• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyelesain Kasus Konflik Darul Islam Melalui Missi Hardi

ALI HASJMY DAN PENYELESAIAN KASUS DARUL ISLAM ACEH

C. Penyelesain Kasus Konflik Darul Islam Melalui Missi Hardi

Pemerintah daerah ikut berperan dalam mendorong lahirnya Dewan Revolusi, oleh karena itu mereka menyambut dengan antusias tindakan Hasan Saleh dan A. Gani Usman. Esok hari KDMA Syamaun Gaharu mengeluarkan sebuah seruan yang berisikan pujian terhadap Dewan Revolusi yang menginginkan penyelesaian keamanan di Daerah Aceh sesuai dengan prinsip Ikrar Lamteh dan Konsepsi Prinsipil dan Bijaksana. Dalam seruan itu juga Syamaun Gaharu mengecam pendirian Tgk. M. Daud Beureueh yang tetap menghendaki

penyelesaian masalah dengan caranya sendiri.250

248

Mengenai proses pengambilan kekuasan Darul Islam, selengakpanya lihat Hasan Saleh, Mengapa Aceh Bergolak, h. 356. Lihat juga, “Hasan Saleh Cs Ambil Alih Pimp DI-TII Dari Tgk. Mohd. Daud Beureueh,” Peristiwa, 22 Maret 1959, h. 1. Lihat juga, “Dgn Diambil Alih Pimpinan DI TII Oleh Hasan Saleh Cs Apakah Atjeh Bisa Aman Atau Tidak,” Peristiwa, 2 April 1959, h. 1.

249 M. Nur Ibrahimy, Teungku Muhammad Daud Beureueh Peranan Dalam Pergolakan

di Aceh, (Jakarta: Gunung Angung, 1982), h. 166.

250 Lebih jelas lihat seruan yang dikeluarkan dan ditandatangani oleh Syamaun Gaharu tanggal 16 Maret 1959 dalam Dari Darul Harb ke Darussalam Jilid II

Pada tanggal 26 Maret 1959, keluar Komunike No. 2 dari Dewan Revolusi yang menyatakan Dewan Revolusi NBA/NII akan meneruskan permusyawaratan dengan Pemerintah Republik Indonesia serta akan menjadikan musyawarah ini

sebagai prinsip bukan taktik.251 Sejalan dengan pernyataan Komunike No. 2,

Dewan Revolusi juga mengirim surat kepada Pemerintah Pusat untuk melakukan perundingan resmi. Surat itu bertanggal 21 April 1959. Korespondensi juga dilakukan oleh Gubernur Ali Hasjmy dengan mengirim surat kepada Perdana Menteri Juanda agar pemerintah Pusat mengirim utusan untuk berunding dengan

Dewan Revolusi.252

Awal Mei 1959 Perdana Menteri Djuanda mengudang Ali Hasjmy dan Syamaun Gaharu dalam suatu sidang istimewa kabinet guna menyampaikan pendapat mereka. Kedua tokoh Pemerintah Daerah (Ali Hasjmy-Syamaun Gaharu) juga menegaskan bahwa kasus konflik Darul Islam akan dapat diselesaikan atas dasar Ikrar Lamteh. Kemudian kabinet setuju untuk mengadakan perundingan resmi dengan Dewan Revolusi. Dalam hal perundingan, kabinet merencanakan untuk mengirim suatu missi pemerintah di bawah pimpinan Wakil

Perdana Menteri I Mr. Hardi (dari PNI) ke Aceh.253 Missi ini lebih dikenal dengan

sebutan Missi Hardi.

251

Maksud dari “prinsip bukan taktik” adalah bermusyawarah memperbincangkan semua soal melalui diplomasi, dan bukan diartikan dengan menyerah. Dan dengan musyawarah bukan maksud untuk mencari menang atau kalah melainkan hasil hasil muswarah kelak sebagai dari cita-cita kedua belah pihak. Jadi inilah yang dinamakan perdamaian. Adanya persatuan dan kembali bersatu sebagai hasil musyawarah kelak, bukanlah sama sekali penyerahan atau menyerah, melainkan kewajiban kita untuk damai dan bersatu selanjutnya untuk melanjutkan revolusi 17 Agustus tahun 1945, yang sudah pernah menjadi kewajiban suci kita umat Islam di daerah Aceh masa yang lalu. Lihat Pernyataan Wali Negara NBA-NII Aceh Besar, 26 Maret 1959, Komunike Dewan Revolusi No,2.

252 Lebih jelas lihat Surat Ali Hasjmy kepada Perdana Menteri RI Juanda dalam Dari

Darul Harb ke Darussalam

253 Dalam menentukan siapa yang akan memimpin missi pemerintah ke Aceh A. Hasjmy menyarankan kepada Perdana Menteri Djuanda agar yang memimpin missi itu sebaiknnya Wakil

Perdana Menteri Djuanda juga meminta Gubernur Ali Hasjmy dan KDMA Syamaun Gaharu agar bertemu dengan Presiden untuk meminta persetujuannya. Pada hari Selasa awal bulan Mei 1959, Gubernur Ali Hasjmy dan Komandan Daerah Militer Aceh Syamaun Gaharu menghadap Presiden Soekarno di Istana Merdeka. Di dalam Istana Merdeka Presiden di dampingi oleh PM Djuanda, Kepada Staf Angkatan Darat Kolonel Nasution, Kepala Staf Angkatan Laut Subijakto dan Kepala Staf Angkatan Udara Kolo Udara Surjadarma. Kemudian Gubernur Ali Hasjmy dan Komandan Daerah Militer Aceh (KDMA), berpidato memberi penjelasan yang mana penjelasan kedua pejabat tersebut diterima baik oleh Perdana Menteri Djuanda, dan Kepala Staf Angkatan Darat Kolonel Nasution. Kepala Staf Angkatan Laut Soebijakto menolak, dengan alasan bahwa Angkatan Laut cukup kuat untuk menghancurkan pemberontakan Darul Islam di Aceh. Kepala Staf Angkatan Udara bersikap moderat dengan menyatakan dalam menyelesaikan peristiwa Aceh perlu dicarikan jalan yang paling baik. Akhirnya Perdana Menteri Juanda member tanggapan panjang lebar dengan bahasa yang halus mengatakan

“…Kalau rakyat Aceh kini ibarat seorang anak nakal, bapaknya tidak harus memukul anak itu. Selama ada jalan bagi anak nakal menjadi baik kembali haruslah kita pergunakan jalan itu. Kelihatannya jalan itu ada dan alangkah tidak bijaksananya seorang ayah tidak pandai menggunakan jalan itu.”254

Akhirnya Presiden Sukarno memutuskan, bahwa keamanan Aceh akan diselesaikan dengan cara damai, serta mendukung Mr. Hardi untuk menjalankan

Missi perdamaian ke Aceh.255

Perdana Menteri I Mr. Hardi. Selengkapnya lihat A. Hasjmy, Semangat Merdeka 70 Tahun, h. 515.

254 A. Hasjmy, dkk., 50 Tahun Aceh Membangun, (Banda Aceh: MUI, 1995), h. 143.

255 T. Alibasyah Talsya, 10 Tahun Daerah Istimewa Aceh, h. 16. M. Isa Sulaiman,

Pada tanggal 23 Mei 1959 Wakil Perdana Menteri I Mr. Hardi beserta rombongan tiba di Kutaraja. Kedatangan Wakil Perdana Menteri (WKPM) Mr. Hardi disambut dengan baik Gubernur Ali Hasjmy, Letnan Komandan Teuku Hamzah, instansi-instansi sipil dan militer serta wartawan-wartawan di ibukota. Dalam rombongan delegasi pemerintah hadir Mr. Soegianto (Pembantu Wakil Perdana Menteri I), Achmad (Biro Keamanan Pusat), Kolonel Soeprajogi (Menteri Negara Urusan Stabilisasi Ekonomi), Major Kaswati (Pembantu MBAD), Jenderal Mayor Gatot Subroto (Wakil KSAD), dan Wilujo (MBAD

Pusat Overste).256

Pertemuan antara Missi Hardi dengan Dewan Revolusi berlangsung di Aula Penguasa Perang Daerah (Peperda) Aceh pada tanggal 25 sampai dengan tanggal 26 Mei 1959. Pada sidang pertama yang berlangsung pada tanggal 25 Mei 1959 ada tiga pembicara, yaitu (1) kata sambutan oleh Gubernur/Kepala Daerah Aceh, (2) pidato sambutan pertama Abdul Gani Usman, selaku Ketua Dewan Revolusi, dan (3) Uraian mengenai kebijaksanaan Pemerintah Pusat oleh Ketua Missi Pemerintah Pusat. Adapun pokok pokok pikiran yang dituangkan dalam pidato pembukaan Gubernur Ali Hasjmy adalah sebagai berikut:

1. Kedatangan Missi Wakil Perdana Menteri I kedaerah Aceh ialah sebagai tindak lanjut dari Ikrar Lamteh yang terjadi pada tanggal 7 April 1957. 2. Kedatangan Missi Hardi kedaerah Aceh ialah untuk kepentingan daerah

dan rakyat Aceh.

3. Bahwa bangsa Indonesia pada umumnya, dan satu setengah juta rakyat Aceh khususnya, mengarahkan mata dan telinganya ke Banda Aceh,

256 “Kedatangan Pemerintah Pusat Adalah Dengan Suatu Tugas Khusus,” Peristiwa, 27 Mei 1959, h. 1.

dengan harapan agar musyawarah menghasilkan sukses, hingga membuka kemungkinan datangnya zaman yang membawah kerukunan,

perdamaian, ketenteraman, dan kemajuan bagirakyat Aceh.257

Sesudah Gubernur Ali Hasjmy yang bertindak sebagai tuan rumah secara resmi membuka perundingan, maka pada kesempatan yang sama ketua Dewan Revolusi, Abdul Gani Usman menyampaikan pidato yang bertajuk pada prinsip-prinsip Naskah Perdamaian Darussalam yang membentangkan cita-cita perjuangan Darul Islam Aceh dan usul-usulnya untuk dibahas dalam musyawarah. Kata sambutan terakhir disampaikan oleh Ketua Missi Pemerintahan Pusat, Mr. Hardi Ia menyampaikan sebuah pidato yang sangat penting, dalam pidatonya beliau menampilkan kemungkinan-kemungkinan yang dapat diberikan dalam

rangka menyelesaikan pemberontkan Darul Islam dengan cara damai.258

Acara pembukaan yang berlangsung di antara kedua belah pihak berjalan dengan baik dan lancar, namun ketika mulai memasuki pembahasan inti, keadaan berubah menjadi alot dan tegang, hal ini disebabkan tuntutan-tuntutan dari pihak

Dewan Revolusi yang mengarah kepada Naskah Perdamaian Darussalam259 yang

cukup luas dan mendasar dan tidak mungkin akan terselesaikan dalam waktu yang singkat oleh Missi Hardi. Di samping itu para pemimpin Dewan Revolusi mengusulkan agar Aceh mempunyai semua kekuasaan, kecuali dalam urusan luar

257 Mengenai isi pidato Gubernur Ali Hasjmy, Ayah Gani Usman, dan Wakil Perdana Menteri I Mr. Hardi lihat Hasil Perkundjungan Missi Pemerintah Pusat dpb Wk. P.M. I Mr. Hardi

Tanggal 25 dan 26 Mei 1959 di Kutaradja. h, 5-23. Lihat juga Hardi, Daerah Istimewa Aceh: Latar Belakang Politik dan Masa Depannya, (Jakarta: Cita PancaSerangkai, 1993) h. 163.

258 Hardi, Daerah Istimewa Aceh, h. 12. Lihat juga Hasil Perkundjungan Missi

Pemerintah Pusat dpb Wk. P.M. I Mr. Hardi Tanggal 25 dan 26 Mei 1959 di Kutaradja. h, 5-23.

259 Naskah Prinsip-Prinsip Perdamian Darussalam dibuat pada 10 Mei 1959 dan ditandatangani oleh Abdul Gani Usman dan A.G. Mutyara. Naskah itu terdiri dari 12 butir dan tebalnya 20 halaman. Naskah Perdamaian Darussalan berisi tentang prinsip-prinsip dan tuntutan yang diajukan kepada Wakil Perdana Menteri I Mr Hardi dalam perundingan yang terjadi di Aceh. Lihat selengkapnya Hasil Perkundjungan Missi Pemerintah Pusat dpb Wk. P.M. I Mr. Hardi

negeri, pertahanan, dan keuangan. Sebagai tambahan, mereka mengaitkan otonomi yang demikian luas itu dengan prinsip kebebasan beragama yang menegaskan pelaksanaan syariat Islam di Aceh. Mereka juga menuntut, amnesti dan abolusi yang ditawarkan Pemerintah Pusat kepada Darul Islam harus

dilengkapi dengan rehabilitasi kepada anak buah mereka.260 Kerumitan yang

terjadi dalam perundingan itu hampir mengalami kegagalan.

Dalam hal ini Wakil Perdana Menteri Hardi menolak tuntutan itu, karena tidak mungkin menerima tuntutan Dewan Revolusi yang menginginkan Aceh berstatus Daerah Istimewa yang bersifat federal. Mr. Hardi mengatakan kepada Dewan Revolusi bahwa pemerintah akan memberikan status otonomi khusus dalam bidang keagamaan, pendidikan, adat dan hukum tapi bukan status Daerah Istimewa yang bersifat federal. Namun, Dewan Revolusi tidak bersedia melepaskan tuntutan mereka. Kerumitan yang terjadi dalam perundingan itu hampir mengalami kegagalan.

Suasana yang tegang dalam perundingan tersebut membuat Ali Hasjmy selaku pimpinan Musyawarah mengistirahatkan majelis dan memberi kesempatan kepada Delegasi Dewan Revolusi untuk memikirkan kembali tuntutan meraka. Pada waktu istirahat para anggota Dewan Revolusi mengadakan pembicaraan khusus di ruangan lain dengan Wakil Perdana Menteri Mr. Hardi. Adapun isi pembicaraan itu sebagaimana yang dikisahkan oleh Hasan Saleh dalam bukunya Mengapa Aceh Bergejolak, Mr. Hardi menanyakan:

“Apa yang menyebabkan kami bersikeras menuntut daerah istimewa untuk Aceh. Kemudian saya menjawab Pak Juanda sebagai PM, maupun Pak Nasution sebagai KSAD, membenarkan kami untuk menuntut sesuatu yang tidak bertentangan dengan konstitusi RI.

260 Nazaruddin Sjamsuddin, Pemberontakan Kaum Republik, h. 310. Lihat “Prinsip-Prinsip Naskah Perdamaian Darussalam” dalam Hasil Perkundjungan Missi Pemerintah Pusat dpb

Kedua, beberapa hari yang lalu kami menerima tembusan surat KSAD kepada PM Juanda, yang isinya meminta kabinet untuk mempertimbangkan status daerah istimewa untuk Aceh. Yang ketiga, kata saya selanjutnya, status daerah istimewa ini juga dikenal dalam negara RI, yaitu untuk Daerah Yogyakarta. Keempat, kami yakin bahwa dengan tiga keistimewaan yang kami tuntut, Aceh akan dapat mengejar ketinggalannya selama ini, akibat perang yang terus-menerus, baik selama melawan Belanda dulu, maupun karena pemberontakan sekarang ini.261

Pada malam hari tanggal 25 Mei 1959 permusyawaratan dilanjutkan terus, tanpa ada tanda-tanda akan berhasil, sehingga sidang perundingan antara kedua belah pihak ditutup dengan tidak mencapai kata apapun dan musyawarah akan dilanjutkan besok pagi jam 11.30.

Kebuntuan yang terjadi di saat perundingan memberikan kesempatan kepada para penguasa Aceh atau lokal untuk memainkan peranan yang lebih penting dalam perundingan tersebut. Sejalan dengan itu, Mr. Hardi merasa yakin bahwa perantara penguasa lokal diperlukan dalam melunakkan sikap Dewan Revolusi. Pada saat itulah Gubernur Ali Hasjmy sebagai Kepala Daerah Provinsi Aceh ikut campur tangan dalam hal ini. Sepanjang malam Gubernur Ali Hasjmy dan Kepala Staf Kodam I Letkol T. Hamzah memanfaatkan pengaruh Bupati Aceh Besar Zaini Bakri untuk membujuk para pemimpin Dewan Revolusi. Ia mendesak mereka agar bersikap moderat dan menerima kompromi yang telah

disetujui Perdana Menteri Hardi.262 Upaya dan usaha yang dilakukan Zaini Bakri

akhirnya berhasil. Menjelang subuh tanggal 26 Mei Dewan Revolusi setuju untuk

berkompromi dengan Missi Pemerintah.263

Perundingan terakhir antara Delegasi Pemerintah Pusat dengan Dewan Revolusi pada 26 Mei 1959 mencapai beberapa kesepakatan, di antaranya, pertama penyatuan diri Dewan Revolusi ke dalam Republik Indonesia untuk

261 Hasan Saleh, Mengapa Aceh Bergolak, h. 361.

262 Nazaruddin Sjamsuddin, Pemberontakan Kaum Republik, h. 312. Lihat juga A. Hasjmy, Semangat Merdeka 70 Tahun Menempuh Pergolakan, h. 521.

263

melanjutkan Revolusi Nasional tahun 1945. Kedua, berkompromi dengan pengertian bahwa kedua belah pihak harus mencari kemungkinan untuk selanjutnya membicarakan masalah-masalah yang belum diselesaikan. Ketiga meleburkan organisasi NBA (Negara Bagian Aceh) sipil dan militer ke dalam

tubuh Pemerintah Republik Indonesia.264 Setelah itu Wakil Perdana Menteri Mr.

Hardi mengeluarkaan keputusan Perdana Menteri RI No. 1/Missi/1959 tanggal 26 Mei tentang perubahan Daerah Swantantra Tingakat I Aceh menjadi Daerah Istimewa dengan otonomi seluas-luasnya terutama dalam hal keagamaan, adat dan

hukum, serta pendidikan.265

Hasil perundingan tersebut dapat dilihat sebagai suatu kemenangan bagi pihak Aceh, walaupun pemerintah pusat tidak mengabulkan semua tuntutan Dewan Revolusi. Tetapi yang lebih penting bagi para pemimpin Dewan Revolusi adalah bahwa hasil perundingan itu sangat tidak mempermalukan mereka, sebab ini merupakan prestasi yang harus dihargai oleh rakyat. Meskipun misi pemerintah pusat menolak konsep otonomi luas mereka, pada kenyataannya mereka telah memperoleh sebagian besar dari apa yang mereka tuntut, baik secara

tertutup maupun terbuka, termasuk pelaksanaan syariat Islam di Aceh.266

Keesokan harinya Gubernur Ali Hasjmy dan Komando Daerah Militer Aceh Teuku Hamzah mengeluarkan pernyataan bersama yang mengandung 11 butir kronologis perundingan dan keputusan yang diambil, yang kemudian

264 Lihat Surat Pernyataan Dewan Revolusi, Gerakan Repolusioner Islam Atjeh bertanggal Aceh Darussalam, 26 Mei 1959 dalam Dari Darul Harb ke Darussalam Jilid II.

265 Mengenai surat keptusan Perdana Menteri Republik Indonesia tentang status Daerah Istimewa Aceh lihat Hasil Perkundjungan Missi Pemerintah Pusat dpb Wk. P.M. I Mr. Hardi

Tanggal 25 dan 26 Mei 1959 di Kutaradja. h, 67.

266

disebarluaskan kepada masyarakat.267 Untuk merealisasikan keputusan itu Gubernur Ali Hasjmy melakukan pidato melalui radio yang ditujukan kepada lawan-lawan politiknya agar semua gerombolan turun gunung untuk ikut gabung dalam merealisasikan keputusan tersebut.

Pada tanggal 30 Mei Gubernur Ali Hasjmy berpidato dengan judul Daerah Istimewa Aceh dengan Otonomi Seluas-Luasnya, beliau menyerukan agar jangan ada yang coba-coba berdiri di atas dua perahu, jangan terpengaruh dengan bujukan orang-orang yang bersuka ria dan hidup mewah di atas penderitaan rakyat, waspada terhadap hasut fitnah yang bertujuan menimbulkan pertumpahan

darah, dan bergabung dengan pemerintah untuk mengisi momentum sejarah ini.268

Abdul Gani Usman sebagai Ketua Dewan Revolusi merasa perlu untuk memberitahukan kepada masyarakat terutama para gerombolan tentang apa yang telah Dewan Revolusi lakukan. Pidato radio pada tanggal 30 Mei diberi judul Menempuh Zaman Baru. Dalam pidato itu Abdul Gani Usman menguraikan kronologis perundingan dengan Pemerintah Pusat. Ia mengatakan bahwa apa yang dihasilkan itu merupakan fajar harapan yang harus ditindaklanjuti demi kejayaan Aceh pada masa-masa yang akan datang. Abdul Gani Usman juga menyadarkan kepada rekan-rekannya betapa kehancuran yang telah dialami oleh rakyat Aceh sejak pemberontakan meletus. Karena itu, menurutnya kita perlu menekankan perasaan, menenangkan perhitungan dan meletakkan suatu dasar yang baik lagi

kuat guna kepentingan masyarakat.269

267

Isi lengkap pernyataan Gubernur Ali Hasjmy dan Letnan Kolonel T. Hamzah lihat “Atjeh Sudah Dapat Disebut Daerah Istimewa Atjeh Dengan Isi Dasar Undang-Undang I/57 Tentang Otonomi Jang Luas,” Peristiwa, 6 Juni 1959, h. 1-6.

268 M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh Sebuah Gugatan, h. 418.

269

130 A. Kesimpulan

Dari hasil penelitian melalui literature-literatur yang ada, yang berkaitan dengan permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini yakni mengenai Kebijakan Gubernur Ali Hasjmy Terhadap Darul Islam Aceh sejak tahun 1957-1959, memetakan kronologi sejarah terbentuknya Darul Islam Aceh, serta menemukan latar belakang dan faktor penyebab terjadinya konflik di Aceh, maka dapat disimpulkan bahwa kemunculan konflik ini dapat dianalisis bahwa sebenarnya terjadi kesenjangan sosial yang sangat mencolok antara pemerintah pusat dan daerah

Konflik ini merupakan ketidakadilan yang dirasakan rakyat Aceh terhadap pemerintah pusat yang yang dirasa kurang memperhatikan kesejahteraan dan keinginan rakyat Aceh, padahal yang kita ketahui pada awal kemerdekaan Indonesia, Aceh banyak memberikan dukungan moril dan ekonomi. Rakyat Aceh di bawah pimpinan Teungku Daud Beureueh, sepakat mengumpulkan dana demi perjuangan dan berperan aktif untuk tetap menjaga keutuhan tanah air. Melihat besarnya sumbangan rakyat Aceh, Presiden Soekarno menjuluki Aceh sebagai daerah modal dan menjanjikan diterapkannya syariat Islam di Aceh. Ternyata di kemudian hari Aceh tidak diberi otonomi dengan penerapan syariat Islam seperti yang telah dijanjikan, bahkan sebaliknya Aceh kemudian dimasukkan ke dalam Provinsi Sumatra Utara dan Daud Beureueh disingkirkan dari Pemerintahan. Kekecewaan ini menghasilkan pemberontakan di tahun 1953.

Konflik yang terjadi antara Pemerintah Pusat dengan Darul Islam memakan waktu yang relatif lama, sehingga dalam menangani pergolakan di Aceh, pemerintah menetapkan pembentukan kembali Provinsi Aceh dan memilih Ali Hasjmy sebagai gubernurnya. Pengembalian status provinsi dan komando militer menghidupkan lagi harapan rakyat Aceh, dan membuat para pemimpin baru dipandang sebagai pahlawan sejati. Dari satu segi, penerimaan rakyat terhadap kepemimpinan Hasjmy serta pendekatannya dalam penyelesaian pemberontakan secara damai.

Sejalan dengan itu pemberian status otonomi saja belum mempunyai dampak yang berarti untuk menghentikan pergolakan DI/TII. Oleh karena itu melalui Gubernur Ali Hasjmy, melakukan pendekatan terhadap DI/TII agar mau berdamai dengan Republik Indonesia. Akhirnya dengan pendekatan yang dilakukan Gubernur Ali Hasjmy, kelompok DI/TII yang berhaluan moderat atau yang dikenal dengan „Dewan Revolusi‟ setuju untuk berdamai dengan emerintah pusat dengan ketentuan memberlakukan syariat Islam di Aceh sesuai dengan keputusan Perdana Menteri No. I/Missi/1959

B. Saran

1. Diharapkan kepada para pembaca kiranya dapat mengambil suri tauladan dari perjuangan para ulama Aceh dalam menyuarakan aspirasi umat Islam, serta turut pro aktif dalam menggagas perdamaian di Aceh.

2. Kajian ini ditunjukkan kepada para pemimpin, tokoh masyarakat, dan orang-orang berpengaruh lainnya, dengan melihat figur Ali Hasjmy diharapkan bisa lebih menambah rasa antusias, dan memotivasi diri dalam hal pemimpin

sebuah daerah. Serta diharapkan menjadi sosok yang berkharismatik dan tenang dalam memimpin seperti yang ditunjukkan oleh Gubernur Ali Hasjmy.

3. Penelitian ini hanya sebuah karya sederhana dan jauh dari kesempurnaan, bagi peneliti yang ingin meneruskan penelitian ini disarankan melakukan wawancara dengan pihak-pihak terkait yang masih hidup.

Daftar Pustaka

Buku

Amelia, Pidia, Gubernur Pertama dan Lahirnya Propinsi Sumatera Utara Perjuangan Mr. SM Amin Mempertahankan Republik Indonesia di Sumatera Utara dan Aceh 1945-1949 Medan: Unimed Press, 2013.

Amin, S.M., Kenang-Kenangan Dari Masa Lampau, Jakarta: Pradyana Paramita, 1984.

…….. Sekitar Peristiwa Berdarah di Aceh, Jakarta: Soeroengan, 1957.

Amin, Sutan Muhammad, Mr. S.M Amin Krueng Raba Nasution Perjalanan Hidupku Selama 10 Windu, Jakarta: Bulan Bintang, 1990.

Bahar, Saafroedin dan A.B. Tangdililing, Integrasi Nasional Teori, Masalah dan Strategi, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1996.

Basri, Hasan, “A. Hasjmy (1914-1998): Kajian Sosial-Intelektual dan Pemikirannya Tentang Politik Islam,” (Disertasi S3 Fakultas Pasca Sarjana, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2000).

…….. Teungku A. Hasjmy: Pengembang Tradisi Keilmuan dan Perekat Ulama-Umara,” dalam Tim Penyusun IAIN ar-Raniry, Ensklopedi Pemikiran Ulama Aceh, Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2004.

Boland, B.J., The Struggle of Islam In Modern Indonesia, The Hague-Martinus Nijhoff: Verhandelingen KITLV, 1971.

Burton, John, Conflict; Resolution and Prevention, New York: The Macmillan Press Ltd, 1990.

Chaniago, JR. PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) Dalam Khasanah Kearsipan, Jakarta: Arsip Nasional, 1989.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977. ……..Sejarah Revolusi Kemerdekaan Daerah Istimewa Aceh, Jakarta:

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1983.

Dijk, C. Van, Darul Islam, Sebuah Pemberontakan, (terj.), Jakarta: Grafiti Pers, 1993.

Gelanggang, A.H., Rahasia Pemberontakan Atjeh dan Kegagalan Politik Mr. S.M. Amin, Kutaraja: Pustaka Murni Hati, 1956.

Ghazaly, H.A., Biografi Prof Tgk H. Ali Hasjmy, Jakarta: Penerbit Socialia, 1978.

Hardi, Daerah Istimewa Aceh: Latar Belakang Politik dan Masa Depannya, Jakarta: Cita Panca Serangkai, 1993.

Hasjmy, A. dan Talsya, T. Alibasyah, Hari-Hari Pertama Revolusi 45 di Daerah Modal, Banda Aceh: Departemen P & K dan Masyarakat Sejarawan Indonesia, 1976.

…….. Al Manak Umum, Kutaradja: Atjeh Press Service, 1959. …….. 50 Tahun Aceh Membangun, Banda Aceh: MUI Aceh, 1995.

…….. Malam-Malam Sepi di Rumah Sakit MMC, Banda Aceh, Yayasan Pendidikan Ali Hasjmy, 1992.

…….. Pengaruh Surat Al Alaq Dalam Kehidupan Ilmiyah A. Hasjmy, Perpustakaan dan Musem Yayasan Pendidikan Ali Hasjmy, 1991.

…….. Sejarah Kebudayaan Islam di Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang, 1990. …….. Semangat Indonesia 70 Tahun Menempuh Pergolakan dan Perjuangan

…….. Ulama Aceh Mujahid Kemerdekaan dan Pembangun Tamadun Bangsa, Jakarta: Bulan Bintang, 1997.

Ibrahimy, M. Nur El, Tgk. Daud Beureueh: Peranannya Dalam Pergolakan di Aceh, Jakarta: PT Gunung Agung, 1982.

Insider, Atjeh Sepintas Lalu, Djakarta: FA Archapada.

Ismail, Badruzzaman, ed., A. Hasjmy, Aset Sejarah Masa Kini dan Masa Depan: Delapan Puluh Tahun Melalui Jalan Raya Dunia, Jakarta: Bulan Bintang, 1994.

Ismuha, Ulama Aceh Dalam Perspektif Sejarah, Jakarta: LEKNAS-LIPI, 1976. Jakobi, Tgk. A.K., Aceh Dalam Perang Mempertahankan Proklamasi