• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tenaga Kerja Indonesia (TKI)

Menurut Undang-Undang RI Nomor 39 Tahun 2004 Pasal 1 mengenai penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri, Tenaga Kerja Indonesia (TKI) adalah setiap Warga Negara Indonesia yang memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima upah. Penempatan dan perlindungan calon TKI/TKI bertujuan untuk: (1) Memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi; (2) Menjamin dan melindungi calon TKI/TKI sejak di dalam negeri, di negara tujuan, sampai kembali ke tempat asal; (3) Meningkatkan kesejahteraan TKI dan keluarganya. Penempatan Tenaga Kerja Indonesia menurut kawasan dan negara tujuan Tahun 2006 dapat dilihat pada Tabel 2.

Hampir 80 persen TKI yang dikirim adalah TKW yang tidak terdidik dan bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Diketahui bahwa hampir 100 persen TKI yang bekerja di Singapura, 93 persen di Arab Saudi, dan 94 persen di Hongkong adalah Tenaga Kerja Wanita (TKW). Profil TKI menyajikan adanya data berdasarkan tingkat pendidikan yaitu dari 106.28 juta angkatan kerja berdasarkan Sakernas Badan Pusat Statistik (BPS) Agustus 2006, sebanyak 53.13 persen (56.47 juta) hanya tamatan SD ke bawah, sebanyak 20.61 persen (21.97 juta) lulusan SLTP, 20.64 persen (21.93 juta) lulusan SLTA, sedangkan yang pernah belajar di perguruan tinggi hanya 5.62 persen (5.97 juta) dengan kondisi 2.44 juta orang di antaranya mendapat pendidikan diploma dan sisanya sarjana (S1) (Samhadi 2007). Hal tersebut tentunya juga berdampak pada pekerjaan yang ditekuni TKI. Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nusa Tenggara Barat mengatakan sekitar 97 persen dari jumlah Tenaga Kerja Indonesia (TKI) asal NTB yang bekerja di luar negeri merupakan tenaga tidak trampil (BNP2TKI 2010).

Permasalahan-permasalahan selama masa penempatan yang banyak dialamai TKI/TKW antara lain: 1) Dijebak menjadi pelacur di daerah transit, 2) Diperjualbelikan antar agency di luar negeri, 3) Jenis pekerjaan tidak sesuai dengan Perjanjian Kerja (PK), 4) Jam kerja melampaui batas, tanpa ada uang lembur, 5) Tidak memegang dokumen apapun karena semua dokumen ditahan majikan, 6) Dilarang berkomunikasi dengan orang lain termasuk dengan keluarga, 7) Akomodasi dan makanan di rumah majikan tidak memadai, 8)

Dilarang menjalankan ibadah, dipaksa memasak dan makan makanan haram (daging babi), 9) Gaji dipotong oleh PPTKIS bekerjasama dengan agency yang besarnya melampui ketentuan, 10) Gaji tidak dibayar, 11) Memperpanjang kontrak kerja tidak ijin dari keluarga dan menggunakan kontrak kerja yang lama, 12) Punggutan yang tinggi oleh agency saat perpanjangan kontrak kerja, 13) Disiksa, dianiaya, makan makanan basi dan bekas, diperkosa oleh majikan atau oleh pegawai agency, 14) Dipenjara dengan berbagai rekayasa tuduhan, 15) Bunuh diri atau membunuh atau melakukan tindakan pidana lainnya atau karena putus asa akibat perlakuan buruk majikan/agency, 16) Disekap oleh majikan atau agency, 17) Mengalami PHK sepihak dan dipulangkan majikan tanpa diberikan hak-haknya, 18) Dipulangkan sepihak oleh agency setelah usai masa pemotongan gaji oleh agency, sehingga tak pernah menerima gaji penuh, 19) Penipuan dengan modus medikal yang direkayasa dan akhirnya dipulangkan karena dianggap tidak fit, 20) Mengadu ke Polisi tetapi “dikembalikan” kepada agency/tekong, yang kemudian oleh agency/tekong dipekerjakan secara illegal, digaji murah atau tidak digaji, bahkan dilacurkan, 21) Dideportasi tetapi tidak pernah sampai di rumah ditangkap oleh calo kemudian diberangkatkan kembali ke luar negeri secara illegal, 22) Pihak aparat KBRI/Konjen RI yang tidak mau membela dan menelantarkan, 23) Penyelesaian kasus tidak tuntas dan dipulangkan karena lamanya proses penyelesaian kasus, 24) Dikenai punggutan oleh aparat KBRI/Konjen RI di luar negeri dengan berbagai dalih, 25) Ketiadaan dan lambannya informasi untuk keluarga jika mengalami sakit, di penjara atau meninggal dunia, 26) Sebelum dipulangkan dipaksa menandatangi surat yang kemudian diketahui isinya adalah pernyataan telah menerima gaji, padahal gajinya belum dibayar/tidak diberikan dan surat pernyataan tersebut ditulis dalam bahasa yang tidak dimengerti oleh TKI (BNP2TKI 2008).

Permasalahan-permasalahan yang dialami TKI sering mendatangkan gangguan psikis tersendiri. Untuk menangani gangguan psikis para TKI yang pulang ke Tanah Air ini, Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) telah mendirikan Klinik Psikologi bagi TKI dengan praktek kerja selama 24 jam di Gedung Pendataan Kepulangan (GPK) TKI, Selapajang, Tangerang. Data menunjukkan bahwa selama kurun waktu Januari sampai Oktober 2009, terdapat 554 TKI (14 laki-laki dan 540 perempuan) yang menderita sakit baik fisik maupun psikologis. Diantara jumlah 554 TKI itu, 378 TKI sudah diterapi karena mengalami gangguan psikis (BNP2TKI 2010).

Tabel 2 Penempatan Tenaga Kerja Indonesia menurut kawasan dan negara Tahun 2006 NEGARA

PENEMPATAN

FORMAL

TF NON FORMAL TNF JENIS KELAMIN T

L P L P L P Malaysia 101600 60336 161936 5992 102171 108163 107592 162507 270099 Singapura 6 530 536 - 8539 8539 6 9069 9075 Brunai D 1530 427 1957 1 822 823 1531 1249 2780 Hong Kong - 152 152 13 13448 13461 13 13600 13613 Taiwan 2216 1540 3756 340 23994 24334 2556 25534 28090 Korea Selatan 2613 487 3100 - - - 2613 487 3100 Jepang - - - 13 8 21 13 8 21 Lain-lain 26 - 26 5 2 7 31 2 33 SUBTOTAL 107991 63472 171463 6364 148984 155348 114355 212456 326811 Saudi Arabia 3127 983 4110 18615 284702 303317 21742 285685 307427 UEA/Ad Dhabi 162 19 181 73 15240 15313 235 15259 15494 Kuwait 47 2 49 28 14648 14676 75 14650 14725 Bahrain 57 2 59 4 422 426 61 424 485 Qatar 1659 26 1685 142 3217 3359 1801 3243 5044 Oman 4 - 4 4 3519 3523 8 3519 3527 Yordania - - - 12 6456 6468 12 6456 6468 Lain-lain 3 14 17 - 2 2 3 16 19 SUBTOTAL 5059 1046 6105 18876 328206 347084 23937 329252 353189 TOTAL 11305 64518 177568 25242 477190 502432 138292 541708 680000

Sumber: Direktorat Jendral PPTKLN-Depnakertrans Keterangan:

L : Laki-laki P : Perempuan TF : Total Formal TNF : Total Non Formal T : Total

Keluarga

Definisi Keluarga

UU Nomor 10 Tahun 1992, mendefinisikan keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami-istri, atau suami istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya. Menurut Melson (1980), keluarga adalah kelompok dari individu-individu yang mencari pemaksimalan sumberdaya materi dan fisik agar mencapai tujuan personal dan kelompok. Saxton (1990) mengartikan keluarga sebagai hubungan antara dua atau lebih orang melalui kelahiran, adopsi, atau perkawinan dan hidup dalam satu rumahtangga.

Keluarga dipandang sebagai: 1) Suatu sistem interaksi antar anggota keluarga, 2) Suatu seri interaksi yang dilakukan dua pihak (dyadic), 3) Sejumlah interaksi antara seluruh sub kelompok asosiasi lainnya, keluarga memiliki “daya hidup” lebih lama, serta hubungan biologis dan intergenerasi yang berkaitan dengan ikatan kekerabatan yang lebih luas (Klein & White 1996 dalam Puspitawati 2006).

Keluarga sejahtera adalah keluarga yang dibentuk berdasarkan atas perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan spiritual dan materiil yang layak, bertaqwa kepada Tuhan YME, memiliki hubungan yang serasi, selaras dan seimbang antar anggota dan antara keluarga dengan masyarakat dan lingkungan. Membangun keluarga sejahtera pada hakekatnya tidak saja mengentaskan keluarga dari kemiskinan harta atau kebutuhan fisik semata, namun juga kebutuhan lainnya yang mencakup sosial psikologis dan pengembangan diri untuk jangka waktu lebih lama (Anonim 1996).

Pendekatan Teori Struktural-Fungsional

Para sosiolog ternama seperti William F. Ogburn dan Talcott Parsons mengembangkan pendekatan struktural-fungsional dalam kehidupan keluarga pada abad ke-20. Pendekatan ini mengakui adanya segala keragaman dalam kehidupan sosial dan masing-masing akan memiliki fungsinya sendiri. Perbedaan fungsi tidak untuk memenuhi kepentingan individu yang bersangkutan, tetapi untuk mencapai tujuan bersama. Struktur dan fungsi yang terbentuk tidak akan pernah lepas dari pengaruh budaya, norma, dan nilai sosial yang melandasi sistem masyarakat (Megawangi 1999).

Menurut Megawangi (1999), ada tiga elemen utama dalam struktur internal keluarga, yaitu mengacu pada:

1. Status sosial; keluarga inti terdiri dari tiga unsur utama yaitu bapak/suami (pencari nafkah), ibu/istri (ibu rumah tangga) dan anak-anak (anak balita, anak sekolah, remaja, dewasa) serta hubungan timbal balik antar individu dengan status sosial berbeda.

2. Konsep peran sosial; menggambarkan peran dari masing-masing individu atau kelompok menurut status sosialnya dalam sebuah sistem sosial. Diferensiasi peran ini diharapkan dapat menuju suatu sistem keseimbangan (equilibrium tendency).

3. Norma sosial; peraturan yang menggambarkan bagaimana sebaiknya seseorang bertingkah laku dalam kehidupan sosialnya. Norma sosial berasal dari masyarakat itu sendiri yang merupakan bagian dari kebudayaan. Akan tetapi setiap keluarga dapat mempunyai norma sosial yang spesifik untuk keluarga tersebut, misalnya norma sosial dalam pembagian tugas rumah tangga, yang merupakan bagian struktur keluarga untuk mengatur tingkah laku setiap anggota keluarganya.

Levy (Megawangi 1999) mengatakan bahwa tanpa ada pembagian tugas yang jelas pada masing-masing aktor dengan status sosialnya, maka fungsi keluarga akan terganggu yang selanjutnya akan mempengaruhi sistem yang lebih besar lagi. Hal ini bisa terjadi bila ada satu posisi yang peranannya tidak dapat dipenuhi, atau konflik akan terjadi karena adanya kesempatan siapa yang akan memerankan tugas apa. Apabila terjadi, maka keberadaan institusi keluarga tidak akan berkesinambungan. Persyaratan struktural yang harus dipenuhi agar struktur keluarga sebagai sistem dapat berfungsi antara lain:

(1) Diferensiasi peran dari serangkaian tugas dan aktivitas yang harus dilakukan dalam keluarga, maka harus ada alokasi peran untuk setiap aktor dalam keluarga. Terminologi diferensiasi peran bisa mengacu pada umur, gender, generasi, juga posisi status ekonomi dan politik dari masing-masing aktor. (2) Alokasi solidaritas yang berkaitan dengan distribusi relasi antar anggota

keluarga menurut cinta, kekuatan, dan intensitas hubungan. Cinta atau kepuasan menggambarkan hubungan antar anggota, misalnya keterikatan emosional antara seorang ibu dan anaknya. Kekuatan mengacu pada keutamaan sebuah relasi relatif terhadap relasi lainnya. Misalnya hubungan antara bapak dan anak lelaki mungkin lebih utama daripada hubungan suami

dan istri pada suatu budaya tertentu. Intensitas adalah kedalaman relasi antar anggota menurut kadar cinta, kepedulian, ataupun ketakutan.

(3) Alokasi ekonomi yang berkaitan dengan distribusi barang-barang dan jasa untuk mendapatkan hasil yang diinginkan. Diferensiasi tugas juga ada dalam hal ini terutama dalam hal produksi, distribusi, dan konsumsi dari barang dan jasa dalam keluarga.

(4) Alokasi politik yang berkaitan dengan distribusi kekuasaan dalam keluarga dan siapa yang bertanggungjawab atas tindakan anggota keluarga. Agar keluarga dapat berfungsi maka distribusi kekuasaan pada tingkat tertentu diperlukan.

(5) Alokasi integrasi dan ekspresi yang berkaitan dengan distribusi teknik atau cara untuk sosialisasi, internalisasi, dan pelestarian nilai-nilai dan perilaku yang memenuhi tuntunan norma yang berlaku untuk setiap anggota keluarga.

Peran dan Fungsi Keluarga serta Perubahannya

Keluarga sebagai sebuah sistem mempunyai tugas dan fungsi dalam hal menjalankan tugas-tugas, pencapaian tujuan, integrasi dan solidaritas, serta pola kesinambungan atau pemeliharaan keluarga. Menurut seorang profesor ilmu jiwa bernama Lidz, diferensiasi peran adalah sesuatu yang alamiah, yang sesuai dengan determinasi biologis dan psikologis manusia (Megawangi 1999).

Peran didefinisikan sebagai persepsi tingkahlaku interpersonal yang dihubungkan dengan pengakuan masyarakat akan diri seseorang (Kammeyer 1987). Peran juga dapat diartikan sebagai aktivitas yang dilakukan seseorang sesuai dengan kedudukannya.

Parson dan Bales (Megawangi 1999) menyatakan bahwa peran orangtua dalam keluarga meliputi peran instrumental yang dilakukan oleh suami atau bapak, dan peran emosional atau ekspresif yang biasanya dipegang oleh figur istri atau ibu. Peran instrumental dikaitkan dengan peran mencari nafkah untuk kelangsungan hidup seluruh keluarga. Peran ini lebih memfokuskan pada bagaimana keluarga menghadapi situasi eksternal. Dalam keluarga inti, suami sebagai pencari nafkah diharapkan memerankan peran ini agar tujuan keluarga secara keseluruhan dapat tercapai. Peran emosional ekspresif adalah peran pemberi cinta, kelembutan dan kasih sayang. Peran ini bertujuan untuk mengintegrasikan atau menciptakan suasana harmonis dalam keluarga, serta meredam tekanan-tekanan yang terjadi karena adanya interaksi sosial antar

anggota keluarga atau antar individu di luar keluarga. Istri diharapkan berperan membawa kedamaian agar integrasi dan keharmonisan dalam keluarga dapat tercapai.

Pembagian peran ekspresif dan instrumental menurut Kammeyer (1987) dikaitkan dengan stereotip feminin dan maskulin seseorang. Wanita selalu distereotipkan sebagai orang yang penuh emosional, perhatian dan pengasuhan, lebih simpati, sensitif, mudah terharu, dan peduli terhadap orang lain dan mampu memberikan dorongan sehingga cocok untuk melakukan peran ekspresif. Shaver and Freedman (1976), Lunneborg and Rosenwood (1972), dan Bardwick (1971) dalam Saxton (1990) berpendapat sama bahwa orang yang berperan sebagai caretaker adalah orang yang memiliki karakter feminin dan bertindak sebagai tenderness, compassion, dan penuh pengertian. Karakteristik feminin selalu ditemukan pada perempuan dan karakter ini lebih banyak ditemukan pada perempuan daripada laki-laki.

Menurut BKKBN (1996), delapan fungsi keluarga dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1994 tentang penyelenggaraan pembangunan keluarga sejahtera adalah sebagai berikut:

(1) Fungsi Keagamaan, dalam keluarga dan anggotanya didorong dan dikembangkan agar kehidupan keluarga sebagai persemaian nilai-nilai agama dan nilai-nilai luhur budaya bangsa untuk menjadi insan-insan agamis yang penuh iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

(2) Fungsi Sosial Budaya, memberikan kesempatan kepada keluarga dan seluruh anggotanya untuk mengembangkan kekayaan budaya bangsa yang beraneka ragam dalam satu kesatuan.

(3) Fungsi Cinta Kasih, dalam keluarga akan memberikan landasan yang kokoh terhadap hubungan anak dengan anak, suami dengan istri, orangtua dengan anaknya, serta hubungan kekerabatan antar generasi sehingga keluarga sebagai wadah utama bersemainya kehidupan yang penuh kasih lahir dan batin.

(4) Fungsi Melindungi, keluarga adalah wahana utama yang memberikan rasa aman dan nyaman serta kehangatan bagi seluruh anggota, anak, istri maupun suami

(5) Fungsi Reproduksi, merupakan mekanisme melanjutkan keturunan yang direncanakan dapat menunjang terciptanya kesejahteraan manusia di dunia yang penuh iman dan taqwa.

(6) Fungsi Sosialisasi dan Pendidikan, memberikan peran kepada keluarga untuk mendidik keturunan agar bisa melakukan penyesuaian dengan alam kehidupannya di masa yang akan datang.

(7) Fungsi Ekonomi, mengembangkan kemampuan ekonomi keluarga agar semua anggota mampu mengembangkan kemampuan ekonominya untuk mandiri sehingga dapat mendukung ketahanan keluarga.

(8) Fungsi Pembinaan Lingkungan, memberikan kepada setiap keluarga kemampuan menempatkan diri secara serasi, selaras, dan seimbang sesuai daya dukung alam dan lingkungan yang berubah secara dinamis.

Keluarga inti, sebagai kelompok primer yang terikat oleh hubungan intim mempunyai fungsi-fungsi utama yang meliputi (Munandar 1985):

(1) Pemberian afeksi, dukungan dan persahabatan (2) Memproduksi dan membesarkan anak

(3) Meneruskan norma-norma kebudayaan, agama dan moral pada yang muda (4) Mengembangkan kepribadian

(5) Membagi dan melaksanakan tugas-tugas di dalam keluarga maupun diluarnya

Menurut Guhardja dkk (1992), keluarga bertanggung jawab dalam menjaga, menumbuhkan dan mengembangkan anggota-anggotanya. Dengan demikian pemenuhan akan kebutuhan-kebutuhan untuk mampu bertahan, tumbuh dan berkembang perlu tersedia, yaitu:

(1) Pemenuhan akan kebutuhan pangan, sandang, papan dan kesehatan untuk perkembangan fisik dan sosial.

(2) Kebutuhan akan pendidikan formal, informal dan nonformal untuk pengembangan intelektual, sosial, mental, emosional dan spiritual.

Menurut Maryam (2007) ada persamaan beberapa fungsi yang dikemukakan oleh Rice dan Tucker dengan PP No. 21 Tahun 1994 yaitu: (1) Sebagai mekanisme procreation yaitu mengadakan keturunan yang selanjutnya menurunkan eksistensi masyarakat sebagai satu kesatuan, (2) Memiliki kewajiban untuk memenuhi kebutuhan dasar bagi anggota keluarganya mulai sandang, pangan, perlindungan, pendidikan, kesehatan, serta kebutuhan emosional lainya, dan (3) Memberikan peran sosial dan keagamaan dalam kehidupan bermasyarakat dan keikutsertaannya dalam mengabdikan norma-norma sosial dan keagamaan melalui interaksi anak-anak dan orangtua dalam

keluarga dan interaksi keluarga dengan masyarakat serta interaksi dengan Yang Maha Pencipta.

Perbedaan dari fungsi-fungsi yang telah disebutkan di atas terletak peran orangtua (ayah dan ibu) untuk menjalankan fungsi keluarga. Parson dan Bales membagi dengan jelas fungsi keluarga menjadi dua yaitu fungsi instrumental dan fungsi ekspresif. Fungsi instrumental yang diperankan oleh ayah dan fungsi ekspresif yang diperankan oleh ibu. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 1994 tidak membagi dengan jelas masing-masing fungsi keluarga kedalam peran ayah dan ibu, sehingga untuk menjalankan semua fungsi tersebut dilakukan bersama-sama. Berikut ini disajikan Tabel 3 yang menjelaskan fungsi keluarga dari berbagai sumber (Sunarti 2003).

Tabel 3 Fungsi keluarga dari berbagai sumber

BKKBN (1992) United Nation (1993) Mattesich & Hill dalam Zeitlin et al. (1995)

Rice & Tucker (1986) Roberta Berns (1997) 1. Keagamaan 2. Sosial budaya 3. Cinta kasih 4. Melindungi 5. Reproduksi 6. Sosial dan pendidikan 7. Ekonomi 8. Pembinaan lingkungan 1. Pengukuhan ikatan suami istri 2. Proteksi dan hubungan sosial 3. Sosialisasi dan pendidikan anak 4. Pemberian hak asasi

manusia dan status 5. Perawatan dasar anak

(dan lanjut usia) 6. Rekreasi dan perawatan emosi 7. Pertukaran barang dan jasa 1. Pemeliharaan fisik 2. Sosialisasi dan pendidikan 3. Akuisisi anggota

keluarga baru melalui proteksi atau adopsi 4. Kontrol perilaku sosial

dan seksual

5. Pemeliharaan moral keluarga dan motivasi untuk berperan di dalam dan di luar keluarga 6. Akuisisi anggota keluarga dewasa melalui pembentukan pasangan seksual 7. Melepaskan anggota keluarga dewasa 1. Fungsi ekspresif: memenuhi kebutuhan emosi dan perkembangan termasuk moral, loyalitas, dan sosialisasi anak 2. Fungsi instrumental: manajemen sumberdaya untuk mencapai berbagai tujuan keluarga melalui: a) proteksi dan sosialisasi anak, serta b) dukungan dan pengembangan anggota keluarga 1. Reproduksi 2. Sosialisasi atau pendidikan 3. Penetapan peran sosial 4. Dukungan ekonomi 5. Dukungan emosi (Sumber: Sunarti 2001)

Menurut Megawangi (1993) beberapa kendala yang dihadapi keluarga Indonesia di dalam menjalankan fungsinya antara lain:

(1) Menurunnya kualitas dan kuantitas waktu bersama untuk Family Togetherness. Piotrowski (1978) dalam Megawangi (1993) meneliti pengaruh keadaan lingkungan kerja terhadap kehidupan keluarga pada keluarga sosial ekonomi rendah. Ada tiga bentuk pola yang ditemui; pertama adalah yang disebut positive carry-over dimana suasana pekerjaan cukup menyenangkan dan tidak terlalu melelahkan, sehingga suami atau istri yang pulang ke rumah akan mempunyai suasana emosi yang menyenangkan didalam membina hubungan dengan masing-masing anggota keluarga. Bentuk keluarga kedua yang lebih banyak ditemui pada keluara working class adalah yang disebut negatif cary over dimana suasana pekerjaan tidak menyenangkan dan perasaan tidak berdaya untuk mengatasi keadaan sehingga waktu pulang ke rumah dalam keadaan frustasi dan marah, yang membawa akibat negatif pada hubungan antara suami-istri dan anak-anaknya. Kemudian bentuk yang paling sering dijumpai adalah energy deficit. Pada bentuk ini pekerjaan dianggap sangat membosankan dan melelahkan, sehingga sewaktu pulang ke rumah keadaan fisik sangat capai dan tidak ada energi yang tertinggal lagi untuk dapat berinteraksi dan berkomunikasi dengan anggota keluarga lain. (2) Wanita yang bekerja di luar rumah. Hasil penelitian McGurk (1993) dalam

Megawangi (1993) dilaporkan bahwa ada pengaruh negatif antara lamanya anak diasuh oleh bukan ibunya dan pembentukan bonding, bahkan akan memberi resiko kepada anak untuk mempunyai sikap agresif dan pembangkang. Tetapi McGurk (1993) berpendapat bahwa keadaan ini akan sangat tergantung pada kualitas, konsistensi, dan reability dari pola pengasuhannya. Wanita kelas sosial menengah ke atas mungkin dapat memilih alternatif pengasuhan yang baik sehingga kemungkinan untuk dapat menghindari pengaruh-pengaruh yang tidak diinginkan menjadi lebih besar tetapi tidaklah demikian pada pekerja kelas bawah.

(3) Menurunnya otoritas orangtua. Sehubungan dengan menurunnya kuantitas dan kualitas interaksi antara orangtua dan anak, dan berkurangnya bonding antara orangtua dan anak, peran orangtua sebagai figur yang perlu dicontoh menjadi berkurang. Pada zaman yang kompleks ini anak dihadapkan pada bermacam-macam nilai dari lingkungannya seperti peer group, media cetak atau elektronik, sekolah dll. Pada pihak orangtua sering terjadi sikap yang

ambivalen yaitu mereka merasa tidak mampu menjalankan fungsinya sebagai orangtua di dalam mendidik anak-anaknya. Hal ini disebabkan perubahan sosial yang cepat dan menuntut penyesuaian sikap orangtua terhadap anak-anaknya. Akibatnya banyak orangtua yang berpaling pada para ahli pendidik atau menyerahkan sepenuhnya kepada institusi sekolah, termasuk juga dalam pembentukan moral anak. Karena institusi sekolah tidak dapat secara efektif memberikan dukungan moril kepada siswa sepenuhnya dan membentuk moral para siswa, anak-anak remaja sering mengalami adolence crisis, sehingga banyak yang berpaling kepada peergroupnya daripada orangtuanya. Salah satu faktor yang menyebabkan anak-anak kota lebih agresif adalah hubungan yang tidak baik antara orangtua dan anak kerena kurangnya waktu kebersamaan. Hasil penelitian Ancok (1993) dalam Megawangi (1993) pada remaja Indonesia menunjukkan bahwa remaja kota cenderung mempunyai hubungan yang kurang baik dengan ayahnya dibandingkan dengan remaja desa.

Yusuf (2000) dalam Jatiningsih (2004) menyebutkan bahwa keluarga yang fungsional merupakan keluarga yang telah mampu melaksanakan fungsi-fungsinya yang ditandai oleh karakteristik: (1) Saling memperhatikan dan mencintai, (2) Bersikap terbuka dan jujur, (3) Orangtua mau mendengarkan anak, menerima perasaan dan menghargai pendapatnya, (4) Ada sharing masalah atau pendapat diantara anggota keluarga, (5) Mampu berjuang mengatasi masalah hidupnya, (6) Saling menyesuaikan diri dan mengakomodasi, (7) Orangtua melindungi (mengayomi) anak, (8) Komunikasi antar anggota keluarga berlangsung baik, (9) Keluarga memenuhi kehidupan psikososial anak dan mewariskan nilai-nilai sosial budaya, dan (10) Mampu beradaptasi dengan perubahan yang terjadi.

Rogers (1960) dalam Simamora (2005) menjelaskan perubahan fungsi keluarga yang terjadi dewasa ini. Ada tujuh perubahan yang dimaksud:

(1) Pergeseran fungsi keluarga: Fungsi produksi, melindungi, mendidik, dan fungsi keagamaan perlahan-lahan digantikan dengan institusi atau organisasi di luar keluarga. Studi di Michigan, Amerika Serikat, ditemukan bahwa keluarga berkumpul secara lengkap hanya sekitar sejam sehari dan kebanyakan waktu tersebut dihabiskan untuk makan. Keluarga petani kebanyakan berkumpul kurang dari waktu tersebut.

(2) Perubahan otoritas dalam rumah tangga: Otoritas ayah sebagai pengambil keputusan yang dominan menurun mengiringi peningkatan persentase jumlah wanita bekerja.

(3) Perubahan dalam pencarian pasangan: Dewasa ini romantisme menjadi inti pencarian pasangan. Jaman dulu pencarian pasangan dapat dikatakan tidak memiliki romantisme, pria dan wanita dijodohkan pihak keluarga dan diijinkan bertemu sekali saja sebelum perkawinan.

(4) Perubahan sikap terhadap perceraian: Dulu perceraian dianggap kotor dan dosa, namun perkembangan dewasa ini lebih kooperatif sehingga pasangan-pasangan yang tidak cocok dapat dengan mudah mengajukan perceraian. Akibatnya angka perceraian meningkat drastis. Tidak dapat dipungkiri pula remarriage atau pernikahan kembali juga meningkat.

(5) Perlakuan terhadap kaum tua: Kaum tua atau yang sudah jompo kurang dihoramati lagi. Kecenderungan keluarga saat ini memilih jauh dari tempat tinggal orangtua atau mertuanya.

(6) Perubahan jumlah dan ukuran keluarga: Rata-rata ukuran keluarga sejak Tahun 1800 menurun akibat peningkatan metode pengaturan kelahiran,