• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sebagian kecil contoh yang tidak dapat melakukan komunikasi dikarenakan adanya pembatasan komunikasi oleh majikan. Seperti yang dialami oleh salah satu TKW Malaysia yang telah pulang ke Indonesia, TKW Malaysia ini hanya satu kali bisa berkomunikasi selama dua Tahun bekerja di Malaysia. Majikan secara sengaja telah

memblokir nomor telepon keluarga tanpa sepengetahuan TKW maupun keluarga,

sehingga keluarga tidak dapat menghubungi TKW. Keadaan ini awalnya membuat TKW memiliki prasangka buruk terhadap keluarga, terutama suami, karena tidak pernah memberi kabar. Keluarga juga memiliki prasangka buruk terhadap TKW karena setiap keluarga menghubungi nomor yang dituju, tidak pernah tersambung.

Selain alasan tersebut, terdapat satu kasus yang menunjukkan bahwa istri tidak mau berkomunikasi lagi dengan suami. Berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan Bapak Pian diperoleh informasi bahwa komunikasi yang terjalin antara Bapak Pian dan istrinya dahulu berjalan mulus seperti biasa. Namun semenjak istrinya berkeinginan untuk menjadi TKW dan Bapak Pian tidak mengijinkan, pertengkaran demi pertengkaran mulai muncul. Namun akhirnya Bapak Pian mengijinkan istrinya untuk berangkat menjadi TKW karena sedih bila melihat anaknya yang melihat pertengkaran antara Bapak Pian dan istri. Semenjak kepergian istri menjadi TKW inilah semua masalah yang tidak dibayangkan sebelumnya mulai muncul. Istri tanpa ada alasan yang jelas melayangkan permintaan cerai dan istri tidak mau lagi berbicara melalui telepon dengan suami. Setiap istri menelepon hanya berbicara dengan anak. Keinginan istri untuk bercerai disinyalir adanya keterlibatan pihak ke tiga, yaitu keluarga dari pihak istri yang menginginkan mereka berpisah. Hal ini diduga karena istri dan keluarga istri menganggap bahwa power istri dalam perekonomian keluarga lebih kuat, apalagi bila dibandingkan dengan suaminya yang hanya bekerja sebagai tukang ojek. Selama 2,5 tahun istri bekerja sebagai TKW, istri juga tidak pernah mengirim uang bulanan bagi suami maupun anaknya. Keinginan istri untuk bercerai membuat Bapak Pian sangat menyesali keputusannya yang telah mengijinkan istri untuk bekerja sebagai TKW.

langsung dengan anak tanpa perantara ayah karena anak diasuh oleh keluarga luas.

Kuantitas komunikasi selain dilihat dari seberapa sering berkomunikasi namun juga dilihat dari berapa lama waktu yang dibutuhkan dalam sekali berkomunikasi (intensitas komunikasi). Sebanyak 46.81 persen contoh melakukan intensitas komunikasi kurang dari 15 menit, 29.79 persen berkomunikasi 15 sampai 30 menit, 17.02 persen berkomunikasi lebih dari 30 menit.

Jenis pembicaraan yang dikomunikasikan antara suami dan istri biasanya menyangkut masalah keuangan, perasaan rindu, dan masalah anak. Lebih dari setengah contoh (55.32%) secara terbuka mengungkapkan perasaan rindu kepada istri. Keterbukaan komunikasi dan afeksi ini merupakan salah satu indikator adanya hubungan yang terjalin baik antara suami dan istri. Sebagian besar contoh (85.11%) membicarakan masalah anak ketika berkomunikasi dengan istri. Masalah anak yang dikomunikasikan biasanya mengenai kesehatan anak, pendidikan anak, teman-teman anak dan lain sebagainya.

Lebih dari setengah contoh (61.7%) membicarakan keuangan keluarga. Keuangan keluarga yang dibicarakan biasanya menyangkut berapa besar uang kiriman yang telah ditransfer, digunakan untuk apa saja uang kiriman tersebut, serta berapa besar uang yang dibutuhkan untuk pendidikan anak dan kebutuhan sehari-hari yang harus dipenuhi. Bagi contoh yang tidak membicarakan masalah keuangan dalam komunikasi karena suami menganggap bahwa suami masih mampu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari keluarga, sehingga tidak perlu mengandalkan uang kiriman istri. Bagi keluarga yang mengalami hal tersebut biasanya uang hasil kerja keras istri tidak ditransfer rutin setiap bulannya, namun dibawa sekaligus saat istri pulang ke Indonesia. Uang ini umumnya digunakan untuk menambah aset keluarga, seperti untuk membeli lahan, alat transportasi (motor), dan merenovasi atau membangun rumah.

Interaksi Ibu dan Anak

Interaksi ibu dan anak dapat dilihat dari komunikasi dan bonding yang dilandasi oleh kasih sayang dan kehangatan. Komunikasi yang terjalin antara ibu dan anak menunjukkan bahwa lebih dari setengah contoh (63.83%) memiliki komunikasi cukup terbuka yang dibuktikan dengan ibu yang selalu menasehati anak (42.55%) dan anak selalu mendengarkannya (51.06%), ibu sering bertanya

mengenai teman-teman anak baik di sekolah maupun di rumah (63.83%), ibu selalu bersungguh-sungguh dan bersikap positif membantu masalah anak (23.80%), dan ibu meluangkan waktu untuk berbicara dengan anak kapanpun anak memerlukan (12.77%). Persentase tertinggi komunikasi ibu dan anak yaitu dalam hal ibu sering bertanya tentang teman-teman anak baik di rumah maupun di sekolah, sedangkan persentase terendah dalam hal ibu menanyakan mengapa anak pulang terlambat (Lampiran 6).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa bonding yang telah dilakukan antara ibu dan anak diwujudkan dengan anak merasa sedih jika ditinggal ibu terlalu lama seperti perpisahannya saat ini (34.04%), ibu dapat merasakan kesulitan yang sedang dirasakan anak meskipun anak tidak menceritakannya (46.81%), ibu mengetahui hobi anak (48.94%), ibu mengenal teman-teman anak (42.55%), ibu bersedia mendengarkan dan memperhatikan jika anak mendapatkan masalah (21.28%), serta berusaha membantu menyelesaikan masalah yang terjadi pada anak (17.02%). Persentase tertinggi bonding ibu dan anak yaitu dalam hal ibu dapat merasakan kesulitan yang sedang dirasakan anak meskipun anak tidak menceritakannya, sedangkan persentase terendah dalam hal ibu keterbukaan anak untuk menceritakan masalah anak kepada ibu (Lampiran 7). Apabila interaksi (komunikasi dan bonding) dikategorikan menjadi tiga tingkatan yakni rendah, sedang, dan tinggi, lebih dari separuh (59.57%) keluarga TKW memiliki interaksi antara ibu dan anak yang tergolong kategori sedang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari separuh contoh (63.83%) memiliki pola komunikasi yang cukup baik, namun lebih dari seperempat contoh (27.66%) berada dalam kategori komunikasi rendah. Sama halnya dengan bonding yang terjalin antara ibu dengan anak yaitu sebanyak 59.57 persen memiliki bonding yang cukup baik, sedangkan 29.79 persen mempunyai bonding yang rendah (Tabel 22).

Tabel 22 Sebaran contoh (%) berdasarkan kategori interaksi ibu dan anak (n=47)

No Tingkat Interaksi Ibu Anak

Interaksi Ibu Anak Interaksi Ibu Anak Komunikasi Bonding % % % 1 Rendah (20-33) 27.66 27.66 29.79 2 Sedang (34-47) 63.83 59.57 59.57 3 Tinggi (48-60) 8.51 12.77 10.67 Total 100 100 100

Interaksi Ayah dan Anak

Interaksi antara anak dan ayah menjadi hal yang sangat penting mengingat keadaan keluarga TKW yang tidak stabil akibat kepergian ibu. Keadaan keluarga seperti ini menuntut ayah untuk memberikan kontribusi lebih dalam meluangkan waktu bersama anak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komunikasi yang dibangun ayah dan anak cukup terbuka. Hal ini dibuktikan dengan ayah yang selalu menasehati anak (80.85%) dan anak yang selalu mendengarkan nasehat ayah (80.85%), ayah selalu bersungguh-sungguh dan bersikap positif membantu menyelesaikan masalah anak (59.57%), ayah meluangkan waktu untuk berbicara dengan anak kapanpun anak memerlukan (48.94%), ayah selalu memuji bila anak melakukan atau mendapatkan hal yang baik (53.19%). Persentase tertinggi komunikasi ayah dan anak yaitu dalam hal menasehati anak dan anak mendengarkan, sedangkan persentase terendah dalam hal ayah menyediakan waktu untuk berbicara sesuatu yang pribadi mengenai anak (Lampiran 8).

Bonding merupakan koneksi hubungan antara seseorang dengan orang lain dan merupakan perekat untuk membentuk kelekatan (attachment) (Hastuti 2007). Bonding antara ayah dan anak tercermin dalam hubungan timbal balik seperti ayah yang selalu mengetahui dan memantau kegiatan anak di luar sekolah (59.57%), anak lebih suka meminta uang kepada ayah daripada anggota keluarga lain (59.57%), ayah selalu membantu menyelesaikan masalah yang terjadi pada anak (57.45%), ayah paling tahu kegemaran atau hobi anak (55.32%), dan ayah mengenal teman-teman anak (46.81%). Persentase tertinggi bonding ayah dan anak yaitu dalam hal anak lebih suka meminta uang tambahan kepada ayah dibanding dengan anggota keluarga lain, sedangkan persentase terendah dalam hal ibu keterbukaan anak untuk menceritakan masalah anak kepada ayah (Lampiran 9).

Apabila interaksi dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu rendah, sedang, dan tinggi, lebih dari separuh (53.19%) interaksi ayah dan anak berada pada kategori tinggi, dengan komunikasi (59.57%) dan bonding (53.19%) berada pada kategori tinggi. Hal ini menggambarkan bahwa ayah berusaha untuk menggantikan proporsi komunikasi dan bonding ibu dan anak yang menurun akibat kepergian ibu (Tabel 23).

Tabel 23 Sebaran contoh (%) berdasarkan kategori interaksi ayah dan anak (n=47)

No Tingkat Interaksi Ayah Anak

Interaksi Ayah Anak Interaksi Ayah Anak Komunikasi Bonding % % % 1 Rendah (20-33) 6.38 8.51 8.51 2 Sedang (34-47) 34.04 38.30 38.30 3 Tinggi (48-60) 59.57 53.19 53.19 Total 100 100 100

Frekuensi Komunikasi Ayah dan Anak

Frekuensi komunikasi antara ayah dan anak dapat dilihat pada Tabel 24. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari setengah (57.45%) ayah berkomunikasi dengan anak setiap hari. Selain itu, hasil penelitian menunjukkan bahwa ayah selalu mempunyai kesempatan berkomunikasi dengan anak menjelang tidur (25.53%), ayah sering mempunyai kesempatan berkomunikasi dengan anak saat dalam perjalanan (23.40%), dan ayah sering melakukan komunikasi dengan anak saat makan malam (19.15%). Ketidaksempatan ayah dan anak berkomunikasi biasanya saat makan siang dan saat bekerja.

Tabel 24 Sebaran contoh (%) berdasarkan frekuensi komunikasi ayah dan anak (n=47)

No Pernyataan Frekuensi Komunikasi Anak dan Ayah Tidak pernah

Kadang-kadang Sering

% % %

1 Setiap hari anak selalu berkomunikasi dengan bapak

4.26 38.30 57.45 2 Saya mempunyai kesempatan berkomunikasi

dengan anak saat makan pagi bersama 44.68 40.43 14.89 3 Saya mempunyai kesempatan berkomunikasi

dengan anak saat makan siang bersama

48.94 36.17 14.89 4 Saya mempunyai kesempatan berkomunikasi

dengan anak saat makan malam bersama 38.30 42.55 19.15 5 Saya mempunyai kesempatan berkomunikasi

dengan anak saat menjelang tidur

27.66 46.81 25.53 6 Saya mempunyai kesempatan berkomunikasi

dengan anak saat dalam perjalanan 31.91 44.68 23.40 7 Saya mempunyai kesempatan berkomunikasi

dengan anak saat setelah selesai beribadah

51.06 34.04 14.89 8 Saya mempunyai kesempatan berkomunikasi

dengan anak saat saya bekerja 76.60 14.89 8.51 Tabel 25 memperlihatkan bahwa proporsi terbanyak (44.68%) frekuensi komunikasi antara ayah dan anak termasuk kategori sedang. Adapun proporsi

frekuensi komunikasi ayah dan anak kategori rendah adalah 40.43 persen, dan selebihnya termasuk kategori tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa frekuensi komunikasi yang dilakukan ayah dengan anak masih relatif kurang meskipun bila dilihat dari isi dan cara komunikasi antara anak dan ayah tinggi.

Tabel 25 Sebaran contoh (%) berdasarkan kategori frekuensi komunikasi ayah dan anak (n=47)

No Frekuensi Komunikasi Anak dan Ayah %

1 Rendah (8-13) 40.43

2 Sedang (14-19) 44.68

3 Tinggi (20-24) 14.89

Total 100

Interaksi Suami dan Istri

Interaksi suami dan istri ditinjua dari aspek komunikasi menunjukkan bahwa hampir seluruh (95.74%) suami merasa saling menghargai diantara pasangan. Menurut Munandar (1985), perkawinan yang harmonis akan dirasakan jika ada saling pengertian diantara keduanya, sehingga tercipta toleransi akan kekurangan-kekurangan, kelemahan-kelemahan, dan kebiasaan pasangan.

Hampir tiga perempat (72.34%) suami mengaku sering membicarakan masalah pendidikan anak, tiga perlima (63.83%) suami terbuka dalam mengungkapkan rasa cinta diantara pasangan, tiga perlima (63.83%) suami lebih suka berbicara kepada istri dibandingkan dengan orang lain, dan tiga perlima (61.70%) suami saling meluangkan waktu untuk berbicara dengan pasangan kapanpun suami dan istri memerlukan (Lampiran 10).

Dalam suatu rumah tangga, hambatan kadang memang mengganggu ketentraman perkawinan. Akibatnya interaksi antara suami istri sedikit mengalami goncangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tiga perlima (34.04%) suami kadang mengalami konflik dalam mendisiplinkan dan mengasuh anak, hampir setengah (44.68%) suami mengaku sering marah atau memaki istri, dan juga sebaliknya (Lampiran 10). Berdasarkan hasil wawancara mendalam, selain konflik tersebut, terdapat konflik yang sering terjadi selama istri menjadi TKW yaitu adanya kecemburuan dan kecurigaan istri bahwa suami memiliki teman wanita lain saat istri tidak ada di rumah. Berbagai konflik tersebut dapat mempengaruhi stabilitas keluarga terutama dalam kepuasan perkawinan seperti

hasil penelitian yang dilakukan Fitasari (2004) dimana semakin tinggi konflik dalam keluarga maka akan semakin menurunkan tingkat kepuasan yang dicapai keluarga.

Interaksi suami dan istri ditinjau dari aspek bonding menunjukkan bahwa tiga perlima (65.96%) suami merasa istri adalah kawan paling dekat yang bisa diajak ngobrol tentang apa saja serta istri bersedia memperhatikan dan mendengarkan jika contoh mendapat masalah. Hal ini menyebabkan apabila suami mempunyai masalah maka akan lebih senang menceritakannya kepada istri dibanding dengan orang lain. Saat suami mendapat masalah, maka istri mencoba membantu menyelesaikan. Hal ini menjadi salah satu penyebab ketika istri pergi menjadi TKW, tiga perlima (61.30%) contoh sering merasa sedih. Selain itu, sebagian besar beban keluarga harus ditanggung contoh sendiri tanpa bantuan dari istri seperti mencari nafkah yang tetap harus dijalankan, namun dilain sisi contoh juga harus mengasuh anak dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga (Lampiran 11).

Adapun bila interaksi (komunikasi dan bonding) digolongkan menjadi tiga kategori yaitu rendah, sedang, dan tinggi, hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir tiga perempat contoh (70.21%) memiliki kategori interaksi suami istri yang tinggi. Terdapat lebih dari tiga perlima (65.96%) suami dan istri memiliki tingkat komunikasi yang tinggi dan selebihnya berada pada tingkat sedang. Hampir tiga perempat (74.47%) suami dan istri memiliki kategori bonding yang tinggi, sebanyak 17.02 persen berada pada kategori sedang, dan selebihnya berada pada kategori rendah (Tabel 26).

Tabel 26 Sebaran contoh (%) berdasarkan kategori interaksi suami istri (n=47)

No Tingkat Interaksi Suami Istri

Interaksi Ibu Anak Interaksi Ibu Anak Komunikasi Bonding % % % 1 Rendah (20-33) 0 8.51 2.13 2 Sedang (34-46) 34.04 17.02 27.66 3 Tinggi (47-70) 65.96 74.47 70.21 Total 100 100 100

Berdasarkan uji beda Independent Simple T-test menunjukkan adanya perbedaan signifikan antara interaksi ibu dan anak (rata-rata=1.877) dengan interaksi ayah dan anak (rata-rata=2.339). Begitu juga dengan komunikasi dan bonding dimana hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara komunikasi ibu dan anak (rata-rata=1.817) dengan komunikasi

ayah dan anak rata=2.347) (p<0.01) dan antara bonding ibu dan anak (rata-rata=1.934) dengan bonding ayah dan anak (rata-rata=2.328) (p<0.01). Hal ini menunjukkan bahwa interaksi, komunikasi, dan bonding antara ayah dan anak lebih baik jika dibandingkan dengan interaksi, komunikasi, dan bonding antara ibu dan anak saat ibu menjadi TKW.

Tabel 27 Hasil uji beda interaksi anggota keluarga

No Interaksi Orangtua dan Anak (pasca TKW)

Interaksi (rata-rata) Uji Beda (p-value) Ibu-anak Ayah-anak Ibu-anak dengan

Ayah-anak 1 Komunikasi 1.817 2.347 0.002** 2 Bonding 1.934 2.328 0.001** 3 Interaksi (komunikasi+bonding) 1.877 2.339 0.000** Kualitas Perkawinan Kebahagiaan Perkawinan

Kebahagiaan perkawinan dalam penelitian ini bersifat subjektif dan individual. Kebahagiaan perkawinan yang diukur dalam penelitian ini meliputi aspek komunikasi dengan pasangan, komunikasi dengan keluarga pasangan, kepribadian pasangan, afeksi dengan pasangan, dan komitmen perkawinan.

Komunikasi merupakan aspek penting dalam menjalin hubungan dalam keluarga. Komunikasi merupakan kontributor penting dalam terciptanya kebahagiaan perkawinan. Sebanyak 74.47 persen suami mengaku merasa bahagia dengan komunikasi yang terjalin antara suami dan pasangan. Hal ini menunjukkan meskipun mereka berkomunikasi menggunakan media telepon namun tidak menjadikan mereka kesulitan dalam mengartikan komunikasi diantara pasangan.

Sebanyak 70.21 persen suami menganggap sering merasakan kemudahan dalam berkomunikasi dengan keluarga pasangan. Hal ini berarti bahwa hubungan antara suami dan keluarga pasangan terjalin dengan cukup baik. Bahkan sebagian besar dari suami mendapatkan bantuan dari keluarga pasangan dalam pengasuhan anak. Hal ini sesuai dengan pendapat Landis dan Landis (1955) yang menyatakan bahwa jika hubungan mertua ipar baik maka perkawinan juga cenderung akan baik.

Kebahagiaan ditinjau dari aspek kepribadian istri berupa perilaku istri, hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari separuh (59.57%) suami sering merasa tidak ada perilaku istri yang tidak disukai. Hal ini berarti kepribadian istri tidak berpotensi menggangu kebahagiaan perkawinan bagi separuh keluarga TKW. Namun hal ini juga merupakan hal yang harus diwaspadai karena lebih dari sepertiga contoh menganggap bahwa kepribadian istri contoh kadang bahkan sering tidak dapat diterima contoh. Hal ini menggambarkan bahwa pasangan kurang dapat mengalah dan menyesuaikan diri dengan pasangannya. Landis dan Landis (1955) menyatakan bahwa perkawinan bisa dikatakan bahagia dikarenakan pasangan dapat menerima tugas dalam menyesuaikan cara pandang masing-masing pasangan.

Penghargaan akan kemampuan dan hasil karya juga dianggap penting dalam mewujudkan kebahagiaan perkawinan. Lebih dari sepertiga (38.30%) suami mengatakan istri selalu memuji atas kemampuannya sebagai suami dan kurang dari setengah suami yang mengaku istrinya hanya kadang-kadang saja memuji suami. Diantara semua item pertanyaan kebahagiaan perkawinan, item pertanyaan ini yang memiliki persentase terendah. Hal ini menggambarkan kebiasaan memuji yang tidak terlalu membudaya dikalangan contoh. Di sisi lain Landis dan Landis (1955) berpendapat bahwa keluarga yang bahagia adalah keluarga yang anggota keluarganya memperlihatkan afeksi dan empati untuk anggota keluarga lain. Begitu pula yang diungkapkan Munandar (1985) bahwa penting untuk suatu perkawinan yang harmonis, dimana kedua belah pihak pasangan merasakan kebahagiaan dan kepuasan, ialah jika ada saling penghargaan atas prestasi, minat, individualitas antara keduanya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir seluruh contoh (89.36%) mengaku saling menjaga komitmen perkawinan. Menurut Olson (1986) dalam Nurani (2004), keluarga bahagia adalah keluarga dengan pasangan yang menikah dengan anggotanya yang melaksanakan komitmen bersama dan saling mendukung.

Kepuasan Perkawinan

Kepuasan perkawinan dalam penelitian ini diukur melalui aspek ekonomi, komunikasi, afeksi, kepribadian/perilaku, dan komitmen perkawinan. Hanya seperdelapan (12.77%) suami sering merasakan kepuasan dari keuangan yang dimiliki keluarga, sisanya kadang-kadang puas (51.06%) dan tidak puas

(36.17%). Hasil ini menunjukkan bahwa meskipun pendapatan keluarga rata-rata telah meningkat hampir tiga kali lipat setelah istri yang menjadi TKW, hal ini tidak menjamin akan kepuasan dalam aspek ekonomi. Berdasarkan pengamatan, hal tersebut disebabkan pendapatan yang diperoleh istri sebagian besar tidak dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari namun digunakan menambah aset keluarga seperti untuk membangun atau memperbaiki rumah, membeli motor, membeli sawah atau lahan dan lain-lain.

Tabel 28 Sebaran contoh (%) berdasarkan kualitas perkawinan (n=47)

No Pernyataan Kualitas Perkawinan

Tidak pernah Kadang-kadang Sering % % % Kebahagiaan Perkawinan

1 Saya bahagia jika sering/maksimal komunikasi dengan istri saya

14.89 10.67 74.47 2 Saya mudah berkomunikasi dengan

keluarga istri saya 10.67 19.15 70.21 3 Ada perilaku istri yang tidak disukai* 6.38 34.04 59.57

4 Istri saya selalu memuji atas

kemampuan saya sebagai suami 19.15 42.55 38.30 5 Saya dan istri selalu menjaga komitmen

perkawinan 4.26 6.38 89.36

Kepuasan Perkawinan

1 Puas dengan keuangan keluarga yang

dimiliki sekarang 36.17 51.06 12.77 2 Puas dengan komunikasi yang terjalin

diantara saya dan istri saat ini

14.89 17.02 68.09 3 Puas karena istri saya mencintai saya

sampai saat ini 4.26 12.77 82.98

4 Puas karena istri saya selalu memperlakukan saya seperti yang diinginkan

12.77 21.28 65.96 5 Puas karena istri saya dan saya saling

setia 4.26 12.77 82.98

Lebih dari setengah (68.09%) suami sering merasakan kepuasan akan kemudahan dalam berkomunikasi dengan istri, hanya sepertujuh (14.89%) suami yang tidak pernah merasakan kemudahan berkomunikasi dengan istri. Suami yang tidak merasa puas berkomunikasi dengan istri banyak disebabkan adanya kecurigaan diantara pasangan dan ikut campur keluarga besar terhadap masalah rumah tangga keluarga.

Kepuasan perkawinan yang dilihat dari aspek cinta, hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar (82.98%) suami merasa puas karena suami merasa dicintai pasangannya sampai saat ini. Dua pertiga (65.96%) suami

merasa puas karena diperlakuan oleh istri sesuai dengan keinginan. Sebagian besar (82.98%) suami merasa puas karena suami dan istri saling setia (Tabel 28). Hal ini sesuai yang diungkapkan oleh Sadarjoen (2009) bahwa salah satu ciri perkawinan yang sukses yaitu perkawinan yang penuh dengan komitmen yang terjaga, kejujuran, kesetiaan, dan kepercayaan.

Berdasarkan wawancara mendalam, diperoleh informasi bahwa seluruh suami (10 orang) mengalami ketidakpuasan karena tidak mampu menyalurkan hasrat seksualnya kepada istri selama istri bekerja menjadi TKW. Sebagian suami biasanya menahan hasrat seksualnya dengan berpuasa dan mendekatkan diri kepada Tuhan, misalnya dengan mendatangi guru spiritual untuk mendapatkan kajian-kajian agama.

Meskipun sebagian besar (82.98%) suami menyatakan merasa puas karena suami dan istri saling setia, namun berdasarkan wawancara mendalam terdapat lima suami yang mengaku suami pernah memiliki teman wanita (PSK) untuk melampiaskan hasrat seksualnya (Kotak 5). Bahkan terdapat satu suami yang menyatakan bahwa hampir 90 persen suami-suami yang ditinggal istri menjadi TKW sering melampiaskan stres kepada hal-hal seperti bermain perempuan, berjudi, dan minum-minuman keras.

Kualitas perkawinan diukur dari aspek kebahagiaan perkawinan dan kepuasan perkawinan yang dirasakan oleh keluarga contoh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 65.96 persen suami merasakan kebahagiaan perkawinan yang tergolong kategori tinggi, 27.66 persen tergolong kategori sedang, dan selebihnya tergolong kategori rendah. Berdasarkan hasil penelitian untuk variabel kepuasan perkawinan, 65.69 persen keluarga contoh memiliki kepuasan perkawinan kategori tinggi, sebanyak 29.79 persen tergolong kategori

KOTAK 6 “Komitmen Perkawinan yang Terabaikan Akibat Kepergian Istri sebagai