• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-Faktor Lain Pemicu Pemberontakan

B. Sebab-Sebab Terjadinya Pemberontakan Darul Islam Aceh

2. Faktor-Faktor Lain Pemicu Pemberontakan

Sejak penghapusan Provinsi Aceh, mulai terlihat tanda-tanda rasa ketidak puasaan rakyat Aceh kepada pemerintah pusat. Perjuangan yang telah banyak dilakukan oleh rakyat Aceh kepada pemerintah pusat seperti tidak dihargai dan menambah rasa kekecewaan yang mendalam, yang akhirnya menjadi akibat besar bagi pemerintah dikemudian hari. Adapun faktor-faktor yang mempercepat meletusnya pemberontakan Darul Islam Aceh di antaranya:

1. Tahun 1950, Tentara Nasional Indonesia yang merupakan satu Divisi

X, yang disatukan oleh Tgk. M. Daud Beureueh pada tahun 1948 dileburkan menjadi satu resimen di bawah Divisi Bukit Barisan di

Medan yang dipimpin oleh Mayor Nazir81 yang merupakan kader

komunis.82 Sedangkan Kolonel Husen Jusuf, panglima Divisi X

diberhentikan. Selama Mayor Nazir bertugas di Aceh sebagai Komandan Resimen, Nazir berhasil membentuk suatu organisasi

Badan Keinsyafan Rakyat (BKR).83 Organasasi BKR ini bergerak

81 B.J. Boland, The Struggle of Islam In Modern Indonesia, (The Hague-Martinus Nijhoff: Verhandelingen KITLV, 1971), h. 72.

82

A. Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Jalan Pergolakan, h. 403.

83 Organisasi Badan Keinsyafan Rakyat (BKR) didirikan di Kutaraja pada tanggal 8 April 1951. Organisasi ini didirikan atas inisiatif beberapa orang terkemuka di Kutaraja, antara lain Teungku Mohammad Ali Lam Lagang, Ibrahim Lhong Raja. Dalam pasal 5 anggaran dasar Badan Keinsyafan Rakyat salah satu tujuan BKR adalah mempercepat silaturrahim antara rakyat dengan rakyat, golongan dengan golongan dan antara rakyat dengan golongan dan pemerintah. Tetapi maksud dari tujuan BKR yang sebenarnya adalah pengembalian kekuasaan politik kepada golongan Uleebalang. Hal ini terbukti dengan jelas dalam waktu yang singkat sesudah terbentuknya organisasi ini, dengan mengeluarkan suatu resolusi dengan mengambil sikap

aktif sebagai pendukung keputusan pemerintahan yang untuk penghapusan Provinsi Aceh. Kekecewaan rakyat Aceh bertambah pula, terutama di kalangan perwira dan prajurit serta kaum pejuang lainnya dengan pemindahan kesatuan-kesatuan tentara seperti Batalion T. Manyak dipindahkan ke Jawa Barat, Batalion Alamsyah dipindahkan ke Indonesia Timur, Batalion yang dipimpin oleh Hasan Saleh dipindahkan ke Sulewesi Selatan lalu ke Maluku Selatan. Perwira lain yang berada di Aceh juga dimutasi kemana-mana, sebagai gantinya dimaksukkan batalion dari Tapanuli seperti Batalion Manaf Lubis, Batalion Ulung Sitepu, serta Batalion Boyke Nainggolan, yang secara etnologis dan adat-istiadat sangat berbeda dengan orang Aceh, sebagian besar diantaranya bahkan beragama lain.84

2. Di tengah-tengah keadaan yang semakin memanas, tersebar isu bahwa

pemerintah pusat telah menyusun daftar nama-nama tokoh Aceh yang anti pemerintah untuk ditangkap. Beberapa sejarawan menyatakan, daftar ini yang menjadi penyebab langsung pemberontakan. Boland didalam bukunya menyatakan menurut informasi yang diperoleh di Aceh, kaum politisi sayap kiri di Jakarta sebelumnya pada 1953 menyebarkan desas-desus bahwa Aceh benar-benar mengatur suatu pemberontakan. Akibatnya “Djakarta” mencantumkan dalam daftar 190 orang Aceh terkemuka harus ditangkap. Hal ini diketahui di Aceh menolak terhadap kebanyakan mereka (kaum ulama) yang menamakan dirinya wakil atau pemimpin rakyat yang menduduki kursi-kursi pemerintahan di Aceh, pemimpin-pemimpin yang cita-citanya dan berlomba-lomba mengumpulkan kekayaan untuk dirinya masing-masing. Resolusi tersebut tidak berhasil dijalankan dan pihak PUSA masih terus memegang pimpinan pemerintahan.

84

pada Juli 1953 belakangan ternyata bahwa daftar nama ini barangkali sengaja dibocorkan dengan tujuan tertentu, karena orang-orang Aceh terkemuka ini merasa bahwa mereka mungkin akan ditangkap, mereka memutuskan lari ke gunung pada 19 September 1953. Ini merupakan pemutusan resmi dengan “Djakarta” dan awal dari apa yang disebut

pemberontakan Darul Islam di Aceh.85 Selanjutnya menurut B.J.

Bolland, bahwa sebetulnya surat itu tidak pernah ada. Desas-desus itu diembuskan oleh politikus sayap kiri (PKI) di Jakarta untuk

menghamtam gerakan Islam di Aceh.86 Hal ini juga diakui oleh

Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo dalam sidang jawaban pemerintah tanggal 2 November 1953.

3. Dalam masa revolusi fisik, daerah Aceh didatangi para pengungsi dari

Sumatera Timur, setelah Belanda mengadakan agresi ke daerah tersebut. Perusahan-perusahan perkebunan dan pertambangan minyak tidak dapat berjalan. Kesulitan perekonomian sangat terasa dengan adanya blokade Belanda terhadap pelabuhan-pelabuhan dan beberapa

daerah. Daerah Aceh seakan-akan terisolasi dari daerah lainnya.87

Setelah merdeka rakyat Aceh mulai kembali bangkit membangun ekonomi, hal ini di tandai dengan berdirinya Bank Dagang Nasional Indonesia cabang Kutaraja. Pada saat yang bersamaan Aceh sudah memiliki uang kertas URIBA (Uang Republik Indonesia Bagian Aceh).

85 B.J. Boland, The Struggle of Islam, h. 73.

86 Nugroho Dewanto, Daud Beureueh Pejuang Kemerdekaan, h. 3.

87 Bambang Suwondo, Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh, (Jakarta: Depdikbud, 1978), h. 192.

Secara umum devisa yang banyak dihasilkan oleh rakyat Aceh melalui perdagangan hasil bumi seperti kopra, lada, karet, dan kelapa. Perdagangan juga dilakukan dengan cara tradisional sistem barter. Namun pada Februari 1952 pemerintah pusat mengeluarkan keputusan baru mengenai prosedur umum perdagangan dan penghapusan sistem barter diganti menjadi deviezen rezim atau letter of credit dan larangan mengekspor kopra.88 Kebijakan ini sangatlah memukul rakyat Aceh di bidang ekonomi yang sejak revolusi telah terbiasa melakukan perniagaan barter. Tak hanya itu, pada waktu revolusi kemerdekaan pendapatan daerah dialihkan tanggung jawab pengelolanya kepada pemerintahan pusat, dengan demikian daerah Aceh secara ekonomi semakin tergantung sumber pembiayaannya kepada pemerintah pusat, baik untuk biaya rutin maupun

pembangunan.89

Keputusan pemerintah pusat yang mengakhiri sistem barter berdampak pada penurunan volume impor dan ekspor. Impor Indonesia dari Penang turun menjadi 2,1 juta di tahun 1952 dan 0,5 juta rupiah pada tahun 1953, penurunan ini sangat drastis dibandingkan pada tahun 1951 dengan nilai 3.3 juta peningkatan volume impor. Hal yang sama juga terjadi pada penurunan volume ekspor yang turun menjadi 141 juta rupiah di tahun 1952 dan pada

tahun 1953 menjadi 123,9 juta.90

88 M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh Sebuah Gugatan, h. 244.

89 M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh Sebuah Gugatan, h. 242.

90

Alasan-alasan di atas merupakan hal yang tidak bisa di pungkiri menyebabkan ketidakpercayaan rakyat Aceh kepada pemerintah pusat semakin mendalam sehingga hal yang tak disangka-sangka oleh pemerintah pusat yang menyebabkan pemberontakan Darul Islam atas apa yang telah pemerintah lakukan ketika masa revolusi fisik.