatan jatuhnya Orba untuk kembali berbicara tentang orang Cina di Indonesia.

133 Pada awalnya, Putri Cina adalah sebuah tulisan pengiring di sebuah pameran lukisan Hari Budiono yang hendak bercerita tentang orang-orang Cina di Indonesia. Kemudian, oleh Romo Sindhu tulisan tersebut dikembangkan menjadi sebuah novel dan diberi judul sama dengan tajuk pameran lukisan tadi: Putri Cina. Putri Cina terbit setahun setelah pameran tersebut. Novel tersebut terbit ketika tema tentang Cina di Indonesia telah lazim dibicarakan dan perayaan-perayaan masyarakat Cina telah

di-‘halal’-kan kembali. Dengan kondisi ini, tentu saja, Putri Cina memiliki kebebasan bertutur yang tidak dimiliki novel-novel yang terbit di masa Orba. Walaupun begitu, tetap ia memiliki batasannya seperti yang ditemukan novel-novel yang sebelumnya telah ditelaah lebih jauh di atas.

Secara garis besar, Putri Cina bercerita tentang seorang perempuan asal Cina Daratan yang kemudian menjadi diperistri raja-raja di Jawa dan ikut terombang-ambing dalam gelombang politik di tanah Jawa. Ia menjadi tokoh utama yang mampu melintasi batas ruang dan waktu sehingga mengetahui masa lalu dan masa depan terkait dengan kondisi kehidupan orang-orang Cina di tanah Jawa. Namun, hal tersebut tidak terjadi begitu saja. Putri Cina digambarkan seperti orang yang kehilangan ingatan sehingga sebelum mengetahui segalanya ia merunut asal-muasal dirinya melalui cerita-cerita gabungan antara cerita-cerita kuno Cina dan Jawa.

Putri Cina adalah anak perempuan dari keluarga miskin di sebuah desa bernama Yut-Wa-Hi. Ibunya bernama Kim Liyong. Ia sampai di tanah Jawa karena Kaisar Cina memintanya agar mau menjadi istri kelima Prabu Brawijaya. Namun, setelah beberapa waktu saat tengah mengandung, karena kecemburuan permaisuri Prabu Brawijaya Putri Cina diberikan pada anak Prabu Brawijaya yang memerintah di Palembang (Arya Damar). Di Palembang, Putri Cina melahirkan anak Prabu Brawijaya bernama Raden Patah. Ia juga mendapat anak dari Arya Damar bernama Raden Kusen. Raden Patah dan Raden Kusen, di kemudian hari, memeluk Islam dan mendirikan Kerajaan Demak yang menggulingkan kekuasaan Kerajaan Majapahit.

Kejadian penggulingan kekuasaan Majapahit tersebut adalah cerita pertama tentang orang Cina dalam pusaran konflik-konflik di tanah Jawa. Dengan bantuan tokoh

134 bernama Sabdopalon-Nayagenggong yang mampu memberi penglihatan ke masa depan, Putri Cina lantas menyaksikan naik dan runtuhnya kerajaan-kerajaan di Jawa. Cerita-cerita berlatar naik dan runtuhnya kerajaan-kerajaan di Jawa tersebut kemudian terus muncul hingga akhir novel. Satu hal yang selalu disaksikan oleh Putri Cina dalam konflik-konflik tadi adalah dikorbankannya orang-orang Cina. Salah satunya adalah kejadian di Pedang Kemulan yang mana kerusuhan-kerusuhan yang terjadi diarahkan kepada orang-orang Cina, bahkan yang juga anak dan istri dari panglima Medang Kemulan. Tidak berhenti sampai di situ, dengan lompatan ruang-waktu yang cukup jauh, bahkan Putri Cina juga dapat bercerita tentang pembantaian orang-orang Cina oleh Belanda di tahun 1740. Bagi Putri Cina, semua darah orang Cina yang tertumpah di tanah Jawa ini aneh mengingat darah Cina yang mengalir di dalam diri di banyak raja di Jawa. Lebih jauh, menurutnya di dalam diri orang-orang Cina tersebut juga mengalir darah biru Jawa karena perkawinan Jaka Prabangkara, anak Prabu Brawijaya, dengan perempuan Cina yang merupakan adik dari si Putri Cina. Karenanya, ia menganggap bahwa ia bukanlah tamu melainkan juga seorang pribumi. Jadi, seperti apa sebenarnya wacana tentang Cina menurut Putri Cina? Mari kita mulai saja pembicaraan lebih dalam tentang novel ini.

D.2. Putri Cina dan Identitas kultural Cina