• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tumbuh-kembangnya Wacana Pribumi-Non-Pribumi dari Masa ke Masa

E. Dimsum Terakhir : keCinaan dan keperempuanan

E.1. Dimsum terakhir: penulis keturunan Cina dan karyanya

Dimsum Terakhir ditulis oleh seorang perempuan penulis keturunan Cina bernama Clara Ng. Clara yang lahir di Jakarta pada tahun 1973 adalah seorang penulis yang cukup produktif dengan karya-karya yang sering digolongkan sebagai fiksi populer meskipun saya tidak tahu benar standar-standar yang digunakan pada penggolongan tersebut. Di penelitian ini saya tidak mempermasalahkan hal tersebut karena yang menarik bagi saya adalah bahwa novel ini menceritakan kehidupan masyarakat Cina di Indonesia, khususnya Jakarta, dengan segudang masalahnya yang terkadang tak ada hubungan dengan keCinaan.

Clara Ng sendiri tidak selalu menulis tema-tema yang berhubungan dengan (ke)Cina(an). Bahkan Dimsum Terakhir , novel ke tujuhnya, yang terbit tahun 2006, adalah novel pertamanya yang mengulik permasalahan Cina di Indonesia. Di novel-novel sebelumnya Clara tidak pernah, dengan rinci, menjabarkan latar budaya dan kesukuan tokoh-tokohnya. Tapi, di Dimsum Terakhir adat-istiadat orang-orang Cina di Indonesia digambarkan secara detil mulai dari makanan dan ritual-ritual keagamaannya meskipun latar tempatnya tak berbeda dengan novel-novelnya sebelumnya yang perkotaan. Tampaknya Clara tak mau melewatkan kebebasan berekspresi paska-Orba

142 bagi orang-orang Cina tanpa menyumbangkan sebuah karya yang bercerita tentang masyarakat Cina di Indonesia seperti halnya yang dilakukan penulis-penulis keturunan Cina yang lain: Lan Fang, Hanna Fransisca, Sindhunata dll.

Dimsum Terakhir menceritakan tentang kehidupan sebuah keluarga Cina di kota besar (Jakarta). Kepala keluarga bermarga Tan tersebut adalah Nung (Tan Tjin Yung) yang memiliki seorang istri bernama Anas. Keluarga tersebut memiliki empat orang anak perempuan kembar yang interval kelahirannya hanya dalam hitungan menit. Ke empat anak tersebut adalah Rosi (Tan Mei Xi), yang petani mawar, Novera (Tan Mei Mei), yang guru TK di Yogyakarta, Siska (Tan Mei Xia), yang bekerja di sebuah perusahaan di Singapura, dan Indah (Tan Mei Yi), yang penulis sekaligus wartawan. Cerita di novel ini dimulai ketika empat orang anak perempuan yang telah memiliki jalan hidup masing-masing tersebut harus berhadapan dengan kenyataan bahwa mereka adalah orang-orang dengan keluarga, adat-istiadat dan kebiasaan tertentu. Konflik-konflik yang terjadi bersumber dari tabrakan yang terjadi antara dunia empat perempuan tersebut dengan nilai-nilai yang mereka temui (lagi) di dalam keluarga inti mereka.

Novel ini ditulis oleh seorang keturunan Cina dan berkisah tentang sebuah keluarga Cina. Sehingga, dapat dikatakan,ini adalah tulisan dengan tingkat pengalaman pribadi yang cukup mendalam. Permasalahannya, bagaimana si penulis menggambarkan keluarga yang mungkin memiliki kemiripan dengan latar belakang keluarganya sendiri? Masalah-masalah apakah yang dihadapi masyarakat Cina di Indonesia paska-Orba? Sebelum nantinya di bab berikutnya kita lebih jauh menyisir dampak asimilasi Orba dan multikulturalisme, pertanyaan-pertanyaan tersebut haruslah, terlebih dahulu, terjawab.

E.2. Dimsum Terakhir: Identitas kultural Cina Indonesia di masa Reformasi E.2.a. Bahasa

Seperti telah diulas di Bab II, semoga dengan mencukupi, bahwa segala hal yang berbau Cina disingkirkan selama masa Orba. Sebagai usaha untuk melawannya, di masa Reformasi hal-hal yang disingkirkan tadi coba diangkat kembali ke permukaan. Di

sub-143 bab ini saya akan terlebih dahulu membahas marjinalisasi di sisi kultural dan saya akan memulainya dari bahasa. Bahasa yang digunakan oleh keluarga ini untuk berkomunikasi dengan orang-orang non-Cina dan Cina adalah bahasa Indonesia dengan dialek Betawi dengan lu-gue-nya. Ketika Rosi hendak ke rumah sakit mengunjungi ayahnya, Nung, mobil yang ia kendarai bertabrakan dengan sebuah angkot yang berujung dengan keributan. Yang menarik bagi saya, meskipun keributan dengan kernet angkot tersebut berisi dengan lontaran cacian berbau SARA, namun kedua pihak Rosi, yang Cina, dan si kernet, yang jelas bukan Cina, dapat berkomunikasi dengan lancar. Hal tersebut karena keduanya sama-sama menggunakan bahasa Indonesia.

Justru ketika salah satu dari empat anak perempuan Nung tersebut berkomunikasi dengan tetangganya yang Cina Medan terdapat perbedaan bahasa (logatnya). Siska, yang saat itu mengobrol dengan tetangganya (Tante Yu Lan),

berbahasa Indonesia dengan lebih ‘baik dan benar’ seperti halnya Rosi daripada Tante

Yu Lan “...dengan aksen Cina Medannya yang kental dan khas. Dia mempunyai kesulitan ucap dalam bahasa Indonesia, khususnya menggetarkan lidah dalam

pengucapan konsonan “r”.”.138

Di sini Siska malah terkesan berbeda dengan Tante Yu Lan. Dapat dikatakan, dibanding Tante Yu Lan, ia adalah orang Cina yang telah lebih modern dan lebih menyerupai pribumi. Dengan ini, ditilik dari sudut penggunaan bahasa tokoh-tokohnya, paling tidak, terdapat dua identitas berbeda di dalam tubuh masyarakat Cina di Indonesia: Cina yang modern dan lebih condong pribumi dan Cina yang lebih totok.

Kasus lain dari sisi bahasa yang ada adalah masalah proper name. Di wilayah tempat tinggal Nung dan keluarganya yang sebagian besar merupakan Cina peranakan terdapat kebiasaan untuk memanggil seseorang dengan nama Cinanya meskipun semuanya memiliki nama Indonesia. Pada sebuah obrolan di rumahnya, Nung dikomentari oleh tetangganya Qian Xen karena tidak memanggil anak-anaknya dengan nama Cina mereka; sebuah komentar yang ternyata sudah puluhan kali ditodongkan

138

144 pada dirinya. Jawaban Nung pun tetap sama dari waktu ke waktu yaitu bahwa mereka adalah orang Indonesia dan, meskipun, mereka tidak dipanggil menggunakan nama Cinanya, toh darah Cina mengalir di darah mereka.139 Artinya, Nung meletakkan identitas Indonesia di atas identitas Cina keluarganya. Hal tersebut jelas berseberangan dengan orang-orang Cina di sekitarnya. Di sini Nung mengambil posisi yang lebih modern sedangkan orang-orang di sekitarnya lebih memilih untuk memegang teguh adat-istiadat. Lebih jauh, dapat disimpulkan, keluarga Nung adalah keluarga Cina yang telah lebih modern dan lebih mengakui dirinya sebagai orang Indonesia sehingga menganggap dirinya sama seperti orang Indonesia lainnya yang, katakanlah, pribumi.

E.2.b. Adat-istiadat dan agama

Adat-istiadat dan agama adalah sisi kehidupan keluarga Nung dengan ke empat anaknya yang mendapat sorotan paling dalam oleh Clara. Penggambarannya sangat mendalam. Tak dapat dipungkiri bahwa pengetahuan Clara soal agama orang-orang Cina di Indonesia, tentu dengan segala rintangannya, sangat mumpuni.

Keluarga Nung adalah seorang penganut Konghucu dan tradisi Cina yang taat. Di rumah mereka terdapat patung Dewi Kwan Im yang sangat dihormati keberadaannya, juga altar leluhur, milik Akong (kakek), yang didoakan dengan hio setiap harinya, dan perangkat-perangkat doa lainnya. Mereka juga dengan rutin mengadakan acara-acara peringatan khas masyarakat Cina seperti Imlek bahkan hingga memiliki tradisi khusus keluarga. Penanggalan-penanggalan penting bagi masyarakat Cina juga, termasuk kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan, digambarkan, dengan rinci, oleh Clara.

Sepintas, Dimsum Terakhir terlihat memiliki pendekatan yang sama dengan DBD dengan penjelasan tentang agama orang-orang Cina yang rinci, namun, sebenarnya, memiliki perbedaan yang cukup mendasar. Di DBD, pandangan hidup orang-orang Cina, yang diwakili oleh Tjoe Tat Mo yang tentu berangkat dari dalamnya

139

145 ia mempelajari agamanya (Buddha) serta agama-agama lain, menjadi pusatnya. Sedangkan di Dimsum Terakhir, perayaan-perayaan adalah pusat ceritanya. Contohnya adalah penjelasan mengenai penanggalan seperti ce it dan cap go atau perayaan kue bulan. Meskipun ketika di penjelasan atas filosofi di balik perayaan kue bulan terdapat pandangan orang-orang Cina terhadap keluarga yang harus tetap utuh namun hal tersebut bersifat internal; internal dalam artian ia tidak memberii masukan ke luar komunitas Cina seperti halnya yang dilakukan oleh Tjoe Tat Mo pada Noerani dan gerakan perlawanan pribumi meskipun secara tak langsung.

Kembali ke perkara dua golongan Cina seperti di bagian bahasa, hal tersebut muncul ketika salah satu anak perempuan Nung, Novera, yang bermaksud untuk pindah agama menjadi seorang Katolik:

...“Kenapa dibaptis?”

“Karena saya ingin menjadi Katolik,” jawab Novera tenang. Ketenangan itu hasil

mengumpulkan keberanian selama berminggu-minggu. “Menjadi Katolik harus dibaptis.” “Katolik adalah agama. Agama bisa menyelamatkan kita, jawab Novera, tetap tenang. Dalam

hati dia mengagumi ketenangan dirinya yang luar biasa, hasil latihan di depan cermin. “kan kita sudah punya agama? Kenapa harus ganti agama lagi?”

Nah. Ini dia. Pertanyaan ala Siska yang tajam dan menyengat. Taktik Siska untuk mengalihkan perhatian. To the point. Untung Novera sudah mempersiapkan diri jauh-jauh hari

sebelumnya. “Yang dimaksud dengan agama kita…,” jawab Novera, “…adalah menghormati

leluhur dan patuh terhadap tradisi Cina. Sejujurnya, ini tidak dapat disebut sebagai agama,

Siska. Ini adalah…”

“Mama tidak setuju kamu dibaptis.” Kali ini seluruh kepala menoleh ke arah Anas, lalu terdiam seakan-akan dia mengatakan pernyataan maha penting yang turun dari langit. “Kalau

mau ke gereja pergi saja ke gereja. Tidak perlu baptis-baptisan segala. Mama dengar, kalau

kamu sudah dibaptis, kamu tidak boleh pegang hio.”...140

Perdebatan sengit dalam keluarga Nung terpicu setelah Novera mengutarakan maksudnya untuk pindah agama atau lebih tepatnya, berdasarkan logika Novera, memiliki agama. Tidak ada satu pun anggota keluarga yang menyetujuinya atau menerimanya dengan baik-baik saja. Bagi saya, perdebatan yang terjadi adalah perdebatan dua kubu yang sama dengan saat kita membahas pemakaian bahasa. Novera sekarang bertindak sebagai pihak yang lebih modern dan lebih pribumi. Kini ia lebih dekat dengan pribumi dengan agama Katolik. Anggota keluarga lainnya adalah pihak

140

146 yang lebih totok yang menganggap diri mereka lebih teguh memegang keCinaannya seperti Tante Yu Lan pada kasus sebelumnya.

Pertarungan antara pihak dengan sudut pandang yang lebih modern dengan yang, katakanlah, lebih kuno juga terjadi di banyak tempat lain dalam Dimsum Terakhir. Ada satu kejadian saat Imlek ketika Rosi menolak memakai rok dan berpakaian berwarna merah yang menandakan kebahagiaan dan khas Imlek. Di lain tempat, ada Siska yang membenci hujan karena merusak segala kegiatan. Di kedua kasus tersebut, Anas, sang ibu, meluruskan mereka berdua agar tidak melenceng dari sudut pandang Cina seperti bahwa hujan membawa berkah karena “para dewa sedang bersukacita”.141

Pertarungan dua identitas Cina di Indonesia ini menjadi poros utama alur cerita yang dibangun di Dimsum Terakhir. Tampaknya, bagi Clara, inilah permasalahan utama masyarakat Cina di Indonesia paska-Orba.

E.3. Identitas sosial-politik-ekonomi Cina di Indonesia

Di sub-bab di atas telah banyak digambarkan bagaimana konflik dan tarik ulur yang terjadi terkait dengan adat-istiadat masyarakat Cina dengan nilai-nilai yang dipandang lebih modern. Permasalahan modern yang masuk ke dalam perdebatan dalam keluarga Nung masuk melalui ke empat anaknya. Jadi, paling tidak, ada empat masalah di sini.

Masalah pertama adalah masalah Siska. Siska adalah seorang wanita karir yang gila kerja. Ia bekerja sebuah perusahaan besar kelas internasional. Ia adalah anak yang paling sukses secara ekonomi. Akan tetapi, oleh saudari-saudarinya, ia dianggap pihak yang paling egois, tidak sensitif dan keras kepala. Menurutnya, ia adalah perempuan mandiri yang tak mau menggantungkan hidupnya di pundak laki-laki. Ia tak suka dengan konsep pernikahan. Ia lebih suka dengan hubungan yang cenderung kasual tanpa ikatan pernikahan; sebuah tingkah laku yang lazim dihardik di Indonesia.

141

147 Masalah kedua adalah masalah Rosi. Masalah Rosi adalah orientasi seksualnya. Ia adalah penyuka sesama jenis yang merasa dirinya adalah laki-laki yang lahir di tubuh perempuan. Bukan isapan jempol bahwa di Indonesia kondisi Rosi, yang kemudian berganti nama menjadi Rony, belum dapat diterima dengan baik oleh khalayak umum. Ia sadar akan kenyataan tersebut karena ia cukup gugup ketika mengajak Dharma, pacarnya, untuk ke rumah sakit mengunjungi Nung.

Masalah ketiga adalah masalah Novera. Masalahnya adalah masalah wacana kewanitaan (gender). Ketika masih remaja, rahim Novera diangkat sehingga ia tidak akan mungkin memiliki anak. Wacana umum di masyarakat Indonesia, perempuan akan lebih dihargai apabila ia dapat menjadi seorang ibu; sebuah kenyataan yang membuatnya cenderung rendah diri dan pendiam. Hal tersebut menjadi masalah karena ia tidak seperti Rosi yang lesbi dan tomboy. Ia adalah perempuan yang feminin dan penyayang anak-anak (karenanya ia bekerja sebagai guru taman kanak-kanak).

Masalah keempat adalah masalah Indah. Ada dua masalah yang dibawa dalam tokoh Indah: pilihan pekerjaan dan kehamilan di luar pernikahan. Indah memilih bekerja sebagai penulis dan wartawan; pekerjaan yang, di Indonesia, belum begitu dihargai karena dianggap tidak memberii jaminan untuk masa depan. Di beberapa bagian di novel ini, terlihat Indah beberapa kali direndahkan oleh Siska yang mapan ekonominya. Yang kedua, ia hamil di luar pernikahan dengan seorang pastor yang jelas-jelas tak mungkin menikahinya. Ia mewakili fenomena single-parent yang kini kerap dijumpai di kota-kota besar di Indonesia dan seringkali dipandang sebagai sebuah ketidakwajaran.

Jika di sub-bab sebelumnya Clara memecah identitas Cina, secara kultural, menjadi dua golongan, kini, ia memecah identitas Cina yang ada di diri ke empat anak perempuan Nung berdasarkan perkara hidup masing-masing. Sehingga, tak tampak lagi

sisi ‘Cina’ mereka. Perkara-perkara yang mereka hadapi adalah perkara masyarakat perkotaan di Indonesia saat ini; sebuah permasalahan lintas-etnis. Wacana tersebut membuat permasalahan pribumi-non-pribumi tidak relevan lagi karena permasalahan tersebut hilang, atau minimal tak kasat mata, ditumpuki masalah-masalah gender tersebut. Masalah-masalah yang dihadapi keempatnya memang semuanya ke dalam

148 wacana gender; konstruk sosial perempuan yang berlaku di masyarakat kekinian Indonesia. Yang menarik, kesimpulannya, ke-Cina-an bukanlah satu-satunya permasalahan yang dihadapi masyarakat Cina saat ini. Menjadi orang Indonesia dan tinggal di Indonesia berarti memiliki masalah yang juga dimiliki orang-orang Indonesia lainnya.

E.4. Dimsum Terakhir dan kegalauan identitas Cina di Indonesia

Dari sub-bab sebelumnya, kita dapat menyimpulkan bahwa masyarakat Cina dalam Dimsum Terakhir memiliki masalah dengan identitasnya. Di satu sisi, mereka harus mereka harus menjaga identitas Cina-nya dengan memegang teguh adat-istiadatnya. Di sisi lain, mereka seusungguhnya memiliki masalah dengan lain yang oleh sebagian dari mereka dianggap berada di atas masalah etnisitas: gender (keperempuanan). Masalah ini, dengan dua kutubnya, membuat identitas orang-orang Cina di narasi novel ini terjebak dalam kegalauan. Namun, justru di titik tersebut novel ini menarik.

Melalui novel ini, Clara ingin menyatakan bahwa masalah orang Cina tidak selalu terkait dengan posisinya sebagai orang Cina. Masalah yang dihadapi komunitas Cina ikut berkembang seiring dengan perkembangan Indonesia. Artinya, di banyak sisi masalah orang Cina, tidak ubahnya adalah masalah orang Indonesia seperti yang digambarkan Clara melalui tokoh empat anak kembar Nung. Melalui empat masalah di diri empat anak kembar Nung, Clara menggambarkan bagaimana seringkali masalah seorang keturunan Cina bukanlah karena ia seorang keturunan Cina meskipun terkadang tercampur dan memperparah keadaan seperti komentar dalam hati Rosi:

“[l]ebih gawat lagi, dia dapat menyandang predikat teraneh di antara yang aneh. Paling minoritas diantara yang minoritas. Sudah Cina, transgender pula. Mana yang lebih gawat daripada itu? Katanya, orang Cina di Indonesia mempunyai tiket gratis pergi ke neraka karena terlalu tertekan di Negara ini. Di dalam kasus Rosi, lebih mengerikan lagi. Mungkin ini nerakanya neraka.”142

Melalui penambahan masalah khas perkotaan yang dialami keluarga Nung, Clara berhasil memecah identitas komunitas Cina yang selama ini, yang terlihat terutama

142

149 ketika kerusuhan semacam Mei 1998, dianggap sebagai sebuah entitas yang utuh dan khas. Clara membuat penyerangan atas orang-orang Cina di berbagai tempat di Indonesia selama bulan Mei 1998 makin absurd dan tak beralasan.

Kesimpulannya, Clara menyampaikan wacana bahwa orang-orang Cina juga memiliki masalah terhadap keperempuanan dan lingkup perkotaannya yang mana mereka juga harus hadapi dengan sesamanya, semisal Rosi bersama dengan komunitas lesbinya. Clara mengintegrasikan orang Cina ke dalam masyarakat melalui permasalahan sosial lain di luar etnisitas. Di sini, Clara dekat dengan wacana integrasi yang muncul di masa Orla dan Orba dan wacana multikulturalisme di masa Reformasi. Meskipun, ia memiliki pendekatan yang berbeda karena tidak bertumpu pada sisi kultural semata.

F. Acek Botak dan usaha melampaui stereotip masyarakat Cina