• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keterangan Pro-Kontra Pemerintah Terhadap Pertistiwa Darul Islam

Aceh

Sejak pemberontakan yang diproklamasikan oleh Tgk. M. Muhammad Daud Beureueh, situasi Aceh dalam keadaan tidak aman. Suara tembakan terdengar dimana-mana dan terdengar hampir di setiap pelosok daerah Aceh, ribuan rakyat tidak berdosa menjadi korban, banyak perempuan yang menjadi janda, rakyat sangat menderita di segala bidang. Masyarakat tidak ada yang berani keluar dari rumah untuk beraktifitas seperti biasa. Serangan demi serangan terus dilancarkan oleh kelompok Darul Islam, sasarannya adalah tentara atau mobrig dan masyarakat sipil yang dianggap mencurigai. Demikian sebaliknya, aparat keamanan (tentara atau mobrig) menuduh rakyat membantu gerombolan pemberontak, yang tidak ikut memberontak dicurigai sebagai mata-mata. Selain itu kedua belah pihak saling menghancurkan sarana dan prasarana seperti merusak tiang listrik dan memutuskan kabel telpon, pengerusakan sekolah-sekolah serta

bangunan pemerintahan dihancurkan.107 Banyak masyarakat Aceh ditangkap dan

ditahan oleh tentara atau mobrig karena dicurigai sebagai kaum pemberontak. Rakyat serba salah, mereka dipenjara tanpa diadili.

Peristiwa pemberontakan Darul Islam di Aceh telah menimbulkan kekacauan yang luar biasa dan juga kerugian yang besar bagi masyarakat Aceh dan pemerintah. Korban harta benda dan jiwa yang tak ternilai harganya dalam

106 Muhammad Gade Ismail, dkk., Tantangan dan Rongrongan Terhadap Keutuhan, h. 66.

107

peristiwa pemberontakan tersebut. Peristiwa pemberontakan Darul Islam di Aceh merupakan tragedi yang menguras emosi dan juga masalah nasional yang dihadapi oleh pemerintah Republik Indonesia, sebagaimana yang diucapkan oleh Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo di depan sidang Dewan Perwakilan Rakyat

(DPR) pada tanggal 20 Oktober 1953.108

Sebulan setelah terjadinya peristiwa pemberontakan di Aceh, tanggal 28 Oktober P.M. Ali Sastroamidjojo memberikan keterangan di depan pemerintah dalam rapat pleno terbuka Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia

yang berisikan tentang latar belakang pemberontakan dan jalannya

pemberontakan. Dalam keterangan yang panjangnya 33 halaman dan terdapat 4

bagian keterangan Pemerintah,109 Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo

mengatakan bahwa dalam usahanya menyelesaikan pemberontakan di Aceh, pertama-tama tidak akan melihat siapa bersalah dalam hal ini. melainkan ibarat menghadapi satu rumah yang kebakaran, lebih dulu marilah kita padamkan

kebakaran itu dan barulah sesuadah itu dipersoalkan siapa yang bersalah.110

Di dalam latar belakang keterangan pemberontakan yang dikemukakan oleh P.M. Ali Sastroamidjojo, bahwa tindakan yang terpenting yang harus diambil oleh pemerintah melokalisir kekuasaan kaum pemberontak, yang ternyata hanya

108 Departemen dan Kebudayaan, Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh, h. 179-180.

109 Di dalam rapat Pleno DPR, terdapat 4 bab mengenai keterangan Pemerintah terhadap peristiwa pemberontakan di Aeh, diantara 4 bab tersebut adalah:

Bab I : Kejadian-kejadian di Aceh menurut urutan kronologis, sekedar mana yang penting.

Bab II : Latar belakang peristiwa Daud Beureueh

Bab III : Tindakan-tindakan yang telah dijalankan oleh Pemerintah untuk mengatasi peristiwa tersebut.

Bab IV : Tindakan-tindakan selanjutnya yang akan diambil oleh Pemerintah.

Lihat, Ali Sastroamidjojo, Keterangan dan Djawaban Pemerintah Tentang Daud

Beureueh, (Jakarta: Kementerian Penerangan RI, 1953), h. 8.

110 “Keterangan Pemerintah Tentang Atjeh: Tindakan Pertama-tama Memadamkan Pemberontakan,”Sin Po, 28 Oktober 1953.

sebagian saja dari rakyat Aceh yang memihak pemberontak. Adapun tindakan selanjutnya yang akan diambil oleh pemerintah yaitu memerintahkan supaya seluruh pantai dari Peurela, Kutaraja, Aceh Barat sampai Lama Inong disebelah selatan Meulaboh tetap dikuasai oleh pemerintah. Ditempat tempat yang belum ada detasemen tentara atau ditempat yang masih lemah diperkuat dengan

ditambah pasukan-pasukan tentara dan Mobrig.111

Pidato itu diikuti dengan acara pemandangan umum lanjutan tentang keterangan pemerintah mengenai pemberontakan Daud Beureueh yang berlangsung pada tanggal 30 sampai dengan 31 Oktober 1953. Pemandangan Umum tersebut mendapat tanggapan yang antusias dari para anggota sebagaimana terlihat pada jumlah pembicara yang mencapai 17 orang dari berbagai partai. Muhammad Nur El Ibrahimy sebagai pembicara pertama dan berikutnya Amelz mengkritik secara tajam cara pemerintah melakukan operasi pemulihan keamanan. Wakil-wakil partai oposisi, Masyumi dan PSI, berusaha memojokkan posisi pemerintah dalam menangani gerombolan. Sementara itu Wakil PNI Abdullah Jusuf, menegaskan bahwa “…Menjalankan politik keamanan yang menyimpang dari program pemerintah adalah tindakan yang sesat dan menghilangkan kepercayaan rakyat terhadap pemerintah...” Karena itu pembicara berpendapat, bahwa pemerintah harus mengutamakan tindakan-tindakan tegas untuk terus

membasmi pemberontakan itu dengan tidak meninggalkan rasa keadilan.112

Pembicara selanjutnya dalam pemandangan umum adalah Abdulhajat yang menegaskan bahwa “…Apapun juga alasannya, suatu pemberontakan adalah

111 “Keterangan Pemerintah tentang Atjeh: Tindakan Pertama-tama Memadamkan pemberontakan, Sin Po, 28 Oktober 1953.

112“Tiap Tiap Pemberontak Harus di Basmi, Tindakan Setengah-Setengah Hanya Memperbanjak Korban”, Sin Po, 31 Oktober 1953.

kejahatan yang sangat besar terhadap negara dan harus dibasmi…” Abdulhajat tidak membenarkan pendapat anggota yang menganjurkan supaya pemerintah menyelesaikan pemberontakan Daud Beureueh c.s itu dengan jalan damai, sebaliknya pembicara bahkan menganjurkan supaya tiap-tiap kekacauan dimana pun juga terjadinya diambil tindakan-tindakan tegas, diberantas sampai

keakar-akarnya.113

Pembicara selanjutnya yang memberi keterangan dalam pemandangan umum adalah Mr. Burhanuddin Harahap (Masyumi) yang diberi waktu selama 45 menit untuk berbicara, dengan mengatakan ketidakpuasan Masyumi terhadap kebijaksanaan pemerintah dalam menyelesaikan gerombolan DI/TII. Burhanuddin Harahap juga menyatakan tidak menyetujui cara-cara yang dilakukan oleh pemerintah untuk penyelesaian keamanan yang didasarkan pada kekuatan

senjata.114 Pendapat lain datang dari Mr. Muhammad Daljono dari Masyumi yang

mengatakan “…Pemerintah Republik Indonesia harus dijadikan Negara Republik Islam Indonesia guna memulihkan keamaan di daerah Aceh dan juga di

daerah-daerah yang lain yang kini masih terjadi pergolakan pemberontakan…”115

K. Wardojo (SOBSI) dalam pemandangan umumnya sangat menghargai keterangan pemerintah dengan disertai anjuran supaya terus bertindak tegas terhadap kaum pemberontakan yang sudah jelas merupakan bagian usaha gerombolan teror DI/TII Kartosuwirjo. Ia juga memberi keterangan kepada pemerintah agar jangan setengah-setengah dalam membasmi kaum pemberontak,

113 “Tiap Tiap Pemberontak Harus di Basmi, Tindakan Setengah-Setengah Hanya Memperbanjak Korban”, Sin Po, 31 Oktober 1953

114 “Tiap Tiap Pemberontak Harus di Basmi, Tindakan Setengah-Setengah Hanya Memperbanjak Korban”, Sin Po, 31 Oktober 1953

115 “Pemerintah Buka Kedoknya Pembela-Pembela Kaum Pemberontak”, Sin Po, 3 November 1953.

ditakutkan di kemudian hari akan lebih banyak korban lagi.116 Menurut K. Wardojo, Daud Beureueh dan pengikut-pengikutnya segera diajukan ke pengadilan karena melanggar hukum, harus diadili dan diambil tindakan yang setimpal dengan perbuatannya. Perkara Daud Beureueh telah berjasa apa tidak, itu

nanti bisa dikemukakan dalam waktu pengadilan.117

Setelah memberikan keterangan dan pemandangan umum tentang peristiwa pemberontakan tersebut, pada tanggal 2 November 1953 P.M. Ali Sastroamidjojo memberikan jawaban pemerintah atas pemandangan umum tersebut dengan dihadiri oleh 137 anggota, 17 Menteri dan perhatian yang antusias dari publik. Dalam pembukaan pidato P.M. Ali Sastroamidjojo menyatakan kekecewaan terhadap mereka yang mendukung Daud Beureueh yang jelas-jelas pemberontak dan telah merugikan negara dan bangsa. P.M. Ali Sastromidjojo juga menyudutkan kaum oposisi seperti Nur El Ibrahimy dan Amelz yang membelokkan perhatian khalayak ramai ke arah yang lain, sehingga usaha untuk

membasmi kekuatan pemberontakan itu menjadi lemah.118

Jawaban dan serangan pemerintah lebih banyak ditujukan kepada Muhammad Nur El Ibrahimy dan Amelz, adapun jawaban keterangan yang diberikan Pemerintah atas pemandangan umum DPR adalah sebagai berikut:

“Rakyat seluruhnya sudah merasa jemu dengan gangguan keamanan yang sangat menyulitkan penghidupannya setiap hari, maka pemerintah yang bertanggung jawab. Maka dari itu bagi pemerintah merupakan suatu pertanyaan mengapa anggota-anggota tersebut melihat dalam keterangan pemerintah suatu sikap yang tidak objektif, berat sebelah, meraba-raba, mendasarkan keterangan pada golongan tertentu, yang tidak jujur, dan seakan-akan pemerintah memberikan kesan untuk menimbulkan kebencian di kalangan rakyat terhadap PUSA. Pemerintah mengira, bahwa setiap orang yang mengenal masyarakat Aceh secara dekat, terutama kedua anggota tersebut (M. Nur El Ibrahimy dan Amelz) telah dapat memahami, bahwa keterangan pemerintah itu disusun sedemikian

116

“Tiap Tiap Pemberontak Harus di Basmi, Tindakan Setengah-Setengah Hanya Memperbanjak Korban”, Sin Po, 31 Oktober 1953.

117 A. Hasjmy, Semangat Merdeka 70 Tahun: Menempuh Jalan Pergolakan, h. 428.

118 “Pemerintah Buka Kedoknya Pembela-Pembela Kaum Pemberontak”, Sin Po, 3 November 1953. Lihat juga, Ali Sastroamidjojo, Keterangan dan Djawaban Pemerintah, h. 49.

rupa, hingga pertanyaan-pertanyaan betapa pun pentingnya dilihat dari sudut lain justru sejak semula berminat untuk meredakan suasana yang sudah meruncing. Oleh karena itu pemerintah sependapat bahwa pribadi Daud Beureueh yang sekarang oleh khalayak ramai dianggap sebagai pemimpin pemberontakan. Mengenai tuduhan di kalangan pemerintah dan pegawai tinggi yang meminta nasihat mengeai soal Aceh kepada pihak Komisariat Agung Belanda, pemerintah menyatakan bahwa tuduhan itu tidak benar.”119

Lebih jauh lagi jawaban dari pemerintah mengatakan bahwa pentolan-pentolan PUSA melakukan korupsi. Berikut jawaban pemerintah:

“Barang siapa mengikuti perkembangan pemerintah dalam suasana revolusi 1945 dan 1948 di Tanah Air kita ini dapat memahami, bahwa kekuasaan pada waktu itu berada penuh di tangan orang-orang dari golongan yang menghendaki kursi-kursi paling penting dalam pemerintahan daerah dan tidak dapat disangkal lagi, bahwa di masa itu segala kedudukan tersebut ada di tangan orang-orang PUSA. Mengenai peranan PUSA dalam pemerintahan sipil, militer dan dalam lapangan perekonomian dan perniagaan, rakyat mengetahui benar bahwa semula mereka (anggota PUSA) orang yang tidak berada, tetapi sesudah berkuasa mereka mendadak menjadi kaya, sedangkan rakyat mengharapkan bahwa pihak penguasa hendaknya mengutamakan kepentingan rakyat dari kepentingan perseorangan dari orang-orang yang memerintah.”

“Atjeh Trading Company (ATC) asalnya kepunyaan pemerintah, tetapi pada perkembangannya ialah bahwa kebanyakan orang-orang yang duduk dalam ATC mengadakan siasat untuk mengambil keuntungan-keuntungan bagi diri sendiri. Bukan rahasia lagi dikalangan rakyat, bahwa pemimpin-pemimpin PUSA yang duduk dalam pemerintahan mempunyai banyak saham di NV Permai dan Lho Nga Trading Company. Dalam catatan pemerintah Daud Beureueh pernah membeli auto Buick dengan perantaraan NV Permai dan kemudian mengganti harga auto Buick itu dari uang kas negara, dan juga ada bantuan kepadanya dari negeri asing sebanyak 15.000.000 Straits Dollar.”120

Dalam jawaban pemerintah terkait peristiwa pemberontakan Darul Islam Aceh, Nur El Ibrahimy tidak bisa menjawab dengan jawaban yang memuaskan. Nur El Ibrahimy hanya menyatakan akan menyelidiki apa yang telah P.M. Ali Sastoamidjojo jelaskan. Pemerintah juga menyatakan bahwa bukti-bukti mengenai dugaan korupsi yang dilakukan oleh orang-orang PUSA telah berada di tangan

pemerintah.121

Jawaban Pemerintah ditutup dengan menyerukan supaya semua orang yang berada di ruangan tersebut bersama-sama berusaha untuk selekas-lekasnya

119 “Pemerintah Buka Kedoknya Pembela-Pembela Kaum Pemberontak”, Sin Po, 3 November 1953. Lihat juga, Ali Sastroamidjojo, Keterangan dan Djawaban Pemerintah, h. 49.

120 “Ali Sastroamidjojo, Keterangan dan Djawaban Pemerintah, h. 51-52

121

mengakhiri tragedi nasional pemberontakan Daud Beureueh, demi kepentingan

Nusa, Bangsa dan Negara Republik Indonesia.122

Tiga bulan setelah peristiwa pemberontakan Darul Islam Aceh, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengadakan sidang yang membicarakan tentang rencana pembentukan dan pengiriman suatu komisi untuk menyelediki langsung peristiwa pemberontakan Aceh sekaligus mengumpulkan fakta di lapangan. Dalam sidang yang berlangsung pada tanggal 18 Desember 1953, DPR menyetujui dan memutuskan pengiriman komisi peninjauan Aceh yang terdiri dari

7 anggota, 123 di antaranya:

1. Sutardjo Kartohadikusumo (Ketua dan merangkap sebagai anggota) 2. Idham Khalid (anggota)

3. Ardiwinangun (anggota) 4. Muhammad Nuh (anggota) 5. S. Uratyo (anggota)

6. Sabilal Rasyad. (anggota)

7. Syamsuddin Sutan Makmur (anggota)

Komisi yang telah ditugaskan oleh DPR memulai tugasnya dari tanggal

7-16 Januari 1954124 dengan mengunjungi Sumatera Timur, Kutaraja, Aceh Besar,

Pidie, dan Aceh Timur. Selama berada di Aceh komisi akan melakukan wawancara dengan pramong praja, pemimpin partai politik, organisasi, polisi dan

122

“Pemerintah Buka Kedoknya Pembela-Pembela Kaum Pemberontak”, Sin Po, 3 November 1953.

123 A. Hasjmy, Semangat Merdeka 70 Tahun: Menempuh Pergolakan, h. 432. Lihat juga M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh Sebuah, h. 323.

124

Terdapat perbedaan tanggal masa penyelidikan yang di lakukan oleh Komisi DPR ke Aceh. Dalam buku Semangat Merdeka di katakan masa peninjauan selama 14 hari, sementara dalam buku Sejarah Aceh Sebuah Gugatan Terhadap Tradsi, masa peninjauan selama 10 hari. Ali Hasjmy, Semangat Merdeka 70 Tahun: Menempuh Pergolakan, h. 432. Bandingkan, M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh Sebuah Gugatan Terhadap Tradisi, h. 323.

tentara serta tawanan yang dipenjara di Tanjung Kasau dan Tebingtinggi.125 Salah seorang putera Aceh yang dipenjara di Tebingtinggi pada saat itu adalah Ali Hasjmy.

Hasil dari peninjauan yang dilakukan oleh komisi DRP selama berada di Aceh berisikan tentang situasi keamanan, jalannya pemerintahan dan lain-lain di berbagai daerah di Aceh. Laporan tersebut disampaikan pada perlemen dalam sidang pleno yang berlangsung pada tanggal 10 Februari 1954. Berikut beberapa laporan yang menggambarkan situasi di Aceh selama peninjauan yang dilakukan oleh 7 anggota komisi DPR tersebut:

“Kondisi di Kabupaten Aceh Timur, militaire bijstand (bantuan militer) sudah dicabut. Penduduk yang sebagian mula-mula mengungsi, seluruhnya telah kembali ketempat tinggalnya dan melakukan pekerjaan masing-masing seperti biasa, kecuali sebagian kecil yang masuk gerombolan pemberontak dan tidak lagi menampakkan dirinya. Hubungan lalu lintas sudah berjalan kembali. Kendaraan umum bis, mobil, dan kereta api sudah berjalan dari Medan ke Lhoksemawe. Keadaan Kabupaten Aceh Utara dan diseluruh Kabupaten Aceh Timur dengan tidak mendapatkan gangguan.

Lowongan-lowongan dalam pamong praja yang terjadi lantaran pejabat-pejabat memihak pemberontak atau mengungsikan diri, sudah semuanya diisi, dari bupati, wedana, camat sampai kepala-kepala mukim, walaupun ada yang masih bersifat sementara. Jawatan-jawatan selain dari pada jabatan Pamong Praja yang ada di Kabupaten Aceh Timur pun pada umumnya berjalan kembali.

Sementara mengenai keadaan keamanan di Aceh Pidie dan Aceh Besar dimana militaire

bijstand (bantuan militer) masih berlaku. Pada umumnya dapat dikatakan bahwa di kedua

daerah kabupaten itu hanya di kota-kota saja terdapat keamanan. Tetapi di luar kota pada siang hari kadang-kadang terdapat juga gangguan keamanan. Walaupun demikian petani-petani sudah bercocok tanam seperti biasa. Sementara kendaraan (bus dan lain-lain) dan kereta api ada yang sudah berjalan kembali, walapun hanya trayek-trayek yang pendek. (Pada waktu Komisi Perlemen berada di Kutaraja dan Sigli jalannya kereta api tidak lebih dari 20 km dari Kutaraja dan 15 km dari Sigli).

Seterusnya tentang pekerjaan jawatan-jawatan pemerintah dalam dua kabupaten tersebut pada umumnya pekerjaan-pekerjaan rutin jawatan lain (misalnya jawatan-jawatan Pertanian, Penerangan, Kesehatan, Sosial, Agama) masih intact (utuh), hanya saja belum dapat berjalan sebagai mestinya. Dan keadaan makanan rakyat di Kabupaten Aceh Besar dan Aceh Pidie pada umumnya adalah mencukupi.126

125 M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh Sebuah Gugatan, h. 324.

126 Bagian Dokumentasi, Sekitar Peristiwa Daud Beureueh, Vol III, (Jakarta: Kronik Kementerian Penerangan, t.t., Jilid III), h. 57.

Hasil peninjauan yang dikemukakan oleh anggota komisi DPR yang meninjau langsung keadaan di Aceh, mendapat antusias dari wakil-wakil rakyat. Maka disarankan kepada pemerintah dalam upaya penyelesaian keamanan perlu ditempuh prinsip-prinsip yang tidak berat sebelah, seperti halnya dalam pengangkatan pamong praja, hendaklah dari kelompok yang netral.

Namun saran-saran dari anggota komisi perlemen yang telah meninjau ke Aceh, sekali lagi memperlihatkan betapa susahnya melunakkan hati pemerintah dan tetap pada pendirian masing-masing tentang cara penyelesaian keamanan di Aceh, khususnya masalah terhadap pemberontakan yang dilakukan oleh Tgk. M. Daud Beureueh. Pemerintah dalam hal ini P.M. Ali Sastroamidjojo menegaskan di dalam sidang perlemen bahwa setiap pemberontakan atau pengacau harus

diberantas dengan senjata pula.127

Pada bulan September 1954 munculah sebuah surat terbuka dari Hasan

Muhammad Tiro128 dari New York yang ditujukan kepada Perdana Menteri Ali

Sastroamidjojo. Surat tersebut berisikan meminta agar kabinet Ali menghentikan agresi terhadap rakyat Aceh, rakyat Jawa Barat, rakyat Jawa Tengah, rakyat Sulewesi Selatan, Sulewesi Tengah dan rakyat Kalimantan. Hasan Tiro meminta agar P.M. Ali Sastroamidjojo membebaskan semua tahanan di Aceh, Sumatera

127 M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh Sebuah Gugatan, h. 326.

128

Hasan Tiro dilahirkan dari pasangan Tgk. Muhammad, seorang alim di desa Tanjong Bungong (Pidie) dengan Tgk. Fatimah binti Tgk. Mahyuddin bin Tgk. Chik Di Tiro Muhammad Saman. Hasan Tiro lahir sekitar tahun 1925. Semenjak kecil Hasan Tiro diasuh oleh ibu dan pamannya Tgk. Umar Tiro (1904-1980). Hasan Tiro menyelesaikan pendidikan dasarnya di Madrasah Sa‟adah Al-Abadiyah di Sigli dan melanjutkan pendidikannya ke Perguruan Normal Islam, setalah menyelesaikan pendidikannya ia merantau ke Jogyakarta untuk melanjutnya studinya di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia. Pada tahun 1950, Hasan Tiro mendapatkan beasiswa Colombo Plan dari pemerintah untuk melanjutkan pendidikannya ke Amerika Serikat. Selama berada di Amerika Serikat, Hasan Tiro bekerja pada staf bagian Penerangan Perwakilan tetap RI di PBB New York hingga September 1954. Di kemudian hari Hasan Tiro mendirikan gerakan pemberontakan dengan menamai Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Pidie, Aceh Besar. Lihat, M. Isa Sulaiman, Aceh Merdeka: Ideologi, Kepemimpinan dan

Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulewesi Selatan, Kalimantan dan Maluku. Juga meminta agar Kabinet P.M Ali Sastroamidjojo berunding dengan Tgk. M.

Daud Beureueh, S.M. Kartosuwiryo, Abdul Kahar Muzakkar dan Ibnu Hajar.129

Jika sampai batas waktu tanggal 20 September 1954 pemerintah tidak menghentikan agresi itu dan tidak melakukan perundingan dengan pemimpin

pemberontak, maka Hasan Tiro mengancam130 akan membuka dengan resmi

perwakilan diplomatik bagi Republik Islam Indonesia di seluruh dunia, termasuk PBB (Persatuan Bangsa Bangsa), Benua Amerika, Eropa, Asia dan seluruh

negara-negara Islam.131

Ancaman Hasan Tiro tidak diterima oleh P.M. Ali Sastroamidjojo, melalui kedutaan Indonesia di Amerika Serikat, Hasan Tiro diberi kesempatan untuk pulang ke Indonesia sampai tanggal 22 September 1945. Jika Hasan Tiro berkeras kepala, maka paspornya akan dianggap tidak berlaku dan akan menyebabkan

Hasan Tiro dapat diusir oleh imigrasi Amerika Serikat.132 Pada tanggal 27

September 1954 paspor diplomatik Hasan Tiro dicabut oleh P.M. Ali

129

Ali Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Jalan Pergolakan, h. 458.

130 Isi ancaman yang dikemukakan oleh Hasan Tiro kepada P.M Ali Sastromidjojo, ialah sebagai berikut, (a) Kami akan membuka dengan resmi perwakilan diplomatik bagi Republik Islam Indonesia di seluruh dunia, termasuk PBB, Benua Amerika, Eropa, Asia, dan seluruh negara-negara Islam, (b) Kami akan memajukan kepada General Assembly PBB yang akan datang kekejaman, pembubuhan, penganiayaan, dan lain-lain pelanggaran terhadap Hukum Rights yang telah dilakukan oleh regime Komunist-Fasist tuan terhadap rakyat Aceh, (c) Kami akan menuntut rezim tuan dimuka PBB atas kejahatan genocide yang sedang tuan lakukan terhadap suku bangsa Aceh, (d) Kami akan membawa kehadapan mata seluruh dunia Islam, kekejaman-kekejaman yang telah dilakukan oleh rezim Tuan terhadap para alim ulama di Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulewesi Selatan, Sulewesi Tengah dan Kalimantan, (e) Kami akan mengusahakan pengakuan dunia internasional terhadap Republik Islam Indonesia,yang sekarang de facto menguasai Aceh, sebagian Jawa Barat, dan Jawa Tengah, Sulewesi Selatan, dan Tengah, dan sebagian Kalimantan, (f) Kami akan mengusahakan pemboikotan diplomatik dan ekonomi internasional terhadap rezim Tuan dan ekonomi dari PBB, Amerika Serikat, dan Colombo Plan, (7) Kami akan mengusahakan bantuan moral dan materil buat Republik Islam Indonesia dalam perjuangannya menghapuskan rezim-teror Tuan dari Indonesia. Lihat, “Di New York Didirikan, Rep Islam Indonesia”, Peristiwa, 7 September 1954.

131 M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh Sebuah Gugatan, h. 328.

132 “Hasan Tiro Diberi Waktu Sampai 22 Sept Untuk Pulang Ke Indonesia”, Antara, 17 September 1954.

Sastroamidjojo melalui perwakilan imigrasi Amerika Serikat yang mengakibatkan penangkapan atas dirinya. Namun Hasan Tiro dibebaskan kembali setelah membayar denda sebesar US$ 500. Melalui New York Times Hasan Tiro menyampaikan sebuah laporan tentang pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM)

oleh rezim Ali Sastroamidjojo di Indonesia.133

Pemerintah Indonesia tidak mampu menghentikan Muhammad Hasan Tiro, atau memintanya diekstradisikan dari Amerika Serikat, dengan demikian Hasan Tiro sangat leluasa melanjutkan kampanye propagandanya di New York.