• Tidak ada hasil yang ditemukan

ALI HASJMY: PENYELESAIAN KONFLIK DARUL ISLAM ACEH TAHUN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ALI HASJMY: PENYELESAIAN KONFLIK DARUL ISLAM ACEH TAHUN"

Copied!
165
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Adab dan Humaniora Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum)

Oleh Khairul Ummami NIM : 1112022000016

PROGRAM STUDI SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1438 H. / 2017 M.

(2)
(3)
(4)
(5)

i Khairul Ummami

Ali Hasjmy: Penyelesaian Konflik Darul Islam Aceh Tahun 1957-1959

Skripsi ini ingin menjelaskan tentang tiga hal yang terjadi di Aceh dalam kurun waktu 1953 dan 1959. Pertama terjadi pemberontakan Darul Islam tahun 1935 yang dimotori oleh Teungku Muhammad Daud Beureueh, kedua penyelesaian kasus konflik Darul Islam oleh Gubernur Ali Hasjmy pada tahun 1957-1959. Dalam upaya proses penyelesaian kasus konflik Darul Islam, Pemerintah Daerah Aceh menggunakan cara soft power untuk menyelsaikan konflik tersebut. Dan ketiga kebijakan pemerintah pusat dalam menyelesaikan kasus konflik Darul Islam Aceh.

Skripsi ini menunjukkan bahwa ketokohan Ali Hasjmy sebagai Gubernur Aceh sangat berperan penting dalam meredam konflik Darul Islam. Hal ini terlihat ketika ia merumuskan suatu kebijakan atau sebuah konsepsi perdamaian yang terkenal bernama Ikrar Lamteh pada tahun 1957. Pokok Ikrar Lamteh ini berisikan tentang menjunjung tinggi kehormatan agama dan kepentingan rakyat atau daerah Aceh. Ikrar Lamteh ini juga merupakan sebuah batu loncatan untuk menuju perdamaian yang bersifat resmi dengan pemerintah pusat yang diwakilkan oleh Wakil Perdana Menteri I Mr. Hardi. Skripsi ini membuktikan bahwa pemberian hak otonomi yang luas oleh pemerintah pusat kepada Provinsi Aceh mampu menyelesaikan konflik Darul Islam Aceh yang sudah terajadi selama 6 tahun.

Metode yang digunakan dalam penilitian ini adalah kualitatif. Sedangkan pengambilan datanya dilakukan melalui penelitian kepustakaan (library researcher). Teknik analisis data ini berdasarkan teknik heuristik, verifikasi, interpretasi serta historiografi. Selain itu, untuk menguatkan analisis dalam skripsi ini, penulis menggunakan pendekatan politik.

(6)

ii

Alhamdulillahi Rabbil A’lamin, Allahumma Shalli A’la Muhammad. Segala puji dan puja ke hadirat Allah Tuhan semesta alam yang telah memberikan rahmat dan hidayahNya bagi para hambaNya yang selalu memujaNya. Shalawat dan salam semoga senantiasa terlimpah kepada Nabi Muhammad SAW, kepada keluarga, sahabat dan para pengikutnya sampai akhir zaman. Berkat perjuangan beliau kita dapat hijrah dari kegelapan (az-zhulamat) kepada zaman ilmu pengetahuan. Penulis sangat bersyukur kepada Allah karena telah diberi kesehatan badan dan fikiran, sehingga skripsi yang berjudul “Ali Hasjmy: Penyelesaian Konflik Darul Islam Aceh Tahun 1957-1959” telah selesai ditulis dengan baik.

Dalam penyusunan, penulisan sampai tahap penyelesaian, skrispsi ini tidak terlepas dari bantuan, bimbingan serta dukungan dari berbagai pihak baik yang bersifat moril maupun materil. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan dan menyampaikan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya dan setelus-tulusnya kepada yang terhormat:

1. Kedua orang tuaku yang telah memberikan kasih dan sayang tanpa pamrih kepada penulis sejak dari kecil sampai dewasa. Semoga Allah membalas semua kebaikan mereka dan senantiasa berada dalam keberkahan dunia dan akhirat. Allahumma irham huma kamaa rabbayani sagiraa.

2. Saudara-saudaraku, abang dan kakakku-kakakku yang telah memberikan dukungan dan do’a kepada penulis baik moril maupun materil agar dapat menyelesaian skripsi ini.

(7)

iii

kesabaran dan penuh dedikasi tinggi dan telah memberikan inspirasi bagi penulis.

4. Bapak Nurhasan, M.A selaku Ketua Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Ibu Solikatus Sa’diyah, M.Pd selaku Sekretaris Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah banyak membantu penulis dalam hal administrasi dan motivasi.

5. Ibu Imas Emelia MA, selaku dosen pembimbing Akademik dan ibu bagi penulis yang telah banyak membantu dan memotivasi penulis untuk selaku berkembang menjadi pribadi yang lebih baik.

6. Syifa Fauziah Syukur, yang telah menyemangati penulis dari awal penulisan skripsi sampai selesai, dan terimakasih juga atas segela kesabaran dan kebaikanmu. Semoga allah membalas kebaikanmu.

7. Pegawai Perpustakaan dan Museum Ali Hasjmy, Pegawai Perpustakaan Nasional Repuplik Indonesia (PNRI), Pegawai Arsip Nasioal Indonesia (ANRI), dan Pegawai Perpustakaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang telah banyak membantu penulis dalam proses menelusuri sumber.

8. Bung Alkaf teman diskusi sejarah yang telah membantu dalam menginspirasi penulis. Semoga allah membalas kebaikannya.

9. Mulkan yang telah bersedia menampung saya di kosan selama penelitian dan juga Nabila yang telah membantu penulis dalam mengirim sumber

(8)

iv

10. Ustadz Safrizal yang telah mengirim koleksi khusus Ali Hasjmy mengenai Penyelesaian Konflik Darul Islam. Semoga Allah membalas kebaikan beliau.

11. Teman-teman Grup Silaturrahmi Yuk, di antaranya Danang, Alfath, Agi, Dliyah, Irma dan Alfi. Semoga persahabatan kita jalan terus.

12. Teman-teman seperjuangan di Jurusan Sejarah Kebudayaan Islam angkatan 2012. Terima kasih atas diskusi-diskusi yang menarik dan mencerdaskan selama perkuliahan. Semoga kelak kita dipertemukan dalam keadaan sukses.

13. Terakhir, terima kasih saya sampaikan kepada sejawat, kawan, serta pihak-pihak lain yang membantu penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini.

Harapan saya, semoga skripsi ini bisa menjadi bacaan yang baik, dan bermanfaat bagi kita semua dan juga dapat menjadi bagian dalam pengembangan ilmu sejarah yang dapat dijadikan sebagai referensi. Amiin Yaa Rabbal a’lamiin.

Ciputat, 27 Januari 2017

Penulis,

(9)

v

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 9

C. Batasan dan Rumusan Masalah ... 9

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 10

E. Tinjauan Pustaka ... 11

F. Kerangka Teori ... 15

G. Metode Penelitian ... 18

H. Sistematika Penulisan ... 21

BAB II Sebab Terjadinya Pemberontakan Darul Islam Aceh Tahun 1953 ... 23

A. Aceh Pada Masa Pasca Kemerdekaan ... 23

1. Keresidenan Aceh ... 23

2. Pembentukan Provinsi Sumatera Utara ... 27

3. Pembentukan Provinsi Aceh Pertama ... 29

B. Sebab-Sebab Terjadinya Pemberontakan Darul Islam Aceh ... 33

1. Akibat Provinsi Aceh Dihapus ... 33

2. Faktor-faktor Lain Pemicu Pemberontakan ... 43

C. Pemberontakan Darul Islam Aceh Meletus ... 47

D. Keterangan Pro-Kontra Pemerintah Terhadap Peristiwa Darul Islam Aceh ... 53

(10)

vi

B. Riwayat Intelektual Ali Hasjmy ... 71

C. Karya-Karya Tulis dan Penghargaan Ali Hasjmy ... 76

1. Karya-Karya Tulis Ali Hasjmy ... 76

2. Penghargaan Yang Diterima Ali Hasjmy ... 83

D. Keterlibatan Ali Hasjmy Dalam Pergerakan Politik ... 84

1. Ali Hasjmy Pada Masa Penjajahan Belanda ... 84

2. Ali Hasjmy Pada Masa Pejajahan Jepang ... 87

3. Ali Hasjmy Pada Masa Pasca Kemerdekaan ... 89

E. Ali Hasjmy Sebagai Gubernur ... 92

BAB IV Ali Hasjmy dan Penyelesaian Darul Islam Aceh ... 98

A. Konsepsi Prinsipil Bijaksana dan Ikrar Lamteh: Sebuah Kebijakan Perdamian ... 98

B. Perpecahan Darul Islam Aceh ... 115

C. Penyelesaian Kasus Konflik Darul Islam Aceh Melalui Missi Hardi .. 121

BAB V PENUTUP ... 130

A. Kesimpulan ... 130

B. Saran ... 131

DAFTAR PUSTAKA

(11)

1 A. Latar Belakang Masalah

Pemberontakan merupakan konflik yang sering terjadi di dalam suatu wilayah. Adapun penyebab terjadinya pemberontakan adalah adanya kesenjangan sosial politik antara pemerintahan pusat dengan wilayah yang bersangkutan. Kesenjangan sosial yang dimaksud bisa dikarenakan adanya perbedaan situasi ekonomi, pendidikan, dan perampasan hak-hak di wilayah tersebut.

Pemberontakan yang terjadi dalam sejarah politik Indonesia merupakan gerakan yang selalu. Gerakan pemberontak juga meninggalkan trauma bagi korbannya yang sangat mendalam karena di dalam gerakan pemberontakan apapun bisa terjadi seperti peperangan dan juga menyisakan beragam persoalan sosial politik bagi pemerintah pusat.

Dalam pandangan Goerge McTurnan Kahin, seluruh gerakan separatisme pada masa pemerintahan Soekarno dipicu oleh ketidakpuasan elite daerah atau perwira militer daerah terhadap pemerintah pusat dan tidak jarang pula akibat adanya rivalitas dalam tubuh militer dalam memperebutkan posisi serta sumber

daya ekonomi dan politik.1

Munculnya beberapa pergolakan pasca kemerdekaan, khususnya dari kalangan Islam memiliki akar sejarah yang beragam meskipun motif latar belakangnya juga berbeda beda, ada yang wujudnya karena kekecawan terhadap kebijakan pemerintah pusat, ada yang bermotif politik dan ekonomi dan ada yang

1 Georg McTurnan Kahin, Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia. Penerjemah Tim

(12)

berupa ideologi, dengan cita-cita mendirikan negara bagian Islam seperti halnya yang terjadi di daerah Aceh.

Di saat bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, masyarakat Aceh sangat mendukung kemerdekaan itu karena mereka senasib dan sepenanggungan dengan saudara-saudara yang lain. Peranan yang amat besar dibuktikan dengan kerelaan menyerahkan harta dan nyawa untuk Republik Indonesia. Sampai tahun 1948 Aceh masih membendung kekuatan Belanda yang hendak ingin merebut kembali kekuasaannya di Indonesia, hingga Aceh menjadi satu-satunya daerah yang aman dari penjajahan. Banyak dukungan dan sumbangsih yang diberikan masyarakat Aceh kepada pemerintahan Republik Indonesia salah satunya pembelian dua pesawat terbang Seulawah I untuk kepentingan perjuangan menegakkan kedaulatan Republik Indonesia. Selama revolusi fisik, Aceh merupakan satu-satunya wilayah yang tidak dapat diduduki

Belanda sehingga Aceh pernah disebut oleh Soekarno sebagai daerah modal2 bagi

perjuangan bangsa Indonesia.

Memasuki tahun 1950-an banyak akumulasi kekecewaan rakyat Aceh terhadap pemerintah pusat di Jakarta. Kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah pusat dianggap bersebrangan dengan pemimpin-pemimpin Aceh, sehingga terjadi beberapa pertikaian dan bahkan pergolakan yang menjurus ke arah pemisahan diri dari pemerintah pusat, yang pada akhirnya berujung pada lahirnya pemberontakan Darul Islam tahun 1953. Gerakan ini dipimpin oleh seorang ulama tekenal bernama Teungku Muhammad Daud Beureuh.

2 A. Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Jalan Pergolakan dan

Perjuangan Kemerdekaan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1985), h. 374. Lihat Juga A.K. Jakobi. Aceh Daerah Modal, (Jakarta: Pradnya Pramita,1979), h. 103.

(13)

Mengidentifikasi akar masalah gerakan Darul Islam yang terjadi di Aceh tentu memiliki sebab yang paling dasar yaitu penghapusan Provinsi Aceh menjadi Keresidenan di bawah Provinsi Sumatera Utara yang membuat masyarakat Aceh kecewa dan merasa tidak puas terhadap pemerintahan pusat. Sebab lainnya ketidakadilan dalam hal perekonomian di Aceh, sumber daya alam Aceh yang pada saat itu sangat banyak dikuasai oleh pemerintah pusat Republik Indonesia sehingga terlihat perbedaan yang sangat mencolok antara keadaan ekonomi, kehidupan sosial wilayah Aceh dengan di pusat (Pemerintahan RI) hal ini membuat kemarahan masyarakat Aceh kepada pemerintah pusat. Adapun sebab politik yang menjadi latar belakang terjadinya pemberontakan itu yang disebutkan

Ali Hasjmy dalam bukunya3 adalah:

1. Kekecewaan masyarakat Aceh kepada pemerintah pusat karena meleburkan dan memindahkan kesatuan tentara Aceh seperti Batalion Teuku Manyak, Batalion Hasan Saleh dan beberapa batalion lainnya dipindahkan keluar dari Aceh yang kemudian digantikan oleh Mayor Nazir seorang kader Partai Komunis Indonesia (PKI).

2. Menuduh dan memfitnah para ulama dan pemimpin Aceh sebagai kaki tangan Belanda. Politik kotor Partai Komunis Indonesia (PKI) yang telah memfitnah dan menghasut rakyat Aceh untuk melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan pusat yang berujung kepada meletusnya gerakan Darul Islam. Setelah pemberontakan terjadi, orang-orang PKI (Partai

Komunis Indonesia) menghasut kembali pemerintahan untuk

3

(14)

menghancurkan gerakan separatis Darul Islam karena dianggap membahayakan kepentingan rakyat Indonesia.

3. Pertengahan tahun 1953 di Medan tercecer sebuah daftar misterius yang berisikan nama-nama ulama dan pemimpin Aceh yang akan ditangkap karena kesalahan-kesalahan kepada pemerintah Indonesia. Akan tetapi di dalam bukunya The Stuggle of Islam in Modern Indonesia, menyebutkan sebetulnya surat misterius itu tidak pernah ada. Desas-desus itu diembuskan oleh politikus sayap kiri di Jakarta untuk menghantam

gerakan Islam di Aceh.4

Rentang waktu yang lama sejak meletusnya pemberontakan tahun 1953 sampai 1959 membuat kondisi kehidupan masyarakat Aceh penuh bergejolak pertumpuhan darah terjadi di mana-mana. Kondisi ini menyebabkan sistem sosial, politik, dan lain-lain menjadi stagnan. Cara demi cara dalam penyelesaian dilakukan oleh kalangan tak terkecuali para pemuda Aceh yang membentuk sebuah kongres yang diberi nama Kongres Mahasiswa/Pemuda/Pelajar/ Masyarakat Aceh Se-Indonesia.5 Kongres ini bertujuan untuk menyelesaikan masalah-masalah pemberontakan Darul Islam dan merencanakan pembangunan Aceh dalam segala aspek. Sebulan kemudian, pada pertengahan bulan Oktober 1956 diadakan reuni perwira eks Divisi Gajah I di Yogyakarta untuk membicarakan persoalan pemulihan keamanan di Aceh. Namun, semua usaha itu belum dapat membawa hasil yang diharapkan.

4 B.J. Bolland, The Struggle of Islam In Moderen Indonesia, (The Hugue-Martinus

Nijhoff: Verhandelingen KITLV, 1971), h. 73. Lihat juga Nugroho Dewanto, Daud Beureueh

Pejuang Kemerdekaan yang Berontak (Jakarta, KPG Kepustakaan Populer Gramedia, 2011), h. 3.

5

(15)

Pada tahun 1956, kesadaran Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo terhadap apa yang terjadi di Aceh telah mengubah cara pandangnya, setelah melihat semakin buruknya kondisi yang diakibatkan oleh konflik Darul Islam, sehingga pada November tahun 1956 keinginan rakyat Aceh terpenuhi dengan pembentukan kembali Provinsi Aceh oleh pemerintah pusat melalui

Undang-Undang No. 24 Tahun 1956.6

Dengan terbentuknya Provinsi Aceh mengobati kekecewaan rakyat Aceh kepada pemerintah pusat. Berbarengan dengan Undang-Undang No. 24 Tahun 1956 tentang pembentukan Provinsi Aceh maka pada awal Desember 1956 pembicaraan mengenai tentang siapa Gubernur Aceh menjadi pemberitaan yang hangat di kalangan rakyat Aceh. Tiga figur penting dicalonkan oleh kabinet untuk mengisi jabatan gubernur, yaitu Ali Hasjmy seorang anggota PSII (Partai Serikat Islam Indonesia) dan pegawai senior Kementerian Sosial di Jakarta. Calon kedua Zainal Abidin, adalah salah seorang dokter. Waktu itu ia menjabat sebagai kepala Dinas Kesehatan di Kutaraja. Dia adalah seorang pemimpin PSI (Partai Sosialis Indonesia) cabang Aceh dan mempunyai hubungan yang erat dengan Front Pemuda Aceh. Calon terakhir, Abdul Wahab Seulimeum, seorang ketua PUSA

(Persatuan Ulama Seluruh Aceh).7 Dari ketiga calon gubernur tersebut Dewan

Menteri dalam rapatnya ke-51 tanggal 2 Januari telah menyetujui untuk

6 A. Hasjmy, Semangat Merdeka 70: Tahun Menempuh Jalan Pergolakan, h. 467. Lihat

juga Arsip Konvensional Setelah Tahun 1945 (Republik). No Arsip 1713, dengan judul arsip

Berkas Mengenai Status Provinsi Aceh.

7 Calon Gubernur Aceh pada saat itu sekitar 7 orang, yakni Mr. T. Mohd. Hasan, M. Insja

(Kepala Polisi Provinsi Sumatera Utara), Mayor Syamaun Gaharu, Mr. S.M. Amin, Ali Hasjmy, Zainal Abidin, dan Abdul Wahab Seulimeum, akan tetapi kabinet hanya memilih 3 dari 7 calon tersebut yaitu Ali Hasjmy, Zainal Abidin, dan Abdul Wahab Seulimeum. Selengkapnya lihat “Arsip Konvensional Setelah Tahun 1945 (Republik), Surat-Surat Mengenai Usul dan

Pengangkatan Gubernur Aceh, No Arsip 1713. Lihat juga Nazaruddin Sjamsuddin, Pemberontakan Kaum Republik: Kasus Darul Islam Aceh, (Jakarta: Pustaka Grafiti, 1990), h. 272.

(16)

mengangkat Ali Hasjmy, pegawai tinggi pada Kementerian Sosial, sebagai

Gubernur Aceh.8

Terpilihnya Ali Hasjmy menjadi Gubernur Aceh mendapatkan dukungan yang besar di kalangan rakyat Aceh termasuk sebagian mereka yang berada dalam Darul Islam yang mendukung Ali Hasjmy menjadi gubernur karena keyakinan mereka bahwa Ali Hasjmy seorang tokoh yang akan berhasil menyelesaikan konflik tersebut.

Setelah Ali Hasjmy dilantik menjadi gubernur, masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan oleh Gubernur Ali Hasjmy salah satunya penyelesaian konflik Darul Islam yang berkepanjangan. Maka pertemuan demi pertemuan dilakukan oleh Gubernur Ali Hasjmy baik itu dengan pemerintah pusat maupun dengan melakukan pendekatan terhadap pemimpin Darul Islam itu sendiri. Pada April 1957 Ali Hasjmy beserta Muhammad Insja (Kepala Polisi Sumatera Utara) dan Syamaun Gaharu (Komandan Militer Daerah Aceh) melakukan pertemuan dengan beberapa pemimpin Darul Islam di antaranya Hasan Ali, Hasan Saleh, Ishak Amin dan Pawang Leman. Pertemuan yang berlangsung di antara kedua belah pihak mencapai kata sepakat yaitu menjunjung tinggi kehormatan agama dan kepentingan rakyat Aceh. Kesepakatan itu kemudian diberi nama Ikrar

Lamteh.9 Atas dasar Ikrar Lamteh ini tercapai suatu persetujuan antara pihak

Darul Islam dan Pemerintah Daerah untuk menghentikan tembak-menembak (ceasefire)

Pertengahan tahun 1957 kesempatan untuk bertemu langsung dengan Teungku Muhammad Daud Beureueh oleh pihak pemerintah daerah yang

8 Arsip Konvensional Setelah Tahun 1945 (Republik), Surat-Surat Mengenai Usul dan

Pengangkatan Gubernur Aceh, No Arsip 1713.

9

(17)

diwakilkan oleh Gubernur Ali Hasjmy terealisasikan. Pertemuan tersebut dilakukan di Markas Darul Islam yang berada di suatu tempat yang bernama Mardhatillah. Dalam pertemuan itu Ali Hasjmy sebagai Gubernur Aceh memberi pengertian kepada Wali Negara Tgk. M. Daud Bereueh agar berkenan berdamai dengan pemerintah pusat. Agaknya Tgk. M. Daud Beureueh sudah sangat anti terhadap pemerintah pusat. Di samping itu pertemuan kedua belah pihak itu belum mencapai kata sepakat untuk berdamai.

Penyelesaian kasus Darul Islam belum mencapai titik temu walaupun tahun 1957 telah berlalu. Walaupun Piagam Lamteh sering terlanggar dan dilanggar, pemberontakan masih terjadi, suara tembakan masih sering terdengar yang menyebabkan keadaan semakin bertambah parah. Berbagai upaya dilakukan oleh Gubernur Ali Hasjmy baik itu pertemuan maupun dengan mengirim surat kepada pihak Darul Islam, namun hasilnya tetap tidak ada, karena pemimpin Darul Islam sangat tidak beranjak dari kehendaknya.

Dalam proses usaha mencari penyelesaian konflik Darul Islam, Gubernur Ali Hasjmy dikejutkan oleh lahirya gerakan separatis Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera Barat. Gerakan ini memberi pengaruh besar terhadap Darul Islam Aceh, hal ini terbukti dengan sebagian anggota Darul Islam ikut serta untuk melancarkan beberapa pemberontakan di Sumatera. Namun gerakan separatis ini mampu diselesaikan oleh alat keamanan negara.

Seletah penumpasan PRRI, dalam kalangan tokoh-tokoh pemimpin Darul Islam Aceh terjadi perbedaan pendapat yang sangat serius. Hal ini menimbulkan perpecahan dalam tubuh Darul Islam Aceh yang menjadi dua kubu. Pertama kubu Tgk. M. Daud Beureueh, yang para pengikutnya kebanyakan tokoh yang

(18)

berhaluan keras, yang sukar diajak koperatif. Kedua kubu Hasan Saleh yang berhaluan moderat. Kelompok Hasan Saleh menamakan dirinya Dewan Revolusi.

Terbentuknya Dewan Revolusi disambut baik oleh Gubernur Ali Hasjmy. Kelompok Hasan Saleh bersedia melakukan perundingan dengan pemerintah pusat, hal ini didasari oleh keiginan rakyat Aceh yang sudah lama menginginkan perdamaian. Akhirnya pada tahun Mei 1959, pemerintah pusat mengirim suatu missi yang terkenal dengan Missi Hardi untuk melakukan perundingan dengan Dewan Revolusi. Perundingan berlangsung selama 3 hari dengan keputusan perubahan Daerah Swantantra Tingakat I Aceh menjadi Daerah Istimewa dengan otonomi seluas-luasnya terutama dalam hal keagamaan, adat dan hukum, serta pendidikan.

Berdasarkan latar belakang di atas, penulis ingin mengkaji lebih jauh serta mendalam peranan Gubernur Ali Hasjmy dalam menyelesaikan konflik Darul Islam Aceh, menguraikan langkah-langkah serta strategi yang ditempuh oleh Gubernur Ali Hasjmy. Tahun 1957-1959 dijadikan rentangan waktu yang dikaji oleh penulis karena tahun 1957 merupakan pengangkatan Gubernur Aceh pertama ketika Aceh dalam keadaan konflik politik dengan pemerintah pusat. Dan tahun 1959 merupakan tahun keberhasilan Gubernur Ali Hasjmy dalam memediasi Darul Islam Aceh dengan pemerintah pusat, yang berakhir dengan perdamaian di Aceh. Oleh karena itu, penulis mengangkat judul skirpsi dengan judul “ Kebijakan Gubernur Ali Hasjmy terhadap Darul Islam Aceh 1957-1959”

(19)

B. Identifikasi Masalah

Sebelum membatasi masalah, peneliti akan terlebih dahulu memberikan identifikasi masalah seputar judul yang diangkat dari latar belakang yang telah dikemukakan. Peneliti berhasil mengidentifikasi beberapa masalah:

1. Adanya ketidakstabilan segi kehidupan di aceh pasca kemerdekaan. 2. Keadaan gerakan Darul Islam yang tidak mampu diselesaikan oleh

pemerintah pusat.

3. Mengenai situasi konflik yang berdampak sangat tidak baik yang menyebabkan kehidupan sosial dan agama yang morat marit di Aceh. 4. Tanggapan rakyat Aceh maupun pihak Darul Islam terpilihnya Ali

Hasjmy menjadi Gubernur Aceh pada masa konflik.

5. Langkah-langkah apa yang dilakukan Gubernur Ali Hasjmy untuk meredam konflik Darul Islam.

C. Pembatasan dan Rumusan Masalah

Kajian mengenai Aceh memang tidak pernah surut untuk dijadikan bahan penelitian. Tema kajiannya pun beragam, mulai dari masa masuknya Islam, masa Kolonial, zaman pendudukan Jepang, dan masa pasca kemerdekaan.

Dengan melihat deskripsi latar belakang di atas, peneliti ingin fokus untuk mengkaji mengenai upaya dan strategi Gubernur Ali Hasjmy dalam meredam konflik Darul Islam Aceh tahun 1957-1959. Alasan penulis membatasi pembahasan dalam kurun tahun 1957-1959 karena tahun 1957 Ali Hasjmy diangkat menjadi Gubernur Aceh, dan tahun 1959 merupakan keberhasilan Gubernur Ali Hasjmy dalam meredam konflik Darul Islam Aceh.

(20)

Dari pembatasan tersebut, maka beberapa pertanyaan penelitian yang diajukan adalah sebagai berikut:

1. Mengapa terjadinya pemberontakan Darul Islam Aceh ?

2. Bagaimana langkah dan strategi Gubernur Ali Hasjmy dalam meredam pemberontakan Darul Islam Aceh ?

3. Bagaimana kebijakan pemerintah pusat pada tahun 1959 dalam menyelesaikan konflik Darul Islam di Aceh ?

D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Penulisan skripsi ini bertujuan untuk:

1. Menjelaskan langkah-langkah dan strategi yang dilakukan Gubernur Ali Hasjmy dalam meredam konflik Darul Islam Aceh

2. Mengetahui kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah pusat dalam menyelesaikan kasus pemberontakan Darul Islam Aceh pada tahun 1959.

Sedangkan, kegunaan dari penulisan skripsi ini adalah:

1. Memperkaya wawasan pengetahuan kesejarahan, yang terkait dengan biografi tokoh dan sejarah perjuangan Ali Hasjmy dalam menyelesaikan pemberontakan Darul Islam di Aceh.

2. Bermanfaat bagi masyarakat Aceh, bahwasanya Aceh pernah memiliki tokoh sehebat Ali Hasjmy yang mampu menyelesaikan persoalan-persoalan bangsa khususnya Aceh.

3. Menjadi inspirasi untuk umum dan Fakultas Adab dan Humaniora Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam. Apalagi dewasa ini, sangat minim penelitian-penelitian mengenai tokoh Ali Hasjmy yang boleh

(21)

dikatakan sebagai tokoh yang pernah hidp di tiga zaman: zaman kolonial Belanda, Jepang dan zaman kemerdekaan Indonesia (Orde Lama dan Orde Baru)

E. Tinjauan Pustaka

Judul penelitian ini adalah “Kebijakan Gubernur Ali Hasjmy Terhadap Gerakan Darul Islam Aceh Tahun 1957-1959”. Penulis mencari literatur terkait topik tersebut di Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah, Perpustakaan Adab dan Humaniora, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Perpustakaan LIPI, dan Arsip Nasional Republik Indonesia, Perpustakaan dan Museum Ali Hasjmy, Perpustakaan wilayah Provinsi Aceh serta pencarian ke beberapa situs internet yang terpercaya, penulis menemukan beberapa sumber mengenai tema dan judul diatas. Berikut beberapa literature yang dijadikan tinjauan pustaka:

1. Disertasi Hasan Basri, A. Hasjmy (1914-1998): Kajian Sosial-Intelektual dan Pemikirannya tentang Politik,10 Penelitian yang dilakukan oleh Hasan Basri banya menjelaskan Ali Hasjmy terkait politik Islam. Penelitian Hasan Basri tidak berfokus pada pembahasan mengenai peranan Ali Hasjmy dalam menyelesaikan konflik Darul Islam. Oleh sebab itu penelitian Hasan Basri berbeda dengan skripsi ini, yang lebih banyak menjelaskan konflik dan penyelesaian masalah Darul Islam Aceh. Namun disertasi Hasan Basri dapat dijadikan bahan perbandingan dalam pecakan sumber data.

10 Hasan Basri, “A. Hasjmy (1914-1998): Kajian Sosial-Intelektual dan Pemikirannya

(22)

2. Buku karya H.A. Ghazaly yang berjudul Biografi Prof. Tgk. Ali Hasjmy,11 kajian yang dilakukan oleh Ghazaly terbatas pada pemaparan riwayat hidup Ali Hasjmy secara sekilas serta pemikirannya dalam bidang dakwah dan aktivitas akademiknya. Hasil kajian Ghazaly, meski ringkas, setidaknya dapat memberikan informasi penting tentang kisah perjalanan hidup Ali Hasjmy. Namun buku ini masih terdapat beberapa kekurangannya, terutama sumber data yang digunakan sangat terbatas. Di samping itu, kajiannya bersifat deskripstif tanpa analisis kritis. Sehingga penulis berkesimpulan bahwa subjek kajiannnya sedikit berbeda. Dalam skripsi ini penulis mengedepankan upaya yang dilakukan oleh Gubernur Ali Hasjmy dalam meredam konflik Darul Islam Aceh.

3. Judul skripsi Darmuni, “Prof. A. Hasjmy Sebagai Bapak Pendidikan Daerah Istimewa Aceh,12 di dalam skripsi ini Darmuni menyoroti peranan Ali Hasjmy dalam membangun pendidikan untuk memajukan generasi Aceh. Sebagai wujud nyata kepedulian Ali Hasjmy terhadap pendidikan dapat dilihat pada peninggalan monumental berupa berdirinya dua perguruan tinggi atau kompleks Pendidikan Darussalam di Banda Aceh yang masih eksis sampai sekarang. Karena itu, tidaklah mengherankan jika Ali Hasjmy pantas diberikan penghargaan sebagai “Bapak Pendidikan Aceh”. Penelitian Darmuni juga tidak mengungkapkan totalitas kehidupan dan gagasan Ali Hasjmy secara kritis. Berbeda dengan skripsi ini, penulis hanya fokus pada langkah-langkah maupun strategi Gubernur Ali Hasjmy dalam meredam konflik Darul Islam Aceh. Namun, penelitian Darmuni

11 A.H. Ghazaly, Biografi Prof. Tgk. H. Ali Hasjmy, (Jakarta: Penerbit Socialia, 1978) 12 Darmuni Daud, Prof. A. Hasjmy Sebagai Bapak Pendidikan Daerah Istimewa Aceh,”

(23)

cukup membantu dalam memberi gambaran tentang mengenai pendidikan di Aceh pada masa itu.

4. Skripsi Lukman Nusfi yang berjudul Prof. A. Hasjmy Seorang Tokoh Dakwah13 merupakan suatu penelitian yang lebih menekankan pada ketokohan dan pemikiran dakwah Ali Hasjmy yang meliputi pemikiran dakwah Ali Hasjmy di bidang sastra, budaya Islam, sejarah, strategi dakwah Ali Hasjmy, dan eksistensi Ali Hasjmy dalam rangka memajukan pendidikan dan agama. Kelemahan skripsi Nusfi terdapat pada pembahasannya yang relatif ringkas dan juga pada keterbatasan sumber analisis yang terbatas. Sehingga penulis menarik kesimpulan bahwa subjek kajiannya berbeda. Dalam skripsi ini penulis menitik beratkan pada peranan Gubernur Ali Hasjmy dalam memecahkan penyelesaian kasus konflik Darul Islam Aceh.

5. Karya C. Van Dijk, Darul Islam: Sebuah Pemberontakan,14 Mengupas

perbedaan dan hubungan antara lima pemberontakan DI/TII di Indonesia. Untuk pemberontakan DI/TII di Aceh, Van Dijk menyebutnya sebagai pemberontakan kaum ulama yang didukung oleh sebagian besar dari Aceh karena menggunakan agama sebagai spirit utama perjuangan. Dengan demikian pemberontakan di Aceh relatif lebih sulit dihadapi oleh pemerintah, namun jika pemerintah mampu menyelesaikan pemberontakan tersebut, maka akan mendorong penyelesaian di daerah-daerah lainnya. Buku ini memang tidak secara khusus mengkaji mengenai keterlibatan Ali

13 Lukman Nusfi, Prof. A. Hasjmy Seorang Tokoh Dakwah,” (Skripsi S1 Fakultas

Dakwah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh 1999)

14 C. Van Dijk, Darul Islam, Sebuah Pemberontakan, Penerjemah Tim PSH (Jakarta:

(24)

Hasjmy di panggung politik pasca kemerdekaan, namun buku ini sangat membantu penulis sebagai langkah awal mengenal akar pemberontakan yang terjadi di Indonesia khusunya di Aceh.

6. Buku karya Nazaruddin Sjamsuddin yang berjudul Pemberontakan Kaum Republik,15 Buku ini menjelaskan pergolakan yang terjadi di Aceh tahun 1953-1962 di bawah panji Darul Islam pimpinan Daud Bereueh. Buku ini menafsikan gejolak yang terjadi di Aceh yang disebabkan oleh konflik antara ulama dan ulebalang, sedangkan penafsiran yang lain, pergolakan itu sebagai akibat stagnansi sosial. Namun dalam buku ini penulis tidak menemukan proses bagaimana jalannya perundingan yang melahirkan Ikrar Lamteh. Buku ini lebih menitik beratkan kepada persoalan terjadinya pemberontakan dan siapa aktor dibalik pemberontakan di Aceh. berbeda dengan skripsi ini yang secara khusus ingin memfokus kajiannya pada persoalan penyelesaian konflik Darul Islam Aceh yang dilakukan oleh Ali Hasjmy. Namun buku ini banyak memberikan informasi terkait bagaimana terjadinya konflik sosial di Aceh pasca kemerdekaan.

7. Karya Hardi, Daerah Istimewa Aceh: Latar Belakang Politik dan Masa Depannya,16 merupakan buku yang menggambarkan sejarah Aceh dimulai sejak abad keenam. Dimulai periode zaman kebesaran kerajaan-kerajaan dan perjuangan pahlawan melawan penjajahan sampai lahir Provinsi Daerah Istimawa Aceh. Buku ini menyoroti mengenai perundingan Dewan Revolusi dengan pemerintah pusat, namun buku ini tidak secara rinci

15 Nazaruddin Sjamsuddin, Pemberontakan Kaum Republik: Kasus Darul Islam Aceh,

(Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1990)

16 Hardi, Daerah Istimewa Aceh: Latar Belakang Politik dan Masa Depannya, (Jakarta:

(25)

menjelaskannya, kemudian buku ini terlihat subjektif. Ada sedikit perbedaan antara buku ini dengan skripsi ini. Penulis lebih berfokus pada strategi atau langkah yang dilakukan dalam meredam konflik Darul Islam dan juga strategi pendekatan Gubernur Ali Hasjmy kepada beberapa orang di pemerintah pusat seperti Presiden Soekarno, Abdul Haris Nasution dan Perdana Menteri Ir. Juanda. Namun buku ini sangat memberi gambaran terhadap penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

Adapun perbedaan kajian skripsi ini dengan kajian di atas adalah penulis lebih berfokus pada penjelasan mengenai langkah dan strategi yang dilakukan oleh Gubernur Ali Hasjmy di tahun 1957 sampai 1959 untuk meredam kasus konflik Darul Islam Aceh yang sudah terjadi dari tahun 1953.

F. Kerangka Teori

Robert Lawang menerjemahkan konflik sebagai sebuah perjuangan untuk memperoleh hal-hal yang langka seperti nilai, status, kekuasaan dan sebagainya dengan tujuan mereka yang berkonflik itu tidak hanya memperoleh keuntungan tetapi juga untuk menundukkan pesaingnya. Konflik dapat diartikan sebagai benturan kekuatan dan kepentingan antara satu kelompok dengan kelompok lain dalam proses perebutan sumber-sumber kemasyarakatan (ekonomi, politik, sosial

dan budaya) yang relatif terbatas.17

Maswadi Rauf membagi antara konflik sosial dan konflik politik. Menurutnya, konflik politik adalah bagian dari konflik sosial, hanya sumbersumbernya, dimensinya dan cakupannya yang berbeda. Tidak semua konflik sosial adalah konflik politik. Konflik politik berkaitan dengan penguasa

17 Robert Lawang, Buku Materi Pokok Pengantar Sosiolog, (Jakarta: Universitas

(26)

politik dan atau keputusan yang dibuatnya (keputusan politik). Konflik ini terjadi karena adanya perbedaan pandangan tentang penguasa politik, perbedaan penilaian terhadap sumber-sumber kekuasaan politik yang dimiliki oleh penguasa

politik, dan perbedaan penilaian terhadap keputusan politik.18

Untuk menyelesaikan konflik yang telah berlarut-larut seperti yang terjadi di Aceh, teori-teori konflik memberikan sejumlah rumusan. Salah satu teori yang populer adalah teori resolusi konflik khsusnya transformasi konflik. Dalam pandangan John Burton, studi konflik memiliki dua focus perhatian, yaitu pertama menjelaskan gejala konflik, guna menemukan pendekatan konstruktif untuk memecahkannnya; kedua, memberikan penjelasan terhadap permasalahan konflik, untuk menemukan prinsip-prinsip dari proses dan kebijakan yang

diturunkan dari suatu penjelasan mengenai konflik.19

Untuk menyelesaikan persoalan konflik tersebut, salah satu pendekatan yang muncul adalah pendekatan resolusi konflik. Resolusi konflik menekankan bahwa konflik yang sudah komplek, khususnya konflik yang sudah pada tahap perang, perlu ditransformasikan sehingga dapat diselesaikan. Dalam pandangan Burton, resolusi konflik adalah upaya transformasi hubungan yang berkaitan dengan mencari jalan keluat dari suatu prilaku konfliktual sebagai hal utama. Ada perbedaan antara resolusi konflik sebagai perlakuan (treatment) terhadap persoalan akar konflik dengan resolusi konflik sebagai penanganan (seatlement)

18

Maswadi Rauf, “Konflik Politik dan Integrasi Nasional,” dalam Saafroedin Bahar dan A.B. Tangdililing, Integrasi Nasional Teori, Masalah dan Strategi, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1996), h. 80-82.

19 John Burton, Conflict; Resolution and Prevention, (New York: The Macmillan Press

(27)

konflik dengan cara-cara paksa (coercion) atau dengan cara tawar-menawar

(bargaining) atau perundingan (negotiation).20

Dari beberapa penjelasan tersebut di atas, pergolakan yang terjadi di Aceh dapat dianggap sebagai konflik politik. sementara perundingan yang ditempuh oleh pemerintah dan Darul Islam tergolon sebagai upaya untuk menyelesaikan konflik. Dalam penyelesaiannya, sebagaimana yang telah disebut bahwa resolusi konflik lebih menekankan pada penanganan dengan cara tawar-menawar dan melalui suatu proses perundingan atau negosiasi.

Pendekatan ini sering disebut juga sebagai langkah diplomasi. Dalam konteks ini, pendekatan diplomasi ditujukan untuk menghentikan perang dan kekerasan, dengan tahap-tahap sebagai berikut: (a) pencegahan konflik: mencegah perselisihan di antara kelompok-kelompok yang bertikai melalui pembenahan struktural, kelembagaan, ekonomi, dan budaya; dan (b) pencegahan eskalasi: mencegah baik eskalasi konflik vertikal dan horizontal agar tidak lebih memburuk

dan mengundang aktor-aktor baru yang terlibat di dalamnya.21

Selain itu, dalam teori resolusi konflik, tujuan dan cara-cara tidakannya juga jelas menggambarkan tiga perdedaan pendekatan, antara instrument militer,

ekonomi dan politik.22 Dalam pendekatan tersebut, upaya untuk mencapai

kesepakatan dalam sebuah perundingan sehingga dapat mendorong tiga tahap di atas, sering kali menggunakan pihak mediasi yang berfungsi sebagai mediator.

20 John Burton, Conflic: Resolution, h. 3.

21 Jenie Leatherman, dkk. Memutus Siklus Kekerasan Pencegahan Konflik dan Krisis

Intranegara, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2004), h. 131-132.

22

(28)

Dahrendrof yang mengutip Kerr menekankan bahwa hadirnya pihak ketiga

amat penting dalam pengaturan pertentangan.23 Ada beberapa jenis peran pihak

pihak ketiga yaitu konsiliasi, mediasi dan arbritasi (penindasan). Bentuk yang cocok dalam konteks penyelesaian pemberontakan di Aceh adalah mediasi dan perundingan.

Penelitian ini juga menggunakan pendekaan politik yang digunakan untuk menganalisis kepentingan individu, bahkan kelompok dalam hubungan dengan politik, ekonomi, sosial dan budaya.

G. Metode Penelitian

Penelitian ini bersifat analytical history,24 sehingga metode yang digunakan

dalam penelitian ini adalah metode yang biasa digunakan dalam penelitian sejarah pada umumnya yaitu, pemilihan topik, pengumpulan data (heuristik), kritik sumber baik intern maupun ekstern, interpretasi atau penafsiran dan langkah

terakhir adalah tahap hitoriografi atau penulisan sejarah.25

Topik penelitian adalah masalah atau objek yang harus dipecahkan melalui penelitian ilmiah. Topik yang menjadi pilihan untuk diteliti umumnya telah dikenal sebelumnya meskipun secara garis besar, tidak mendalam, bahkan

samar-samar.26 Penetuan topik hendaknya dipilih berdasarkan kedekatan intelektual dan

kedekatan emosional. Dua hal tersebut sangat penting karena akan berpengaruh terhadap aspek subjektif dan objektif penulis.

23 Ralf Dahrendrof, Konflik dan Konflik dalam Masyarakat Industri: Sebuah Analisa

Kritik, Penerjemah Ali Mandan (Jakarta: Rajawali Pers, 1986), hlm. 283-287.

24

M. Dien Madjid dan Johan Wahyudi, Ilmu Sejarah Sebuah Pengantar, (Jakarta: Kencana, 2014), h . 218.

25 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1995),

h. 89.

26

(29)

Topik yang dipilih oleh penulis yakni mengenai upaya Gubernur Ali Hasjmy dalam menyelesaikan konflik Darul Islam 1957-1959. Penulis memilih topik tersebut dikarenakan pada tahun 1957-1959 merupakan pembentukan kembali Provinsi Aceh dan Ali Hasjmy terpilih menjadi Gubernur yang kemudian mampu menyelesaikan konflik Darul Islam di tahun 1959.

Dalam proses heuristik penulis menggunakan medote library research (kepustakaan) dengan menghimpun sumber-sumber tertulis yang bersifat primer maupun sekunder. Untuk sumber primer penulis menggunakan arsip konvensional tahun 1945 yang ditemukan di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) dan juga buku, di antaranya arsip yang berjudul aktivitas gerakan Darul Islam di berbagai wilayah, dan arsip yang berjudul surat-surat mengenai usul dan pengangkatan Gubernur Aceh. Selain itu penulis juga memanfaatkan sumber primer berupa surat kabar sezaman, dan koleksi dokumen Ali Hasjmy yang berjudul Dari Darul Harb ke Darussalam. Sedangkan buku primer yang penulis gunanakan di antaranya buku Semangat Merdeka 70: Tahun Menempuh Jalan Pergolakan dan Perjuangan Kemerdekaan, kemudian buku autobiografi Hasan Saleh yang berjudul Mengapa Aceh Bergolak dan laporan-laporan yang berjudul Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dan Laporan Hasil Perkunjungan Missi Pemerintah Pusat ke Aceh. selebihnya penulis menggunakan sumber-sumber yang bersifat sekunder baik berupa buku, disertasi, dan jurnal yang penulis temukan di beberapa perpustakaan.

Tahap berikutnya adalah kritik sumber atau verifikasi. Dalam proses ini, penulis melakukan uji keaslian sumber atau otentifikasi melalui kritik ektern dengan cara mengkritik secara fisik sumber-sember primer yang berupa

(30)

buku-buku, koran dan arsip-arsip. Dilihat dari tahun dibuatnya, siapa pembuatnya, sumber tersebut masih berbentuk asli. Sedangkan dalam proses kritik intern penulis melakukan uji kelayakan atau kredibilitas dengan cara membandingkan sumber-sumber. Dalam hal ini penulis mendapatkan adanya perbedaan mengenai waktu, misalnya perbedaan waktu yang dilakukan oleh Gubernur Ali Hasjmy di saat melakukan pertemuan dengan pihak Darul Islam, kemudian penulis juga mendapatkan perbedaan mengenai jumlah Tentara Islam Indonesia (TII) Aceh.

Misalnya Hasan Saleh mengatakan berjumlah 10.000 anggota TII Aceh,27

sedangkan Nazaruddin Sjamsuddin mengatakan berjumlah 35.000 TII Aceh.28

Menurut penulis, sumber dari Nazaruddin Sjamsuddin yang mengatakan terdapat 35.000 orang TII tidak valid, menurut Statistik Kotamadya Banda Aceh jumlah penduduk Kutaraja (sekarang menjadi Banda Aceh) pada tahun 1957 hanya

berjumlah 20.976 penduduk.29

Tahap selanjutnya penulis melakukan penafsiran (interpretasi) terhadap sumber yang telah penulis himpun dengan cara penulis membaca sumber-sumber bacaan baik itu buku, arsip dan sebagai nya yang berisi suatu kejadian yang berkaitan dengan topik, kemudian penulis menganalisis mengenai peristiwa yang terjadi, setelah itu penulis membandingkan hasilnya dari satu sumber dengan sumber yang lain dan terakhir penulis melakukan penyimpulan dan penafsiran dari hasil yang telah dibuat supaya didapat suatu fakta sejarah yang akan dipakai dan dijadikan data sejarah.

27

Hasan Saleh, Mengapa Aceh Bergolak, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1992), h 361.

28 Nazaruddin Sjamsuddin, Pemberontakan Kaum Republik: Kasus Darul Islam Aceh,

(Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1992), h. 311.

29 Rusdi Sufi, dkk., Sejarah Kotamadya Banda Aceh, (Banda Aceh: Balai Kajian Sejarah

(31)

Tahap terakhir adalah historiografi, dalam tahap ini penulis menguraikan fakta hasil temuan yang didapatkan kedalam penulisan sejarah. Dalam penelitian ini, historiografi diwujudkan dalam bentuk karya ilmiah berupa skripsi yang berjudul “Kebijakan Gubernur Ali Hasjmy Terhadap Gerakan Darul Islam Aceh 1957-1959”.

H. Sistematika Penulisan

Penyajian penelitian yang dikemas dalam bentuk skripsi ini terdiri dari lima bab.

Bab I Bab ini berisikan pendahuluan yang tediri dari latar belakang

masalah, identifikasi masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II Membahas mengenai terjadinya pemberontakan Darul Islam

Aceh, yang meliputi sebab-sebab terjadinya pemberontakan Darul Islam, keterangan Pemerintah Pusat terhadap peristiwa Darul Islam, dan penyelesaiam kasus Darul Islam.

Bab III Membahas biografi Ali Hasjmy yang meliputi dari riwayat hidup

dan intelektualnya, karya-karya serta penghargaan yang pernah diterima oleh Ali Hasjmy, dan keterlibatan Ali Hasjmy dalam pergerakan Politik pada masa penjajahan Belanda, Jepang dan Pascakemerdekaan.

Bab IV Membahas mengenai kebijakan Gubernur Ali Hasjmy terhadap

Darul Islam Aceh, yang meliputi pengangkatan Ali Hasjmy menjadi Gubernur Aceh tahun 1957, langkah atau upaya

(32)

Gubernur Ali Hasjmy dalam menyelesaikan konflik Darul Islam, dan penyelesain kasus Darul Isla oleh Missi Pemerintah Pusat.

Bab V Berisi penutup yang terdiri atas kesimpulan yang merupakan

jawaban dari permasalahan yang menjadi motiv awal pengkajian penelitian ini, dan saran-saran kemudian dilanjutkan dengan daftar pustaka dan daftar lampiran.

(33)

23

A. Aceh Pada Masa Pasca Kemerdekaan 1. Keresidenan Aceh

Dua hari setelah kemerdekaan Indonesia 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) menetapkan keputusan tentang pembagian wilayah Indonesia yang meliputi bekas wilayah kolonial Hindia-Belanda sebelum Perang Dunia II menjadi 8 provinsi dengan Gubernurnya masing masing, yaitu: Provinsi Jawa Barat, Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Sumatera, Provinsi Kalimantan, Provinsi Maluku, Provinsi Sunda Kecil (Nusa

Tenggara), dan Provinsi Sulewesi.30 Setiap provinsi dipimpin oleh seorang

Gubernur. Provinsi dibagi lagi atas Keresidenan31 yang dikepalai oleh seorang

Residen. Sebagai Gubernur Provinsi Sumatera waktu itu ditetapkan Mr. T. Moh.

Hasan.32 Sedangkan Aceh, ditetapkan sebagai salah satu Keresidenan dalam

Provinsi Sumatera, dengan residennya yang pertama Teuku Nyak Arif.33

Pemerintah Teuku Nyak Arif harus menghadapi kesulitan-kesulitan yang sangat berat, dimana segala-segalanya masih dalam taraf penyusunan, masih berada dalam keadaan kacau balau, pertentangan-pertentangan dalam masyarakat masih sering terjadi. Ditambah lagi dengan pengganasan Jepang dibeberapa

30 Tim Monograf Daerah Istimewa Aceh, Monograf Daerah Istimewa Aceh (Jakarta:

Proyek Pengembangan Media Kebudayaan, 1976), h. 19. Lihat juga T. Alibasjah Talsya, Sepuluh

Tahun Daerah Istimewa Atjeh, (Banda Atjeh: Pustaka Putroe Tjanden, 1969), h. 28.

31

Pada waktu itu istilah Keresidenan masih merupakan kesatuan yang bebas mengatur rumah tangganya sendiri. Lihat, Hasan Saleh, Mengapa Aceh Bergolak, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1992), h. 125.

32 Pidia Amelia, Gubernur Pertama dan Lahirnya Propinsi Sumatera Utara Perjuangan

Mr. SM Amin Mempertahankan Republik Indonesia di Sumatera Utara dan Aceh 1945-1949

(Medan: Unimed Press, 2013), h. 9. Lihat juga T. Alibasjah Talsja, 10 Tahun Daerah Istimewa

Atjeh (Banda Aceh, Pustaka Putroe Tjanden 1969), h. 28.

33 Departemen dan Kebudayaan, Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh

(34)

tempat seperti di Meulaboh, Kutaraja dan Langsa, oleh karena itu Residen pertama lebih menyerupai kemiliteran.

Residen Teuku Nyak Arif hanya bertahan selama empat bulan, dikarenakan kondisi kesehatannya yang semakin parah akibat menderita penyakit gula. Kemudian digantikan oleh Teuku Tjhik M. Daudsyah pada pertengahan Januari

1946.34 Sejalan dengan itu susunan Badan Eksekutif Komite Nasional Daerah

juga mengalami perubahan, menjadi:35

Ketua : Residen Teuku Daudsjah.

Wakil Ketua : Mr. S.M. Amin.

Anggota : Sutikno Padmo Sumarto

: Hasjim.

: H. M. Zainuddin.

: Mohd. Hanafiah.

: R. Insun

Sekretaris : Kamarusid

Pemerintahan di bawah pimpinan Residen Teuku Daudsjah berjalan dengan baik dan memuaskan. Dalam masa pemerintahan tersebut, Aceh untuk pertama kalinya menerima tamu-tamu dari Pusat Pemerintahan yang bertujuan untuk mengadakan tinjauan dan mempererat hubungan di antara Pemerintah Pusat dengan pemerintah daerah. Salah satu dari rombongan tamu itu adalah rombongan

Mr. Hermani beserta staf-stafnya anatara lain Mr. Abdul Madjid

Djojoadiningrat.36

34 S.M. Amin, Kenang-Kenangan Dari Masa Lampau, (Jakarta: Pradyana Paramita,

1984), h. 47.

35 Insider, Atjeh Sepintas Lalu, (Djakarta: FA Archapada, t.t), h. 37. 36

(35)

Sejalan dengan itu pada bulan Desember 1946, Komite Nasional Daerah Aceh mengadakan sidang pleno untuk membicarakan berbagai hal, antara lain

mengenai Agama, Pemerintahan, Kehakiman dan Kesehatan.37 Keputusan yang

diambil dalam rapat pleno Komite Nasional Daerah Aceh akan disampaikan dalam Rapat Pleno Dewan Perwakilan Pusat di Bukittinggi pada bulan Februari 1947.

Pada awal tahun 1947 keluar penetapan Pemerintah yang menetapkan pembagian Sumatera menjadi 3 Sub-Provinsi. Pembagian 3 Sub-Provinsi itu semata-mata atas pertimbangan sulitnya hubungan komunikasi antara Gubernur Sumatera dengan daerah-daerah yang ada diseluruh Sumatera, sehingga dirasa perlu menetapkan wakil-wakil Gubernur dengan sebutan Gubernur Muda di masing-masing daerah tersebut.

1. Sub Provinsi Sumatera Utara : yang meliputi Keresidenan Aceh, Sumatera Timur dan Tapanuli dengan Gubernur Muda Mr. S.M. Amin. 2. Sub Provinsi Sumatera Tengah : yang meliputi Keresidenan Sumatera Barat, Riau dan Jambi dengan Gubernur Muda Mr. Muhammad Nasrun.

3. Sub Provinsi Sumatera Selatan : yang meliputi Keresidenan Palembang, Bengkulu, Bangka Belitung dan Lampung dengan

Gubernur Muda dr. M. Isa.38

Pada tanggal 21 Juli 1947 Belanda melakukan agresi militernya ke daerah Republik Indonesia. Dalam waktu yang singkat Belanda berhasil menduduki sebagian daerah Jawa, serta daerah-daerah Palembang dan Sumatera Timur,

37 S.M. Amin, Kenang-Kenangan Dari Masa Lampau, h. 52.

38 Sutan Muhammad Amin, Mr. S.M Amin Krueng Raba Nasution Perjalanan Hidupku

(36)

sehingga Gubernur beserta stafnya terpaksa mengungsi ke Bukittinggi. Sementara wilayah Aceh masih tetap bertahan dari penyerbuan Belanda, maka atas instruksi Wakil Presiden Republik Indonesia Muhammad Hatta, menetapkan dalam surat keputusannya No.3/BPKU/1947 tanggal 26 Agustus 1947, daerah Keresidenan Aceh, Kabupaten Langkat dan Kabupaten Tanah Karo menjadi satu Daerah

Militer Istimewa. Sebagai Gubernur Militer ditetapkan Tgk. M. Daud Beureueh.39

Staf Gubernur Militer terdiri dari Soetikno Padmosoemarto, Teungku Abdul Wahab Seulimeum, Ali Hasmy, Nyak Neh Lhok Nga, Hasan Ali dan S. Abu

Bakar.40 Empat dari ini adalah orang PUSA.

Di instruksi pula bahwa kewajiban Gubernur Militer adalah menyusun dan menyatukan tentara dan laskar dalam daerah kekuasaan Gubernur Militer, agar

menjadi satu kesatuan komando.41 Di samping itu Gubernur Militer diserahkan

tugas-tugasnya, baik yang mengenai pertahanan maupun militer. Penugasan tersebut berhasil dilakukan oleh Gubernur Militer Tgk. M. Daud Beureueh dengan

39 Latar belakang lahirnya posisi Gubernur Militer karena pada saat itu terjadinya masa

Agresi Militer Belanda, dan juga terjadi pergolakan pada sistem pemerintahan di Indonesia yang lebih dikenal dengan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI). Untuk mempertahankan wilayah Indonesia yang pada saat itu hampir seluruh bagian wilayah Indonesia dikuasai kembali oleh Belanda kecuali Wilayah Aceh maka dijadikanlah Daerah Militer. Hal ini ditujukan untuk memperlancar roda pemerintahan baik sipil maupun militer. Maka diangkatlah Gubernur Militer di berbagai daerah di Sumatera, berikut susunan Gubernur Militernya:

a. Gubernur Militer untuk Daerah Aceh, Langkat dan Tanah Karo adalah Tgk. M. Daud Beureueh.

b. Gubernur Militer untuk Daerah Sumatera Timur dan Tapanuli adalah Dr. Ferdinand Lumban Tobing.

c. Gubernur Militer untuk Daerah Sumatera Barat adalah Mr. St Moh. Rasyid. d. Gubernur Militer untuk Daerah daerah Riau adalah R.M. Oetoyo

e. Gubernur Militer untuk Daerah Sumatera Selatan dan Jambi adalah Dr. Adnan Kapau Gani.

Selengkapnya lihat, Tgk. A.K. Jakobi, Aceh Dalam Perang Mempertahankan Proklamasi

Kemerdekaan 1945-1949, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998), h. 400. Lihat juga, T.

Alibasjah Talsja, 10 Tahun Daerah Istimewa Atjeh, h. 29.

40Dewan Perwakilan Rakyat Aceh, diterbitkan oleh Sekretariat DPRD-GR Propinsi

Daerah Istimewa Atjeh, (Banda Aceh, 1968), h. 11. Lihat juga, Ismuha, Ulama Aceh Dalam

Perspektif Sejarah, (Jakarta: LEKNAS-LIPI, 1976), h. 71.

41

(37)

berhasil menyatukan Divisi TRI, Divisi Rencong, Divisi Mujahidin, Divisi Teungku Chik Paya Bakong menjadi satu kesatuan.

2. Pembentukan Provinsi Sumatera Utara Pertama

Tahun 1948 terjadi perubahan dalam pemerintahan Keresidenan Aceh. Perubahan tersebut mengacu pada Undang-Undang No.10 tahun 1948 tentang peningkatan status Sub-Provinsi Sumatera Utara menjadi Provinsi Sumatera Utara. Adapun wilayah Provinsi Sumetara Utara meliputi Keresidenan Aceh, Sumatera Timur dan Tapanuli. Sebagai Gubernurnya ditunjuk Mr. S.M. Amin yang sebelumnya menjabat sebagai Sub-Gubernur Suamtera Utara. Sementara Mr. Teuku Muhammad Hasan ditunjuk sebagai Komisaris dari Komisariat Pemerintah

Pusat Sumatera.42

Pelantikan Gubernur Mr. S.M. Amin dilaksanakan oleh Presiden Soekarno di Kutaraja pada tanggal 19 Juni 1948 bertepatan dengan kunjungannya ke Aceh pada tahun yang sama, seperti yang disampaikan Muhammad TWH dalam bukunya Gubernur Pertama dan DPR Sumatera Utara Pertama:

“Upacara pelantikan di mulai pada pukul 20.00 dan dihadiri oleh pembesar-pembesar sipil dan militer, pemuka-pemuka rakyat, para alim ulama, kaum wanita dan wakil-wakil golongan bangsa Tiongoa, Arab, India, dan Pakistan. Juga hadir romobongan Presiden, Gubernur Militer Daerah Aceh, Langkat dan Tanah Karo, Residen Inspektur Tuanku Mahmud, Residen Aceh Teuku Tjhik M. Daudsyah, Sultan Siak Sjarif Kasim, Jenderal Mayor Husin Al-Mujahid, dan lain-lain.”43

Setelah pelantikan Gubernur Sumatera Utara, tanggal 1 Juli 1948 ditetapkanlah Undang-Undang Nomor 22 tahun 1948 mengenai bentuk, susunan, kekuasaan dan kewajiban Pemerintah Provinsi. Kemudian pada bulan Desember

42 Dewan Perkawakilan Rakyat Atjeh, h. 12.

43 Muhammad TWH, Gubernur Pertama dan DPR Sumatera Utara Pertama, (Medan:

Yayasan Pelestarian Fakta Perjuangan Kemerdekaan RI, 2008), h. 145. Lihat juga S.M. Amin,

(38)

1948 dilaksanakan sidang yang pertama di Tapaktuan.44 Sidang sedianya akan dilaksanakan pada tanggal 12 Desember 1948, tetapi diundur karena anggota dari Keresidenan Sumatera Timur belum datang dan akan dilaksanakan keesokan harinya. Alasan terpilihnya Tapaktuan sebagai tempat berlangsungnya sidang dikarenakan daerahnya lebih aman dari kota-kota lain, dan juga dipandang lebih

kondusif.45

Sidang berlangsung sejak 13 Desember 1948 sampai 16 Desember 1948. Suasana sidang berjalan dengan memuaskan dan menarik perhatian seluruh golongan dan lapisan masyarakat. Hanya harus disesalkan bahwa, pada rapat hari kedua, beberapa anggota menjalankan obstructie dengan meninggalkan rapat, dengan maksud supaya rapat tidak dapat berlangsung. Yang menjalankan obstructie ini adalah beberapa anggota yang bersatu dalam Ikatan Front Demokrasi Rakyat di bawah pimpinan anggota Residen Abdul Karim M.S. dari

PKI (Partai Komunis Indonesia).46

Sidang yang berlangsung sejak 13 Desember sampai dengan 16 Desember 1948 menghasilkan beberapa keputusan, pertama, penetapan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Sumatera Utara (DPRSU) yang terdiri dari 45 orang dan

menetapkan 6 anggota Badan Eksekutif,47 di antaranya:

Ketua : Mr. S.M. Amin

Anggota : Tgk. M. Nur El Ibrahimy

M. Yunan Nasution

44 Insider, Atjeh Sepintas Lalu, h. 44. 45

S.M. Amin, Kenang-Kenangan Dari Masa, h. 41.

46 Insider, Atjeh Sepintas Lalu, h. 45.

47 Nama-nama yang menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Sumatera Utara

(DPRSU) selengkapnya lihat, Sutan Muhammad Amin, Mr. S.M Amin Krueng Raba Nasution

(39)

Yahya Siregar

Amelz

Melanton Siregar

Perlu diterangkan, bahwa dari sejumlah 45 anggota tersebut, yang hadir hanya 29 anggota. Mereka ini sejumlah 45 anggota mewakili partai-partai Masyumi, Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Partai Sosialis Indonesia (PSI), Partai Nasional Indonesia (PNI), SOBSI, Partai Komunis Indonesia (PKI), Pesindo, Parkindo, dan Barisan Tani Indonesia. Kedua, penetapan bahwa Kutaraja

menjadi ibukota Suamtera Utara.48 Inilah beberapa keputusan, yang diambil dalam

sidang Dewan Perwakilan Rakyat Sumatera Utara di Tapaktuan.

Sidang Dewan Perwakilan Sumatera Utara berakhir pada 16 Desember. Anggota-anggota berpisah satu sama lain dengan tekad, menumpahkan tenaga dan semangat dan fikiran sepenuhnya terhadap keputusan-keputusan yang telah disepakati guna melangkah kearah pemerintahan yang sempurna.

3. Pembentukan Provinsi Aceh Pertama

Provinsi Sumatera Utara yang pertama tidak bertahan lama, hanya 5 bulan bila dihitung sejak pelantikan DPRSU (Dewan Perwakilan Rakyat Sumatera Utara), atau 11 bulan sejak pelantikan Gubernur Mr. S.M. Amin. Hal ini dikarekan kekacauan oleh serangan-serangan pihak Belanda yang cukup agresif untuk merebut kembali kekuasaan di Indonesia. Dengan cepat Belanda melakukan penyerangan terhadap ibu kota Provinsi Sumatera Utara Kutaraja, dan kota-kota lainnya yang berada di pantai laut sebelah utara, maupun disebelah timur dan barat. Presiden dan Wakil Presiden Soekarno-Hatta berserta sejumlah Menteri dan

48 Sebelumnya Komisaris negara telah menetapkan sibolga sebagai ibukota sementara

untuk provinsi Sumatera Utara, karena tidak ada persuaian pendapat maka Kutaraja menjadi ibukota Provinsi Sumatera Utara. Lihat Insider, Atjeh Sepintas Lalu, h. 44.

(40)

pembesar lainnya ditawan oleh Belanda di pulau Bangka. Suatu hal yang sangat membahayakan karena Belanda sangat lihai menyiarkan ke seluruh pelosok dunia, bahwa “Republik Indonesia tidak ada lagi, gerakan kemerdekaan Indonesia telah

dapat dibasmi”.49

Keadaan yang demikian gawat harus segera diatasi. Pada saat itu Mr. Syafruddin Prawiranegara bertindak dengan cepat dan tepat. Bersama dengan beberapa teman-temannya dengan izin Presiden Soekarno membentuk suatu pemerintahan baru yang lebih dikenal dengan Pemrintahan Darurat Republik

Indenesia (PDRI) yang berkedudukan di Sumatera Barat.50 Sesuai dengan situasi

negara yang sedang bergejolak Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) menetaptan tiga hal penting, pertama keputusan Pemerintah Darurat Republik Indonesia No.21/Pem/PDRI tanggal 16 Mei 1949, menetapkan bahwa segala alat-alat kekuasan sipil dan militer dalam tiap-tiap Daerah Militer Istimewa dipusatkan dalam satu tangan yakni Gubernur Militer, dan menetapkan Provinsi Sumatera Utara menjadi dua Daerah Militer. kedua, keputusan Pemerintah Darurat Republik Indonesia No. 22/Pem/PDRI tanggal 17 Mei 1949 ditetapkan jabatan Gubernur Sumatera Utara ditiadakan; Gubernur dijadikan sebagai Komisaris dan memberikan tugas yang bersifat pengawasan dan tuntutan atas alat-alat

pemerintahan, baik sipil, maupun militer.51

49

S.M. Amin, Kenang-Kenangan Dari Masa Lampau, h. 98.

50 Pemerintah Darurat Republik Indonesia terbentuk sejak 22 Desember 1948 di rumah

mantan administratur Perkebunan The di Halaban, Payakumbuh Sumatera Barat, Selengkapnya lihat, JR. Chaniago, PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) Dalam Khasanah Kearsipan, (Jakarta: Arsip Nasional, 1989), h. 9.

51 Mr. S.M. Amin, Sekitar Peristiwa Berdarah di Aceh, (Jakarta: Soeroengan, 1957), h.

27. Lihat juga, Abdullah Sani Usman, Krisis Legitimasi Politik Dalam Sejarah Pemerintahan di

Aceh, (Jakarta: Kementerian Agama RI Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Lektur Keagamaan,

(41)

Atas keputusan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI), pada tanggal 15 September 1949 terbagilah Daerah Sumatera Utara ke dalam dua Daerah Militer Istimewa yaitu:

1. Daerah Militer Istimewa Langkat dan Tanah Karo sebagai Gubernur Militernya Tgk. Muhammad Daud Beureueh.

2. Daerah Militer Istimewa Tapanuli dan Sumatera Timur, Selatan sebagai

Gubernur Militernya dr. F.L Tobing.52

Perjuangan untuk merebut kembali kedaulatan yang diambil oleh Belanda, bukan saja dilakukan dengan menggerakkan senjata semata, akan tetapi perjuangan memperoleh kedaulatan atas tanah air juga dilakukan dengan cara diplomasi melalui perundingan Konferensi Meja Bundar (KMB) yang dilangsungkan di Den Haag pada tanggal 23 Agustus sampai dengan 27 Desember 1949 dengan hasil kemenangan Indonesia serta pengakuan dan penyerahan kedaulatan oleh Belanda kepada bangsa Indonesia. Kabar gembira ini juga di terima oleh seluruh rakyat yang berada di Kutaraja.

Sepuluh hari sebelum penyerehan kedaulatan Indonesia, Wakil Perdana Menteri Sjafruddin Prawiranegera telah menetapkan peraturan penggatin Presiden No.8/Des/WKPM Tahun 1949 tentang pembentukan Provinsi Aceh dan Provinsi Tapanuli Sumatera Timur. Keputusan ini dibuat karena jasa serta kesetiaan rakyat Aceh dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan dari awal sampai berlangsungnya Konferensi Meja Bundar (KMB). Adapun rincian peratutan penggatin Presiden No.8/Des/WKPM Tahun 1948 adalah:

52

(42)

a. Menghapuskan Keresidenan Atjeh dari Provinsi Sumatera Utara dan membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah keresidenan tersebut. b. Menghapuskan Provinsi Sumatera Utara dan membubarkan Daerah

Perwakilan Rakyat Provinsi Sumatera Utara.

c. Menghapuskan Keputusan-Keputusan Pemerintah Darurat Republik Indonesia tanggal Juni 1949 No.21/Pem/PDRI dan tanggal 17 Mei 1949 No.24/PDRI.

d. Menetapkan Peraturan Wakil Perdana Menteri pengganti Peraturan

Pemerintah tentang pembentukan Provinsi Aceh.53

Atas ketetapan peraturan Wakil P.M. Syafruddin Prawiranegara tersebut, maka dalam waktu dekat yaitu pada tanggal 30 Januari 1950 diresmikanlah pembentukan Provinsi Aceh dengan Tgk. M. Daud Beureueh sebagai Gubernur

Aceh dan R. Marjono Danubroto sebagai Sekretaris Daerah.54 Sementara untuk

Gubernur Tapanuli Sumatera Timur diangkat dr. Firdinan Lumbang Tobing. Setelah penetapan pembentukan Provinsi Aceh, pemerintahan daerah Provinsi Aceh mengadakan pemilihan anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) di Kutaraja. Adapun mereka yang terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) berjumlah 27 orang, di antaranya:

“Tgk. M. Nur El Ibrahimy, 2. Tgk. Abdul Wahab Seulimum, 3. Abdul Gani (Ayah Gani), 4. A.R. Hasyim, 5. A.R. Hajat, 6. Ismail Usman, 7. Hasan Ali, 8. O.K. H. Salamuddin, 9. Tgk. Ismail Yakub, 10. Usman Aziz, 11. A. Ghafur Akhir, 12. Ismail Thaib, 13. Tgk. Hasan Hanifah, 14. T. Muhammad Amin, 15. Tgk. Abdul Hamid, 16. Zaini Bakri, 17. Banta Cut, 18. Tgk Zamzami Yahya, 19. Ibrahim Abduh, 20. H.A. Halim Hasan, 21. Mahyuddin Yusuf, 22. Mawardi Nur, 23. Tgk. H. Ali Balwi, 24. Bachtiar Junus, 25. N.D Pane, 26. Karim Yusuf, 27. Lim Hong Moh.”55

53 Dewan Perwakilan Rakyat Aceh, h. 14.

54 A. Hasjmy, Semangat Merdeka 70: Tahun Menempuh Pergolakan, h. 397. 55

(43)

Seterusnya diadakan pemilihan Ketua dan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan hasil pemilihan, Tgk. Abdul Wahab Seulimum menjadi Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Aceh dan A.R Hajat sebagai Wakil Ketua. Sementara itu pemerintahan sehari-hari dari Provinsi Aceh dijalankan oleh Badan Eksekutif yang diketuai oleh Gubernur Aceh Tgk. Muhammad Daud Beureueh beserta anggotanya yang terdiri dari:

1. Teuku Muhammad Amin (Kepala Pemerintahan Umum dulu) 2. Abdul Gani Usman (Ayah Gani)

3. M. Nur El Ibrahimy 4. Amelz

5. Ali Hasjmy56

Provinsi Aceh berjalan dengan baik, tugas-tugas pemerintahan dilaksanakan dengan memuaskan. Tiba-tiba dalam bulan Maret 1950, sewaktu Provinsi Aceh masih berjalan 3 bulan terdengar kabar tentang sebagian anggota perlemen yang tidak setuju dengan pembentukan Provinsi Aceh. Kabar ini menimbulkan kekecewaan besar golongan masyarakat yang ingin memperjuangkan Provinsi sendiri, sebaliknya kabar ini dianggap menguntungkan bagi golongan yang anti Provinsi Aceh yang senantiasa memperjuangankan agar Provinsi Aceh dileburkan kembali kedalam Provinsi Sumatera Utara.

B. Sebab-Sebab Terjadinya Pemberontakan Darul Islam Aceh 1. Akibat Provinsi Aceh Dihapus

Pengangkatan Tgk. M. Daud Beureueh sebagai Gubernur Aceh nampaknya diterima dengan dingin oleh masyarakat. Dua atau tiga hari sesudah

56 Dewan Perwakilan Rakyat Aceh, h. 15. Sedangkan di dalam sumber lain, saudara Ali

Hasjmy tidak bersedia dan digantikan oleh Ismail Usman. Lihat, Ali Hasjmy, Semangat Merdeka

(44)

pengangkatan itu, atas undangan Hadji Zainuddin (Sekretaris Gabungan Saudagar Indonesia Aceh atau Gesida) diadakan rapat untuk membentuk panitia upacara peresmian pengangkatan Gubernur Tgk. M. Daud Beureueh pada tanggal 30 Januari 1950. Tetapi rapat tidak dapat berlangsung karena kekurangan minat dari

rakyat.57Selain itu, upacara peresmian Provinsi Aceh pertama yang dilaksanakan

pada tanggal 30 Januari 1950, tidak dihadiri oleh Menteri Dalam Negeri atau wakilnya yang ketika itu sedang berada di Yogkakarta. Ketidak hadiran pejabat pemerintah pusat dalam upacara peresmian Provinsi Aceh menuai beberapa pendapat. Menteri Dalam Negeri, Susanto Tirtoprojo telah berunding dengan anggota-anggota perlemen tentang pembentukan Provinsi Aceh yang menyatakan sebagian dari anggota perlemen tidak menyetujui pembentukan Provinsi Aceh, karena melanggar perjanjian dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) yang pada saat itu wilayah Indonesia hanya bisa dibagi menjadi 9 Provinsi dan satu daerah Istimewa Jogyakarta.

Pemerintah Pusat membentuk panitia yang diketuai oleh Menteri Dalam Negeri Mr. Susanto Tirtorpojo untuk mengkaji ulang mengenai provinsi-provinsi yang ada di Sumatera, termasuk Propinsi Aceh. Pada awal bulan Maret 1950, Menteri Dalam Negeri Mr. Susanto Tirtoprodjo beserta rombongan berkunjung ke Kutaraja untuk melakukan pertemuan dengan pemimpin-pemimpin Aceh. Dalam pertemuan antara Menteri Dalam Negeri dengan pemimpin-pemimpin Aceh, yang dihadiri oleh Gubernur Aceh Tgk. Muhammad Daud Beureueh, Ketua DPR Provinsi Aceh Tgk. Abdul Wahab, Ketua DPR Kabupaten Aceh Besar Zainy Bakry, dan Abdul Gani. Pada kesempatan itu Menteri Dalam Negeri mengatakan,

57

(45)

bahwa pemerintah pusat belum menetapkan adanya Provinsi Aceh. Oleh karena itu panitia akan mengumpulkan bahan guna dijadikan pertimbangan untuk

menarik kesimpulan perlu tidaknya diadakan Provinsi Aceh.58 Atas keterangan

Menteri Dalam Negeri itu, maka Gubernur Aceh, Ketua DPR Aceh dan beberapa anggota DPR Aceh menolak tawaran dari Menteri Dalam Negeri Mr. Susanto Tirtorpojo dan tetap menginginkan Aceh tetap berstatus sabagai Provinsi yang

berdiri sendiri.59

Sejak pertemuan Menteri Dalam Negeri dengan pemerintah daerah Aceh, belum ada tanda-tanda mengenai keputusan dari pemerintah pusat tentang persoalan Provinsi Aceh. Keinginan rakyat Aceh yang tulus akan Provinsi otonomi bagi Aceh sendiri yang disampaikan kepada pemerintah belum ditanggapi hampir 5 bulan proses itu berjalan. Akhirnya pada tanggal 12 Agustus 1950, Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi Aceh mengadakan sidang dan mengeluarkan mosi tuntutan kepada pemerintah pusat, menuntut agar tetap diberikan status provinsi sendiri, karena rakyat Aceh merasa sangat tertinggal jauh

dari rekan-rekan mereka dalam Provinsi Sumatara Utara.60 Dalam mosi yang

sangat panjang tersebut juga mengemukakan beberapa pertimbangan yang berkaitan dengan unsur pengetahuan, Ekonomi, Geografi, Sosiologi, Agama,

Kebudayaan, dan Politik.61 berikut uraian singkat mosi tersebut:

“Aceh berlainan kepentingan dengan Sumatera Timur dan Tapanuli, berlainan adat istiadat, berlainan agama dengan Tapanuli Utara. Hal-hal ini dapat menimbulkan masalah-masalah

58

Mr. S.M. Amin, Sekitar Peristiwa Berdarah, h. 29.

59 Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan, Sejarah Revolusi Kemerdekaan Daerah

Istimewa Aceh, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Inventarisasi dan

Dokumentasi Kebudayaan Daerah, 1983), h. 115.

60

Nazaruddin Sjamsuddin, Pemberontakan Kaum Republik: Kasus Darul Islam Aceh, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1990), hal 43.

61 Daud Remantan, “Pembaharuan Pemikiran Islam di Aceh (1914-1953),” (Disertasi S3

Fakultas Pasca Sarjana, Universitas Islam Negeri Jakarta 1985), h. 107. Amien,

Referensi

Dokumen terkait

Sebagai suatu ideologi bangsa dan negara Indonesia maka Pancasila pada hakikatnya bukan hanya merupakan suatu hasil perenungan dan pemikiran seseorang atau kelompok orang

Dalam penelitian ini tidak akan dibahas semua faktor yang mempengaruhi keputusan struktur modal perusahaan karena penelitian ini merupakan replikasi dari penelitian

Perbedaan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa antara siswa yang belajar menggunakan media pembelajaran berbasis Android dan siswa pada kelas konvensional ditinjau

Stadium trofozoit dan skizon juga menjadi lebih kecil dibandingkan kontrol negatif namun kondisi ini kemungkinan disebabkan proporsi stadium sebelumnya memang lebih

Teknik analisis data dilakukan dengan model analisis interaktif yang mencakup tiga komponen utama, yaitu reduksi data ( data reduction ), penyajian data ( data

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan diperoleh bahwa faktor persepsi investasi hubungan, perlakuan istimewa, komunikasi interpersonal dan penghargaan

Salah satu manfaat jahe merah adalah untuk mengatasi rematik karena jahe memiliki kandungan enzim siklo- oksigenase yang dapat mengurangi peradangan

Rata-rata hampir setiap hari kurang lebih 5 orang pasien yang mengalami flebitis,vhal tersebut terjadi diakibatkan banyak faktor yang mempengaruhi terjadi flebitis