• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebijakan Kabinet Dalam Penyelesaian Konflik Darul Islam Aceh

Dalam upaya penyelesaian keamanan di Aceh, pemerintah pusat sejak awal telah memperlihatkan sikap yang sangat tegas kepada pihak pemberontak. Pemerintah telah menyatakan seluruh Aceh menjadi daerah Militaire Bijstand (Daerah Berbantuan Perang), dengan begitu pemerintah mengirim sebanyak 4 batalyon tentara dan 13 batalyon mobrig dikirim ke Aceh guna menyelesaikan keamanan. Di samping itu untuk mempertahankan operasi-operasi militer, pemerintah juga mengirimkan Angkatan Udara Republik Indonesai (AURI) untuk melancarkan serangan melalui udara.

Selain upaya militer yang dilakukan oleh pemerintah guna mengembalikan keamanan di Aceh, pemerintah juga menggunakan cara lain seperti penangkapan terhadap beberapa orang yang dicurigai terlibat dalam pemberontakan Daud Beureueh, di antaranya penangkapan terhadap saudara Ali Hasjmy, Syeh

Marhaban, dan Nyak Neh Rica.134 Sejalan dengan itu Kepala Staf Angkatan Darat

(KSAD) Kolonel Bambang Sugeng menyatakan dengan tegas terkait langkah

133 C. Van Dijk, Darul Islam: Sebuah Pemberontakan, h. 302.

134 Muhammad Gade Ismail, dkk., Tantangan dan Rongrongan Terhadap Keutuhan, h. 69.

pemulihan keamanan Aceh harus diambil tindakan secara militer dalam merebut

kembali daerah yang dikuasai oleh pihak pemberontak.135 Berlainan dengan

Panglima Tentara dan Teritorium I (TT-I) Kolonel Simbolon yang menyatakan dengan tegas bahwa tidak mungkin menyelesaikan masalah Aceh dengan hanya kekerasan senjata dan menyarankan kepada atasannya jangan melakukan tindakan Staat van Oorlog en Beleg (Keadaan Darurat Perang).136

Gubernur Sumatera Utara S.M. Amin memberi keterangan terkait penyelesaian keamanan di Aceh. Menurut Amin dalam harian Sin Po, Ia menjelaskan secara tegas bahwa “…Untuk mengakhiri pemberontakan PUSA, harus diminta Militaire Bijstand (bantuan militer). Dan apakah untuk seluruh

Aceh perlu diumumkan SOB, tergantung daripada kebutuhannya…”137 Meskipun

demikian, Gubernur Amin tidak berpendapat bahwa hanya secara militer keadaan di Aceh dapat diatasi. Dalam keterangannya lebih lanjut Gubernur Amin menjelaskan “…Inisiatif dari organisasi, partai, atau perseorangan yang dengan tulus mau menggunakan pengaruhnya guna pemulihan keadaan normal di aceh,

akan disambut dengan terbuka…”138

Kebijaksanaan lain yang akan diambil oleh pemerintah dalam upaya penyelesaian kasus Darul Islam Aceh dengan pemberian bantuan 2.000.000 rupiah untuk rencana pembangunan di antaranya pembangunan jalan, irigasi, listrik dan

135 “KSAD Bersikap Tegas: Pemberontakan Atjeh Harus Ditindas Setjara Militer”, Sin

Po, 2 Oktober 1953.

136 “Kol. Simbolon Berterus Terang di Djakarta: Djangan Pakai Kekerasan Sendjata Sadja Terhadap Pemberontak dan Djuga Djangan Umumkan SOB”, Bintang Timur, 17 November 1953.

137 “Gupernur Amin: Militaire Bijstand Harus Diminta Untuk Mengachiri Pemberontakan PUSA”, Sin Po, 10 Oktober 1953.

138 “Gupernur Amin: Militaire Bijstand Harus Diminta Untuk Mengachiri Pemberontakan PUSA”, Sin Po, 10 Oktober 1953.

pendidikan. Rencana ini akan dilakukan oleh Wakil P.M. Wongsonegoro dalam

waktu enam bulan setelah pemulihan keamanan.139

Di sisi lain kebijaksanaan yang diterapkan oleh P.M. Ali Sastroamidjojo dalam operasi pemulihan keamanan di Aceh dikritik oleh sebagian anggota parlemen di antaranya Partai Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia. Kekejaman yang diinstruksikan P.M. Ali Sastroamidjojo dan perlakuan semena-mena yang dilakukan oleh unit-unit militer menjadi bahan kritikan mereka. Beberapa surat kabar terbitan Medan dan Jakarta juga mengkritik sejumlah kebijaksanaan

pemerintah.140

Kebijaksanaan yang ditempuh kabinet Ali Sastroamidjojo dengan pengiriman tentara atau mobrig secara besar-besaran ke Aceh dapat diselesaikan dengan cepat pada akhir tahun 1953 atau paling lambat pada Maret 1954, akan tetapi keyakinan P.M Ali Sastroamidjojo terkait pemulihan keamanan di Aceh meleset sampai jatuhnya kabinet Ali Sastromidjojo pada tahun 1955 upaya pemulihan keamanan di Aceh belum dapat dipulihkan.

Jatuhnya kabinet Ali Sastroamidjojo yang digantikan oleh Kabinet Burhanuddin Harahap dari partai Masyumi memberi warna tersendiri terhadap politik pada tingkat nasional. Proses yang ditempuh kabinet Burhanuddin Harahap terhadap upaya penyelesain keamanan di Aceh lebih lunak dibandingkan dengan kabinet Ali Sastroamidjojo. Beberapa tindakan yang dilakukan oleh kabinet Burhanuddin Harahap seperti, melakukan kontak dengan pihak Darul Islam Aceh pada tahun 1955. Upaya penyelesaian keamanan seperti ini mendapat dukung dari

139 Muhammad Gade Ismail, dkk., Tantangan dan Rongrongan Terhadap Keutuhan, h. 71.

140 Muhammad Gade Ismail, dkk., Tantangan dan Rongrongan Terhadap Keutuhan, h. 71.

Muhammad Hatta dan Z.A Lubis untuk melakukan perundingan kepada pihak pemberontak dalam upaya penyelesaian konflik Darul Islam.

Burhanuddin Harahap juga menyesalkan tindakan pemulihan keamanan yang diterapkan pada masa kabinet yang lalu dengan menggunakan kekerasan dan tidak mngindahkan fikiran-fikiran dari pemimpin-pemimpin suku Aceh sendiri, hal inilah yang menurut Burhanuddin penyelesaian keamanan susah ditempuh. Maka dalam hal ini kabinet Burhanuddin berpendapat, dalam menghadapi pemberontakan di Aceh, sudah tiba waktunya untuk mengambil langkah damai, dan harus benar-benar dilakukan dari hati, dengan tidak mempunyai maksud yang lain.141

Dalam proses upaya penyelesaian kemananan di Aceh. Kabinet

Burhanuddin mengirim dua utusan atau kurir yang bernama Hasballah Daud142

(anaknya Tgk. M. Daud Beureueh) dan Abdullah Arif pada tanggal 5 Juli 1955 untuk mengadakan pertemuan guna membicarakan kemungkinan untuk diadakan sebuah perundingan. Di samping itu pihak Darul Islam Aceh menghargai niat dan usaha yang dilakukan pemerintah dalam pengembalian keamanan di Aceh.

Pembicaraan kedua belah pihak memberikan harapan, pada akhir bulan September P.M. Burhanuddin Harahap secara resmi memberitahukan Gubernur S.M. Amin tentang maksud pemerintah untuk berunding dengan Daud Beureueh. Gubernur S.M Amin memulai kembali komunikasi dengan pemimpin-pemimpin

141

A.H. Gelanggang, Rahasia Pemberontakan Aceh, h. 185.

142 Keberangkatan Hasballah Daud pergi menjumpai orang tuanya untuk menyampaikan konsepsi dari Wakil Presiden Mohammad Hatta yang menyerukan agar pihak Darul Islam Aceh mengakhiri pemberontakan dan pemerintah akan berjanji untuk memberikan ampunan umum (amnesty). Lihat A.H. Gelanggang, Rahasia Pemberontakan Aceh, h. 175.

Darul Islam dengan menyurati pemimpin-pemimpin Darul Islam guna

membicarakan prosedur pemulihan keamanan.143

Surat yang dikirim oleh S.M. Amin mendapat tanggapan dari pihak pemimpin Darul Islam. Pada tanggal 14 November 1955 dalam surat yang di tanda tangani oleh Hasan Ali, pihak Darul Islam Aceh menyatakan 3 butir sikap dan 3 butir tuntutan. Pihak pemberontak sependapat mengakhiri pemberontakan melalui perundingan dengan ketentuan diadakan genjatan senjata terlebih dahulu. Mengenai tempat pertemuan mereka usulkan Montasiek di Aceh Besar atau

Keumala Pidie.144 Pihak pemberontak menginginkan perundingan secara terbuka

atau resmi dan pihak Darul Islam menginginkan daerah Aceh menjadi bagian dari

negara Islam.145

Perdana Menteri menolak tuntutan perundingan yang dimintakan oleh Darul Islam, sebab salah satu poin tuntutan Darul Islam sangat berat dikabulkan. Di sisi lain Perdana Menteri sangat berkepentingan terhadap Aceh. Karena daerah Aceh

merupakan daerah pemilihan paling banyak pendukung Masyumi.146 Penolakan

terhadap syarat perundingan antara kabinet Burhanuddin Harahap dengan pihak Darul Islam Aceh menyebabkan kekecewaan, sehingga suasana pemberontakan semakin meningkat, dan serangan terhadap tentara dan mobrig gencar dilakukan oleh pihak pemberontakan.

Masa kabinet Burhanuddin yang cukup singkat menyebabkan agenda kabinet lebih banyak tersita dalam hal pemilihan umum, demikian juga berakhirnya masa Gubernur Sumatera Utara Mr. S.M. Amin pada 28 Februari dan

143

M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh Sebuah Gugatan, h. 351.

144 M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh Sebuah Gugatan, h. 352.

145 Muhammad Gade Ismail, dkk., Tantangan dan Rongrongan Terhadap Keutuhan, h. 75.

146

digantikan oleh Komala Pontas, persoalan pemulihan keamanan di Aceh masih

tetap menjadi problem yang susah untuk diselesaikan.147

147 M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh Sebuah Gugatan Terhadap Tradisi, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1997), h. 352.

69 A. Riwayat Hidup Ali Hasjmy

Nama aslinya adalah Muhammad Ali bin Hasyim148, namun lebih dikenal

dengan Ali Hasjmy. Ia dilahirkan pada 28 Maret 1914, di Desa Lampaseh Kecamatan Montasik Kabupaten Aceh Besar. Ali Hasjmy lahir dari pasangan

Teungku Hasjim (1880-1984)149 dan Njak Buleuen. Namun sebelum kelahiran Ali

Hasjmy, pasangan suami istri (Teungku Hasjim-Nyak Buleuen) sudah mempunyai

seorang anak perempuan, namun meninggal dunia ketika masih bayi.150 Pada usia

4 tahun, Nyak Buleuen meninggal dunia ketika melahirkan adiknya. Setelah ibundanya meninggal dunia, Ali Hasjmy dibesarkan oleh neneknya yang bernama Nyak Puteh sebagai pengganti ibunya.

Ayahnya, Teungku Hasyim merupakan seorang pedagang, ia juga aktif sebagai ulama dan da‟i di kampungnya Montasiek, Aceh Besar. Ketika berakhirnya perang Aceh dengan kolonial Belanda, Teungku Hasyim diangkat menjadi pimpinan Badan Baitul Mal oleh Teungku Panglima Polem di Seulimeum. Lima tahun selepas ibunda Ali Hasjmy meninggal dunia, Teungku Hasyim menikah lagi dengan Syarifah. Pernikahan Teungku Hasyim dengan

Syarifah melahirkan tujuh orang anak.151 Sebagai anak seorang ulama, pedagang

dan pejuang dalam melawan penjajahan Belanda, semua mereka berpendidikan

148 H.A. Ghazaly, Biografi Prof. Tgk. H. Ali Hasjmy, (Jakarta: Penerbit Socialia, 1978), h. 3.

149 Teungku Hasjim mempunyai 2 orang Istri. Istri pertama mempunyai 3 orang anak di antaranya Zuriah, Ali Hasjmy, Inong Agam. Sementara Istri kedua mempunyai 7 orang anak. Lihat A. Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Jalan Pergolakan, h. 4.

150

H.A. Ghazaly, Biografi Prof. Tgk. H. Ali Hasjmy, h. 3.

151 Dari hasil pernikahannya dengan Syarifah, Teungku Hasyim dikarunia 7 orang putra-puteri, di antaranya: Ainal Mardhiah, Rohana, Syahbuddin, Asnawi, Fachri, Nurwani, dan Fachmy. Dengan demikian, A. Hasjmy mempunyai tujuh saudara seayah (lain ibu). Lihat, A.Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Jalan Pergolakan, h. 4.

yang cukup. Ainal Mardhiah dan Ruhana berpendidikan Sekolah Menengah Islam; Syahbuddin berpendidikan Sekolah Menengah Ekonomi Atas; Asnawi dan Fachmy menempuh pendidikan hingga memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H); Fachri menempuh pendidikan sampai Sarjana Teknik (S.T) dan Nurwani

berpendidikan Sekolah Rakyat Islam (SRI).152 Hal ini tidak terlepas dari kuatnya

tanggung jawab Teungku Hasyim terhadap pendidikan anak-anaknya.

Selepas Ali Hasjmy menamatkan pendidikan di Padang, ia kembali ke Aceh untuk mengajar di Perguruan Islam Seulimeum. Dalam kesibukannya mengajar, pada 21 hari bulan Rajab 1360 H, bertepatan dengan tarikh 14 Ogos 1940, Ali Hasjmy melangsungkan pernikahan dengan Zuriah Aziz, seorang perempuan yang

masih mempunyai pertalian keluarga.153 Pernikahan dari pasangan Ali Hasjmy

dan Zuriah melahirkan tujuh orang anak yaitu:154

1. Mahdi A. Hasjmy, lahir 15 Desember 1942, ia memperoleh gelar Sarjana Ekonomi dari Depatement of Commerce Hitotsubasi University Tokyo.

2. Surya A. Hasjmy, lahir 11 Februari 1945, ia memperoleh gelar Sarjana Teknik dari Fakultas Teknik Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. 3. Dharma A. Hasjmy lahir 9 Juni 1947, ia memperoleh gelar Sarjana

Teknik dari Fakultas Teknik Universitas Gajah Mada.

152 H.A.Ghazaly, Biografi Prof. Tgk. H. Ali Hasjmy, h. 3-4.

153

Zuriah Hasjmy,“Suka Dukanya Bersuami Seorang Pejuang”, dalam Badruzzaman Ismail, ed., A. Hasjmy, Aset Sejarah Masa Kini dan Masa Depan: Delapan Puluh Tahun Melalui

Jalan Raya Dunia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), h. 11.

154 A. Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Jalan Pergolakan, h. 6-7. Lihat juga, H.A.Ghazaly, Biografi Prof. Tgk. H. Ali Hasjmy, h. 4.

4. Gunawan A. Hasjmy lahir 5 September 1949, ia meninggal dunia ketika masih bayi (12 September 1949). Meninggal dunia karena sakit infeksi tali pusat.

5. Mulya A. Hasjmy lahir 23 Mach 1951, ia memperoleh gelar Dokter dari Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan.

6. Dahlia A. Hasjmy lahir 14 Mei 1953. Pernah belajar (tidak tamat) pada Jabatan Bahasa Inggris Fakultas Keguruan Universitas Syiah Kuala. 7. Kamal A. Hasjmy lahir 21 Jun 1955, ia memperoleh gelar Sarjana

Ekonomi dari fakultas Ekonomi Universitas Jayabaya.

Ali Hasjmy dan Zuriah Aziz termasuk orang tua yang telah berhasil dalam mendidik anak-anaknya melalui jalur pendidikan sekolah formal hingga ke tinggat perguruan tinggi dalam bidang yang berbeda-beda sesuai minat mereka

masing-masing.155 Namun tak ada satu pun di antara anak-anaknya yang mengikuti jejak

A. Hasjmy dalam bidang sosial keagamaan dan terlibat langsung dalam kehidupan politik.