• Tidak ada hasil yang ditemukan

JOINT VENTURES AND STRATEGIC ALLIANCE

9.6 PENELITIAN DALAM JOINT VENTURE

Mc. Conell dan Nantell melakukan sebuah penelitian terhadap 136 joint venture melibatkan 210 perusahaan US pada periode 1972-1979. Joint venture

tersebut berasal dari industri yang beragam, dengan yang paling banyak berasal dari industri pengembangan real estate (13%) dan television and motion picture (10%). Penelitian ini menunjukan bahwa pemegang saham di perusahaan yang mengikuti joint venture memperoleh pengembalian 0,73% pada periode pengumuman bergabung dalam joint venture. Mc Conell dan Nantell menemukan efek yang positif terhadap shareholder wealth, yang didukung oleh penelitian Woolridge dan Snow.

Penelitian Woolridge and Snow yang menganalisa 767 pengumuman keputusan investasi dari 248 perusahaan yang beroperasi dalam 102 industri. Mereka melakukan penelitian reaksi pasar saham terhadap pengumuman keputusan investasi tersebut. Secara umum, mereka menemukan respon pasar saham yang positif.

Mc.Conell dan Nantell juga menemukan pengaruh terhadap

shareholder wealth berdasarkan tipe venture. Dalam horizontal joint venture, tampak bahwa keuntungan joint venture, lebih dapat dirasakan secara rata oleh semua pihak yang terlibat dalam joint venture. Sedangkan dalam vertical

joint venture, supplier memperoleh keuntungan lebih besar, dimana pasar tidak melihat adanya keuntungan yang sama besar bagi pembeli.

Meski joint venture memberikan banyak keuntungan bagi partner yang terlibat didalamnya, namun joint venture dapat mengalami kegagalan apabila partner tidak bekerja sama dengan baik. Venture dapat meminta partisipan untuk berbagi properti intelektual atau pengetahuan penting lainnya, dan partner bisa menolak untuk membagikannya. Penyebab kegagalan lainnya adalah partner dalam joint venture juga dapat menggunakan informasi tersebut dengan cara yang tidak dikehendaki oleh partisipan venture yang lain.

Data berikut merupakan kinerja joint venture dari organisasi bisnis yang diteliti oleh McKinsey di tahun 2014. Dari data yang ada menunjukkan bahwa kurang lebih 53% organisasi bisnis yang melakukan joint-venture menemukan bahwa kinerja yang yang didapatka setelah joint-venture sesuai atau bahkan lebih besar dari yang diharapkan.

Sumber: Rinaudo & uhlaner, Mckinsey report november 2014

Gambar 9.4 kinerja organisasi setelah joint-venture

Ada beberapa faktor utama yang menjadi keberhasilan joint-venture, dimana dua faktor yang paling penting adalah kesesuaian tujuan antara kedua organisasi dan kemudian aspek komunikasi. Secara lengkap McKinsey report menuangkan hasil penelitian mereka atas joint-venture seperti pada gambar 9.5.

Sumber: Rinaudo & uhlaner, Mckinsey report november 2014

Gambar 9.5 faktor yang mempengaruhi keberhasilan joint-venture

Mini-Case: PT Indofood CBP Sukses Makmur (ICBP) dan Asahi Group

Pada September 2012 PT Indofood CBP Sukses Makmur (ICBP) dan Asahi Group melakukan perjanjian joint venture dan menghasilkan 2 perusahaan baru yaitu PT. Asahi Indofood Beverage Makmur dan PT. Indofood Asahi Sukses Beverage. Dua perusahaan joint venture ini sama-sama bergerak di bidang consumer good kategori baverages (minuman). Meskipun bergerak dibidang yang sama, kedua perusahaan ini memiliki fokus yang berbeda. PT. Asahi Indofood Beverage Makmur berfokus pada produksi, sedangkan PT. Indofood Asahi Sukses Beverage berfokus pada pemasaran dan distribusi external. Beberapa produk hasil joint venture ini adalah Ichi Ocha, Cafela Latte, dan air mineral Club.

Sebagai informasi PT Indofood CBP Sukses Makmur adalah anak perushaaan hasil spin-off dari PT Indofood Sukses Makmur pada tahun 2010. Seperti namanya PT Indofood CBP Sukses Makmur berfokus pada produksi dan penjualan produk-produk customer branded product (CBP). Sebelum joint venture ICBP hanya mempunyai lini produk mie, susu beserta

olahannya, camilan, bubu tambahan, dan suplemen serta makanan khusus. Disisi lain Asahi Group adalah perusahaan jepang, yang awalnya yaitu pada tahun 1889 merupakan perusahan manufaktur minuman berakohol. Dalam perkembangannya Asahi Group kemudian berkembang ke lini-lini bisnis lainnya seperti minuman ringan bersoda, kopi, teh, jus buah, dan makanan terutama makanan beku (frozen food). Baik ICBP maupun Asahi keduanya telah melebarkan bisnis ke manca negara sebelum terjadinya joint venture. ICBP memiliki berbagai kepemilikian signifi kan di beberapa perusahaan luar negeri seperti di India, China, dan Thailand. Sedangkan Asahi memiliki kepemilikian signifi kan pada perushaaan di New Zeland, Australia, dan Malaysia.

Jika dicermati, joint venture ICBP dan Asahi ini termasuk jenis joint venture horisontal sekaligus vertikal. Dari sisi ICBP joint venture dapat diartikan sebagai joint venture horisontal karena dengan adanya dua perusahaan hasil joint venture ini, ICBP mulai masuk ke produk bermerek kategori minuman (beverages). Sebelum ada perjanjian ini ICBP belum mempunyai produk minuman selain minuman susu. Sehingga bersama dengan Asahi ICBP dapat memperoleh pengetahuan atau kemampuan memproduksi dan memproses minuman secara baik, dikarena Asahi merupakan produsen minuman yang telah ternama di Jepang.

Dari sisi Asahi, joint venture ini dapat dikategorikan dengan joint venture vertikal. Asahi mendapatkan keuntungan dari ICBP karena ICBP sudah mempunyai pengalaman dan nama yang besar di pasar Indonesia. Dengan demikain diharapkan mampu memahami cara dan perilaku konsumen Indonesia, sehingga mempermudah pengenalan produk dan mengambil pangsa pasar. Salah satu alasan mengapa Asahi melakukan

joint venture bersama ICBP karena potensi pasar minuman di Indonesia yang sangat besar. Presiden direktur Asahi Group, Naoki Izumia mengakui pangsa pasar minuman di Indonesia yang mencapai sekitar 400 milliar yen, dan pertumbuhan pasar minuman dalam kemasan yang mencapai dua digit, menjadi salah satu motif utama mengapa Asahi melakukan joint venture dengan ICBP meskipun sebenarnya Asahi sudah mempunyai pabrik di Malaysia.

Dasar motif joint venture, dan penerapan keahlian masing-masing perusahaan juga tercermin dari komposisi kepemilikian dari PT Asahi

Indofood Beverage Makmur dan PT Indofood Asahai Sukses Beverage. PT Asahi Indofood Beverage Makmur yang menangani bidang produksi dimiliki 51% oleh Asahi Group dan 49% oleh ICBP. Sedangkan PT Indofood Asahi Sukses Beverage yang menangani bidang pemasaran dai distribusi dimiliki 49% oleh Asahi Group dan 51% oleh ICBP.

Mini-Case: Sony Ericsson (Adaptasi dari Arlsan and Zhaohua, 2009)

Sony Ericsson merupakan sebuah hasil international joint venture antara perusahaan telekomunikasi raksasa asal Swedia “Ericsson” dan produsen elektronik terkemuka Jepang “Sony”. Sebelum melakukan joint venture, keduanya memiliki latar belakang budaya dan melayani sektor pasar yang benar-benar berbeda. Proses pembentukan perusahaan Joint Venture antara Sony dan Ericsson pertama kali diprakasai oleh Ericsson. Hal ini terjadi karena pada saat itu ada perubahan yang cepat dalam permintaan terhadap model yang lebih murah dan kurang canggih sehingga membuat Ericsson tidak mampu mempertahankan persaingan dengan LTS Finlandia saingan Nokia, yang telah menangkap pasar dengan desain murah dan user-friendly serta produksi yang efi sien. Dalam rangka untuk mengatasi situasi ini, Ericsson memutuskan untuk menggabungkan operasi ponsel dengan Jepang Sony Electronics, sehingga membentuk SonyEricsson pada tahun 2001 dengan masing-masing perusahaan memiliki 50% saham.

Tujuan utama dari kerjasama ini adalah untuk membuat Sony menyumbangkan pengetahuan dalam desain produk konsumen. Sony Ericsson mulai beroperasi pada bulan Oktober 2001 dengan hampir 4000 karyawan dan kantor pusat berbasis di London, UK. Misi perusahaan adalah untuk membangun perusahaan sebagai merek global yang paling menarik dan inovatif dalam industri mobile handset.

Salah satu kendala utama yang menyebabkan banyaknya perusahaan Joint Venture bangkrut adalah perbedaan budaya dari kedua perusahaan yang berasal dari negara yang berbeda. Dalam kasus ini Sony dan Ericsson memiliki budaya nasional dan budaya organisasi yang berbeda pula. Budaya nasional Ericsson dapat dibilang memiliki tingkat penyelesaian masalah yang rendah, individualisme tinggi, dan tidak berorientasi pada jangka panjang. Hal ini mempengaruhi Ericsson menjadi perusahaan yang memiliki struktur organisasi yang datar dan terdesentralisasi, ukuran perusahaan kecil,

kepercayaan diri kinerja individu yang tinggi (tidak ada teamwork), orientasi tujuan jangka pendek dan memperhatikan kesetaraan antara karyawan pria dan wanita. Budaya organisasinya tidak memungkinkan karyawan untuk mengambil resiko, mempromosikan sikap profesional, mencegah adanya aturan dan peraturan yang ketat serta lebih berfokus pada etika bisnis.

Sedangkan Sony memiliki budaya nasional adanya ketidakpastian yang tinggi, menghindari individualisme, dan berorientasi pada jangka panjang sehingga perusahaannya memiliki struktur hirarkis dan terpusat di organisasi, mengutamakan teknologi, mengedepankan kerjasama, mempromosikan daya saing serta orientasinya untuk tujuan jangka panjang. Budaya organisasi di Sony memungkinkan karyawan untuk mengambil risiko, mendorong profesionalisme, mengharapkan semua orang untuk taat pada peraturan yang ketat, dan berfokus pada pemenuhan kebutuhan pelanggan.

Dari kedua budaya diatas, dapat disimpulkan bahwa kedua perusahaan induk memiliki perbedaan budaya yang sangat signifi kan. Alasannya adalah Sony berawal di Jepang dan Ericsson merupakan perusahaan yang berbasis Swedia. Hal ini menimbulkan kesulitan dalam hal komunikasi dan koordinasi. Satu-satunya kesamaan adalah orientasi profesional terhadap pekerjaan dan sistem terbuka yang ada dalam organisasi.

Namun Sony Ericsson lebih mengadaptasi dan mengimplementasikan budaya yang berasal dari Ericsson. Sony Ericsson mendorong karyawan untuk mengikuti prosedur dan menghindari mengambil risiko, menunjukkan minat terhadap masalah pribadi karyawan, mempromosikan sikap profesional, memungkinkan karyawan baru untuk dengan mudah berkenalan dengan lingkungan, mencegah menerapkan aturan ketat dan berfokus pada mengikuti aturan bisnis dan etika dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan pelanggan. Hal ini mungkin karena perusahaan memiliki basis di Eropa dan rasio karyawan Swedia yang bekerja di Sony Ericsson cukup tinggi, sehingga memberikan gagasan yang sama. Budaya yang tergabung di Sony Ericsson sebagian didasarkan pada beberapa kesamaan antara perusahaan induk dan sebagian dipengaruhi oleh budaya nasional karyawan. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa dalam menghadapi masalah perbedaan budaya International Joint Venture, ada

kekuatan yang sama dari budaya kedua perusahaan induk tetapi ketika salah satu perusahaan induk lebih dominan, maka budaya nasional Joint Venture akan mengikuti budaya nasional perusahaan induk yang lebih dominan tersebut.

PERTANYAAN PENGUASAAN MATERI

1. Jelaskan mengapa perusahaan melakukan Joint Venture dan Strategic Alliance?

2. Apakah hubungan antara Joint Venture dan Strategic Alliance dengan M&A?

3. Bagaimanakah kinerja organisasi setelah melakukan Joint Venture? Jelaskan? Bagaimana anda melihat korelasi dengan kinerja organisasi setelah M&A?

4. Jelaskan mengenai kasus ICBP dan Asahi group dalam kaitannya dengan bab ini?

-oo0oo-10.1 INTEGRASI SISTEM AKUNTANSI MANAJEMEN SETELAH