• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tumbuh-kembangnya Wacana Pribumi-Non-Pribumi dari Masa ke Masa

F. Acek Botak dan usaha melampaui stereotip masyarakat Cina 1. Acek Botak: penulis dan sekitarnya

F.3. b. Identitas ekonomi: menelusuri sebuah stereotip

Ditilik dari sekian penjelasan di atas, tak pelak akan terbesit pemikiran bahwa novel Acek Botak adalah novel yang adil melihat orang Cina. Benarkah begitu? Tunggu dulu sampai kita melihat penjabaran sisi ekonomis orang Cina di novel ini. Membicarakan perihal ekonomi apa lagi tentang orang Cina tentu bukan perkara mudah mengingat stereotip terkuat orang Cina ada di sisi ini; sebuah sisi yang cenderung tidak ingin dibahas lebih lanjut apabila dilihat dari novel-novel lain yang ada di tesis ini. Jadi, bagaimana wacana ekonomi di Acek Botak?

Kehidupan perdagangan memang tak pernah jauh dari keluarga Bun Nyan karena sejak awal kedatangannya mereka memang berniat untuk berdagang. Atak dan saudara-saudara memang dididik untuk hidup sebagai seorang pedagang. Hal tersebut terlihat dari nasehat-nasehat dan petuah-petuah yang diberikan Bun Nyan kepada anak-anaknya. Salah satu nasehat Bun Nya pada Atak, yang ia dapat dari ayahnya, di awal kehidupan mereka di Tanah Harapan adalah sebagai berikut:

Jadi, pedagang selain harus benar-benar hemat, juga harus licik. Tipu dalam dagang, sesuatu yang lumrah. Sungguh luar biasa jika ada pedagang yang hanya sedikit menipu,” ayah Bun

Nyan terhenti sejenak meneruskan batuknya. Dengan bersusah payah, kemudian melanjutkan

nasihatnya, “Jika ingin hidup jadi pedagang yang jujur dan tenang, harus pandai mencari dan menjaga pelanggan dan bekerja keras. Hidup jujur dan tulus, membuat hidup menjadi tenteram dan damai, tak perlu takut dikejar-kejar.”149

149

166 Kutipan tersebut menunjukkan pedoman hidup keluarga Bun Nyan dalam hal berdagang untuk dijadikan pegangan hidup. Nasehat turun-temurun ini terus dipegang oleh Atak sedari awal hingga memiliki usahanya sendiri di kemudian hari.

Cerita yang dirangkai di Acek Botak bukanlah semata-mata cerita tentang orang Cina di perjuangan kemerdekaan Indonesia. Cerita-cerita tersebut juga merupakan cerita tentang naik-turunnya kehidupan ekonomi orang-orang Cina yang datang ke Sumatra yang diwakilkan melalui kehidupan keluarga Bun Nyan. Sedari awal kedatangannya, keluarga Bun Nyan memang tidak berniat untuk bekerja di perkebunan, tidak seperti keluarga A Hong dan A Lin. Mereka memilih untuk bertani karenanya mereka membuka lahan di pinggiran. Semua anggota keluarga dilibatkan di perkejaan di ladang. Hany Atak yang dilatih secara khusus, karena ia adalah anak tertua, dan diajak berdagang hasil panen di pasar. Setelah Atak memasukki usia dewasa, ia meminta modal ayahnya untuk memulai usaha sendiri. Modal tersebut ia belikan barang-barang kebutuhan sehari-hari yang lantas ia jajakan dengan berkeliling ke pondok-pondok perkebunan. Ia menjadi seorang mindring.150 Ketika, ia telah memiliki usahanya sendiri, setiap hari, setelah membantu ayahnya di ladang, ia berkeliling ke pondok-pondok dan kampung-kampung. Panggilan Acek Botak ia dapat dari interaksinya dengan kuli-kuli di perkebunan. Selang beberapa waktu, Ahong bergabung dengan keluarga Atak setelah melarikan diri. Oleh Bun Nyan ia diajari dan diberi modal untuk berdagang. Ia memulai dengan berternak bebek. Dari bebek-bebek tersebut, ia mendapatkan telur yang kemudian ia jual di pasar setelah sebelumnya sebagian dijadikan telur asin. Dengan berjualan telur ini juga ia menghidupi A Lin setelah menikah. Seiring dengan waktu, usaha mereka semua pun mengalami kemajuan. Namun, itu tidak berjalan dengan lama. Dengan goyahnya kekuasaan Belanda di Sumatra, Atak tak dapat lagi pemasukan lagi

150

Mindring adalah seseorang yang menjajakan barang dagangannya dengan berkeliling kampung dengan sistem pembayaran yang dapat dicicil. Jadi, selain berkeliling untuk menjajakan barang

dagangannya, seorang mindring juga menagih cicilan-cicilan dari pembeli-pembeli di hari-hari yang lalu. Segala cicilan dicatat di sebuah buku. Buku tersebut berisikan daftar hutang yang ditandatangani si penghutang setiap kali mencicil hutangnya.

167 dari usaha mindring-nya. Hal tersebut dikarenakan banyak pondok-pondok kuli yang kosong ditinggalkan para kuli yang melarikan diri. Kehidupan ekonomi secara menyeluruh di Sumatra juga terganggu. Puncak kemacetan ekonomi keluarga tersebut adalah ketika mereka diikutkan ke dalam Heiho.

Di masa awal kemerdekaan, Atak membuka warung kelontong bersama istrinya,

Sutinah. Kedai tersebut oleh para pelanggannya diberi julukan ‘Kedai Sampah’ karena

hampir tak ada barang kebutuhan sehari-hari yang tidak dijual di sana. Usaha tersebut lantas dikembangkannya menjadi kedai kopi yang menjadi tempat pertemuan non-formal di daerah tersebut tidak terkecuali oleh teman-teman seperjuangan Atak di perang kemerdekaan. Di kedai kopi tersebut, mereka bertukar berita dan cerita termasuk saling bantu-membantu permasalahan yang dialami Atak dan veteran non-pribumi lainnya. Untuk menarik pelanggan dan komunikasi kultural antar kelompok masyarakat, ia sering mengadakan acara-acara kebudayaan berbasis kultur tertentu seperti opera Batak, wayang dan opera Cina.

Cerita yang lengkap dari awal perjalanan di sisi ekonomi ini adalah sisi menarik lainnya dari Acek Botak. Cerita dari awal inilah yang absen dari semua novel yang dibahas di tesis ini. Bagi saya, novel ini berani memasuki stereotip orang Cina dan berusaha melampauinya. Ketika berhadapan dengan sebuah stereotip kita jarang sekali tahu tentang darimana asalnya stereotip tersebut. Acek Botak berusaha memberiikan jawabannya dengan menceritakan proses perjalanan kehidupan ekonomi orang Cina.

Acek Botak mengungkap bahwa kedekatan orang Cina dengan dunia perdagangan bukanlah sesuatu yang tiba-tiba ada dengan begitu saja.

Walaupun tidak mendalam namun Acek Botak cukup memberii pencerahan bagaimana para pendatang Cina memang dibentuk untuk hanya berada di wilayah ekonomi dengan beberapa keuntungan selain mereka memang dididik untuk menjadi pekerja keras nan tekun. Ketika datang ke tanah Sumatra, orang Cina, tidak seperti

168 ekonomi dengan diperbolehkan membuka usahanya sendiri. Menjadi kuli hanyalah salah satu pilihan untuk hidup bagi pendatang Cina. Tapi, bagi orang Jawa, tidak ada pilihan karena mereka khusus didatangkan untuk menjadi kuli perkebunan.

F.4. Wacana sejarah sebagai jalan keluar melampaui stereotip ekonomi