• Tidak ada hasil yang ditemukan

Capitulation to irrelevance or death

EMPLOYEE STOCK OWNERSHIP PLANS – ESOP

Tahap 5: Capitulation to irrelevance or death

Merupakan akumulasi dari kemunduran dan awal yang salah sehingga mengikis kekuatan fi nansial dan semangat individu sampai pada saat dimana pemimpin kehilangan semua harapan untuk membangun masa depan yang lebih baik. Pada fase wirausaha, pemimpin berjuang untuk memperoleh kas yang cukup untuk dapat bertahan hidup, tetapi ketika organisasi menjadi besar dan berhasil, pemimpin lebih khawatir tentang earning.

Padahal perusahaan tidak mati karena kekurangan earning, namun karena kekurangan kas. Pada beberapa kasus, pemimpin menjual perusahaan, dan pada kasus yang paling ekstrim, perusahaan mati begitu saja.

Pada akhir 1980an, Scott Paper telah jauh dibelakang P&G dan Kimberly –Clark dengan tidak banyak pilihan yang tersisa selain melakukan pinjaman besar untuk reinvest dalam beberapa usaha terakhir untuk dapat mengejar. Debt to Equity ratio Scott Paper melonjak menjadi rata-rata 175% dari 1985 ke 1994. Keterbatasan modal membawa pada restrukturasi kronis dan cost cutting: $167 juta pada 1990, $249 juta pada 1991, dan $490 juta pada awal 1994. Debt rating Scott jatuh hingga hanya satu langkah dari junk bond.

Hal tersebut membuat dewan memilih untuk membawa masuk Al Dunlap menjadi CEO Scott Paper pada 1994. Dunlap memangkas lebih dari 11.000 pekerja, termasuk 71% dari upper management. Profi t kemudian melambung sebagai pengaruh cost cutting. Dunlap lalu menjual Scott Paper pada Kimberly-Clark. Dunlap adalah mekanisme kapitulasi Scott Paper, bukan penyebabnya.

Minicase: Zenith

Kasus lainnya yang dapat diambil pelajarannya adalah kasus Zenith. Zenith menjadi perusahaan televisi no.1 dan setiap dollar yang diinvestasikan pada Zenith pada awal 1950 hingga tahun 1965 meningkat nilainya lebih dari 10 kali. Ketika televisi Jepang mulai mendapatkan daya tarik pasar, Zenith dengan angkuhnya mengabaikan ancaman Jepang. Dalam pandangan Zenith, Jepang tidak mungkin dapat memberi ancaman serius bagi brand

besar Amerika. Zenith kemudian bergeser pada stage 2, undisciplined pursuit of more, pada akhir 1960an dan awal 1970. Setelah mencapai tujuan untuk melewati RCA sebagai pembuat televisi berwarna no.1, Zenith berinvestasi pada peningkatan kapasitas manufaktur besar-besaran yang membuat debt

to equity ratio berkali lipat menjadi 100%. Zenith juga mengalami masalah dalam hal suksesi kekuasaan.

Saat commander McDonald meninggalkan perusahaan, Joseph Wright yang sebelumnya menjabat sebagai presiden, menjabat menjadi CEO. Namun ketika suksesor yang dipilih meninggal dunia, Wright menghadapi pilihan suksesi yang terbatas. Zenith kemudian membawa masuk orang luar dari Ford, yang kemudian menjadi chairman. Zenith selanjutnya berpindah ke

stage 3, menyalahkan pihak eksternal daripada menghadapi kurangnya daya saing yang dimiliki. Dengan kapasitas yang berlebih, Zenith menurunkan harga dalam persaingan market share dan bahkan berutang lebih banyak, sehingga membuat ratio profi tabilitas menurun ke level yang tidak pernah terjadi selama 30 tahun.

Pada tahun 1970an, Zenith berlanjut ke stage 4 dengan mencoba banyak peluang pada waktu yang sama. Zenith mencoba VCRs, videodiscs, telephone yang dihubungkan melalui televisi, home security video camera, cable TV decoders dan personal computer. Untuk mendanai semua ini, debt to equity ratioZenith menjadi 100%. Data system unit yang baru hampir membuat Zenith kembali berjaya. Data system unit diketuai oleh Jerry Pearlman, seorang yang brillian, lulusan cum laude dari Princeton, disebut ‘corporate visionary’ oleh Business Week. Pearlman menjadi CEO dan Zenith menjadi pembuat komputer no.2, sehingga muncul ambisi untuk memimpin di laptop market. Dari 1980 hingga 1989, divisi Data System meningkatkan revenue, menghasilkan lebih dari 50% dari total revenue Zenith dan hampir semua

profi t Zenith. Namun Zenith masih memiliki bisnis televisi, dan setelah bertahun-tahun dalam penyangkalan dan mencari penyelamatan, kondisi keuangan Zenith memburuk; cash on hand turun menjadi kurang dari 5%

current liability. Pearlman mencoba untuk menjual bisnis televisi namun tidak memperoleh harga yang ia inginkan. Beberapa tahun sebelumnya, Zenith mendapat peluang untuk menutup bisnis televisi, mengalokasikan semua resources yang ada untuk data systems division, dan mengubah dirinya menjadi salah satu perusahaan komputer terbesar. Namun desakan pemegang saham, beban jumlah debt yang besar dan cadangan kas yang menyusut membuat Pearlman kehabisan pilihan. Pada 29 September 1989, Pearlman bertemu CEO Bull Corporation, Francis Lorentz untuk menjual bisnis komputer Zenith pada Bull. Pearlman kemudian mencoba

membangun Zenith kembali setelah menjual bisnis komputer, namun bisnis televisi terus menarik Zenith ke bawah, menghasilkan kerugian dari tahun ke tahun. Pada tahun 1995, Pearlman mengundurkan diri.

Banyak orang mengira perusahaan jatuh karena pemimpin yang mengambil keputusan keliru. Namun dalam kasus Zenith, dapat dilihat bahwa bahkan pemimpin yang terpintar dan sangat memiliki kemampuan, dapat menemukan diri mereka tidak mampu mengontrol nasib perusahaan jika dampak yang terakumulasi dari stage 1 ke stage 4 menghancurkan posisi kas. Setelah Pearlman, Zenith bergejolak melalui 5 CEO selama 10 tahun, jatuh dalam kebangkrutan dan muncul kembali dengan kurang dari 400 karyawan, 98% lebih sedikit dari 36.000 karyawan pada 1988. Mungkin bagi perusahaan melewati atau melompati sebuah tahapan, namun penelitian Jim Collin menunjukkan bahwa perusahaan biasanya melalui tahapan tersebut berurutan. Beberapa perusahaan berpindah dari satu tahap ke tahap lainnya dengan cepat, sedangkan yang lain membutuhkan waktu tahunan, atau bahkan dekade. Salah satu kunci kinerja yang berkelanjutan adalah memahami bagaimana kejayaan dapat hilang. Lebih baik belajar dari kejatuhan yang lain daripada mengulang kesalahan yang sama karena ketidaksadaran.

PERTANYAAN PENGUASAAN MATERI

1. Jelaskan hubungan antara kegagalan bisnis dan M&A? 2. Jelaskan mengenai faktor-faktor penyebab kegagalan bisnis?

3. Bagaimana organisasi menghadapi tantangan kebangkrutan? Apakah dengan cara Likuidasi atau Restruktirisasi? Jelaskan?

4. Jelaskan mengenai penelitian dari Jim Collins dalam kaitannya dengan kebangkrutan

5. Jelaskan mengani kasus Zenith dalam kaitannya dengan kebangkrutan

-oo0oo-9.1 MENGAPA JOINT VENTURE DAN STRATEGIC ALLIANCE?

S

ebagaimana kita tahu, merger dan akuisisi dapat menghabiskan biaya yang cukup besar, namun dapat memberikan banyak keuntungan bagi perusahaan yang melakukan merger dan akuisisi dengan baik. Terdapat cara lain untuk mendapatkan keuntungan yang serupa walau tanpa melakukan merger dan akuisisi, yaitu melalui contractual agreement, strategic alliance dan joint venture. Seperti gambar dibawah ini dapat dilihat bahwa merger dan akuisisi merupakan sebuah perjalanan yang panjang dimana seharusnya dicapai dengan melalui tiga model kolaborasi bisnis terlebih dahulu, yakni contractual agreement, strategic alliance dan joint venture. Jadi ketiga kolaborasi tersebut seharusnya dijalani terlebih dahulu sebelum benar-benar melakukan merger dan akuisisi. Layaknya seperti sebuah pasangan yang terlebih dahulu untuk melakukan proses pacaran dan tunangan sebelum menikah. Namun memang ada orang yang langsung memilih menikah dan sukses juga akhirnya. Sama halnya juga dengan proses merger dan akuisisi yang langusung dijalani tanpa melalui proses panjang. Namun tentu saja dari sisi kuantitas keberhasilan akan lebih sedikit.

JOINT VENTURES