• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lucy Mei Ling sebagai sebuah usaha menyelamatkan identitas kultural masyarakat Cina dalam politik asimilasi

Tumbuh-kembangnya Wacana Pribumi-Non-Pribumi dari Masa ke Masa

B. Lucy Mei Ling dan Politik Asimilasi Orde baru

B.1. Lucy Mei Ling sebagai sebuah usaha menyelamatkan identitas kultural masyarakat Cina dalam politik asimilasi

B.1.a. Bahasa

Pada masa Orba bahasa Cina dan huruf kanjinya bukanlah sesuatu yang dapat dengan mudah ditemui atau dipelajari bahkan di daerah pertokoan yang rata-rata dihuni

116 masyarakat Cina. Percakapan-percakapan berbahasa Cina hanya terjadi di ruang ruang-ruang privat yang dibatasi oleh tembok rumah dan ditutup rapat-rapat bersama dengan bentuk-bentuk kebudayaan mereka yang lain. Bahkan, secara umum, berbicara tentang kebudayaan daerah apapun mendapat tantangannya dengan tidak diperbolehkannya segala peredaran wacana berbau SARA. Kondisi yang menekan bentuk-bentuk kebudayaan Cina tersebut dipertahankan oleh Pemerintahan Orba sampai akhir masanya.

Dengan konteks tersebut tentu membutuhkan keberanian tersendiri untuk menceritakan hal-hal yang dianggap tabu oleh penguasa Orba. Lucy Mei Ling

mengambil Taiwan, sebuah Negara yang bahasa nasinalnya adalah bahasa Mandarin, sebagai latarnya. Mungkinkah kemudian novel ini menghindari penggunaan bahasa Mandarin, walaupun hanya sekilas, di dalam narasinya? Tentu tidak. Ini bisa jadi langkah menarik yang diambil oleh Motinggo Busye. Dengan bangunan latar sedemikian rupa, ia kemudian dapat, bahkan tak terhindarkan, menggunakan bahasa Mandarin. Paling tidak, jika ia dapat beradu argumen dengan otoritas Orba mengenai penggunaan bahasa Mandarin dalam novelnya, ia dapat menjawab bahwa hal tersebut merupakan konsekuensi logis dari narasi yang dibangunnya. Meskipun tidak banyak bagian (percakapan) dalam bahasa Mandarin namun, bagi saya, Motinggo Busye berani

menampilkan sesuatu yang dekat sekali dengan klaim ‘haram’ di masa penulisan novelnya.

Titik paling menarik dari munculnya bahasa Mandarin adalah mengungkap bahwa orang Cina di Indonesia memiliki latar belakang dan akar kebudayaannya sendiri. Di masa kini, hal tersebut bukanlah rahasia dan bukanlah sebuah pengetahuan yang sulit didapat. Akan tetapi, di masa Orba, saya pikir tidak semua orang benar-benar memahaminya karena telah bertahun-tahun orang-orang tidak melihat bentuk-bentuk kebudayaan tersebut muncul ke permukaan. Bagi orang pribumi, terutama yang tidak

117 tinggal berdekatan dengan orang-orang Cina, tentu bentuk-bentuk kebudayaan tersebut bukan sesuatu yang familiar bahkan mungkin asing.

Lebih jauh, penggunaan bahasa Mandarin di dalam Lucy Mei Ling tidak hanya terbatas pada komunikasi antar orang Taiwan saja. Dr. Sanjaya yang dokter asal Indonesia juga acapkali terlibat dalam percakapan dalam bahasa Mandarin. Salah satu contohnya adalah ketika Linda Wu berbincang-bincang dengan Dr. Sanjaya tentang Lucy, jauh sebelum keduanya terlibat cinta segitiga, yang ada di halaman 13,

“Hah, saya selalu segan”, kata Sanjaya.

“Pukantang”, kata Linda mengganti bahasa Inggerisnya dengan bahas Tionghoa lagi,

supaya lebih akrab, dan dia lanjutkan: “Tepien c’ingtao-shehsia t’ant’an-pa ….Hmm, if you’re

in convenience, Dr. San!”

“Saya memang segan untuk datang kerumahmu untuk ngobrol-ngobrol”, kata Dr. Sanjaya.122

Terlihat di kutipan percakapan tersebut kedua berganti-ganti bahasa antara bahasa Inggris dan bahasa Mandarin. Tampaknya Dr. Sanjaya juga secara aktif dan pasif dapat berbahasa Mandarin karena Linda disebutkan ingin menggunakan bahasa Mandarin

supaya lebih akrab” jadi dalam kondisi yang tidak resmi keduanya memang terbiasa

bercakap-cakap menggunakan bahasa Mandarin.

Posisi Dr. Sanjaya ini, di konteks Indonesia Orba, sangat tidak lazim. Dengan minimnya jumlah tempat kursus di masa itu, jelas tak banyak orang, baik yang pribumi maupun non-pribumi, dapat berbahasa Mandarin. Dapat dikatakan, belajar bahasa Mandarin bukan hal yang menarik untuk dilakukan. Jadi, kemampuannya berbahasa Mandarin tentu saja patut mendapat perhatian khusus. Tokoh Sanjaya bisa jadi asal-muasal kecenderungan sastra Multikulturalis di masa Reformasi. Yang saya maksud adalah kecenderungan mengenal dan mengangkat tema yang tadinya dipinggirkan dengan tokoh-tokoh di dalamnya yang saling berhubungan dengan latar belakang kebudayaan masing-masing dan saling mengenal dan mempelajari satu sama lain seperti

122

118 di empat karya dari masa Reformasi yang akan saya bahas di belakang. Mengenal dan menjadikannya satu identitas dengan dirinya sebuah kebudayaan lain adalah semangat yang dibawa di tokoh Dr. Sanjaya yang gemanya diteruskan hingga penulisan karya sastra di Masa Reformasi.

B.1.b. Nama

Pada awalnya, ketika menbaca novel ini untuk pertama kalinya dan masih berada di lembar-lembar awal, saya mengalami kebingungan denga identitas, menggunakan bahasa Orba, kesukuan Dr. Sanjaya. Nama Sanjaya di kepala saya adalah nama seorang keturunan Cina di Indonesia karena nama tersebut dekat dengan nama-nama belakang orang-orang Cina di Indonesia yang lazim ditemui seperti Wijaya, Chandra, Tanuwijaya dll. Nama-nama tersebut adalah nama hasil perubahan sesuai dengan kebijakan penguasa Orba yang kebanyakan didapatkan karena kedekatan bunyi atau makna dengan marga-marga orang Cina. Sanjaya bisa jadi merupakan gubahan

(baca: pemaksaan) dari nama belakang ‘San’. Namun, setelah beberapa lembar

kemudian, saya salah.

Nama orang Cina di Kartu Tanda Penduduk-nya adalah urusan yang pelik. Mengidentifikasi mereka bukanlah urusan mudah walaupun di kemudian hari nama-nama Jawa-nya menjadi mudah dikenali. Di narasi Lucy Mei Ling, nama-nama Cina, baik yang telah mengadaptasi nama depan Barat maupun yang tidak dan masih menggunakan sistem tiga kata atau frasa, dapat dengan mudah ditemui. Bagi orang Indonesia, apalai di masa jayanya Orba, melihat nama belakang asli orang Cina adalah

sebuah hal yang ‘mewah’ karena sangat jarang ditemui kecuali mungkin di beberapa daerah di luar Jawa yang mana dulu di masa pemberlakuan kebijakan pergantian tidak terawasi seketat di Jawa dan penduduk Cina-nya cukup banyak seperti di Pontianak atau Singkawang. Dengan nada yang sama dengan ketika menceritakan perihal bahasa Mandarin, saya katakan bahwa Motinggo Busye cukup memiliki nyali untuk mencantumkan nama-nama tersebut.

119 Lebih jauh, di titik wacana, saya pikir Motinggo Busye ingin memperkarakan kembali hak atas identitas orang Cina di Indonesia. Saya kira ia membayangkan para

pembacanya bertanya, “kenapa tidak ada nama seperti ‘Wu’ atau ‘Mei Ling’ di

belakang nama orang-orang Cina di Indonesia?” atau “kenapa hampir tidak ada yang

bernama, yang di telinga orang Indonesia sangat Cina, seperti Lu Sheng Lei?”

Meskipun, secara naratif, tidak se-vulgar itu namun saya pikir dengan serentetan nama Cina tersebut, orang akan mulai berpikir. Namun, apabila dibandingkan dengan panjang novel ini dan pendalaman naratif adegan-adegan lain, sesungguhnya identitas kultural masyrakat Cina terbilang tidak mencolok.

Sejauh saya membaca Lucy Mei Ling hanya dua sisi kultural yang terlihat dari orang-orang Taiwan tersebut seperti yang telah saya jabarkan di sub-bab sebelumnya. Sisi-sisi lain seperti adat-istiadat dan kegiatan keagamaan sama sekali tidak terlihat. Dr. Sanjaya tinggal di Taiwan dalam jangka waktu yang cukup lama terutama karena tentu proses belajar di sebuah universitas jelas memakan waktu. Saya pikir selama di Taiwan ia seharusnya melewati waktu-waktu tertentu di setiap tahun yang sakral bagi orang Cina di seluruh dunia seperti Imlek, Sincia Capgomeh dll. Ketiga hari besar yang saya sebutkan tersebut adalah hari-hari besar yang terkait dengan penanggalan dan tahun baru masyarakat Cina. Meskipun Taiwan secara politik berseberangan dengan RRC namun saya yakin Taiwan masih menggunakan penanggalan berbasis peredaran bulan tersebut. Jadi, tidak mungkin tidak ada perayaan berskala besar di Taiwan. Sebagai orang berasal dari Indonesia, cukup logis jika saya berpikir ia seharusnya terkesima, atau minimal tertarik, dengan perayaan-perayaan tersebut karena perayaan-perayaan tersebut tidak mungkin ditemuinya di Indonesia. Jadi, absennya perayaan-perayaan tersebut dalam narasi Lucy Mei Ling cukup janggal.

Terkait dengan peribadatan dan adat-istiadat lagi, tidak pernah disinggung tata cara ibadah Buddha atau Konghucu sebagai agama yang dianut sebagian besar rakyat Taiwan. Padahal ia sehari-hari bekerja dan berkomuninkasi dengan orang Taiwan.

120 Bagaimana mungkin ia tidak pernah melihat orang-orang tersebut beribadah? Bagaimana mungkin ia tidak melihat kuil di sepanjang jalan yang ia lewati atau altar di rumah-rumah kolega yang ia kunjungi? Parahnya, ketidakhadiran sisi kultural orang Cina ini juga ditemukan di narasi pernikahan Sanjaya dan Lucy seperti di kutipan berikut :

“[t]ak disangka, pesta itu benar-benar sengaja diberikan kesan luar biasa bagi sepasang pengantin, sehingga tujuh juru potret terkenal pun ikut mengabadikan pesta itu bagi album kenangan dua insan yang kawin karena jalinan cinta. O, perkawinan semacam ini memang perkawinan yang sangat abadi, perkawinan bagi dua makhluk yang saling mencintai yang kalau perlu sehidup serta semati.”123

Terlihat di penjelasan yang cukup singkat tersebut tentang tata cara berdasar adat-istiadat Cina yang mereka berdua harus lalui. Tidak ada penjelasan tentang dekorasi yang biasanya penuh warna merah dan emas. Tidak ada upacara sujud memberii penghormatan pada orang tua. Padahal acara tersebut digelar di Taipei. Satu-satunya penjelasan di sisi kultural adalah baju pengantin yang digunakan Lucy yang penuh dengan simbol liong. Tapi, kemana atraksi liang-liong atau barongsai-nya?

Kasus yang lain adalah hal-hal yang terkait dengan kegiatan sehari-hari seperti makan. Karena novel ini berlatar Taiwan tentu akan dengan mudah ditemui rumah-rumah makan bergaya Cina dengan segala jenis menu dan perangkat makannya yang khas seperti mangkuk dan sumpit. Hal-hal seperti itu, yang saya kira seharusnya menarik perhatian Dr. Sanjaya, terutama di awal-awal kedatangannya di Taiwan, ternyata tidak muncul di narasi. Padahal banyak bagian di dalam novel yang bercerita tentang makan malam yang melibatkan Dr. Sanjaya. Salah satunya adalah ajakan Lucy pada Dr. Sanjaya bersama beberapa teman lain untuk makan malam di New Angel Hotel. Di sana hanya disebutkan bahwa rumah makan tersebut memiliki menu

makanan laut yang enak sekali”.124 Tidak diikuti penjelasan lain seperti ke-khas-an-nya yang membuatke-khas-an-nya tidak ditemukan di manapun. Padahal, dalam percakapan

123 Lih. Ibid., hal. 458-459 124

121

tersebut Lucy membahasakan Dr. Sanjaya sebagai “tamu Indonesia kita” yang artinya

Dr. Sanjaya dianggap datang dari latar belakang yang berbeda dan seharusnya dibuat menjadi tertarik dengan penjelasan lebih jauh tentang makanan laut tadi. Tapi ternyata

tak satu pun dari ‘suguhan’ tersebut yang menarik Sanjaya.

Sedikitnya identifikasi kultural terhadap tokoh-tokoh Cina ini semakin tertutupi dengan attitude Lucy setelah menikah dan pindah ke Indonesia bersama suami dan anaknya. Di masa tersebut Lucy menjadi sangat nasionalis ke arah Indonesia dan orang tuanya pun mengamini nasionalismenya tersebut. Identitasnya di Taiwan seperti tak berbekas dan dengan semangatnya menerima ke-Indonesia-annya tanpa mempedulikan sejarah yang ia miliki di Taiwan. Menurut saya, dengan pendekatan naratif semacam itu

Lucy Mei Ling memiliki kecenderungan untuk percaya pada jalan keluar versi Orba atas

Chinesche Kwestie yaitu penghilangan sejarah dan identitas masyarakat Cina di Indonesia supaya mereka dapat dengan segera di-Indonesia-kan (di-pribumi-kan?).