• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemberontakan Darul Islam Aceh Meletus

Sejak terhapusnya Provinsi Aceh, mulai terlihat kembali pertentangan antara dua kelompok besar dalam masyarakat Aceh pada saat itu, yaitu PUSA (kaum ulama) dengan Uleebalang (kaum bangsawan). Kaum Uleebalang mulai berhasrat ingin merebut kembali hak-hak mereka yang selama ini dianggap tidak adil, yang dipegang oleh kaum ulama. Sementara di pihak PUSA (kaum ulama) mulai aktif melakukan kegiatan-kegiatan termasuk mengadakan kongres Alim Ulama yang diadakan di Medan dari 11 sampai 15 April, dan kongres PUSA yang ke III yang diadakan di Langsa Aceh Timur pada tanggal 25 sampai 29 April.

Kedua Kongres ini tidak hanya memberikan titik awal untuk pergerakan seluruh Aceh guna menjelaskan pandangan pemimpin-pemimpin Islam tentang negara Islam dan menghasut rakyat memberontak terhadap pemerintah pusat. Kedua kongres ini juga memberikan dorongan guna memperbaharui usaha untuk

meluaskan pengaruh PUSA dalam masyarakat.91

Sejalan dengan itu upaya Tgk. M. Daud Beureueh untuk mempengaruhi rakyat dan pemimpin Aceh untuk melakukan suatu tindakan pemberontakan terus dilakukannya. Gerakan berbisik dari Tgk. M. Daud Beureueh berjalan terus tanpa

91 C. Van Dijk, Darul Islam: Sebuah Pemberontakan, Penerjemah Tim PSH (Jakarta: Grafiti Pers, 1983), h. 284.

diketahui oleh pemerintah pusat, hampir semua pamong praja di kecamatan-kecamatan telah dapat dipengaruhi, demikian juga ketua-ketua rakyat di kampung-kampung. Pemimpin-pemimpin yang telah dipercayai dibai‟ah

(disumpahkan) untuk memegang peranan penting di setiap pelosok kota.92

Sebelum pemberontakan itu dilaksanakan, terjadi sebuah pertemuan yang sangat rahasia di rumah kediaman Tgk. M. Daud Beureueh. Pertemuan itu dihadiri oleh lebih kurang 100 wakil dari seluruh Aceh. Pertemuan tersebut membicarakan

tentang cara-cara melakukan kudeta serta menyusun satu teoritorium tentara.93

Keputusan hasil dari pertemuan tersebut Tgk. Daud Beureueh akan merencanakan memproklamasikan Darul Islam di Aceh pada 7 Agustus 1953, berhubung rencana tersebut telah terdengar oleh pemerintah pusat maka dibatalkan dan berencana kembali akan melakukan pemberontakan pada tanggal 17 Agustus pertepatan dengan Kemedekaan Indonesia. Namun diundur kembali karena persiapan belum selesai.94

Mengalami beberapa kali penundaan, maka pada tanggal 21 September 1953, bertepatan dengan pembukaan Pekan Olahraga Nasiobal (PON) ke-III di Medan, Tgk. M. Daud Beureueh mengangkat senjata terhadap pemerintah pusat

dan memproklamasikan Aceh sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia.95

Proklamasi itu dilakukan ditempat kediaman beliau sendiri, yaitu di kampung Usi Meunasah Dayah, Blang Malu Kecamatan Mutiara. Walaupun secara umum pemberontakan terjadi sesuai dengan skenario tanggal 21 September 1953, namun

92 A.H Geulanggang, Rahasia Pemberontakan di Aceh, h. 19.

93 Muhammad Gade Ismail, dkk., Tantangan dan Rongrongan Terhadap Keutuhan dan

Kesatuan Bangsa: Kasus Darul Islam di Aceh, (Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi

Sejarah Nasional, 1994), h. 64-65.

94 C. Van Dijk, Darul Islam: Sebuah Pemberontakan, h. 286.

95 Rakyat Aceh menyebutnya “Peristiwa Berdarah”. Sedangkan Perdana Menteri Ali Sastromidjojo menyebut sebagai “Peristiwa Daud Beureueh” atau Pemberontakan Daud Beureueh”.

sebagian orang kepercayaan Tgk. M. Daud Beureueh yang berada di Idi dan Peurelak telah mendahului gerakan mereka sehari sebelumnya.

Kekuatan gerombolan diperkirakan ada sekitar 10.000 orang dengan sejumlah senjata api berkisar 800-1000 pucuk. Pasukan inti berasal dari Pandu Islam. Unsur lain berasal dari kelompok yang tidak puas terhadap pemerintah seperti pamomg praja, Jawatan Agama, termasuk Mahkamah Syariah, Sekolah

Agama, dan Pelajar Sekolah Agama.96

Setelah pemberontakan terjadi, Komandan Resimen I Infanteri di Kutaraja mengeluarkan sebuah pengumuman militer. Pengumuman itu menyatakan bahwa di Aceh telah pecah suatu pemberontakan yang digerakkan oleh gerombolan liar. Oleh karena itu diminta kepada rakyat agar tetap tenang dan waspada, serta memberikan bantuan sepenuhnya kepada alat negara untuk menumpas

pemberontak.97

Gubernur Sumatera Utara Abdul Hakim juga mengeluarkan seruan pada 23 September 1953. Seruan ini diseberluaskan lewat radio, adapun bunyi dari seruan tersebut adalah:

“Kepada rakyat Indonesia yang berada didaerah Aceh supaya bersama menegakkan keamanan dan ketenteraman kembali. Apa yang terjadi di Aceh dinamakan usaha merampas kekuasaan negara dan bertentangan dengan hukum. Mereka yang terlibat didalam percobaan merampas kekuasaan negara ini, supaya jangan lagi meneruskan perbuatan itu, janganlah dosa kepada negara sendiri itu sampai bertambah dan diharapkannya supaya mereka lekas kembali pada tempat sebenarnya sebagai warga negara Indonesia yang setia”.98

Dalam keterangan yang lain Menteri Peneragan Dr. F.L Tobing pada 1 Oktober 1953 juga menerangkan bahwa “…Keadaan yang sedang bergolak di

96

M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh Sebuah Gugatan, h. 292.

97 Muhammad Gade Ismail, dkk., Tantangan dan Rongrongan Terhadap Keutuhan, h. 64-65.

98 “Gubern. Hakim Berseru SPJ Orang Djangan Berdosa T‟hadap Negara,” Antara, 24 September 1953.

Aceh dewasa ini, masih tetap dapat dikuasai oleh Pemerintah…” Dalam keterangannya lebih lanjut, Menteri Penerangan F.L Tobing mengatakan “…Dalam usaha dan tindakan pemerintah guna memulihkan keamanan di daerah Aceh, pemerintah mendapatkan bantuan penuh dari para alim ulama di Aceh yang tidak menyetujui tindakan kaum pemberontak dan terhadap mereka yang

meyerahkan diri, pemerintah akan memberlakukan mereka dengan baik…”99

Pemberontakan DI/TII (Tentara Islam Indonesia) Aceh sering dikatakan sebagai pemberontakan ulama Aceh, namun dalam kenyataannya tidak semua ulama memihak kepada pemberontak. Sebagian ulama Aceh yang tidak bergabung dengan kelompok Tgk. M. Daud Beureueh dengan tegas menyatakan bahwa pemberontakan itu adalah kemungkaran, di antara ulama tersebut adalah Hasan Krueng Kalee, Teungku Makam, Teungku Abdul Salam Meuraxa, Teungku Saleh Meugit Raya, Teungku Muda Wali, dan Labuhan Haji. Para ulama ini membuat seruan dan nasihat terhadap kaum muslimin dan muslimat, khususnya rakyat Aceh supaya jangan sampai rakyat terpedaya dengan ajakan dari

kalangan pemberontakan yang menggunakan nama baik Islam.100 Di dalam seruan

tersebut Tgk. H. Hasan Krueng Kalee menerangkan lagi, “…Sebelum peristiwa Daud Beureueh terjadi di Aceh tidak ada pembunuhan dan pembakaran, tetapi sewaktu timbul gerakan mereka itu, kita lihat dengan terang kezaliman-kezaliman yang mengerikan, berapa banyak orang yang telah dibunuh dan berapa pula rumah

99

Rakjat Atjeh Jg Terdjepit Melarikan Diri Kehutan-Hutan, Bintang Timur, 1 Oktober 1953.

100 “Ulama Besar Tgk. H. Hasan Krueng Kale Kutuk Pemberontakan PUSA; La‟nat Tuhan Atas Mereka”,Sin Po, 7 Oktober. Lihat juga, Ulama-Ulama Atjeh anjurkan bantu Pemerintah, Bintang Timur, 1 Oktober 1953.

yang sudah dibakar…”101 Seruan tersebut ditutup dengan mengajak rakyat Aceh supaya insyaf.

Ali Sastroamidjojo yang baru 50 hari menjabat sebagai Perdana Menteri terkejut dengan peristiwa pemberontakan Darul Islam di Aceh. Dalam hal ini P.M. Ali Sastroamidjojo mengutus Wakil P.M. Wongsonegoro untuk berkunjung ke Medan guna memperoleh data lapangan mengenai pemberontakan tersebut. Dua hari kemudian sebuah pertemuan kabinet diselenggarakan di Jakarta untuk membahas agenda pemberontakan. Adapun keterangan yang disampaikan oleh Wakil P.M. Wongsonegoro pada pertemuan kabinet tersebut membahas tentang usaha pemerintah dalam mengembalikan keamanan dan ketenteraman umum di Aceh, diantaranyanya:

a. Menjaga supaya alat-alat senjata dari alat-alat negara jangan lebih banyak jatuh kepada kaum gerombolan.

b. Menjaga supaya jangan banyak terjadi pertumpahan darah secara sia-sia. c. Menyadarkan kaum gerombolan kepada tindakannya yang salah itu. d. Memelihara pemerintahan daerah agar dapat berjalan terus

e. Tidak segan-segan mengambil tindakan yang keras dan setimpal, jika

keadaan menghendaki.102

Dalam keterangannya yg lebih lanjut Wakil P.M. Mr Wongsonegoro mengatakan “…Pemberontakan yang dilakukan dewasa ini di Aceh bukanlah

ditujukan kepada pemerintah (Merah-Putih), tetapi kepada Palu Arit…”103

101 “Ulama Besar Tgk. H. Hasan Krueng Kale Kutuk Pemberontakan PUSA; La‟nat Tuhan Atas Mereka”,Sin Po, 7 Oktober. Lihat juga, Ulama-Ulama Atjeh anjurkan bantu Pemerintah, Bintang Timur, 1 Oktober 1953.

102“Rentcana Atjeh Sudah ditetapkan di Aceh”, Antara, 28 September 1953

103 “Rakjat Atjeh Jg Terdjepit Melarikan Diri Kehutan-Hutan”, Bintang Timur, 1 Oktober 1953.

Sementara itu, Komite Pembela atau Penjunjung Pancasila RI untuk Aceh juga mengeluarkan pernyataan menyerukan kepada partai-partai, organisasi massa dan semua golongan rakyat supaya bersatu menghadapi gangguan keamanan, kekacauan dan pemberontakan baik yang mempertopengkan agama Islam dan lainnya yang hendak memecah belahkan kesatuan rakyat dan ingin memasukkan penjajahan kembali di Indoensia. Adapun seruan singkat dari Komite Pembela atau Penjunjung Pancasila Republik Indonesia sebagai berikut:

“Kepada rakyat yang telah terpengaruh, terjerumus kedalam kancah kebinasaan oleh bujukan yang muluk-muluk yang menggunakan ayat-ayat fisabilillah sahid dan sebagainya diharapkan supaya insyaf dan ingatlah kepada jalan yang benar (petunjuk Allah). Jangan mau ditipu mereka yang durhaka dan yang terkutuk itu. Dan kepada semua rakyat Aceh dan semua rakyat Indonesia agar mengadakan bantuan dan penampungan-penampungan pada saudara-saudara kita muhajirin pengungsi-pengungsi Aceh dan lain-lainya dan diminta kepada semua partai-partai organisasi massa dan golongan-golongan rakyat lainnya agar dapat bekerja sama dengan kami, antara kita dengan kita dan antara kita dengan Pemerintah.”104

Perbedaan pendapat terhadap pergolakan di Aceh juga terjadi di beberapa partai politik. Di antaranya Partai Islam (PERTI). Menurut K.H. Sirajuddin Abbas:

“Pemberontakan yang dilakukan oleh Daud Beureueh itu bukanlah soal Islam dan ulamanya, karena di Aceh banyak juga ulama-ulama dan kaum Muslimin yang tidak turut memberontak, misalnya ulama-ulama Perti dan anggota-anggotanya Perti, karena mereka itu merasa bahwa agamanya tidak diganggu-ganggu oleh negara, sejalan dengan itu kekacauan di Aceh akan dapat diatasi dengan lekas, karena rakyat terbanyak di Aceh tidak menyetujui tindakan kekerasan yang dilkukan oleh Daud Beureueh cs itu. Perasaan kurang puas terhadap keadaan memang terdapat dikalangan rakyat, tetapi rakyat pun merasa, bahwa tidak seharusnya karena perasaan yang demikian itu lalu mengambil jalan kekerasan.”105

Sementara Partai Komunis Indonesia (PKI) meminta kepada pemerintah agar menumpas habis pemberontakan DI/TII. Berikut pernyataan Partai Komunis Indonesia (PKI) di dalam surat kabar Harian Rakyat:

104“Seruan Komite Pembela/Penjunjung Pancasila RI untuk Aceh”, Bintang Timur, 7 Oktober 1953.

105“Partai Islam Perti Anjurkan Anggotanya Bantu Alat-Alat Negara”, Antara, 2 Oktober 1953.

“Satu satunya jalan bagi Pemerintah adalah bersatu dengan rakyat menghancurkan separatis ini, dalam hubungan ini PKI menyatakan dengan jujur dan ikhlas bahwa PKI berdiri sepenuhnya di belakang Pemerintah Republik Indonesia dalam menghancurkan Darul Islam di Aceh, Jawa Barat dan dimana saja.106