• Tidak ada hasil yang ditemukan

Multikulturalisme : sejarah, wacana dan kritik atasnya

E. Kajian Pustaka

F.1. Multikulturalisme : sejarah, wacana dan kritik atasnya

Multikulturalisme, sebagai sebuah ‘kebutuhan’ pada awalnya, muncul setelah

Perang Dunia II berbarengan dengan meningkatnya kesadaran atas hak asasi manusia yang kemudian disahkan dalam bentuk sebuah piagam bertandatangan banyak pihak –

terutamanya pihak-pihak yang terlibat dalam Perang Dunia ke-II. Akan tetapi, momen kemunculan sebenarnya multikulturalisme sebagai sebuah konsep adalah ketika masa

perjuangan orang kulit hitam dengan kesadaran atas identitas ‘hitam’-nya di tahun 1960-an. Pada masa tersebut, multikulturalisme banyak bersinggungan dengan wacana pasca-kolonialisme yang digunakan untuk membicarakan keunikan kondisi identitas masyarakat kulit hitam di Amerika Serikat.24 Di masa tersebut, semangat aktivis(me) berbasis multikulturalisme, yang sampai sekarang ini masih terasa, adalah penghargaan dan pengangkatan identitas kelompok masyarakat minoritas yang seringkali diabaikan hak-haknya oleh Negara. Andrew Heywood dalam bukunya menyatakan bahwa

multikulturalisme “not only recognizes the fact of cultural diversity, but also holds that such differences should be respected and publicly affirmed; it practices the politics of recognition”.25

Dengan posisi semacam itu, pengakuan atas identitas minoritas adalah sesuatu yang tidak bisa ditawar lagi posisinya dan keberagaman dalam sebuah Negara (komunitas) adalah sebuah keharusan.

Dilihat dari latar kemunculannya, mulikulturalisme berangkat dari kesadaran atas perbedaan, keberagaman dan kemajemukan dalam sebuah komunitas masyarakat. Melihat gerakan awal yang membawanya, keberagaman di titik latar belakang kultural adalah titik beratnya pemikiran multikulturalisme. Karenanya gerakan masyarakat kulit

24 Lih. (Heywood, 2004, p. 215) 25

30 hitam di tahun 1960-an tersebut, seperti sering didengung-dengungkan oleh Malcolm X, mengedepankan identitas Afrika yang ada di diri orang kulit hitam Amerika. Sehingga, orang-orang kulit hitam, pada masa tersebut, belajar memiliki, sekaligus mempromosikan, kebanggaan identitas Afrika mereka. Bahkan tidak jarang kemudian mengadopsi nama Afrika dan pindah agama seperti yang dilakukan Malcolm X. Pada perkembangannya, gerakan-gerakan multikulturalis kemudian mulai melebarkan definisi mereka atas keberagaman. Kelompok-kelompok minoritas berdasarkan orientasi seks, gender dan kelas sosial-politik mulai digabungkan ke dalam jaringan gerakan multikulturalisme. Saat ini cukup sering kita melihat pawai-pawai atau demonstrasi-demonstrasi yang mengusung multikulturalisme sebagai pendekatannya melibatkan kelompok-kelompok masyarakat minoritas yang disebut terakhir tadi. Dengan kondisi

seperti di atas, multikulturalisme tampaknya mampu membawa “vibrancy and richness

that stems from cultural interplay…and tolerance and respect for other cultures and religions26

seperti dikatakan oleh Andrew Heywood.

Secara konseptual, lagi-lagi saya mengacu pada buku Andrew Heywood, multikulturalisme sangat dekat dengan liberalisme meskipun beberapa pemikirnya berusaha melampaui ideologi tersebut. Kenyataan tersebut jelas tak lepas dari kemenangan Blok Barat, dengan Amerika Serikat sebagai salah satu anggota terkuatnya, atas Jerman di Perang Dunia ke II. Namun, yang lebih penting, liberalisme, yang mengagungkan kebebasan dan hak individu di atas segalanya, setuju dengan konsep penghargaan atas keberagaman dalam multikulturalisme. Di pihak yang lain, yang mencoba melampaui liberalisme, mereka menyatakan dan menekankan batas yang ada dalam liberalisme yang sesungguhnya berbahaya bagi keberagaman itu sendiri. Konsep yang dicatat karena sedikit berbahaya pada keberagaman ini, seperti dicatat oleh Andrew Heywood, adalah konsep toleransi – toleransi atas budaya dan kepercayaan orang lain yang berbeda. Berbahayanya ada di titik batas orang bisa mentolerir perbedaan tadi karena pada akhirnya yang terjadi adalah pembiaran (ketidakpedulian)

26

31 yang berujung pada tidak berjalannya komunikasi. Salah satu pemikir tentang multikulturalisme liberal yang mengangkat permasalahan ini adalah Thomas Scanlon di kumpulan esainya, The Difficulty of Tolerance, yang menyatakan, pada akhirnya, toleransi memiliki batasnya sehingga penilaian atas orang lain, yang berbeda budaya dan kepercayaannya, tidak berkembang.27 Dengan kata lain, rasisme akan tetap ada karena selalu ada sisi dimana kita tidak dapat menerima ekspresi kultural seseorang. Dan dari sana lah kekerasan dan konflik bersumber. Akan tetapi, Scanlon tetap mengedepankan pentingnya toleransi dengan mencoba mengkonsep-ulang toleransi dan

mencari ‘pure tolerance’ – sesuatu yang dapat membuat kita tidak setuju dengan seseorang namun tetap menghormati orang tersebut. Tujuannya adalah membatasi konflik yang jelas akan terjadi.28

Dengan konsep seperti di atas, kritik Scanlon atas multikulturalisme liberal berada jelas berdasarkan kekhawatirannya atas kekerasan yang mungkin terjadi. Namun, tampaknya dia tidak mempertimbangkan kekerasan dalam beragam definisnya. Ia jelas tidak menganggap stereotip sebagai sebuah kekerasan karena toleransi, yang masih tetap ia percayai, bagaimanapun juga membawa masalah identitas dan cara pandang terhadap kelompok masyarakat yang lain. Perihal kekerasan ini akan dibahas di bagian selanjutnya dari kerangka teoritik ini. Kembali ke pemikir-pemikir yang mengkritisi multikulturalisme dan wacana-wacana turunannya seperti toleransi, beberapa pemikir lain memiliki pendekatan yang berbeda dengan Scanlon. Umumnya pemikir-pemikir ini bukan penganut liberalisme dan mencoba keluar dari kekuasaan wacana-wacana multikulturalis. Salah satunya adalah Homi Bhabha, seorang pemikir pasca-kolonial, yang memfokuskan kritiknya atas multikulturalisme pada wacana identitas yang dibawanya. Di esainya yang termaktub di buku The Post-Kolonial Studies Reader (1995), ia, tidak seperti para pendukung multikulturalisme, lebih

27 (Scanlon, 2003, pp. 188-189) 28

32 mengedepankan cultural difference dan bukannya cultural diversity. Di esainya, ia menulis:

“[c]ultural diversity is the recognition of pre-given cultural ‘contents’ and customs, held in a time-frame of relativism; it gives rise to anodyne liberal notions of multiculturalism, cultural exchange, or the culture of humanity. Cultural diversity is also the representation of a radical rhetoric of the separation of totalized cultures that live unsullied by the intertextuality of their historical locations, safe in the Utopianism of a mythic memory of a unique collective identity. Cultural diversity may even emerge as a system of the articulation and exchange of cultural

signs in certain…imperialist accounts of anthropology.”29

Artinya, konsep keberagaman, seperti yang dibawa oleh multikulturalisme, mendasarkan dirinya pada sebuah konsep yang tetap (esensialis) tentang sebuah kebudayaan dan identitas-identitas di dalamnya yang besar kemungkinannya dibangun oleh wacana kolonial – catatan antropologis Barat terhadap Timur. Sedangkan konsep

cultural difference yang diajukannya mengandaikan bahwa masing-masing budaya dan identitas memiliki perjalanannya yang unik dan khusus yang membuatnya sulit jika dipandang menggunakan sebuah sudut pandang pengamat, katakanlah seperti antropolog-antropolog Barat. Cultural difference lebih mengedepankan proses penyuaraan (enunciation) atas sebuah identitas yang karenanya membuka ‘ruang ketiga’

atas identitas. Hal tersebut dikarenakan muncul identitas-identitas kultural tadi dipengaruhi banyak hal yang membuatnya menjadi sebuah campuran (hibrid) sehingga tak mungkin dilihat menggunakan nalar perbandingan seperti pada konsep cultural diversity.30 Menggunakan bahasa saya sendiri, kata ‘beragam’ menandakan adanya sebuah acuan dasar yang membuat hal lain seperti ragam – sesuatu yang lain - dari dirinya. Singkatnya, adalah esensialisme identitas yang dibawa oleh multikulturalisme lah yang ditentang paling keras oleh Homi Bhabha.

Lebih jauh tentang kritik Bhabha, selain esensialisme ia juga mempermasalahkan ahisorisme pendekatan multikulturalisme. Dengan titik berat pada

cultural diversity (keberagaman), multikulturalisme memiliki premis dasar bahwa

29 (Bill Ashcroft, 2002, p. 206) 30

33 identitas-identitas dan budaya-budaya yang ada di dalam keberagaman tadi akan tetap seperti itu seakan-akan terpisah dari relasi kekuasaan, seperti penjajahan di kasus Bhabha, yang menaunginya. Sebuah kebudayaan oleh ideologi multikulturalisme dianggap sebagai sebuah bentuk akhir. Apabila dikaitkan dengan obyek penelitian tesis ini, dengan ideologi multikulturalisme identitas Cina dianggap selalu sama dari masa ke masa. Jika kita melihat kenyataan multikulturalis sekarang ini, identitas Cina yang muncul ke permukaan, katakanlah dalam festival-festival atau perayaan-perayaan, adalah mereka yang merayakan imlek, berbaju merah dengan sentuhan warna emas,

etcetera yang di masa lalu, dengan acuan waktu tidak jelas, tidak boleh mengekspresikan bentuk-bentuk kebudayaan tadi karenanya perlu diberi tempat khusus untuk mengekspresikan dirinya saat ini. Apakah selalu seperti itu identitas masyarakat Cina di Indonesia? Apakah mereka selalu menjadi minoritas yang tertindas? Pertanyaan tersebut jelas bukan pertanyaan yang menjadi bagian dari logika multikulturalisme di Indonesia.

Bagi saya, untuk melihat identitas masyarakat Cina di Indonesia pendekatan Bhabha sangat masuk akal, bahkan lebih dari masuk akal. Pendekatan pasca-kolonial Bhabha adalah sudut pandang yang tak terhindarkan untuk mengkaji dengan lebih baik identitas masyarakat Cina. Penjajahan adalah faktor penting dalam terciptanya identitas Cina, dengan segala fiturnya, yang lekat dengan konsep non-pribumi. Cina yang terpisah dari pribumi dan masuk ke golongan kedua yang lebih diuntungkan, di atas pribumi, di dalam tatanan kolonial terkait erat dengan kepentingan sosial, ekonomi dan politik Pemerintah Kolonial Belanda. Menariknya, bahkan hingga akhir-akhir, kondisi penjajahan dan posisi privileged masyarakat Cina di masa itu sangat jarang dibicarakan bahkan oleh para peneliti tentang masyarakat Cina di Indonesia yang dianggap

34 masa Orde Baru.31 Di dalam buku berjudul Ethnic Chinese in Contemporary Indonesia

(2008), yang mana Leo Suryadinata menjadi penyuntingnya, hanya ada satu esai yang mengarah ke sana.32 Sebagian besar esai di buku tersebut masih berkutat dengan penindasan semasa Orde Baru dengan segala macam pelarangannya terkait dengan ekspresi kultural masyarakat Cina. Tampaknya pembicaraan terkait dengan posisi masyarakat Cina di masa kolonial adalah suatu wacana yang politically-incorrect untuk dibicarakan di masa multikulturalis yang memang memiliki etikanya sendiri ini. Padahal, jika kita tidak membicarakan relasi kekuasaan kolonial yang membentuk ketimpangan identitas pribumi-non-pribumi ini, kita akan terjebak di dalam ketimpangan tersebut untuk seterusnya meskipun dengan bahasa yang berbeda dan kejadian seperti kerusuhan Mei 98 terus memiliki kemungkinan untuk muncul lagi.

Pemikir kontemporer lain yang memiliki kritik tajam juga atas multikulturalisme berbasis liberal, terutamanya sehubungan dengan kapitalisme-lanjut, adalah Slavoj Zizek. Kritikan tajamnya tersebut ia satukan dalam bukunya yang menjadi panduan teoritis utama tesis ini: Violence (2008). Berbeda dengan Bhabha, ia tidak saja mengkritik konsep-konsep turunan seperti identitas dan esensialisme. Dalam kritiknya, ia meletakkan multikulturalisme sebagai sebuah ideologi – sebuah studi yang memang menjadi lahan kerjanya sejak buku teoritik pertamanya Sublime Object of Ideology

(1989). Sekilas tentang teori ideologi miliki Zizek, teori ideologi miliknya, seperti kebanyakan pemikir marxis, adalah pengembangan dari teori ideologi milik Karl Marx. Ia mengembangkannya dengan konsep dialektika Hegelian dan konsep perjalanan subyek psikoanalisa Lacanian.

31

Untuk melihat lebih jauh sudut pandang Leo Suryadinata yang lebih mengedepankan kondisi masyarakat Cina di masa Orde Baru yang dianggapnya menindas identitas masyarakat Cina lih. (Suryadinata, Ethnic Chinese in Contemporary Indonesia, 2008, pp. 2-3)

32

Esai yang berjudul Recent Developments in Indonesian Government Policies toward Ethnic Chinese ini ditulis oleh Eddie Lembong. Esai ini memang sedikit mengacu ke kondisi penjajahan namun esai ini masih percaya terhadap pendekatan multikulturalisme. Lih. (Suryadinata, Ethnic Chinese in Contemporary Indonesia, 2008, pp. 48-56)

35 Tony Myers, yang menulis buku tentang pemikiran Zizek untuk seri Routledge Thinkers, mengkategorikan tiga jenis ideologi di pemikiran Zizek. Pertama, ideologi dengan wajah paling murninya adalah doktrin. Kedua, ideologi yang bekerja dengan efektif berkembang menjadi ‘ideological state apparatus’ atau kepercayaan yang diinstitusikan. Ketiga, yang paling lazim ditemui dan dianggap sebagai yang-paling-tidak-ideologis (baca: halus) adalah spontaneity. Yang dimaksudkan spontaneity di sini adalah sesuatu yang telah dianggap biasa dan dipercaya sebagai sesuatu yang normal.33 Tony Myers, dalam buku yang sama, juga mengindikasikan bahwa ketiga wajah di atas bekerja serupa dengan narasi. Artinya, ketiganya mungkin terkait dalam bentuk urutan: apabila sebuah doktrin sukses diterima khalayak umum, ia dapat diinstitusikan, lantas, karena bekerja dengan efektif sebagai aparatus, ia menjadi common sense dan dijalankan pada keseharian khalayak umum. Di wajah yang ketiga inilah, ideologi bekerja dengan benar-benar efektif karena tak disadari bahwa ia adalah sebuah ideologi. Singkatnya, di versi ketiga, ideologi sudah diperlakukan bukan sebagai sebuah ideologi

– sebagai sesuatu di luar diri subyek. Ia telah menyatu dengan subyek sehingga hampir mustahil bagi subyek untuk mengkritisi ideologi tersebut atau bahkan sekedar melihat hal lain, sekaligus memaknainya, di luar yang disajikan oleh ideologi tersebut. Lebih lanjut, dalam kutipan berikut ini ia menegaskan pembacaannya tentang konsep ideologi Marx: “ideology is not simply a 'false consciousness', an illusory representation of reality, it is rather this reality itself which is already to be conceived as 'ideological' - 'ideological' is a social reality whose very existence implies the non- knowledge of its partidpants as toits essence”34

Jadi, bagi Zizek, ideologi bukanlah sebuah kesadaran palsu yang menutupi kesadaran asli – posisi kelas subyek dan antagonisme kelas –

namun kesadaran itu sendiri.Ideologi adalah sebuah pengait yang mengaitkan segala hal yang ditemui oleh subyek pada sebuah cakrawala pemaknaan tertentu dan membentuk sebuah kesadaran.

33 Lih., (Myers, 2003, p. 71) 34

36 Pengembangan Zizek ini dilakukan dengan melihat ideologi melalui kacamata pemaknaan psikoanalisa Lacanian. Dalam konsep (perjalanan) subyek psikoanalisa Lacan, terdapat tiga tatanan yang di dalamnya subyek bernaung dengan fitur-fiturnya yang berbeda-beda. Tiga tatanan tersebut adalah tatanan imajiner (the imaginary), tatanan simbolik (the symbolic) dan tatanan the real. Tatanan the real adalah tatanan yang paling dasar. Di sana subyek belum memiliki subyektifitasnya sendiri. Ia tidak melihat perbedaan antara dirinya dengan other (liyan). Di tatanan ini, satu-satunya dorongan yang ada di diri subyek adalah dorongan need (kebutuhan biologis). Tatanan berikutnya adalah pertemuan pertama antara subyek dengan liyannya (little other). Seperti nama dari tatanan ini, subyek bertemu dengan image (gambar) dari liyannya yang padanya si subyek berkaca. Jadi, di tatanan ini si subyek telah dapat membedakan antara dirinya dengan liyan kecil secara visual namun segala yang ia ketahui tentang dirinya masih ia dapat dari liyan kecil. Proses ini disebut alienasi. Satu hal yang penting dicatat di tatanan ini adalah bahwa subyek mengenal jouissance (kenikmatan) yang diberikan oleh liyan kecil. Sehingga, dorongan yang ada di diri subyek adalah dorongan

demand (meminta) agar diberi jouissance oleh liyan kecil. Berikutnya, di tatanan simbolik subyek bertemu dengan liyan besar (big other) yang memutuskan hubungan subyek dengan liyan kecil. Proses pemutusan ini oleh Lacan disebut sebagai kastrasi. Namun, sesungguhnya big other tidak benar-benar memutuskan hubungan antara subyek dan liyan kecil. Yang big other lakukan adalah menyuruh subyek untuk melukiskan-ulang hubungannya dengan liyan kecil dengan menggunakan bahasa. Bahasa adalah sesuatu yang khas dalam tatanan simbolik. Yang dimaksudkan dengan pelukisan-ulang adalah agar subyek mendapatkan jouissance dari liyan kecil lagi, ia harus melakukan segala sesuatunya berdasarkan norma sosial yang berlaku di masyarakat. Ia tidak dapat meminta dengan begitu saja. Di sini, jouissance tadi menjadi sebuah obyek hasrat (objet petite a) – obyek yang hilang dan coba terus dikejar oleh subyek karena dianggap di sanalah kenikmatan berada. Dengan kondisi tersebut, fase ini bukan lagi fase demand namun fase desire. Ketika subyek berusaha mendapatkan objet petite a, tatanan simbolik mengharuskannya melakukannya dengan menuruti segala

37 norma yang ada di dalamnya. Karenanya, subyek menjadi subyek yang terbelah – di satu sisi ia berhasrat untuk mendapatkan obyek hasrat tapi, di sisi lain, ia harus tunduk dengan cara-cara yang ditentukan oleh tatanan simbolik. Di tatanan yang sama, fantasi muncul sebagai suplemen yang menyokong tatanan simbolik. Fantasi subyek berisi pembayangan bahwa ia telah mendapatkan obyek hasrat. Sehingga, ia, dengan patuh, mengikuti segala norma yang ada di dalam tatanan simbolik karena ia menganggap ia telah mendapatkan jouissance. Dalam proses pembentukan subyek(tifitas) ini, ketika proses perjalanan subyek ini terhenti di the real, ia menjadi subyek psikosis. Jika ia terhenti di imajiner, ia menjadi subyek perversif. Jika terhenti di simbolik, ia menjadi subyek histeris. Tapi, yang terpenting, bagaimana semua ini terkait dengan konsep ideologi?

Dari ketiga kategori ideologi yang digariskan oleh Zizek, kesemuanya terletak di tataran simbolik yang mana semua terkait dengan pemaknaan dan subyektifitas. Dan yang terdalam masuk ke dalam subyektifitas subyek adalah yang ketiga, yang mana merupakan model ideologi paling dominan di masa kini menurut Zizek. Di kategori ke tiga ini, ideologi berfungsi sebagai sebuah master signifier yang mengaitkan kejadian-kejadian keseharian pada sebuah pemaknaan tertentu yang berjalan hampir secara spontan. Artinya, ideologi memberi makna tertentu pada kejadian-kejadian yang dialami

oleh si subyek sehingga, secara tak langsung, ‘memerintahkan’ tanggapan tertentu dari

si subyek. Tidak berhenti sampai di sana, ideologi sebagai master signifier juga membatasi hal-hal yang dilihat oleh si subyek. Ia mengarahkan perhatian dan kesadaran subyek. Dengan kondisi ini, meminjam istilah Zizek, more than ever, masyarakat sekarang adalah subyek-subyek yang sangat patuh terhadap sebuah ideologi –

kapitalisme lanjut – karena masyarakat sekarang ini telah menganggap dirinya tidak ideologis.

Multikulturalisme, dengan penjelasan tersebut, lantas dapat dikategorikan sebagai sebuah ideologi yang masuk ke dalam kategori ketiga Zizek. Perayaan atas identitas kultural Cina adalah contoh terdekat yang dapat saya pikirkan. Saat ini

38 ekspresi-ekspresi kultural khas masyarakat Cina merupakan bagian tak terpisahkan dari perayaan kebudayaan di daerah-daerah sesuai dengan arah kebijakan pariwisata di Indonesia. Hal tersebut dianggap sebagai obat bagi diskriminasi di masa lalu. Bahkan seringkali tanpa mengkaji terlebih dahulu apa yang sebenarnya terjadi di masa lampau, multikulturalisme langsung dirayakan. Kita seakan-akan diperintahkan untuk menjadi promotor atas multikulturalisme. Jika multikulturalisme adalah Mike Tyson, kita dengan gigih berusaha menjadi Don King-nya. Dengan begitu, seakan-akan, multikulturalisme adalah jalan keluar terbaik dan tidak memandangnya sebagai sebuah ideologi yang jelas memiliki latar belakang tertentu yang entah cocok atau tidak dengan kondisi di Indonesia. Tanpa disadarinya, cakrawala pemaknaan atas ‘kondisi’ Indonesia

versi saat ini adalah dampak dari ideologi multikulturalisme. Dan karena kondisi tersebut adalah kondisi versi multikulturalisme sehingga, jelas saja, jalan keluarnya adalah multikulturalisme. Singkat kata, multikulturalisme adalah master signifier dari segala permasalahan pasca-Orde Baru yang memberi makna atas permasalahan-permasalahan tadi. Karenanya, meluas anggapan bahwa tidak cukupnya tempat untuk suara minoritaslah masalah utamanya dan bukan, e.g., ketimpangan identitas pribumi-non-pribumi bentukan tatanan kolonial. Zizek sendiri, di bukunya Living in the End Times (2010), membaca kondisi semacam ini dengan sebuah pertanyaan yang menarik:

Why are so many problems today perceived as problems of intolerance, rather than as problems of inequality, exploitation, or injustice? Why is the proposed remedy tolerance, rather than emancipation, political struggle, or even armed struggle?”.35

Berangkat dari pertanyaannya tersebut, bagi Zizek, ideologi bekerja dengan cara “while designating a real problem, blurs a crucial line of separation” serta menjadi “a reduction to the simplified "essence" that conveniently forgets the "background noise" which provides the density of its actual meaning”.36 Seperti itulah ideologi menjadi

master signifier dari kejadian-kejadian keseharian kita. Ia mengumpulkan masalah, memaknainya dan memberi jalan keluar.

35 Lih. (Zizek, Living in the End Times, 2010, p. 5) 36

39 Wacana turunan multikulturalisme yang dijadikan jalan masuk untuk mengkritik multikulturalisme, sebagai sebuah ideologi, oleh Zizek adalah wacana toleransi. Sepertihalnya Bhabha, ia juga kemudian mengaitkan wacana tersebut dengan konsep identitas yang diusung oleh multikulturalisme. Yang mengerikan dan perlu perhatian lebih dari toleransi, menurut Zizek, bukanlah pendekatan anti-rasisme-nya yang berlebihan, namun, rasisme yang ada di premis dasarnya.37 Di bukunya Violence (2008), ia menyokong hipotesanya dengan mengambil contoh pernyataan-pernyataan Bush terkait dengan Islam dan terorisme. Di pidato inaugurasinya tahun 2005, ia menyatakan bahwa "America will not pretend that jailed dissidents prefer their chains or that women welcome humiliation and servitude".38 Kemudian, di kesempatan yang lain, ia

seringkali menyatakan bahwa “Islam is a great religion of peace and is only misused by fundamentalists”.39

Melihat dua pernyataan tersebut Zizek mengatakan bahwa seorang multikulturalis liberal memiliki kecenderungan mengabaikan pernyataan pertama sebagai sebuah imperalisme kultural dengan sentimen eurosentris-nya yang kental dan melihat pernyataan kedua sebagai sesuatu yang dapat diterima meskipun mereka tak percaya Bush benar-benar serius dengan apa yang ia katakan. Singkatnya, seorang multikulturalis liberal akan mengangkat, dalam kritiknya, kemunafikan Bush. Akan tetapi, bagi Zizek cara pandang tersebut salah kaprah. Menurut Zizek, yang perlu diangkat justru premis dasar Bush yang eurosentris bukannya kemunafikannya karena dengan semata-mata mengkritisi kemunafikan Bush, mereka menyetujui rasisme dan eurosentrisme Bush. Jadi, keberatan utama Zizek atas wacana toleransi adalah rasisme yang bersembunyi, atau mungkin malah terang-terangan, di dalamnya.

Zizek, sebagai seorang pemikir yang sangat terpengaruh dengan pemikiran