• Tidak ada hasil yang ditemukan

dalam akuisisi yang mereka lakukan saat ini (Fowler dan Schmidt, 1989). Dan memang ditemukan bahwa perusahaan yang berpengalaman dalam akuisisi akan lebih sukses dalam proses akuisisi berikutnya. Namun beberapa peneliti lain berpendapat bahwa keberhasilan akuisisi sebenarnya tergantung apakah akuisisi baru mirip dengan akuisisi sebelumnya dan apakah rutinitas akuisisi sebelumnya dapat diaplikasikan pada akuisisi baru. Selaras dengan pendapat tersebut, banyak peneliti tidak menemukan hubungan positif yang signifi kan antara pengalaman akusisi masa lalu dengan kinerja perusahaan (Deutsch et al, 2007).

Selain itu banyak penelitian yang menunjukkan bagaimana tim manajemen puncak mempengaruhi perilaku akuisisi dan memiliki pengaruh penting pada keputusan akuisisi. Bahkan ada penelitian yang berfokus pada bagaimana tim manajemen puncak memfasilitasi pembelajaran akuisisi sebelumnya dalam rangka mengembangkan akuisisi baru. Namun tidak ada studi yang membahas apakah para tim manajemen puncak tersebut belajar dari pengalaman akuisisi sebelumnya dan bagaimana pengalaman tersebut ditransfer dari akuisisi sebelumnya ke akuisisi baru.

Oleh karena itu peneliti ini mengembangkan hipotesis tentang bagaimana tim manajemen puncak sebuah perusahaan belajar dari pengalaman akuisisi serta bagaimana komposisi tim sangat penting sehingga mempengaruhi frekuensi dan keberhasilan akuisisi. Peneliti fokus pada keragaman tim manajemen puncak dan berargumen bahwa tim yang heterogen lebih memperoleh manfaat pengalaman akuisisi dan lebih sukses dalam akuisisi mereka dibandingkan dengan yang homogen.

12.1.2 Pembahasan

Penelitian ini membahas lebih jauh tentang hubungan antara pengalaman akuisisi manajemen puncak dengan “keberhasilan” dan “frekuensi akuisisi”. Keberhasilan dan frekuensi akuisisi merupakan dua indikator efektivitas tim manajemen puncak dalam mentransfer keterampilan akuisisi sebelumnya ke akuisisi baru. Peneliti membangun keberagaman literatur yang berpendapat bahwa tim manajemen yang beragam lebih memungkingkan untuk berbagi pengalaman dan memiliki perdebatan yang komprehensif tentang akuisi-si terakhir mereka (Phillips et al., 2004). Mereka akan menghabiskan lebih banyak waktu dalam memutuskan keterampilan dan rutinitas mana yang

layak ditransfer dari satu akuisisi ke akuisisi lain. Peneliti menguji hipotes-isnya dengan mengambil sampel atas perusahaan yang melakukan akuisisi internasional dan memiliki beragam budaya, hukum serta peraturan yang biasanya dianggap remeh.

Terdapat penelitian merger akuisisi terdahulu yang mengacu pada “teori transfer” yang menunjukkan bahwa mentransfer keterampilan yang dipelajari dari satu situasi untuk diaplikasikan ke masa depan sangat produktif jika situasi tersebut serupa atau berulang (Yelon dan Ford, 1999). Sebaliknya, mentransfer keterampilan yang dipelajari tanpa adaptasi dapat membahayakan dan berakibat buruk. Sehingga hendaknya harus ada pemahaman dan pembelajaran mengenai situasi sebelumnya agar dapat disesuaikan dengan situasi yang baru.

Selain memiliki dampak pada kesuksesan akuisisi, pengalaman akuisisi juga mempengaruhi frekuensi akuisisi yang dilakukan suatu perusahaan. Peneliti memperkirakan bahwa tim manajemen puncak yang berpengalaman tidak hanya belajar kapan dan bagaimana mentransfer pengalaman tersebut namun juga dapat melakukannya dengan lebih efi sien. Tim manajemen puncak butuh melakukan upaya kognitif dalam bentuk pengolahan informasi dalam pengambilan keputusan mengenai akuisisi. Haspeslaghdan Jemison (1991) mengamati bahwa kemampuan akuisisi yang hendak dipelajari meliputi keterampilan untuk mengidentifi kasi target yang sesuai, menegosiasikan kesepakatan, dan mengelola proses integrasi. Active acquirers atau perusahaan yang melakukan akuisisi secara aktif akan lebih mampu menangani akusisi dalam jumlah besar karena mereka telah belajar dari pengalaman sebelumnya (Laamanen dan Keil, 2008). Contohnya seperti Cisco dan GE di mana keduanya melakukan akuisisi secara reguler dan memiliki trackrecord merger akuisisi yang bagus dan telah mengembangkan proses seleksi target dan integrasi bisnis yang mereka akuisisi.

Berdasarkan teori yang telah diuraikan di atas, penelitian ini menyimpulkan dugaan sementara pertama yaitu:

Hipotesis H1a : Terdapat hubungan positif antara pengalaman akuisisi tim manajemen puncak masa lalu dengan kesuksesan akuisisi. Hipotesis H1b : Terdapat hubungan positif antara pengalaman akuisisi

tim manajemen puncak dengan jumlah akuisisi yang dilakukan tiap tahun.

Berdasarkan perspektif pengambilan keputusan, keragaman tim merupakan faktor kunci dalam meningkatkan elaborasi informasi dengan cara bertukar, membahas serta menyatukan ide-ide, pengetahuan dan wawasan yang relevan dengan tugas mereka. Menurut Van Knippenberg (2004) keberadaan perspektif yang beragam dalam kelompok kerja dapat meningkatkan pembelajaran dalam kelompok tersebut. Karena tim yang beragam mengakumulasi pengalaman mereka dari waktu ke waktu, diskusi dan tambahan pengetahuan yang mereka peroleh dari tim lain akan mengantar mereka menuju proses akuisisi yang lebih komprehensif. Oleh karena itu peneliti memperkirakan bahwa seiring dengan peningkatan keberagaman tim manajemen puncak, mereka akan semakin mampu mentransfer pengalaman dan keahlian akuisisi mereka satu sama lain.

Peneliti mengembangkan hipotesis dari dua tipe keragaman yaitu keragaman masa jabatan dan keragaman pengetahuan (latarbelakang pendidikan). Kedua tipe ini dapat meningkatkan pembelajaran dan kemampuan tim dalam mengelaborasi informasi, pandangan, dan keahlian serta memberi dan menerima masukan satu sama lain (Bantel and Jackson, 1989). Manajemen dengan masa jabatan tinggi akan memberi pengalaman bagaimana akuisisi yang baik dan tantangan apa yang telah dihadapi. Sedangkan manajemen dengan masa jabatan rendah akan berbagi pengetahuan yang diperoleh dari koneksi lain maupun organsasi level bawah. Keragaman pengetahuan menimbulkan perbedaan pandangan dan cara mengevaluasi potensi suatu investasi misalnya seorang insinyur fokus pada aspek pembangunan akuisisi sedangkan pengacara fokus pada aspek hukum (Barkema dan Shvyrkov, 2007). Berdasarkan teori tersebut penelitian ini menyimpulkan hipotesis kedua yaitu:

Hipotesis 2a : Keragaman masa jabatan tim manajemen puncak memoderasi secara positif hubungan antara pengalaman akuisisi manajemen puncak dengan kesuksesan akuisisi

Hipotesis 2b : Keragaman pendidikan tim manajamen puncak

memoderasi secara positif hubungan antara pengalaman akuisisi manajemen puncak dengan kesuksesan akuisisi. Tim manajemen puncak yang homogen secara masa jabatan maupun pendidikan akan memiliki perspektif yang tidak jauh berbeda dan memiliki interpretasi yang mirip mengenai pengalaman akuisisi masa lalu. Hal

terse-but membuat mereka mudah setuju akan pendapat satu sama lain sehingga meningkatkan frekuensi akusisi setiap tahun. Sedangkan tim manajemen puncak yang beragam memiliki pemikiran dan pandangan proses akuisisi satu sama lain sehingga mereka akan mendiskusikan pilihan-pilihan mer-eka secara lebih intensif. Mermer-eka juga akan mencari sumber informasi dari luar tim untuk menyelesaikan perdebatan mereka. Hal ini tentu akan me-makan waktu lama dalam menyetujui usulan mengenai proses akuisisi mer-eka (Wiersema dan Bantel, 1992). Sehingga peneliti menyimpulkan hipotesis ketiga yaitu:

Hipotesis 3a : Keragaman masa jabatan tim manajemen puncak akan memoderasi secara negatif hubungan antara pengalaman akusisi dengan jumlah akuisisi baru yang dilakukan setiap tahun.

Hipotesis 3b : Keragaman pendidikan tim manajemen puncak akan memoderasi secara negatif hubungan antara pengalaman akusisi dengan jumlah akuisisi baru yang dilakukan setiap tahun.

Dibawah ini merupakan hasil dari penelitian terkait dengan hipotesis yang telah dirumuskan:

Terbukti bahwa terdapat hubungan positif antara pengalaman akuisisi

tim manajemen puncak masa lalu dengan kesuksesan akuisisi.

Terbukti bahwa terdapat hubungan positif antara pengalaman akuisisi

tim manajemen puncak dengan jumlah akuisisi yang dilakukan tiap tahun.

 Terbukti bahwa keragaman masa jabatan tim manajemen puncak memoderasi secara positif hubungan antara pengalaman akuisisi manajemen puncak dengan kesuksesan akuisisi

Terbukti bahwa keragaman pendidikan tim manajamen puncak

memoderasi secara positif hubungan antara pengalaman akuisisi manajemen puncak dengan kesuksesan akuisisi.

 Tidak terbukti bahwa keragaman masa jabatan tim manajemen puncak akan memoderasi secara negatif hubungan antara pengalaman akusisi dengan jumlah akuisisi baru yang dilakukan setiap tahun.

Terbukti bahwa keragaman pendidikan tim manajemen puncak akan

memoderasi secara negatif hubungan antara pengalaman akusisi dengan jumlah akuisisi baru yang dilakukan setiap tahun.

13.1.3 Kesimpulan

Penelitian ini menunjukkan bahwa pembelajaran yang dilakukan tim manajemen puncak terhadap akuisisi masa lalu akan menyukseskan akuisisi sekarang. Namun hal tersebut tergantung dari komposisi tim manajemen puncak itu sendiri. Peneliti telah menunjukkan bahwa dibandingkan dengan tim manajemen puncak homogen, tim manajemen puncak yang beragam lebih sukses dalam mentransfer pengalaman akusisi masa lalu mereka menuju akuisisi mereka yang baru. Selain itu juga ditemukan bahwa keragaman tim manajemen puncak memang turut membantu kesuksesan akuisisi mereka namun membuat proses akuisisi memakan waktu yang lama. Pelajaran penting yang dapat diambil adalah tim yang beragam tidak selalu menjadi yang terbaik. Namun yang lebih menentukan adalah kondisi kompetitif dan strategi perusahaan dalam melakukan akuisisi.

Peneliti yakin bahwa tim yang beragam akan semakin kuat seiring dengan perubahan dan kompleksitas lingkungan sosial dan ekonomi di dunia. Penelitian ini memberikan kontribusi yang menarik bagi penelitian-penelitian mendatang mengenai proses akuisisi dan peran tim manajemen puncak di dalamnya. Keterbatasan dalam penelitian ini membuat peneliti berharap penelitian selanjutnya akan lebih fokus pada seberapa lama waktu yang diperlukan oleh tim dalam mempelajari akusisi serta bagaimana tingkat pembelajaran yang berbeda dapat merubah proses akuisisi tersebut.

13.2 PENGARUH PROPORSI JENIS KELAMIN MANAJEMEN

PUNCAK TERHADAP PROSES M&A

Berikut merupakan data profi l ringkasan atas jurnal ini:

Judul : Performance Effects of Top Management Team Gender Diversity during The Merger and Acquisition Process Nama Jurnal : Management Decision, Vol. 53 Iss 1 pp. 57 – 74, 2014 Penulis : Heather R. Parola, Kimberly M. Ellis dan Peggy Golden Sampel : 310 perusahaan dari “Fortune 1000 companies” pada 1

Januari 2004 sampai dengan 31 Desember 2009 Metode : Regression Model

13.2.1 Latar Belakang

Seiring dengan perkembangan organisasi yang semakin kompleks, peran

Top Management Team (TMT) semakin penting dan menjadi sorotan banyak pihak. Bahkan pengaruh keragaman TMT terhadap pengambilan keputusan maupun hasil kinerja organisasi semakin mengundang banyak perhatian (Yang dan Wang, 2014). Keberagaman dalam TMT terlihat dari karakteristik-karakteristik yang dimiliki seperti umur, kedudukan, fungsi, dan pengalaman kerja. Menurut beberapa peneliti seperti Hambrick dan Mason (1984), keragaman tersebut dapat meningkatkan kualitas pengambilan keputusan sehingga menghasilkan kinerja perusahaan yang baik pula. Selain jenis keragaman yang sudah disebutkan tersebut, masih ada satu lagi keragaman yang semakin menjadi pusat perhatian yaitu jenis kelamin. Meskipun eksekutif wanita yang menduduki posisi TMT masih tergolong fenomena baru dan jarang terjadi, banyak peneliti yang tertarik meneliti bagaimana perbedaan gender tersebut dapat mempengaruhi kinerja perusahaan (Krishnan dan Park, 2005). Namun hasil dari penelitian-penelitian terdahulu tersebut masih tergolong kabur. Ada yang mengatakan bahwa keduanya berhubungan positif (Welbourne et al.,2007), tidak berhubungan (Mohan dan Chen, 2004) dan berhubungan negatif (Dixon-Fowler et al., 2013).

Sebenarnya keragaman tersebut dapat bermanfaat jika ada peningkatan sumber informasi, kemampuan dalam mengamati lingkungan sekitar dan peningkatan evaluasi keputusan (Bantel dan Jackson, 1989). Manfaat yang dimaksud yaitu berupa peningkatan kualitas pengambilan keputusan, sumber daya, serta pengalaman anggota organisasi itu sendiri. Sebaliknya, jika tidak diiringi dengan tindakan yang tepat, keragaman tersebut akan berdampak buruk seperti memperburuk komunikasi, meningkatkan konfl ik serta memperlambat pengambilan keputusan (Hambrick et al., 1996). Pengaruh buruk maupun negatif ini tentu terjadi di tahap pengambilan keputusan yang berbeda serta pada waktu yang berbeda pula.

Peneliti terdahulu berpendapat bahwa periode waktu dan konteks di mana kinerja tersebut dievaluasi merupakan moderator yang cukup potensial dalam menjembatani hubungan antara keragaman TMT dan kinerja perusahaan. Perbedaan gender tersebut akan berpengaruh secara relevan ketika terjadi perubahan strategik yang cukup besar, salah satunya adalah merger dan akuisisi(Dezso dan Ross, 2012). Dalam merger dan akuisisi tentu

banyak proses pengambilan keputusan serta perubahan yang cukup besar mulai dari menyeleksi target, negosiasi sampai persetujuan antara kedua belah pihak untuk menjadi satu entitas. Selain itu ketidakpastian serta kerumitan merger dan akuisisi menyediakan konteks yang sangat baik untuk menganalisa efek keragaman gender TMT terhadap kinerja perusahaan.

13.2.2 Pembahasan

Terdapat argumen yang mengatakan bahwa seiring dengan peningkatan keragaman TMT, pengambilan keputusan strategi akan semakin baik sebab keragaman tersebut memiliki lebih banyak sumber daya pengetahuan, baik dalam menetapkan masalah maupun menyelesaikan masalah (Hambrick et al., 1996). Selain itu tim yang heterogen atau beragam juga memiliki kemampuan memproses informasi yang lebih baik dibandingkan dengan tim yang homogen sehingga meningkatkan kualitas pengambilan keputusan (Hambrick dan Mason, 1984).

Namun keragaman tersebut juga menimbulkan efek negatif dalam pembuatan keputusan. Keragaman tingkat tinggi dapat menurunkan integrasi tim seperti dalam hal komunikasi (Smith et al., 1994), konsensus strategik (Knight et al., 1999) dan kecepatan pengambilan keputusan (Hambrick et al., 1996). Penelitian-penelitian terdahulu menunjukkan bahwa pemimpin wanita lebih inovatif (Tullett, 1995), proaktif (Bass and Avolio, 1994),dan transformasional (Eagly et al., 2003) serta lebih hati-hati dan menghindari risiko (Huang and Kisgen, 2013) dibandingkan dengan pemimpin pria. Hal ini yang membuat TMT yang terdapat wanita di dalamnya akan menghasilkan kualitas yang lebih baik dalam pengambilan keputusan. Namun, keragaman tersebut juga dapat meningkatkan konfl ik interpersonal sebab keragaman ini akan menimbulkan kebencian, amarah serta frustasi di dalam tim (Pelled et al., 1999). Sehingga dapat dikatakan bahwa keragaman gender TMT berpengaruh terhadap pengambilan keputusan secara positif dan secara negatif.

TMT yang beragam lebih mampu melakukan environmental scanning

dibanding TMT homogen. Selain itu wanita juga lebih mampu dalam kegiatan networking karena jaringan wanita lebih bervariasi dibanding pria baik dalam komposisi maupun karakteristik hubungan (Ibarra, 1993). Wanita juga lebih menghindari risiko dan lebih berhati-hati dalam menyeleksi