• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsespsi Prinsipil & Bijaksana dan Ikrar Lamteh: Sebuah

ALI HASJMY DAN PENYELESAIAN KASUS DARUL ISLAM ACEH

A. Konsespsi Prinsipil & Bijaksana dan Ikrar Lamteh: Sebuah

Kebijakan Perdamaian

Pemerintah pusat telah menetapkan Aceh sebagai Provinsi yang berotonomi dengan saudara Ali Hasjmy Gubernurnya. Hal ini menandai babak baru untuk Ali Hasjmy sebagai seorang Gubernur dalam menyelesaikan kasus konflik Darul Islam yang sudah terjadi selama 6 tahun. Dalam upaya menyelesaikan kasus konflik Darul Islam, Ali Hasjmy dibantu oleh Letnan Kolonel Syamaun Gaharu dan Komisaris Polisi Muhammad Isya, mereka

merupakan bekas rekan seperjuangan di waktu zaman revolusi kemerdekaan.203

Sebelum Ali Hasjmy dilantik menjadi Gubernur Aceh, Syamaun Gaharu204

(Panglima Komando Daerah Militer Aceh) telah lebih dulu memulai tugasnya dalam usaha menyelesaikan pergolakan Darul Islam. Pada pertengahan Januari 1957, ia merusmuskan suatu kebijakan yang terkenal dengan nama Konsepsi Prinsipil dan Bijaksana. Konsepsi ini pada dasarnya merupakan suatu proses penyelesaian keamanan yang diawali oleh proklamasi pemberhentian permusuhan, lalu diikuti dengan perundingan antara pemerintah dengan pihak

Tgk. Muhammad Daud Beureueh.205

Konsepsi Prinsipil dan Bijaksana mendapat dukungan yang baik dari Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) A.H. Nasution pada tanggal 24 Januari 1957, dengan syarat penyelesaian pokok yang dicapai adalah kembali ke

203 M. Isa sulaiman, Sejarah Aceh Sebuah Gugatan Terhadap Tradisi, h. 375.

204 Setelah menjadi komandan KDMA, pangkat Syamaun Gaharu dinaikkan saru tingkat dari Mayor menjadi Letnan Kolonel.

205

pangkuan Republik Indonesia. Adapun isi detail Konsepsi Prinsipil dan Bijaksana sebagai berikut:

1. Perlu diketahui keadaan sebenarnya mengenai semua aspek gerombolan-gerombolan pengacau (maksudnya GDIA) dan untuk ini perlu diadakan hubungan, antara lain pembicaraan informa, feeling, korespondensi dan lain-lain.

2. Pernyataan Pemberhentian Permusuhan.

3. Pengerahan segala tenaga untuk mengadakan kampanye perdamaian melalui Jawatan Penerangan, Jawatan Agama, Jawatan Penerangan Agama, Partai-partai politik, organisasi massa, tokoh-tokoh ulama, tokoh masyarakat lainnya untuk mengambil bahagian yang aktif dalam kampanye perdamaian ini.

4. Di daerah-daerah yang mendapat kerusakan oleh kejadian pengacauan gerombolan atau akibat-akibatnya yang terjadi, sesuatu yang rusak harus diperbaiki dan yang musnah harus diganti seperti rumah-rumah, sekolah, stasion kereta api, rumah-rumah rakyat, dan lain-lain, sekurang-kurangnya dapat dikembalikan kepada keadaan seperti sebelum terjadi sesuatu kekacauan.

5. Soal-soal pokok yang harus dirundingkan dengan pihak Daud Beureueh cs. adalah:

a. Tuntutan hukum terhadap mereka. Dalam proses ini dapat diperguankan opportuniteit beginsel, sehingga dengan cara ini tidak didapat kesulitan-kesulitan.

b. Rehabilitas. Daud Beureueh cs. terdiri dari bermacam-macam golongan masyarakat, di antaranya terdapat anggota-anggota TNI, pamong praja, pegawai-pegawai pemerintah, ulama-ulama, rakyat biasa yang terbawa-bawa dalam dalam persoalan ini baik secara terpaksa maupun karena kepatuhan mereka kepada yang tersebut di atas dan lain sebagainya.

(1) Anggota-anggota TNI. Sesuai dengan tuntutan hukum seperti yang tersebut di atas yaitu dengan mempergunakan dasar opportuniteit-beginsel, maka tuntutan terhadap mereka sebagai deserteur tidak akan dilakukan. Jumlah mereka resmi adalah satu kompi lengkap di bawah pimpinan Letnan Ibrahim Saleh yang lari dari Sidikalarang. Tetapi kemudian persenjataan mereka bertambah-tambah baik yang meraka dapat/rampat dari pertempuran-pertempuran dengan alat negara, maupun yang mereka dapat beli dari luar negeri dengan jalan penyelundupan-penyelundupan dan lain sebagainya. Dalam keadaan sekarang perlu pemerintah menerima mereka sekurang-kurangnya 1 batalyon organiek di dalam susunan TNI. Pelaksanaan penerimaan mereka dapat dijalankan sesuai dengan rencana recrutering yang sedang dihasilkan dengan member beberapa dispensasi/keistimewaan. Selanjutnya mereka dapat disalurkan melalui Depot Batalyon dan lain sebagainya. Untuk ini perlu segera dibangunkan 1 asrama lengkap sebagai Depot Batalyon.

(2) Pamong Praja dan Pegawai Negeri. Di antara mereka yang memberontak masih terdapat pegawai-pegawai negeri yang masih

menerima hak mereka. Ada pula di antara mereka yang telah dischors dan dipecat. Dengan adanya status propinsi untuk daerah Aceh, maka rehabilitasi terhadap mereka itu dapat disalurkan kepada pembentukan propinsi sebagai pegawai otonomi.

(3) Rakyat biasa yang ikut karena kepatuhan mereka kepada pemimpin-pemimpin mereka, yang ikut-ikutan/terbawa-bawa dan yang terpaksa karena keadaan, sebenarnya dapatlah mereka kembali ke dalam masyarakat seperti biasa, akan tetapi banyak pula di antara mereka yang perlu dilindungi dan dibekali terlebih dahulu sebelum mereka masuk ke dalam masyarakat biasa. Untuk ini perlu diusahakan jalan atau usaha-usaha yang tertib dalam menampung kembali ke dalam masyarakat biasa itu.

(4) Tahanan-tahanan. Mereka yang masih dalam tahanan dan yang sedang menjalani hukuman segera dibebaskan.

(5) Kaum pengungsi. Kemudian ada lagi satu golongan yang sebenarnya harus mendapat pula perhatian dari pemerintah, yaitu mereka yang tetap setia kepada Republik Indonesia, tidak mau malah menentang gerakan illegal dari Daud Beureueh cs. Mereka ini terpaksa juga meninggalkan kampung halamannya, meninggalkan harta-hartanya pergi mencari tempat-tempat yang dianggap mereka aman dan dapat meneruskan hidup mereka. Mereka ini adalah kaum-kaum pengungsi. Terhadap kaum pengungsi ini pun sudah selayaknya kalau pemerintah memberikan penghargaan dengan mengganti kerugian alakadarnya.

(6) Jika hasil dari permusyawaratan itu telah mendapat persetujuan dari segala pihak yang bersangkutan, maka dipilihlah suatu saat yang baik untuk memproklamirkan “Perdamaian dan Persaudaraan yang abadi di Aceh”. Proklamasi ini diikuti secara adat di kampung-kampung, di kecamatan-kecamatan dan kabupaten-kabupaten di seluruh Aceh untuk mengadakan kenduri secara bergotong royong dan orang-orang yang bersangkutan di daerah masing-masing terutama orang-orang yang dirinya tersangkut di dalam persoalan-persoalan itu dan menyatakan keikhlasan mereka bermaaf-maafan. Di sini dikerahkan kembali massa untuk diberi penerangan seperti yang tersebut di atas dengan jiwa perdamaian/persaudaraan, poster-poster, sari-sari ucapan dari tokoh-tokoh ulama di daerah ini dan lain-lain disiarkan dengan seluas-luasnya. Harus diusahakan sekurang-kurangnya 15 hari, supaya semarak hari Proklamasi Perdamaian/Persaudaraan itu yang dapat dirasakan (meresap) dalam hati sanubari dan dinikmati oleh seluruh penduduk Aceh.

(7) Sesudah Proklamasi Perdamaian/Persaudaraan yang abadi ini, pemerintah harus melaksanakan rencana-rencana pembangunan di Aceh dalam arti yang luas (pembangunan daerah dalam segi sosial, ekonomi, pembangunan rakyat dalam segi mental dan pendidikan untuk menempatkan fungsi Aceh dalam susunan Indonesia sebagai

suatu nation seperti yang sudah-sudah.206

206 Naskah asli konsepsi prinsipil dan bijaksana ditandatangani oleh Letnan Syamaun Gaharu berjudul Penyelesaian Peristiwa Pemberontakan di Aceh. Lihat Teuku Haji Ibrahim

Di samping Penguasa Perang Daerah (Syamaun Gaharu) melakukan pendekatan dengan pihak gerombolan, Gubernur Aceh Ali Hasjmy yang baru beberapa hari dilantik juga melakukan pendekatan dengan caranya sendiri. Langkah dan strategi pertama yang dilakukan Gubernur Ali Hasjmy melakukan kontak dengan para pemimpin Darul Islam terutama mereka yang mempunyai hubungan kedekatan dan kekerabatan dengannya pada saat pergerakan zaman Hindia Belanda dan masa Revolusi 45 setelah Indonesia merdeka. Langkah Gubernur Ali Hasjmy semakin lancar setelah ia menerima surat yang berisi

ucapan selamat dari Teuku Ahmad Hasan (Menteri Kesehatan Darul Islam).207

Pada tanggal 30 Januari 1957 Gubernur Ali Hasjmy secara pribadi berangkat ke suatu daerah yang benama Dham untuk menemui pemimpin-pemimpin Darul Islam, di antaranya Ishak Amin (Bupati Darul Islam Aceh Besar), A. Jalil (Komandan Istimewa Tentara Islam Indonesia), dan Muhammad

Ali Piyeung (Kepala Polisi Darul Islam).208 Pertemuan Gubernur Ali Hasjmy

dengan tokoh-tokoh pemimpin Darul Islam tersebut untuk membicarakan

mengenai penyelesaian masalah keamanan di Aceh.209 Di samping itu, tokoh

Darul Islam memberitahu nama orang-orang penting Darul Islam yang bermukim dalam kota. Pertemuan pertama yang dilakukan Gubernur Ali Hasjmy di “Pertemuan Dham” merupakan suatu langkah dalam mencari formasi kearah perundingan yang lebih formal. Pertemuan itu juga mempunyai arti penting dalam melunakkan sikap gerombolan terhadap pemerintah.

Alfian, “Penyelesaian Masalah Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Dengan “Konsepsi Prinsipil dan Bijaksana”, Jurnal Ketahanan Nasional, No VI (2), (Agustus 2001): h. 42-45.

207 Mengenai isi surat Teuku Ahmad Hasan lihat A.Hasjmy, Semangat Merdeka: 70

Tahun Menempuh Pergolakan, h. 524-525.

208 C. Van Dijk, Darul Islam: Sebuah Pemberontakan, h. 314.

209

Setelah pertemuan di Dham diawal bulan Februari 1957, Gubernur Ali Hasjmy melakukan pertemuan dengan ulama-ulama besar, pemimpin-pemimpin masyarakat yang terdiri dari organisasi, dan kalangan politik yang berada di Kutaraja untuk bertukar pikiran tentang langkah dan strategi pemulihan keamanan dan pembangunan Aceh. Dari pertemuan tersebut, Gubernur Ali Hasjmy banyak mendapatkan bahan dan informasi dari ulama dan pemimpin organisasi-organisasi yang hadir dalam pertemuan itu. Sebagian pihak mendukung konsepsi pemulihan yang telah dirumuskan oleh Syamaun Gaharu, hanya Partai Komunis Indonesia (PKI) saja yang memberikan usulan pembersihan anasir sabotase pro geromolan dalam tubuh pemerintahan sipil dan mendesak Gubernur Ali Hasjmy terhadap pelaksanaan pemulihan keamanan di Aceh harus dilaksanakan dengan cara

kekerasan.210

Upaya Gubernur Ali Hasjmy dalam menyelesaikan kasus konflik Darul Islam Aceh tidak saja dilakukan melalui pertemuan dengan pemimpin Tokoh Darul Islam, ia juga mengirim surat kepada beberapa para pemimpin Darul Islam, baik yang berada di Aceh maupun yang berada di luar negeri. Buktinya pada pertengahan Maret 1957 dalam perjalanannya dari Jakarta menuju Belawan, Gubernur Ali Hasjmy singgah di Singapura untuk mengadakan kontak dengan tokoh-tokoh Darul Islam Aceh di Singapura dan Semenanjung Tanah Melayu, seperti Abdullah NH. Dari Singapura Gubernur Ali Hasjmy mengirim surat

kepada Wakil Darul Islam Aceh di Amerika Serikat, Hasan Muhammad Tiro.211

210 A. Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Jalan Pergolakan, h. 530

211 Mengenai Isi Surat Gubernur Ali Hasjmy kepada Muhammad Hasan Tiro, lihat Dokumen A, Hasjmy, Dari Darul Harb Ke Darussalam Djilid I. lihat juga, A. Hasjmy, Semangat

Berdasarkan hubungan kontak dan pertemuan di Dham, juga melalui korespondensi yang dilakukan Gubernur Ali Hasjmy kepada para pemimpin Darul Islam Aceh, maka pada tanggal 8 April 1957 bertepatan dengan bulan ramadhan, masing-masing pihak baik dari pemerintah daerah dan Darul Islam melangkah ke negosiasi yang bersifat formal. Pertemuan di antara kedua belah pihak itu berlangsung di kediaman salah seorang tokoh Darul Islam Pawang Leman di desa Lamteh. Dalam pertemuan itu hadir Gubernur Ali Hasjmy, Kepala Polisi Muhammad Isya dan Komandan Militer Daerah Aceh Syamaun Gaharu, sementara pihak Darul Islam dihadiri oleh Perdana Menteri Darul Islam Hasan Ali, Menteri Pertahanan Darul Islam Hasan Saleh, Bupati Aceh Besar Darul Islam

Ishak Amin dan seorang tokoh Darul Islam lainnya Pawang Leman.212

Pertemuan yang terjadi di antara kedua belah pihak, yang telah lama berpisah itu berlangsung dalam suasana bahagia. Namun, ketika kedua belah pihak itu mulai membicarakan mengenai persoalan keamanan Aceh dan bentuk administrasi pemerintahan di Aceh, pembicaraan terasa sangat alot dan hampir mengalami jalan buntu karena kedua belah pihak berada pada pendirian yang berlawanan. Dalam suasana yang sangat tegang itu, kedua belah pihak disadarkan oleh suara keras dan penuh haru dari Pawang Leman yang isinya “…Kalau bapak-bapak tidak sanggup menyelesaikan masalah ini, mari kita bakar saja Aceh ini supaya kita puas dan agar cucu kita di belakang hari akan menuduh kita sebagai

pengkhianat dan orang yang tidak bertanggung jawab…”213

212 Mengenai perjalanan Ali Hasjmy, Muhammad Isja, dan Syamaun Gaharu menemui pihak Darul Islam lihat T. Alibasjah Talsya, 10 tahun Daerah Aceh Istimewa Aceh, h, 15. Lihat juga Ali Hasjmy, dkk., 50 Tahun Aceh Membangun, h. 141.

213

Setelah melalui perdebatan yang cukup alot akhirnya tercapai juga kata sepakat di antara kedua belah pihak yang menginginkan Aceh menjunjung tinggi kehormatan agama dan kepentingan rakyat atau Daerah Aceh, untuk itu perlu dilaksanakan gencatan senjata sebagai landasan bagi perundingan lebih lanjut. Kesepakatan yang amat penting itu diberi nama “Piagam Lamteh” atau sering

disebut “Ikrar Lamteh”.214 Adapun bunyi Ikrar Lamteh itu ialah:

a. Kami sebagai putera-puteri Aceh bertanggung jawab terhadap hari depan Aceh yang kami cintai, dan merasa berkewajiban untuk membangun Aceh kembali dalam segala bidang.

b. Pembangunan yang sangat dirindukan oleh Rakyat Aceh, yang harus kami laksanakan, yaitu pembangunan dalam bidang Agama Islam dalam arti yang luas, pembangunan dalam bidang fisik juga dalam arti yang luas dan pembangunan dalam bidang pendidikan, kebudayaan dan adat, yang kesemuanya harus tidak boleh bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam.

c. Untuk dapat melaksanakan cita-cita pembangunan Aceh kembali, kami bersepakat untuk secepatnya menghentikan pertempuran antara sesama

putera Indonesia di Aceh.215

Ikrar Lamteh yang berhikmat itu ditandatangani oleh beberapa putera Indonesia yang berada di Aceh, yang pada waktu itu merasa bertanggung jawab untuk menyelamatkan Aceh dari kemusnahan. Di antara putera Aceh tersebut

214 Naskah asli Ikrar Lamteh belum diketahui dimana tersimpan. Penulis yang telah berkunjung ke Museum dan Pendidikan Ali Hasjmy tidak menemukan teks naskah ikrar tersebut baik yang asli maupun salinan. Dalam buku Semangat Merdeka 70 Tahun, Ali Hasjmy menerangkan bahwa naskah Ikrar Lamteh tersebut ditulis di atas lembaran kertas buku tulis anak sekolah karena pada waktu tersebut tidak ada kertas yang lain. Sehingga salinan yang tulis lebih merupakan semacam ingatan terhadap apa yang mereka tandatangani, sehingga redaksi kalimatnya sering berbeda satu sama lain.

215

yaitu Letnan Kolonel Syamaun Gaharu, Gubernur Ali Hasjmy, Major T. Hamzah, Komisaris Besar Polisi Muhammad Isja dan dari pihak pemimpin DI/TII

saudara-saudara Hasan Ali, Hasan Saleh, dan Ishak Amin.216

Atas dasar Ikrar Lamteh di atas, pada tanggal 9 April 1957 Letnan Kolonel Syamaun Gaharu mengeluarkan surat perintah penghentian gerakan-gerakan militer yang ditujukan kepada semua komandan sektor PDM (Perwira Distrik Militer). Surat tersebut berisikan perintah menghentikan operasi militer atau pertempuran dan keizinan kepada semua perwira bersangkutan melakukan kontak

dengan pemimpin-pemimpin Darul Islam.217 Kemudian Syamaun Gaharu

mengirim dua rombongan utusan ke seluruh Aceh untuk mengadakan pendekatan dengan para pemimpin Darul Islam diseluruh kabupaten. Adapun dua rombongan utusan ini yang diberikan tugas oleh Sjamaun Gaharu adalah:

1. Kelompok pertama menjalankan misi sosialisasi damai di sepanjang pantai barat dan selatan yang dipimpin oleh Kapten Usman Nyak Gade, bertugas mengunjungi para tokoh pergerakan Darul Islam Acehdi Aceh Barat dan Aceh Selatan.

2. Kelompok kedua menjalankan misi sosialisasi sekaligus penetrasi damai di sepanjang pantai utara (Aceh Utara), timur (Aceh Timur) dan ke Aceh

Tengah yang dipimpin oleh Rivai Harahap.218

Di samping genjatan senjata, Gubernur Ali Hasjmy juga melakukan upaya dalam menyelesaikan kasus tahanan Darul Islam. Sejak tangga 25 Maret Gubernur Ali Hasjmy telah mengirim surat kepada Ketua Pengadilan Negeri Medan yang

216 “Gub. Hasjmy Dengan Ikrar Lamtehnya,” Peristiwa, 22 Maret 1959, h. 3.

217 M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh Sebuah Gugatan, h. 382-383.

218 Jarah Dam-I, Dua Windhu Kodam I/Iskandar Muda, (Banda Aceh: Sejarah Militer Kodam I/Iskandar Muda, 1972), h. 245.

pada waktu itu dijabat oleh saudara Husni Atmawijaya. Surat tersebut mendapat tanggapan dari pihak kejaksaan dan kehakiman, pada tanggal 11 April 1957 terjadi pembebasan tahanan Darul Islam sekitr 86 orang dan kemudian disusul

oleh pembebasan lainnya sebanyak 50 orang pada tanggal 4 Mei 1957.219

Dengan diberlakukan genjatan senjata tersebut maka terbuka peluang bagi pemberontak untuk kembali pulang ke kampung untuk menjenguk keluarga yang telah ditinggal selama bertahun-tahun. Genjatan senjata juga memberikan kesempatan untuk Letnan Kolonel Syamaun Gaharu dan Gubernur Ali Hasjmy untuk bersilaturrahmi dengan pemimpin pemberontakan. Kesempatan ini dipergunakan dengan sebaik mungkin oleh Gubernur Ali Hasjmy dalam melakukan pendekatan dengan pemimpin gerombolan untuk bersama-sama membicarakan mengenai masalah penyelesaian konflik Aceh.

Pada bulan Mei tahun 1957, sebagai tindak lanjut pelaksanaan Ikrar Lamteh, Gubernur Ali Hasjmy melakukan kontak dengan Saudara Hasan Ali (Perdana Menteri Darul Islam Aceh). Dari hubungan kontak tersebut pemerintah daerah yang diwakili oleh Gubernur Ali Hasjmy, Letnan Kolonel Syamaun Gaharu, Kepala Polisi Daerah Aceh Muhammad Isja, dan beberapa perwira lain antara lain Usman Nyak Gade melakukan kunjungan ke markas Darul Islam yang berada di

suatu tempat yang benama Mardhatillah220 untuk mengadakan pembicaraan

dengan Wali Negara Darul Islam Teungku Muhammad Daud Beureueh guna melunakkan sikap pendiriannya agar berdamai dengan pemerintah.

Dalam pertemuan kedua belah pihak terjadi perbincangan yang sangat panjang, masing-masing saling memberi penjelasan. Ali Hasjmy yang ditunjuk

219 M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh Sebuah Gugatan, h. 383.

220 Mardhitillah adalah suatu daerah yang tertelak di pedalaman Trienggadeng. Lihat, T. Alibasyah Talsya, 10 Tahun Daerah Istimewa Aceh, h. 16.

sebagai juru bicara, menjelasakan mengenai maksud kedatangannya dan juga membicarakan mengenai Ikrar Lamteh dan Konsepsi Prinsipil Bijaksana, demikian juga Teungku Muhammad Daud Beureueh dengan panjang lebar bercerita mengenai perjuangan dan pengorbanan rakyat Aceh pada masa revolusi 1945, kemudian Teungku Muhammad Daud Beureueh meneruskan bercerita mengenai kekecewaannya terhadap Presiden Soekarno dan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo. Suasana pertemuan ketiga tokoh (Ali Hasjmy, Syamaun Gaharu dan Muhammad Insja) dengan Teungku Muhammad Daud Beureueh lebih menyerupai pertemuan antara junior dan senior. Oleh karenanya ketiga tokoh itu lebih banyak mendengarkan pembicaraan Teungku Muhammad Daud Beureueh dibandingkan melakukan pembicaraan yang substansial dengan pemimpin Darul

Islam itu.221 Adapun inti pembicaraan ketiga tokoh tersebut dengan Teungku

Muhammad Daud Beureueh yaitu:

“saudara bertiga telah mendapat rahmat dari Allah, yang menjadi kewajiban penerima rahmat bersyukur kepada Allah. Saudara yang telah diangkat menjadi Komandan Tentara di Aceh (menunjuk Syamaun Gaharu) pergunakanlah rahmat Allah itu untuk memajukan agamanya dan untuk menyelamatkan Rakyat Aceh. Saudara telah diangkat menjadi Gubernur Aceh (menunjuk Ali Hasjmy) pergunakanlah jabatan Gubernur saudara sebagai rahmat Allah untuk membela agamanya dan untuk membangun Aceh yang telah hancur. Saudara telah diangkat menjadi Kepala Polisi (menunjuk Muhammad Isya) pergunakanlah jabatan saudara sebagai karunia Allah untuk meninggikan agamaNya dan membangun tanah Aceh yang telah remuk binasa. Saya doakan, semoga saudara-saudara tetap mendapat bimbingan Allah”.222

Pertemuan ketiga tokoh pemerintah daerah itu (Ali Hasjmy, Syamaun Gaharu dan Muhammad Insja) dengan Wali Negara Teungku Muhammad Daud Beureueh memberi kesimpulan bahwa harapan atau usaha yang dilakukan ketiga tokoh itu untuk sampai pada tahap perundingan masih tetap ada, sekalipun Tgk.

221 Mengenai kisah perjalanan tiga tokoh itu ke daerah Dham, lihat A. Hasjmy, Semangat

Merdeka: 70 Tahun Menempuh Jalan Pergolakan, h. 493-500.

222

M. Daud Beureueh sangat marah kepada Soekarno, terutama kepada Ali

Sastroamidjojo karena tidak menepati janji rakyat Aceh.223

Gubernur Ali Hasjmy menyadari bahwa persoalan yang sedang ia selesaikan mengalami kesulitan dan juga sikap Tgk. M. Daud Beureueh yang sangat teguh terhadap pendiriannya, dalam hal ini pemerintah daerah masih memerlukan jalan yang panjang untuk sampai kepada puncak perundingan. Di samping itu, upaya dan strategi Gubernur Ali Hasjmy dalam mencari solusi penyelesaian masalah Aceh untuk perdamian terus digiatkan dengan meyakinkan pemerintah pusat, khususnya Perdana Menteri Ir. H. Juanda dan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Abdul Haris Nasution, agar pemerintah pusat mau memberikan kelonggaran atau konsensi terhadap gerombolan. Namun Perdana Menteri Juanda menegaskan hanya bersedia memberikan otonomi yang luas dalam bidang agama, pendidikan, ekonomi, sosial dan kebudayaan asalkan tidak keluar dari pada Undang Undang Dasar yang ada, yang menjadi pegangan

pemerintah.224

Usaha Gubernur Ali Hasjmy dalam melakukan pendekatan kepada pemerintah pusat khususnya Perdana Menteri Ir. H. Juanda membuahkan hasil, melalui kesediaannya pada tanggal 19 Oktober 1957 Perdana Menteri Republik Indonesia Ir. H. Djuanda dan rombongannya melakukan kunjungan kerja ke daerah Aceh untuk melihat lebih dekat kondisi yang timbulkan dari konflik Darul Islam, serta ingin melihat peninjauan dari dekat pembangunan dan pemulihan

223 A. Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Jalan Pergolakan, h. 500. Lihat juga, Abdul Murat Mat Jan, “Gerakan Darul Islam di Aceh 1953-1959”, Akademika, No 8, (1976): h. 40-41.

224 Lihat Pidato Wakil Ketua Penguasa Perang Daerah Swatantra Tingkat I Atjeh,

Gubernur A. Hasjmy, dalam sidang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Peralihan Propinsi Atjeh

keamanan di Provinsi Aceh. Rombongan yang hadir ke Aceh terdiri dari Menteri Agama K.H. Iljas, Menteri Sosial Muljadi Djojomartono, Menteri Perhubungan Antar Daerah Dokter F.L Tobing, Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga Ir. Pangeran Mohd. Nur, Sekjen Kem. Keuangan H. M. Saubari, Kepala Biro Keamanan Surapto, Pembantu Pribadi Perdana Menteri Walajer, Pembantu Menteri Agama K.H. Djunaidi dan Iskandar, Pembantu Menteri Hubungan Antar Daerah Kapten Tony Suhartono, Pembantu Kepala Biro Keamanan I.P. Sutoro, Pembantu Kepala Biro Keuangan Suparto, Pembantu Menteri Sosial Amral, Pegawai Tinggi Kementerian Keuangan Sachrawi, bekas Menteri Muda Pertanian

Sjech Marhaban, dan Officier Auri Letnan Tamudji.225

Di lapangan Udara Blang Bintang rombongan Perdana Menteri Djuanda disambut oleh Gubernur Kepala Daerah Provinsi Aceh Ali Hasjmy, Komandan KDMA/Iskandar Muda Letnan Kolonel Sjamaun Gaharu, para pamongpraja