• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tumbuh-kembangnya Wacana Pribumi-Non-Pribumi dari Masa ke Masa

B. Orde Baru: identitas ekonomis warisan kolonial dalam politik asimilasi Setelah Indonesia merdeka, dalam artian dipimpin bukan oleh pemerintah kulit

B.2. Politik dan ekonomi

Kebijakan-kebijakan terhadap warga keturunan Cina di dua bidang politik dan ekonomi sangat erat di Masa Orde Baru. Dapat dikatakan bahwa stereotipe terhadap orang-orang Cina yang enggan berpolitik dan hanya berkutat di bidang ekonomi diperkuat dan ditancapkan dalam-dalam di Masa Orba. Di bidang politik, yang pertama kali dipermasalahkan, dan lantas jadi akar semua masalah, adalah perihal kewarganegaraan. Dari titik tersebut, segala hak dan kewajiban ditentukan.

Masalah kewarganegaraan bangsa-bangsa yang tadinya masuk ke dalam golongan Bangsa Asia Asing di Masa Kolonial terutamanya warga keturunan Cina telah dibahas oleh badan-badan panitia persiapan kemerdekaan (BPUPKI dan PPPKI).

Perdebatan saat itu terkait dengan penggunaan kata ‘asli’, berikut pemaknaannya,

77 mereka pembahasan siapa yang dapat menjadi orang Indonesia dan siapa yang tidak mulai dipikirkan. Setelah deklarasi kemerdekaan, dibuatlah Undang-undang no. 3 tahun 1946 yang mengatur bahwa golongan yang tadinya bernama Asia Asing dan Eropa diberi waktu hingga 1948 untuk menjadi warga Negara Indonesia. Untuk perlakuannya, yang masih menggunakan pembagian sosial a la Belanda, dijelaskan lebih jauh di Konferensi Meja Bundar.83

Masalah mulai muncul bagi mereka yang keturunan Cina karena perbedaan prinsip yang dianut oleh Indonesia dan Republik Rakyat Cina. Indonesia, dengan jus soli-nya, jelas berpendapat bahwa siapapun yang lahir di tanah Indonesia adalah orang Indonesia. Di sisi lain, RRC dengan jus sanguinis-nya berpendapat bahwa mereka yang lahir dari bapak atau ibu berdarah Cina adalah warga Negara Cina. Lantas, guna menghindari konflik yang mungkin terjadi, dibuatlah kesepakatan bilateral yang ditanda-tangani Presiden Soekarno dan Mao Zedong di tahun 1958. Hasilnya, warga keturunan Cina di Indonesia harus memilih salah satu kewarganegaraan. Hal tersebut, diperkuat dengan keluarnya undang-undang no. 62 tahun 1958.

Di awal masa orde Baru, undang-undang di atas digugurkan dan digantikan dengan undang-undang no. 4 tahun 1969 yang mengatur bahwa anak-anak yang lahir dari orang tua keturunan Cina, yang telah memilih menjadi warga Negara Indonesia, mengikuti kewarganegaraan orang tuanya dan tak boleh memilih lagi. Akan tetapi, masalah muncul lagi dengan dikeluarkannya Kepres No. 7 tahun 1971 karena Kepres ini membuat dualitas status kewarganegaraan warga keturunan Cina. Dualitas ini muncul

karena Kepres ini ‘menghidupkan’ kembali Undang-undang no. 3 tahun 1946 yang

menyatakan bahwa orang Indonesia adalah penduduk ‘asli’ nusantara. Sebagai

83

Lih. (Prasetyadji, 2008, p. 13). Kaula Bu iputra de ga se diri ya e jadi warga Negara I do esia. Kaula Timur Asing dengan stelsel pasif, yaitu jika diam berarti memilih menjadi warga Negara Indonesia dan jika menolak, harus dengan pernyataan. Kaula Belanda dengan stelsel aktif, yaitu jika ingin menjadi warga Negara Indonesia harus memiliki pernyataan dan sebaliknya, jika diam berarti tetap menjadi warga Negara Bela da .

78 akibatnya dibutuhkanlah surat yang memastikan bahwa mereka ini orang Indonesia: SBKRI.

Di arena politik praktis, di masa Orba, pergerakan politik orang-orang keturunan Cina dibatasi hingga taraf sekarat. Di masa lalu, terutama setelah adanya Kuomintang, warga keturunan Cina sangat aktif di bidang politik. Paling tidak saat itu terdapat tiga organisasi besar dengan identitas, orientasi, alat politik (koran)-nya masing-masing: Sin Po (Pro Reublik Rakyat Cina), Chung Hwa Hwee (Pro Pemerintah Kolonial) dan Partai Tiong Hoa Indonesia (Pro Indonesia). Hal yang kurang-lebih sama terjadi di masa awal kemerdekaan dan Orla. Di tahun 1948, sebuah organisasi warga keturunan Cina yang pro Republik Indonesia Serikat muncul: Persatuan Tionghoa (PT). Bulan Februari tahun 1950, sebagai reinkarnasi PTI, muncul PTI Baru (Persatuan Tenaga Indonesia Baru). Bulan berikutnya, setelah RIS lahir, organisasi ini berubah menjadi Partai Demokrat Tionghoa Indonesia (PDTI). Tahun 1954, setelah melebur diri dengan beberapa organisasi lain dan merancang anggaran dasar yang baru, PDTI berubah wujud menjadi Badan Pemusyawarahan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki) yang pada masa 1965-1966 seringkali dianggap sebagai underbow PKI dan turut diganyang. Padahal organisasi ini adalah organisasi dengan pemrakarsa warga Tionghoa pertama yang anggota tidak hanya mereka yang memiliki darah keturunan Cina.84 Semua hal ini berubah di masa Orba. Organisasi-organisasi dengan pemrakarsa warga keturunan Tionghoa dibubarkan. Pemerintah Orba kemudian membentuk LPKB, yang tugas-tugasnya telah dijabarkan sebelumnya, untuk menampung aspirasi warga keturunan Cina.

Satu hal yang pasti pasti tentang LPKB adalah bahwa organisasi ini adalah organisasi pemerintah. Ini berbeda dengan organisasi-organisasi dan perkumpulan-perkumpulan warga keturunan Cina yang lalu. Karenanya, dengan rincian birokrasi yang telah ditulis sebelumnya, LPKB bekerja lebih sebagai mesin politik Orba daripada

84

79 penjaring aspirasi warga keturunan Cina. Tugas LPKB adalah tugas pengawasan yang merupakan bagian dari tugas pengamanan jabatan Soeharto sebagai presiden di setiap pemilunya. Dengan hadirnya LPKB, yang juga merupakan ujung tombak proyek asimilasi Orba, di bidang politik, warga keturunan Cina kehilangan suaranya. Suara mereka, yang tadinya muncul dengan kekhasan organisasi-organisasinya, kini harus dibungkam karena dipandang akan memunculkan perbedaan yang mana haram hukumnya untuk muncul mengingat politik asimilasi (SARA) yang dijalankan.

Penghilangan perbedaan-perbedaan melalui politik representasi kepartaian diperkuat di masa Rencana Pembangunan Lima Tahun pertama (Repelita I). Di masa pematangan Orba ini, partai-partai dilebur dan dimodifikasi menjadi tiga partai saja yang bertahan hingga lengsernya Soeharto tahun 1998. Sistem tiga partai ini membuat orang-orang keturunan Tionghoa melebur ke partai-partai tersebut. Yang telah beragama Islam membentuk Ukhuwah Islamiyah dan tergabung ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang, walaupun tak kentara dari namanya, merupakan leburan dari partai-partai Islam. Yang memiliki kedekatan dengan penguasa jelas merapatkan diri ke Golongan Karya (Golkar). Yang tidak cocok dengan keduanya lari ke Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang mana sebagian besar dari mereka. Hal ini khas Orba yang sangat ingin menghilangkan perbedaan SARA namun justru menajam dengan nama-nama yang berbeda.

Dimana lantas orang-orang keturunan ini kemudian diletakkan oleh Orba? Apakah Orba sama sekali tidak memiliki ketertarikan pada kelompok masyarakat yang satu ini? Sejurus dengan kebijakan-kebijakan masa Kolonial, Pemerintahan Orba hanya memperdulikan keuntungan ekonomis dari kelompok ini. Wilayah ekonomi adalah wilayah yang tampaknya secara khusus memberi kelonggaran pada kelompok masyarakat ini. Karenanya lah asosiasi langsung dari kelompok masyarakat keturunan Cina di kepala kita semua hingga kini mengarah pada wilayah ekonomi. Walaupun, kenyataannya, hanya sebagian kecil yang merasakan kelonggaran ekonomis ini.

80 Sebelum beranjak langsung ke kebijakan-kebijakan Orba, kita akan terlebih dahulu meniliknya dari awal masa kemerdekaan Indonesia. Secara politik, sebelum naik tahtanya Soeharto terdapat dua masa demokrasi: 1.) Demokrasi Liberal (1949-1958) dan 2.) Demokrasi Terpimpin (1959-1965). Untuk masa Demokrasi Liberal, dengan sistem serikatnya (RIS), dekolonisasi adalah arah utamanya. Di segala bidang, hal tersebut

diartikan sebagai proses Indonesianisi (nasionalisasi) “dalam hal kepemimpinan dan

sektor-sektor lainnya termasuk tanah pertanian, perpabrikkan, produksi tambang,

prasarana, angkutan, keuangan dan perdagangan”.85

Permasalahan bidang ekonomi muncul karena di masa itu kewarganegaran mereka belum jelas bahkan sejak 1958, seperti telah dijelaskan sebelumnya, mereka ber-kewarganegaran ganda (Indonesia-Cina). Karenanya, seperti ditulis Leo Suryadinata, kebijakan-kebijakan Indonesianisasi

yang “sasaran pertama-tama adalah orang Belanda…kemudian orang Tionghoa lokal

menemui nasib yang sama”.86

Kebijakan-kebijakan berlandaskan Indonesianisasi ini dibarengi dengan sistem perlindungan, sekaligus pengembangan, kehidupan ekonomi lokal yang dikenal dengan nama Sistem Benteng. Sistem Benteng, yang mulai dijalankan tahun 1950-an, dimaksudkan untuk menguatkan importir-importir nasional (lokal) yang adalah

“importir pribumi lokal, atau perusahaan impor yang 70 persen dari modalnya dimiliki pribumi”.87

Penguatan ini berbentuk perlakuan istimewa dalam hal pemberian kredit, ijin dan jenis barang-barang yang dapat diimpor. Perlakuan istimewa ini tentu tidak akan dirasakan pada pelaku-pelaku perdagangan yang bukan pribumi.

Dibalik berjalannya sistem resmi (Sistem Benteng) terbentuk sebuah sistem semi-legal yang diberi nama Sistem Ali Baba. Sistem Ali Baba ini adalah sebuah sistem yang mencoba mengakali susahnya ijin bagi para pelaku perdagangan non-pribumi dengan menggunakan orang-orang pribumi sebagai pemohon ijin dan terdaftar sebagai

85

Lih. (Suryadinata, Dilema Minoritas Tionghoa, 1984, p. 135) 86 Ibid.,

87 Ibid.,

81 pemilik usaha. Walaupun mereka terdaftar sebagai pemiliki usaha, di lapangan, yang menjalankan perusahaan ini, berikut dengan kerjasama-kerjasama yang dilakukan, adalah mereka yang masuk ke golongan non-pribumi. Mudah saja disimpulkan bahwa Sistem Ali Baba ini hanyalah bentuk lain dari pemposisian Bangsa Asia Asing, di masa lalu, sebagai bangsa perantara karena mereka tidak benar-benar berada dalam identitas yang sama dengan pribumi di ranah ekonomi. Inilah fenomena yang akan kita lihat lagi di masa Orba (tentu dengan beberapa komodifikasi).

Di masa berikutnya, Demokrasi Terpimpin (1959-1965), yang diberi label Orla oleh Soeharto, penguatan kekuatan-kekuatan ekonomi nasional berbasis pribumi, yang mana saat itu warga keturunan Cina belum dianggap penuh sebagai warga Negara Indonesia, masih menjadi arah besar kebijakan-kebijakan ekonomis yang dikeluarkan. Hal tersebut dibuktikkan dengan munculnya Peraturan Presiden no. 10 tahun 1959. Peraturan ini menegaskan bahwa peraturan-peraturan di masa sebelumnya masih berlaku. Artinya, para pemodal yang dianggap asing tidak dapat memiliki tanah atau perusahaan dengan keistimewaan-keistimewaan seperti ditulis di paragraf sebelumnya.88

Melalui Perpres ini juga orang asing “tidak diperkenankan berusaha di bidang perdagangan eceran dan oleh hukum diwajibkan untuk mengalihkan perusahaan mereka

ke warga Negara Indonesia sebelum 1 Januari 1960”.89

Sebagai akibatnya, banyak warga keturunan Cina, baik Totok maupun Peranakan, melakukan urbanisasi ke kota-kota besar untuk masuk ke bisnis-bisnis besar (non-eceran).

Lebih jauh, pada pelaksanaannya, istilah ‘asing’ ini terkadang dikenai bagi

seluruh warga keturunan Cina entah Totok entah Peranakan; baik yang telah berstatus penuh warga Negara Indonesia maupun yang masih berstatus ganda. Walaupun

88

Kehatian-hatian Pemerintah Soekarno terhadap modal asing ini tidak lepas dari pengalaman-pengalaman pemberontakkan di masa Demokrasi Liberal. Banyak pemberontakkan-pemberontakkan terhadap RIS tersebut berdonorkan asing. Keterlibatan Amerika dan Inggris di Pemberontakkan PRRI/Permesta adalah fakta yang umum diungkapkan sekarang ini. Keterlibatan asing pada Pemberontakkan Westerling juga hal yang banyak ditulis saat ini.

89

82 demikian banyak peranakan yang setuju dengan hal tersebut karena Perpres ini dianggap hanya berlaku pada mereka yang totok. Tapi, apabila ditelisik lebih dalam, kebingungan yang terjadi lebih karena perjanjian dengan RRC yang mengamini kewarganegaraan ganda. Perjanjian ini membuat mereka yang peranakan juga terkena imbas peraturan-peraturan yang sebenarnya diperuntukkan bagi kaum Totok. Selain itu, penguasa lokal juga banyak melakukan modifikasi-modifikasi atas pelaksanaan kebijakan-kebijakan. Fenomena ini terjadi juga karena Perpres no. 10 membuka peluang tersebut dengan menyatakan bahwa komandan militer dapat mengatur per-pindah-tangan-an usaha dan relokasi dengan alasan keamanan.90 Silang-sengkarut kebijakan pusat dan daerah ini tampaknya akan selalu muncul dari masa ke masa.

Kini, kita akan membicarakan masa terlama, Orde Baru. Di masa Orba, perihal kewarganegaraan warga keturunan Cina terutama yang peranakan sudah tidak jadi isu utama walaupun tetap ada pembedaan (SBKRI). Namun, secara luas, apalagi di bidang ekonomi, mereka telah diterima sebagai warga Negara Indonesia yang sah. Bidang ekonomi memang tampaknya untuk kasus Indonesia memang selalu diperuntukkan bagi mereka yang keturunan Cina. Tak heran jika lantas sebagian kelompok ini menjadi elit bisnis di Indonesia. Soeharto menyadari hal tersebut. Karenanya, meskipun ia keras terhadap kelompok ini di bidang selain ekonomi, di bidang ekonomi, ia memelihara hubungan baik dengan elit-elit kelompok ini.

Pedoman ekonomi Orba adalah wacana ‘pembangunan’ dengan Repelita-nya. Pedoman ini sangat terbuka dengan modal dan penanam asing; hal yang sangat diperhatikan di masa Demokrasi Terpimpin. Keterbukaan terhadap asing inilah yang membuat para pengusaha keturunan Cina jatuh ke dalam kategori pribumi walaupun hanya sebatas pada bidang ekonomi. Asing, di kepala Soeharto, adalah Barat karena memang merekalah yang banyak disasar Soeharto untuk dijadikan rekanan. Bahkan, bagi pihak asing yang menanamkan modal minimal 2,5 milyar dolar Amerika akan

90 ibid.,

83

bebas pajak selama dua tahun dan juga tidak dibatasi “pengalihan/transfer keuntungan dan dividen”-nya.91 Hal tersebut menjadi wajar karena pada tahun 1967, Soeharo menandatangani surat perjanjian penanaman modal dengan pihak swasta dan negeri Amerika; pertemuan yang kemudian disahkan dalam bentuk undang-undang (Undang-undang Penanaman Modal Asing no. 1 tahun 1967).92 Jika sekarang kita melihat bagaimana Indonesia dikuasai perusahaan-perusahaan multinasional dan hutang,

genesis-nya adalah pertemuan tersebut.

Misi utama Soeharto dengan wacana pembangunannya diawali dengan pengumpulan modal yang besar. Ia adalah seorang yang piawai di titik ini. David Jenkins, di esainya yang berjudul One Reasonably Capable Man: Soeharto’s Early

Fundraising di buku kumpulan esai guna menghormati Harold Crouch ini, menulis bagaimana Orba didirikan di atas pondasi yang dibangun bersama penanam-penanam modal asing dan lokal yang dikumpulkan Soeharto dan hal tersebut dilakukannya kurang dari lima tahun setelah ia menjabat sebagai presiden.93 Artinya, juga Soeharto tidak begitu saja melupakan modal lokal apalagi dari kalangan elit bisnis keturunan Cina malahan kelompok ini yang mendapat perhatian lebih.

Tanggal 6 Juni 1968 di Jakarta, Soeharto membentuk badan pengumpulan modal milik pengusaha-pengusaha keturunan Cina: Indonesian Business Center (IBC). Badan ini diketuai oleh seorang tentara, Mayjen Suhardiman. Tujuan badan ini tidak lain untuk menyokong berjalannya Repelita I (1969-1974). Kemudian, sebagai perpanjang-tanganan badan ini, didirikanlah National Development Corporation (NDC) yang jajaran direksi beranggotakan pengusaha-pengusaha keturunan Cina; Hamid (Ong Ah Lok, seorang banker), Sulindro (Ma Shih-ling, seorang pengusaha), Ch’iu Ch’eng Sao,

dan Chang Chan-en. NDC ini bertugas “mengkoordinasi berbagai kegiatan ekonomi

91

Ibid., hal. 145 92

Konon pertemuan ini setengah rahasia dan dihadiri elit-elit bisnis asal Amerika seperti Rockefeller dan Ford. Secara umum, pertemuan ini membicarakan, dan kemudian menyepakati, kapling-kapling

penanaman modal jangka panjang. Salah satu hasil perjanjian ini adalah pendirian Freeport di Papua. 93

84 dari kaum Tionghoa lokal termasuk impor-ekspor, industri, pertambangan, kehutanan,

perikanan dan usaha lainnya”.94 Dengan kata lain, NDC adalah badan yang mengumpulkan modal dari pengusaha keturunan Cina sekaligus mengatur ke bidang mana saja modal-modal tersebut harus dialirkan.

Jika dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya, kebijakan-kebijakan ekonomi yang terkait dengan warga keturunan Cina pada masa Orba adalah kebijakan-kebijakan yang merupakan semacam gabungan antara sistem Kapiten di masa Kolonial pra-Politik Etis dan sistem segregasi Politik Etis. Orang-orang yang berada di IBC dan NDC adalah para kapitan yang mengatur nafas perekonomian kelompoknya dan pengusaha-pengusaha kecil adalah buruh-buruh asal Cina. Di waktu yang sama, modal milik kaum keturunan Cina ini dibedakan dengan modal lokal lainnya yang cenderung tak diatur (tak berpusat) dan lebih berlandaskan sistem kolusi dan nepotisme dengan para Jendral. Ini adalah politik asimilasi Orba di ranah ekonomi. Persamaan dengan ranah lain yang tak terhindarkan juga adalah bahwa perbedaan etnis yang tak boleh mucul justru dimunculkan dengan lebih tajam dalam bentuk lain yang dipandang lebih netral seperti badan ekonomi atau yayasan. Di titik inilah, pada akhirnya, politik asimilasi tidak menyelesaikan masalah hubungan antar etnis (pribumi – non-pribumi).

C. Masa Reformasi: Multikulturalisme dan perayaan atas hal-hal yang