• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tumbuh-kembangnya Wacana Pribumi-Non-Pribumi dari Masa ke Masa

C. Ca-Bau-Kan : narasi tentang orang Cina di antara stereotip, trauma pada kekerasan dan pengangkatan kultural

C.1. Ca-Bau-Kan dan penulisnya

Ca-Bau-Kan adalah sebuah novel yang ditulis oleh Remy Sylado (Yapi Tambayong), sebuah nama yang sudah tidak asing lagi di dunia sastra Indonesia. Ia banyak terlibat di dunia kesenian Indonesia mulai dari teater hingga seni rupa. Seperti halnya kegiatannya, tulisan-tulisannya juga tidak terbatas pada satu disiplin ilmu tertentu. Ia banyak menulis tentang bahasa, dramaturgi, sastra, bahkan teologi.

Ca-Bau-Kan adalah karya ke empat dari Remy Sylado. Novel ini diterbitkan tahun 1999 dengan berselang hanya satu tahun setelah runtuhnya Rezim Soeharto. Novel, yang pernah dipublikasikan di Republika ini, adalah salah satu novel paling awal yang menceritakan tentang kehidupan orang-orang Cina di Indonesia di masa Reformasi dan, pastinya, proses penulisannya masih berada di kurun waktu 90-an yang mana Soeharto masih berjaya. Lebih jauh, dalam timeline sejarah sastra Indonesia, Remy

124 masuk ke dalam golongan sastrawan 80-an yang artinya wacana besar tentang Cina di sekitarnya saat itu adalah wacana rasis a la Orba dan Remy bukanlah seorang keturunan Cina. Adalah sebuah fakta sosial bahwa ada segudang stereotip terhadap kaum minoritas Cina dan begitu juga sebaliknya. Bagaimana Remy Sylado menghadapinya? Sudut pandang macam apa yang dipakainya untuk menceritakan masyarakat Cina Indonesia?

Secara garis besar Ca-Bau-Kan bercerita tentang kehidupan Tinung dan Tan Peng Liang yang hidup di awal abad ke-20 di Hindia Belanda. Narator novel ini adalah nyonya G. P. A. Dijkhoff alias Giok Lan, anak dari Tinung dan Tan Peng Liang. Setelah berpuluh tahun tak kembali ke Indonesia, setelah diadopsi oleh sebuah keluarga Belanda, ia kembali ke Indonesia dan, pelan-pelan, mencari asal-usul. Cerita tentang kedua orangtuanya, Tinung dan Tan Peng Liang, muncul dan menjadi cerita utama dalam kerangka pencarian jati diri tersebut.

Di Indonesia, Giok Lan menemukan bahwa kisah cinta ayah-ibu-nya tak seindah yang dibayangkan. Tinung, alias Siti Noehaijati, adalah perempuan betawi miskin yang, karena tuntutan ekonomi dan dorongan orang tuanya,menjadi seorang pelacur (cabo’an) di Kali Jodo. Ia kemudian dijadikan nyai oleh Tan Peng Liang, yang asal Bogor dan bukan ayah Giok Lan si narator. Setelah melarikan diri, ia belajar ke Njoo Tek Hong agar dapat bekerja sebagai penyanyi cokek di orkes milik Njoo Tek Hong. Ketika menyanyi di sebuah acara yang menyewa jasa Tek Hong, Tinung kemudian bertemu Tan Peng Liang yang lain, asal Semarang (bapak dari Giok Lan si narrator). Dari sana lah, naik-turunnya konflik novel ini benar-benar dimulai.

C.2. Ca-Bau-Kan dan identitas kultural Cina C.2.a. Bahasa

Adalah sebuah kenyataan bahwa identitas para pemukim Cina di Hindia Belanda sebagai sebuah bangsa yang satu merupakan bagian dari politik segregasi pemerintah kolonial Belanda. Karena Ca-Bau-Kan ditulis berpuluh tahun setelah masa jaya politik segregasi, penulisnya, Remy Sylado, tentu memiliki cara yang berbeda dengan KTH yang hidup di zaman pemisah-misahan berdasar bangsa tersebut. Remy Sylado hidup di

125 zaman dengan ideologi yang berbeda tentu menanggapi politik segregasi menggunakan kacamata ideologi zamannya. Di novel ini, Remy Sylado, alih-alih berfokus untuk menyatukan pribumi dengan bangsa Asia asing seperti KTH, mencoba memecah apa yang oleh pihak pemerintah kolonial sebagai Bangsa Cina. Di novel ini ia tidak percaya bahwa memang, secara kultural, semua orang yang bermata sipit dan berkulit lebih terang berada di bawah satu payung identitas.

Bahasa adalah salah satu sisi kultural yang dapat membuat orang-orang Cina tidak dapat, dengan begitu saja, diletakkan dalam satu kotak identitas. Yang dimaksud Remy Sylado dengan bahasa yang memecah identitas orang-orang Cina adalah dialek lokal yang diserap orang-orang Cina. Di novel ini, paling tidak, terdapat empat dialek berbeda tergantung asal daerah orang-orang Cina tersebut di Hindia Belanda. Dialek-dialek tersebut adalah Dialek-dialek Semarangan, Betawi, Sunda dan yang ke empat adalah dialek yang masih kental dengan bahasa Cina Daratannya atau Kou-Yo.

Jadi, sekarang, mari kita lihat satu per satu. Sebagai representasi orang Cina yang lahir dan besar di daerah Jawa Tengah, dengan dialek Semarangan, adalah Tan Peng Liang yang ayah dari Giok Lan. Ia berasal dari Semarang dan pindah ke Batavia untuk berdagang. Ia tidak dapat berbahasa Kou-Yo. Bahasa yang digunakannya adalah bahasa campuran antara Bahasa Melayu Lingua Franca, Bahasa Jawa dan Bahasa Hokkian. Remy Sylado bahkan di dalam novelnya memberii beberapa contoh

istilah-istilah yang sering digunakan: “[j]ika ia berkata “dia”, yang diucapkannya adalah “diak

-e; kata “di mana” menjadi “ada mana” atau “dah mana”; “ambilkan” jadi “ambik-ke”; “tidak dapat” jadi “ndak isa”; “lihat” jadi “liak”; “cantik” jadi “ciamik”; “sial” jadi “cialat”; dan seterusnya”.125

Berikutnya adalah Tan Peng Liang yang merupakan orang Cina pertama yang mengangkat Tinung menjadi nyai-nya. Ia adalah seorang Hokkian yang lahir dan besar di Bogor sehingga Bahasa Sunda sangatlah dekat dengan dirinya. Kenyataan tersebut

125

126 membuatnya berbahasa yang hasil campuran antara Bahasa Sunda dan Bahasa Hokkian.

Yang ketiga adalah Njoo Tek Hong. Ia adalah seniman yang besar di Batavia sehingga sudah menggunakan Bahasa Betawi untuk keperluan sehari-hari. Kutipan ini

adalah contohnya, “Njoo Tek Hong senang. “Bagus!” kata dia. Lalu dia ketawa keras. Melengking. “Nah, sekarang gue terima lu jadi murid. Gua jadiin lu cokek paling hebat

di ini Betawi. Cokek nyang jagoan nyanyi lagu klasik Cina. Cokek yang bakalan jadi lu

punya yeh, ngarti kagak, lu?”.126

Dari kutipan tersebut terlihat bagaimana Tek Hong

dengan luwesnya menggunakan kata ganti seperti “lu” dan “gue” namun laki-laki tua, yang selalu mengakhiri kalimat-kalimatnya dengan kata-kata “ngarti kagak lu?” itu,

juga tetap memakai istilah-istilah dalam Bahasa Hokkian seperti “yeh”.

Yang ke empat adalah orang-orang Cina, yang jadi antagonis di Ca-Bau-Kan

kecuali Lie Kok Pien, yang tergabung dalam Kong-koan bentukan Belanda. Kelompok ini adalah kelompok elit di kalangan Cina yang memiliki pengaruh politik dan ekonomi. Mereka ini, antara lain, adalah Oey Eng Goan (ketua), Timothy Wu, Lie Kok Pien, Thio Boen Hiap dll. Sebagian besar dari mereka besar di Batavia, kecuali Timothy Wu yang lulusan Singapura. Rata-rata dari mereka memiliki jaringan orang-orang Cina di berbagai Negara. Sehingga mereka masih lancar memakai Bahasa Kou-Yo atau Hokkian. Berikut adalah contohnya, yang saya ambil ketika mereka membicarakan tanggapan Liem Koen Hien atas pidato Bung Karno di Donkoritsu Zunbi Chosakai,

“…“[b]agaimanapun Wo tidak suka pernyataan Liem Koen Hien terhadap pidato Bung Karno di Donkoritsu Zunbi Chosakai. Tidak seharusnya Liem omong begitu. Apa-apaan dia meralat

yang kepalang dia ucapkan?”

Lie Kok Pien, yang selalu tak sejalan dengan Oey Eng Goan, meremehkannya. Katanya, “Itu

urusan dia. Urusan kita bukan itu, tapi apa sikap kita di depan seandainya Indonesia betul-betul

menerima kemerdekaannya dari Jepang.”

“Tidak,” kata Oey Eng Goan. “Omongan Liem di Donkoritsu Zunbi Chosakai tidak taktis. Itu bisa dianggap generalisasi terhadap semua Tionghoa. Harusnya dia tak perlu meralat. Sebab dia harus tahu, semua Tionghoa di seluruh dunia, memiliki satu kebangsaan, yaitu Tionghoa, dan dua kewarganegaraan, yaitu Tiongkok dan negeri di mana dia berdiri untuk sementara.”

“Itu betul. Seratus persen betul,” kata Thio Boen Hiap mendukung Oey Eng Goan.

“Sebentar,” kata Lie Kok Pien, merasa nasteng. “Wo memang tidak bilang itu salah.

126

127

Yang Wo pikirkan, seandainya, nah, perhatikan, Wo bilang ‘seandainya nanti Indonesia dapat kemerdekaannya, apa tatanan status quo masih bisa bertahan? Maksud Wo, kenapa kita tidak

fleksibel. Ingat pepatah kita, ‘qianli zhi xing, shi yu xia’. Di dalam pidato Bung Karno itu, tergambar dengan jelas tentang cita-cta satu kebangsaan yang – seperti katanya ‘bhineka tunggal ika’ – artinya inter-rasial dan inter-tribal”…”127

Ciri khas yang paling terlihat di kelompok ini adalah kata ganti orang yang masih menggunakan Bahasa Kou-Yo yaitu “wo”, atau “saya”, dan “ni” yang berarti

anda. Artinya, pengaruh Bahasa Kou-Yo di dalam diri mereka sangat kuat. Lebih jauh, bahasa Melayu mereka adalah Melayu TInggi. Tentu ini dikarenakan kedekatan organisasi ini dengan penguasa kolonial.

Dengan ragam bahasa ini, menurut Ca-Bau-Kan, terdapat empat identitas orang-orang Cina yang mana membuat konsep Vreemde Oosterlingen menjadi absurd. Lebih jauh, orang-orang Cina ini telah terpecah ke dalam banyak identitas sesuai dengan wilayah mereka dibesarkan di Hindia Belanda. Melalui pendalaman di sisi bahasa, Remy melawan penyatuan identitas orang-orang Cina karena baginya orang-orang Cina tersebut juga asing satu dengan lainnya.

C.3.Ca-Bau-Kan dan identitas sosial-ekonomi-politik Cina C.3.a. Ekonomi

Adalah sebuah fakta sejarah bahwa sebagian besar orang Cina yang datang ke tanah Hindia-Belanda, dan bahkan sebelum bernama Hindia-Belanda, memiliki latar belakang dan tujuan ekonomis, entah yang sebagai tauke (pedagang besar) atau sebagai kuli perkebunan. Baru di awal abad ke-20, latar belakang lain, seperti politik, mendorong orang Cina datang ke Hindia-Belanda. Artinya memang orang-orang Cina ini di Hindia-Belanda kehidupannya ada di arena ekonomi atau perdagangan. Hal tersebut tentu juga berkaitan dengan kepentingan Pemerintah Kolonial Belanda terhadap orang-orang tersebut walaupun tidak selalu dalam artian yang menyenangkan. Saking kuatnya basis ekonomi orang-orang ini, di bukunya, Lea Williams bahkan

menggunakan istilah ‘trading minority’ untuk menyebut orang-orang Cina ini; sebuah penamaan di luar kebangsaan yang dikedepankan oleh Belanda di masa Kolonial.

127

128 Novel Ca-Bau-Kan tampaknya sulit untuk tidak mengamini sejarah tersebut. Hampir seluruh tokoh-tokoh Cina di dalamnya ada di lingkaran perdagangan berskala besar. Tan Peng Liang, yang berlogat Semarangan, adalah seorang pedagang tembakau. Karenanya ia bersitegang dengan Oey Eng Goan, yang anggota Kong-koan, yang juga pedagang tembakau. Jika dilihat lebih jauh, cara mereka saling menjatuhkan adalah cara-cara khas dunia perdagangan seperti membakar gudang, memamerkan kekayaan, menjatuhkan nama dan penipuan. Keduanya melakukan hal tersebut. Artinya meskipun Tan Peng Liang adalah ‘orang baik’-nya di novel ini namun ia tetaplah seorang Cina yang pedagang dengan semua triknya. Di sisi yang sama ada Tan Peng Liang yang asal Bogor. Ia merupakan pemilik perkebunan pisang di Sewan. Ia juga membuka usaha

rentenir atau ‘Tien Terug Twaalf’ (‘sepuluh kembali duabelas’) yang memakan banyak

korban.

Di lain pihak ada Njoo Tek Hong yang pemilik sebuah kelompok musik. Tek Hong sedikit berbeda wilayah perdagangannya karena skalanya jelas tak sebesar Tan Peng Liang maupun orang-orang di Kong-koan. Namun tidak itu saja perbedaannya, Tek Hong digambarkan lebih sebagai seorang seniman aneh yang dengan hampir cuma-cuma mengajari Tinung menyanyi cokek. Ia bukanlah seorang Cina dengan mental pedagang seperti kelompok sebelumnya. Di kelompok Tek Hong, hampir-hampir tidak ada yang lain kecuali petani-petani Cina di Sewan yang korban Tan Peng Liang si rentenir. Namun, baik Tek Hong maupun para petani tersebut tidak memiliki perang vital di keseluruhan cerita Ca-Bau-Kan.

Di sisi pribumi yang berperan banyak secara keseluruhan di Ca-Bau-Kan, orang-orang pribumi ini tidak dapat dikelompokkan ke dalam sebuah corak ekonomis tertentu. Tinung adalah perempuan Betawi yang gonta-ganti pekerjaan; mulai dari pelacur hingga penyanyi cokek. Max Awuy yang selalu hadir dari adegan pertama Tinung adalah seorang wartawan yang di kemudian hari menjadi pejuang. Kakak sepupu Tan Peng Liang asal Semarang, Soetardjo Rahardjo, adalah seorang aktivis yang ikut perang. Jeng Tut adalah seorang komunis yang pedagang senjata juga. Dari empat tokoh tersebut

129 tampak bahwa mereka tidak dapat disatukan secara ekonomis dan, secara ekonomis, tidak ada satupun yang sesukses tokoh-tokoh Cina.