• Tidak ada hasil yang ditemukan

Akibat Provinsi Aceh Dihapus

B. Sebab-Sebab Terjadinya Pemberontakan Darul Islam Aceh

1. Akibat Provinsi Aceh Dihapus

Pengangkatan Tgk. M. Daud Beureueh sebagai Gubernur Aceh nampaknya diterima dengan dingin oleh masyarakat. Dua atau tiga hari sesudah

56 Dewan Perwakilan Rakyat Aceh, h. 15. Sedangkan di dalam sumber lain, saudara Ali Hasjmy tidak bersedia dan digantikan oleh Ismail Usman. Lihat, Ali Hasjmy, Semangat Merdeka

pengangkatan itu, atas undangan Hadji Zainuddin (Sekretaris Gabungan Saudagar Indonesia Aceh atau Gesida) diadakan rapat untuk membentuk panitia upacara peresmian pengangkatan Gubernur Tgk. M. Daud Beureueh pada tanggal 30 Januari 1950. Tetapi rapat tidak dapat berlangsung karena kekurangan minat dari

rakyat.57Selain itu, upacara peresmian Provinsi Aceh pertama yang dilaksanakan

pada tanggal 30 Januari 1950, tidak dihadiri oleh Menteri Dalam Negeri atau wakilnya yang ketika itu sedang berada di Yogkakarta. Ketidak hadiran pejabat pemerintah pusat dalam upacara peresmian Provinsi Aceh menuai beberapa pendapat. Menteri Dalam Negeri, Susanto Tirtoprojo telah berunding dengan anggota-anggota perlemen tentang pembentukan Provinsi Aceh yang menyatakan sebagian dari anggota perlemen tidak menyetujui pembentukan Provinsi Aceh, karena melanggar perjanjian dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) yang pada saat itu wilayah Indonesia hanya bisa dibagi menjadi 9 Provinsi dan satu daerah Istimewa Jogyakarta.

Pemerintah Pusat membentuk panitia yang diketuai oleh Menteri Dalam Negeri Mr. Susanto Tirtorpojo untuk mengkaji ulang mengenai provinsi-provinsi yang ada di Sumatera, termasuk Propinsi Aceh. Pada awal bulan Maret 1950, Menteri Dalam Negeri Mr. Susanto Tirtoprodjo beserta rombongan berkunjung ke Kutaraja untuk melakukan pertemuan dengan pemimpin-pemimpin Aceh. Dalam pertemuan antara Menteri Dalam Negeri dengan pemimpin-pemimpin Aceh, yang dihadiri oleh Gubernur Aceh Tgk. Muhammad Daud Beureueh, Ketua DPR Provinsi Aceh Tgk. Abdul Wahab, Ketua DPR Kabupaten Aceh Besar Zainy Bakry, dan Abdul Gani. Pada kesempatan itu Menteri Dalam Negeri mengatakan,

57

bahwa pemerintah pusat belum menetapkan adanya Provinsi Aceh. Oleh karena itu panitia akan mengumpulkan bahan guna dijadikan pertimbangan untuk

menarik kesimpulan perlu tidaknya diadakan Provinsi Aceh.58 Atas keterangan

Menteri Dalam Negeri itu, maka Gubernur Aceh, Ketua DPR Aceh dan beberapa anggota DPR Aceh menolak tawaran dari Menteri Dalam Negeri Mr. Susanto Tirtorpojo dan tetap menginginkan Aceh tetap berstatus sabagai Provinsi yang

berdiri sendiri.59

Sejak pertemuan Menteri Dalam Negeri dengan pemerintah daerah Aceh, belum ada tanda-tanda mengenai keputusan dari pemerintah pusat tentang persoalan Provinsi Aceh. Keinginan rakyat Aceh yang tulus akan Provinsi otonomi bagi Aceh sendiri yang disampaikan kepada pemerintah belum ditanggapi hampir 5 bulan proses itu berjalan. Akhirnya pada tanggal 12 Agustus 1950, Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi Aceh mengadakan sidang dan mengeluarkan mosi tuntutan kepada pemerintah pusat, menuntut agar tetap diberikan status provinsi sendiri, karena rakyat Aceh merasa sangat tertinggal jauh

dari rekan-rekan mereka dalam Provinsi Sumatara Utara.60 Dalam mosi yang

sangat panjang tersebut juga mengemukakan beberapa pertimbangan yang berkaitan dengan unsur pengetahuan, Ekonomi, Geografi, Sosiologi, Agama,

Kebudayaan, dan Politik.61 berikut uraian singkat mosi tersebut:

“Aceh berlainan kepentingan dengan Sumatera Timur dan Tapanuli, berlainan adat istiadat, berlainan agama dengan Tapanuli Utara. Hal-hal ini dapat menimbulkan masalah-masalah

58

Mr. S.M. Amin, Sekitar Peristiwa Berdarah, h. 29.

59 Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan, Sejarah Revolusi Kemerdekaan Daerah

Istimewa Aceh, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Inventarisasi dan

Dokumentasi Kebudayaan Daerah, 1983), h. 115.

60

Nazaruddin Sjamsuddin, Pemberontakan Kaum Republik: Kasus Darul Islam Aceh, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1990), hal 43.

61 Daud Remantan, “Pembaharuan Pemikiran Islam di Aceh (1914-1953),” (Disertasi S3 Fakultas Pasca Sarjana, Universitas Islam Negeri Jakarta 1985), h. 107. Amien,

yang bersifat pertentangan-pertentangan dalam rumah tangga di mana termasuk Aceh, Tapanuli dan Sumatera Timur. Oleh karena itu kami tidak menghendaki rumah tangga di mana termasuk Aceh, Tapanuli dan Sumatera Timur. Kami menuntut rumah tangga Aceh sendiri, di mana kami dapat mengurus hal-hal dan kepentingan-kepentingan kami tanpa dihalang-halangi oleh anggota-anggota rumah tangga yang berlainan pandangan hidup, adat istiadat, agama dan kepercayaan".62

Pertentangan pendapat antara pro dan kontra mengenai Propinsi Aceh pertama terus berlanjut. Sejalan dengan itu timbul protes-protes pemimpin pemerintahan daerah Aceh dari berbagai kalangan, memprotes tawaran tersebut, baik pemuka masyarakat Aceh, kalangan pamongpraja, dan juga masyarakat-masyarakat lainnya diluar kalangan pemerintahan.

Optimisme pemimpin Aceh pudar setelah dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pusat Pengganti Undang-Undang No.5 tahun 1950, yang mencabut

Peraturan Wakil Perdana Menteri pengganti Peraturan Pemerintah

No.8/Des/WKPM Tahun 1949 tentang penghapusan Propinsi Aceh dan

pembubaran DPRnya.63 Berdasarkan peraturan pemerintah tersebut, status

Propinsi Aceh hanya berusia 8 bulan setelah dikeluarkan peraturan undang-undang tersebut. Adapun inti undang-undang-undang-undang itu memuat beberapa poin yaitu:

1. Mencabut peraturan Wakil Perdana Menteri pengganti peraturan Pemerintah No. 8/Des/Wpm tahun 1949 tentang pembagian Sumatera Utara menjadi dua propinsi.

2. Mengesahkan penghapusan pemerintahan daerah Keresidenan Aceh, Sumatera Timur dan Tapanuli, serta pembubaran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tersebut.

62 Amien, Kenang-Kenangan: Dari Masa Lampau, h. 123. Lihat juga Sutan Muhammad Amin, Mr. S.M Amin Krueng Raba Nasution Perjalanan Hidupku, h. 90-91.

63 Sutan Muhammad Amin, Mr. S.M Amin Krueng Raba Nasution Perjalanan Hidupku, h. 90.

3. Menetapkan pembentukan Propinsi Sumatera Utara, yang meliputi

Keresidenan Aceh, Sumatera Timur dan Tapanuli.64

Tingginya suhu politik antara Jakarta dan Aceh membuat kesepakatan untuk mengirim utusan antara kedua belah pihak selama jangka waktu yang relatif singkat antara bulan Agustus sampai Januari 1951. Dari pihak Aceh dikirim dua orang yaitu Abdul Wahab Seulimeum dan Abdul Gani untuk melakukan pertemuan dengan pemerintah pusat di Jakarta. Kedatangan delegasi Aceh ke Jakarta sudah tercium oleh sebagian kaum Uleebalang. Mereka berhasil mempengaruhi para pemimpin di Jakarta. Kaum Uleebalang sangat antusias mendukung rencana penghapusan Propinsi Aceh karena mereka pendapat mereka hanya segelintir pemimpin Aceh saja yang menuntut status provinsi dan itu

dilakukan demi kepentingan kaum ulama PUSA sendiri.65 Petemuan yang

dilakukan antara kedua belah pihak tidak membawa hasil yang baik. Delegasi tersebut gagal dalam meyakinkan pemerintah mengenai status Provinsi Aceh.

Keadaan politik di Aceh semakin meningkat, guna meredakan keadaan yang semakin rumit itu pada tanggal 26 September 1950, Menteri Dalam Negeri Mr. Assaat, Menteri Keuangan Sjafruddin Prawiranegara dan Ketua P4SU (Panitia Penyelenggaraan Pembentukan Propinsi Sumatera Utara) Raden Sarimin Reksodihardjo melakukan kunjungan ke Aceh. Pada malamnya diadakan pertemuan yang dipimpin oleh Tgk. M. Daud Bereueh dan juga dihadiri oleh anggota (Dewan Perwakilan Daerah) DPD T.M. Amin, para Kepala Daerah Kabupaten, kecuali Aceh Selatan. Menteri Dalam Negeri Mr. Assaat memberikan penjelasan bahwa dalam persetujuan Republik Indonesia telah ditetapkan 10

64 A. Hasjmy, Semangat Merdeka 70: Tahun Menempuh Jalan Pergolakan, h. 401-403.

65

provinsi yang berotonomi, salah satu dari 10 provinsi itu, adalah Provinsi

Sumatera Utara.66

Semua tokoh pendukung otonomi masih tetap mempertahankan status provinsi dengan menegaskan kembali Mosi DPRD Aceh yang berkenaan dengan

ke-agamaan, adat istiadat, kebudayaan, pendidikan, dan keuangan.67 Dalam hal ini

Menteri Dalam Negeri memberi tanggapan kepada pendukung otonomi, bahwa mosi yang pernah dikeluarkan oleh DPRD Aceh tidak cukup kuat untuk

mempertahankan Provinsi Aceh.68

Menteri Keuangan Sjafruddin Prawiranegara berusaha memberi pengertian dalam masalah ini. Beliau memberi keterangan “…Pemerintah pusat mempunyai beban yang berat sekali untuk menetapkan apakah Aceh tetap satu provinsi. Beban pemerintah pusat akan bertambah ringan jika Aceh masuk Provinsi Sumatera Utara…". Selanjutnya beliau mengingatkan juga, "…Bahwa yang sekarang menjadi Perdana Menteri adalah seorang Islam, seorang ulama pula. Dalam keadaan seperti ini tentu kedudukan agama Islam akan cukup dapat perhatian beliau. Menteri Dalam Negeri Mr. Assaat pun seorang yang beragama Islam juga…".69

Pertemuan kedua belah pihak diakhiri tanpa ada kata sepakat. Gubernur Tgk. M. Daud Beureueh menutup pertemuan dengan mengatakan “…Bila tuntutan otonomi daerah Aceh tidak dikabulkan kami akan meletakkan jabatan sebagai

66

S.M. Amien, Kenang-Kenangan: Dari Masa Lampau, h. 89.

67 M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh Sebuah Gugatan Terhadap Tradisi, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1997), h. 225.

68 Hasan Saleh, Mengapa Aceh Bergolak, h. 131.

69

pegawai dan kembali ketengah-tengah masyarakat…70 suasana pertemuan berakhir dalam suasana tegang dan tidak mencapai hasil yang baik.

Usaha untuk memperoleh status otonomi terus diupayakan. Pada akhir bulan Oktober 1950 Tgk. M. Daud Beureueh melakukan perjalanan ke Jakarta dengan harapan agar status Provinsi Aceh masih bisa dipertahankan. Ia mungkin berpikir, pemerintah pusat setidaknya akan menghormatinya karena peranan rakyat Aceh pada masa revolusi dan berharap akan mendapatkan hasil yang baik untuk Aceh.

Dalam surat kabar Waspada Teungku Muhamammad Daud Beureueh mengatakan bahwa “…Aceh tidak menuntut, tapi rakyat Aceh mempertahankan hak provonsi yang telah diberikan dulu dengan undang-undang oleh pemerintah. Dan apa alasan pemerintah sekarang untuk membubarkannya. Bahwa selama ini di Aceh tidak ada terjadi kekacauan dan kerusuhan. Mengenai sikap Aceh dalam mempertahankan hak propinsi itu dari dulu sampai sekarang seujung rambut belum berubah dan pendirian pamong-pamong praja di Aceh tetap sebagaimna

yang telah diucapkan mula-mula…”.71 Mengenai berita-berita yang mengatakan

Daud Beureueh telah mencapai kompromi dengan Pemerintah, dibantah keras oleh Tgk. M. Daud Beureueh. Beliau menambahkan pernyataannya dalam harian Waspada “…Belum ada sesuatu ketegasan dari pemerintah, dan pemerintah masih mencari keterangan lebih lanjut. Berhubung belum adanya sesuatu ketegasan dari pemerintah pusat mengenai Propinsi Aceh, maka sampai sekarang Propinsi Aceh

masih tetap ada…”72

70 S.M. Amien, Kenang-Kenangan: Dari Masa Lampau, h. 91. Lihat juga, Sutan Muhammad Amin, Mr. S.M Amin Krueng Raba Nasution Perjalanan, h. 91.

71 “Atjeh Pertahankan Hak Propinsi, Belum Ada Ketegasan Dari Pusat,” Waspada, 30 Oktober 1950, h. 1.

72 “Atjeh Pertahankan Hak Propinsi, Belum Ada Ketegasan Dari Pusat,” Waspada, 30 Oktober 1950, h. 1.

Suhu politik dan keresahan di Aceh semakin meningkat, maka Wakil Presiden terpaksa datang ke Aceh pada tanggal 27 November 1950 untuk melunakkan hati pemimpin Aceh. Wakil Presiden mengemukakan penjelasan-penjelasan mengenai belum dapat diadakan suatu provinsi tersendiri bagi daerah Aceh, oleh karena dalam Piagam Persetujuan Pemerintah Republik Indonesia Serikat dan Republik Indonesia tanggal 19 Mei 1950 dan Pernyataan bersama tanggal 19/20 Juli 1950, telah ditetapkan daerah Aceh, bergabung dengan

daerah-daerah Tapanuli dan Sumatera Timur, dijadikan Provinsi Sumatera Utara.73

Pertemuan yang dilakukan Tgk M. Daud Beureueh dengan Wakil Presiden Muhammad Hatta bernasib sama seperti pertemuan Menteri Dalam Negeri Mr. Assat yang tidak membuahkan hasil yang memuaskan bagi semua pihak.

Tekanan dari berbagai pihak dialami oleh pendukung otonomi, di antaranya kaum Uleebalang dan beberapa anggota perlemen yang tidak menyetujui status Provinsi Aceh. Untuk memperkuat tuntutan tersebut, PUSA mengadakan kongres di Kutaraja pada tanggal 23-27 Desember 1950. Dalam kongres PUSA terdapat beberapa perbedaan sikap yang harus diambil oleh PUSA, yakni mendesak pemerintah daerah untuk mengambil sikap tegas kepada pemerintah pusat, dengan tuntutan, apabila sampai 1 Januari 1951 status Aceh belum berdiri sendiri sebagai

provinsi maka seluruh pejabat pemerintah akan meletakkan jabatan.74 Sebagian

anggota PUSA lainnya mengambil sikap yang netral untuk memberi kesempatan kepada pemerintah pusat untuk menyelesaikan masalah yang telah terjadi di Aceh.

73

Sutan Muhammad Amin, Mr. S.M Amin Krueng Raba Nasution Perjalanan Hidupku h, 92. Selengkapnya lihat pidato Wakil Presiden dan Tgk. M. Daud Beureueh dalam Hasan Saleh,

Mengapa Aceh Bergolak, h. 132.

74Memorandum Tentang Peristiwa Pemberontakan DI-TII Di Atjeh, (T.tp.: Staf Umum I

Keputusan yang diambil dalam kongres PUSA ke II lebih menitik beratkan pada tuntutan supaya pemerintah pusat segera memberi otonomi untuk daerah Aceh. Dalam hal ini kongres mengeluarkan resolusi yang mendesak supaya:

a. Pemerintah Pusat segera melaksanakan rencana undang-undang otonomi bagi daerah Aceh dan daerah-daerah lain yang menghendakinya.

b. Pemerintah pusat segera menepati janjinya dalam memberikan otonomi bagi Aceh.

c. Pemerintah Pusat menjalankan segala keinginan-keinginan rakyat

menurut dasar-dasar demokrasi.75

Menyikapi persoalan status Provinsi Aceh yang berlarut-larut, pemerintah pusat menugaskan Perdana Menteri Muhammad Natsir bersama Menteri Agama K.H Masykur berkunjung ke Kutaraja pada 22 Januari 1951. Kedatangan P.M. Mohammad Natsir disambut dengan rasa kurang simpatik oleh beberapa pemimpin Aceh, termasuk Tgk. M. Daud Beureueh yang tidak datang untuk menyambut kedatangan P.M. Muhammad Natsir. Selain itu, penginapan P.M. Muhammad Natsir yang semula akan ditempatkan di sebuah hotel, tetapi atas kehendak P.M. Mohammad Natsir sendiri melihat kondisi yang terjadi maka beliau menginginkan dibawa ke Pondopo Gubernur Kutaraja untuk bermalam di

sana.76 Pada malamnya diadakan perundingan antara pendukung otonomi dengan

rombongan P.M. Mohammad Natsir, perundingan berjalan dengan penuh kebijaksanaan yang bersifat dari hati ke hati. Setelah perundingan dan membujuk para pemimpin Aceh, akhirnya tercapai kesepakatan:

1. Tuntutan Otonomi Aceh diusahakan dan diperjuangkan terus.

75 S.M. Amin, Kenang-Kenangan Dari Masa Lampau, h. 92.

76 M.Natsir, 70 Tahun Kenang-Kenangan Kehidupan dan Perjuangan, (Jakarta: Pustaka Antara, 1978), h. 112.

2. Pemerintah akan mengurus soal Aceh ber-otonomi itu secara integral untuk seluruh Aceh.

3. Peletakan jabatan secara non kooperatif bila tuntutan otonomi untuk

daerah Aceh tidak dipenuhi, masih tetap dipegang penuh.77

Akhirnya Provinsi Aceh dan DPR nya resmi di hapuskan pada bulan Januari

1950.78 Daerah Aceh berubah statusnya kembali menjadi keresidenan. Kota

Medan ditetapkan menjadi ibu kota Propinsi Sumatera Utara dan Abdul Hakim aktivis Masyumi dilantik sebagai Gubernur Sumatera Utara. Sementara Residen Aceh ditunjuk R. Maryono Danubroto sebagai Koordinator Pemerintah Daerah Aceh. Tgk. M. Daud Beureueh ditarik ke Jakarta dalam Kementerian Dalam Negeri, tetapi beliau tidak pernah ke Jakarta untuk tugas yang barunya. Tgk. M. Daud Beureeuh kembali ke kampung halamannya, tinggal di sana dan hidup

sebagai orang biasa.79

Dua tahun setelah penghapusan Provinsi Aceh pertama, diadakan kongres PUSA yang ketiga di Kuala Simpang pada tanggal 25-29 April 1953. kongres PUSA kali ini selain membicarakan tentang keputusan-keputusan yang telah

diambil oleh Kongres Alim Ulama dan Muballigh Islam se-Indonesia,80 yang

dilangsungkan di Medan. Juga membicarakan tentang perjuangan kembali status

77

Hasan Saleh, Mengapa Aceh Bergolak, h. 134.

78 Dewan Perwakilan Rakyat Aceh, h. 17.

79Memorandum Tentang Peristiwa Pemberontakan DI-TII Di Atjeh, h. 106. Dalam

sumber lain menyebutkan Tgk. M. Daud Beureueh mengambil cuti selama enam bulan masa tugasnya di Kementerian Dalam Negeri Jakarta. Lihat, M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh Sebuah

Gugatan, h. 235.

80 Kongres Alim Ulama se-Indonesia yang diadakan di Kota Medan berlangsung pada tanggal 11-15 April yang dipimpin oleh Tgk. M. Daud Beureueh. Di antara keputusan yang diambil dalam kongres tersebut ialah mengadakan kerjasama yang erat dengan instansi-instansi pemerintah dan organisasi-organisasi untuk amar ma‟ruf dan nahi mungkar dan juga dengan tegas akan berusaha sekuat tenaga untuk meyakinkan rakyat memperjuangkan agama Islam dalam pemilihan umum pada tahun 1955. Lihat, A.H. Gelanggang, Rahasia Pemberontakan Atjeh dan

Provinsi untuk daerah Aceh. Kongres ini merupakan kongres terakhir PUSA, karena pada tanggal 21 September 1953 di Aceh meletus peristiwa berdarah atau pemberontakan Darul Islam Aceh di bawah pimpinan Teungku Muhammad Daud Beureueh.