• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS FUNGSI PENGASUHAN DAN INTERAKSI DALAM KELUARGA TERHADAP KUALITAS PERKAWINAN DAN KONDISI ANAK PADA KELUARGA TENAGA KERJA WANITA (TKW)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS FUNGSI PENGASUHAN DAN INTERAKSI DALAM KELUARGA TERHADAP KUALITAS PERKAWINAN DAN KONDISI ANAK PADA KELUARGA TENAGA KERJA WANITA (TKW)"

Copied!
194
0
0

Teks penuh

(1)

DAN KONDISI ANAK PADA KELUARGA

TENAGA KERJA WANITA (TKW)

(Kasus Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi)

SHELY SEPTIANA SETIONINGSIH

DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2010

(2)

Workers.

Family of Migran Woman Workers are faced disorganitation with condition that family members, especially children are separated from their mother. The separateness has consequences in changing family structure dan function of parenting. Moter have an important role in children change as main bread winner. The aim of this study was to analyze the determinant factors of marriage quality and children conditions (social competence, stress, and achievement at school) at family of Migran Woman Worker. The study was conducted at Cikahuripan, Cisolok, and Cikelat Village, Sukabumi, West Java Province in Mei 2009. The study implemented cross sectional study and retrospective study as a study design. The sample of family were chosen purposively from the chosen location. The total sample was 47 family of migrant woman workers who have school age’s child. The study used descriptive and inferensia (Corelation Rank Spearman, Independent sample t-test, and Multivariate regression) analysis that obtain from primary data (questionnaire), in-depth interview, and secondary data. The results found out that average of family income when wife as migrant woman worker were three times as many as before wife became migrant woman worker. However, more than half of children have medium stress category and low achievement at school. Three-fourth of sampeles have high marriage quality The interactions between father and child and interaction between husband and wife have positive affects to marriage quality. The length of the wife as migrant has negative affects to child’s conditions (social competence, stress, and achievement at school). However, income has significant and positive effect on the conditions of child, especially achievement because income family could afford to give facilities for study.

Key words: Parenting, Family’s Interaction, Marrital Quality, Child’s Condition, Migran Woman Workers 

(3)

dalam Keluarga terhadap Kualitas Perkawinan dan Kondisi Anak pada Keluarga Tenaga Kerja Wanita (TKW) (Dibawah bimbingan HERIEN PUSPITAWATI).

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh fungsi pengasuhan dan interaksi dalam keluarga terhadap kualitas perkawinan dan kondisi anak pada keluarga Tenaga Kerja Wanita (TKW). Adapun tujuan khususnya adalah: (1) Mengetahui karakteristik keluarga TKW; (2) Mengidentifikasi dukungan sosial, fungsi pengasuhan, interaksi dalam keluarga, kualitas perkawinan, dan kondisi anak; (3) Menganalisis perbedaan pengasuhan yang dilakukan ibu sebelum menjadi TKW, pengasuhan pengganti ibu saat ini, dan pengasuhan ayah saat ini; (4) Menganalisis perbedaan interaksi antara ibu dan anak dengan interaksi antara ayah dan anak; (5) Menganalisis hubungan antara karakterisik keluarga TKW, dukungan sosial, fungsi pengasuhan, interaksi dalam keluarga, kualitas perkawinan, dan kondisi anak; dan (6) Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas perkawinan dan kondisi anak pada keluarga TKW.

Disain yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross-sectional study dan retrospective study dengan metode survei. Penelitian dilakukan di tiga desa yaitu Desa Cikahuripan, Cisolok, dan Cikelat, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Propinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purpossive) dengan pertimbangan Kecamatan Cisolok merupakan Kecamatan yang memiliki jumlah Tenaga Kerja Indonesia (TKI) sepuluh terbanyak di Kabupaten Sukabumi. Penelitian secara keseluruhan dilakukan selama sembilan bulan, yaitu mulai bulan April 2009 sampai Januari 2010. Contoh penelitian ini adalah keluarga TKW yang istrinya sedang atau sudah pulang dari luar negeri (maksimal 3 bulan), istri pernah berangkat keluar negeri minimal 6 bulan, dan memiliki anak yang duduk di bangku sekolah dasar. Penarikan contoh menggunakan metode purposive sampling dengan teknik snowball. Jumlah contoh adalah 47 keluarga TKW. Responden penelitian adalah suami.

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara langsung dengan bantuan kuesioner yang relevan dan melalui indepth interview untuk memperoleh informasi lebih mendalam. Data sekunder dikumpulkan dari Kantor Disnakertrans, BPS, Kantor Desa, Sekolah Dasar di Kecamatan Cisolok, dan instansi terkait di Kabupaten Sukabumi. Data yang terkumpul kemudian diolah secara deskriptif dan inferensia (uji korelasi Spearman, uji regresi linear berganda, uji beda Independent Sample T-test) dengan menggunakan program komputer Mocrosoft Excel dan SPSS 13.00 for Windows.

Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar (74.47%) suami dan hampir seluruh (97.87%) istri termasuk dalam usia dewasa awal, sedangkan sebagian besar (85.11%) anak termasuk dalam masa kanak-kanak akhir yang terdiri dari laki-laki (59.57%) dan perempuan (40.43%). Lebih dari separuh (51.06%) keluarga contoh merupakan keluarga kecil. Persentase terbesar suami (51.06%) dan istri (85.11%) memiliki pendidikan tamat sekolah dasar. Persentase terbesar (29.79%) suami bekerja sebagai nelayan, sedangkan persentase terbesar (85.11%) istri bekerja sebagai ibu rumah tangga sebelum menjadi TKW. Rata-rata pendapatan per bulan keluarga sebelum istri menjadi TKW sebesar Rp 1 138 723,00, sedangkan saat istri menjadi TKW rata-rata pendapatan perbulan

(4)

rata gaji per bulan sebesar Rp 1 800 000,00. Lama TKW bekerja di luar negeri berkisar antara 7 bulan sampai 10 Tahun dengan rata-rata 44.81 bulan. Hal yang memotivasi istri untuk menjadi TKW adalah agar anak dapat melanjutkan sekolah, memenuhi kebutuhan keluarga, merubah status sosial ekonomi keluarga, membangun rumah, dan menjadi perempuan mandiri.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari separuh (55.32%) keluarga mendapat dukungan sosial yang tergolong kategori sedang. Sebelum ibu menjadi TKW, pengasuhan anak dilakukan oleh ibu. Setelah ibu menjadi TKW, sebanyak 25.53 persen ayah melakukan pengasuhan tanpa bantuan dari keluarga luas atau lainnya, 48.94 persen ayah melakukan pengasuhan dengan bantuan keluarga luas atau lainnya, dan 25.53 persen pengasuhan dilakukan keluarga luas.

Berdasarkan hasil penelitian, sebagian besar (78.72%) pengasuhan dimensi kehangatan yang dilakukan ibu sebelum menjadi TKW termasuk dalam kategori tinggi. Hasil yang sama dilakukan oleh pengganti ibu dan ayah, dengan kondisi bahwa sebagian besar (74.43%) pengganti ibu dan sebagian besar (80.85%) ayah menerapkan pengasuhan dimensi kehangatan dalam kategori tinggi. Berdasarkan uji beda Independent Sampel T-test diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara pengasuhan dimensi penerimaan dan pengasuhan dimensi penolakan yang dilakukan ibu, pengganti ibu, dan ayah.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari separuh (59.57%) keluarga TKW memiliki interaksi antara ibu dan anak dengan kategori sedang. Lebih dari separuh (53.19%) keluarga TKW memiliki interaksi ayah dan anak yang tergolong kategori tinggi. Hampir tiga perempat (70.21%) keluarga TKW melakukan interaksi suami dan istri dalam kategori tinggi. Hasil uji beda Independent Sampel T-test menunjukkan adanya perbedaan signifikan antara komunikasi ibu dan anak (rata-rata=1.817) dengan komunikasi ayah dan anak (rata-rata=2.347). Hal serupa juga menunjukkan bahwa terdapat perbedaan signifikan antara bonding ibu dan anak (rata-rata=1.934) dengan bonding ayah dan anak (rata-rata=2.328).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas perkawinan keluarga contoh termasuk dalam kategori tinggi (78.72%). Hal serupa juga ditunjukkan untuk kebahagiaan perkawinan (65.96%) dan kepuasan perkawinan (65.69%). Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat hubungan nyata dan positif antara kualitas perkawinan dengan dukungan sosial, pengasuhan penerimaan pengasuh (ibu, pengganti ibu, ayah), dan interaksi dalam keluarga (bonding ibu anak, interaksi ayah dan anak, frekuensi komunikasi ayah dan anak, dan interaksi suami dan istri). Faktor yang berpengaruh positif terhadap kualitas perkawinan adalah interaksi anak ayah dan interaksi suami istri, sedangkan yang berpengaruh negatif adalah jenis kelamin anak.

Hampir dua pertiga (63.83%) anak memiliki keterampilan sosial kategori tinggi. Sebanyak 34.04 persen anak memiliki stres yang tinggi, 27.66 persen memiliki stres sedang, dan selebihnya memiliki stres rendah. Lebih dari separuh anak memiliki prestasi yang mengumpul pada satu kategori yaitu kategori hanya cukup baik. Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat hubungan nyata dan negatif antara interaksi ayah anak dan interaksi suami istri serta kualitas perkawinan dengan kondisi anak (keterampilan sosial, stres, prestasi akademik). Faktor yang berpengaruh positif terhadap kondisi anak (keterampilan sosial, stres, prestasi akademik) adalah pendapatan keluarga, sedangkan yang

(5)

TKW selain memberi dampak positif terhadap penambahan pendapatan keluarga, juga memberi dampak negatif terhadap kualitas perkawinan dan kondisi anak. Dengan demikian, sebaiknya pemerintah melakukan konseling secara berkelanjutan untuk memastikan anak mengalami pertumbuhan dan perkembangan secara optimal dan sebaiknya pemerintah bekerjasama dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) atau Organisasi Wanita lainnya untuk merubah pola pikir bahwa menjadi TKW bukan merupakan jalan terbaik untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga, terutama berkaitan dengan pembentukan Sumberdaya Manusia (SDM) anak. Keterbatasan penelitian ini yaitu pemilihan contoh secara purposive dan semua variabel dijawab berdasarkan perceived (yang dirasakan) ayah, sehingga penelitian ini tidak bisa mengeneralisasi hasil pembahasan. Selain itu, perlu adanya penelitian lanjutan dengan responden anak untuk mengukur kondisi anak dan responden TKW untuk mengukur kualitas perkawinan.

(6)

DAN KONDISI ANAK PADA KELUARGA

TENAGA KERJA WANITA (TKW)

(Kasus di Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi)

SHELY SEPTIANA SETIONINGSIH

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Keluarga dan Konsumen

Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen

DEPERTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2010

(7)

Nama : Shely Septiana Setioningsih NRP : I24050235

Disetujui,

Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Herien Puspitawati, M.Sc., M.Sc NIP. 19621110 198603 2 001

Diketahui,

Ketua Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen

Dr.Ir. Hartoyo, M.Sc. NIP. 19630714 198703 1 002

(8)

Setiawan dan Ibu Riyadiningsih. Pendidikan SD penulis ditempuh dari Tahun 1993 hingga 1999 di SDN 1 Kalibening. Penulis melanjutkan pendidikan tingkat pertama di SLTP N 1 Kalibening dari Tahun 1999 hingga 2002, dan setelah itu penulis melanjutkan di SMAN 1 Banjarnegara dan lulus pada Tahun 2005.

Pada Tahun yang sama, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI), dengan Mayor Ilmu Keluarga dan Konsumen dan Minor Gizi Masyarakat. Selama menempuh pendidikan di IPB, penulis aktif dalam organisasi kemahasiswaan, yaitu Himpunan Mahasiswa Ilmu Keluarga dan Konsumen (HIMAIKO) sebagai anggota Divisi Hubungan Masyarakat dan Alumni (2007-2009) dan anggota Unit Kegiatan Manusia (UKM) Lingkungan Seni Sunda (LISES) Gentra Kaheman IPB sebagai salah satu anggota tim tari (2006-sekarang).

Selain itu, penulis juga aktif mengikuti beberapa kepanitiaan. Penulis berkesempatan untuk mengikuti beberapa perlombaan karya tulis. Penulis lolos dalam seleksi pendanaan Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) Bidang Penelitian dan Artikel Ilmiah yang didanai oleh DIKTI pada Tahun 2007 dan 2009. Pada Tahun 2009, penulis terpilih sebagai salah satu tim pembawa Misi Kebudayaan Indonesia 2009 ke Malaysia. Selama menjadi mahasiswa, penulis juga berkesempatan untuk memperoleh beasiswa Supersemar (2007-2008) dan BP- Migas (2008-2009).

(9)

dalam penyelesaian penulisan skripsi yang berjudul “Analisis Fungsi Pengasuhan dan Interaksi dalam Keluarga terhadap Kualitas Perkawinan dan Kondisi Anak pada Keluarga Tenaga Kerja Wanita (TKW) (Kasus di Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi)”.

Satu hal yang penulis sadari bahwa penulisan dan penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari bantuan moril dan materiil berbagai pihak. Dalam kesempatan ini penulis hendak menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang tulus kepada:

1. Dr. Ir. Herien Puspitawati, M.Sc, M.Sc, selaku pembimbing utama yang telah mengarahkan dan memberi masukan sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.

2. Dr. Ir. Lilik Noor Yuliati, MSFA selaku dosen pemandu seminar hasil penelitian, Ir Melly Latifah, M.Si dan Tin Herawati, SP, M.Si selaku penguji utama yang telah memberikan koreksi, saran, dan masukan dalam rangka perbaikan skripsi ini.

3. Ir. Istiqlaliyah Muflihati selaku pembimbing akademik selama peneliti menjadi mahasiswa IKK dan Ir. Megawati Simanjuntak yang telah banyak membantu peneliti dalam proses perbaikan skripsi.

4. Seluruh Aparat Pemerintah Kabupaten Sukabumi, Aparat Pemerintah Kecamatan Cisolok, Aparat Pemerintah Desa Cisolok, Cikahurupan, dan Cikelat, khususnya Pimpinan Disnakertrans Kabupaten Sukabumi, Bapak Ade, serta Bapak Lurah Cikahuripan (Aji Troy) dan keluarga yang banyak membantu dalam proses penelitian sehingga dapat berjalan dengan lancar. 5. Keluarga tercinta, Papi dan Mami yang telah memberikan kasih sayang,

dukungan dan doanya tiada henti. Semoga Allah membalas dengan surga-Nya. Kakak-kakak tersayang (Ko Adven, Mas Denny, dan Mas Dedy) terimakasih atas kasih sayang dan perhatiannya yang tiada terkira, Mbak Atin dan Dek Tito terimakasih telah menjadi bagian baru keluarga kami dan semakin memberi warna dalam keluarga.

6. M. Arya Wicaksono yang selalu ada dan mendukung serta memberikan semangatnya. Keluarga Soedibyo (Om Soedibyo, Tante Hilda, Zia, dan Arqi)

(10)

7. Mb yu-mb yu ku tercinta (Wulan dan Ary); Piranha’s Family (Shinta, Lani, Nia, Cici, Mery, dan Anvina); kawan-kawan Asrama Pocut Baren atas segala peristiwa-peristiwa yang telah kita lalui bersama, terimakasih telah memberikan warna dalam hari-hari yang penuh canda, tawa, dan kasih sayang serta kebersamaannya; dan Eka Wulida Latifah terimakasih atas bantuannya dalam pengkoreksian skripsi.

8. IKK’ERS 42 atas segala perjuangan yang telah kita lewati bersama, semangat dan perhatiannya. Semoga dengan rahmat-Nya, kita diberi kemudahan dalam mencapai kesuksesan.

9. Tim dosen IKK IPB, terimakasih telah memberikan dukungan dan pengajaran terbaik, juga untuk seluruh staff IKK yang telah membantu selama perkuliahan. Serta seluruh pihak yang tidak dapat penulis ucapkan satu per satu. Terimakasih, semoga Allah membalasnya dengan hal yang lebih baik. Amin.

Bogor, Januari 2010

(11)

DAFTAR ISI ... iv 

DAFTAR TABEL ... vii 

DAFTAR GAMBAR ... x 

DAFTAR LAMPIRAN ... xi 

PENDAHULUAN ... 1  Latar Belakang ... 1  Perumusan Masalah ... 3  Tujuan Penelitian ... 5  Manfaat Penelitian ... 5  TINJAUAN PUSTAKA ... 7 

Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ... 7 

Keluarga ... 10 

Analisis Gender dan Peran Perempuan ... 20 

Dukungan Sosial ... 22 

Pengasuhan ... 23 

Interaksi dalam Keluarga ... 29 

Kualitas Perkawinan ... 32  Kondisi Anak ... 38  Keterampilan Sosial ... 38  Stres Anak ... 42  Prestasi Akademik ... 43  KERANGKA PEMIKIRAN ... 46  METODE PENELITIAN ... 48 

(12)

Pengolahan dan Analisis Data ... 50 

Definisi Operasional ... 52 

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 55 

Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 55 

Karakteristik Keluarga ... 57 

Karakteristik Anak ... 68 

Dukungan Sosial ... 68 

Fungsi Pengasuhan Anak ... 71 

Interaksi dalam Keluarga ... 76 

Kualitas Perkawinan ... 84 

Kondisi Anak ... 88 

Keterampilan Sosial ... 88 

Stres Anak ... 89 

Prestasi Akademik ... 90 

Hubungan Antara Variabel-Variabel Penelitian ... 92 

Hubungan Dukungan Sosial dengan Karakteristik Keluarga ... 92 

Hubungan antara Pengasuhan Anak dengan Karakteristik Keluarga dan Dukungan Sosial ... 93 

Hubungan antara Interaksi Keluarga dengan Karakteristik Keluarga, Dukungan Sosial, dan Pengasuhan ... 96 

Hubungan Antara Kualitas Perkawinan dengan Karakteristik Keluarga, Dukungan Sosial, Pengasuhan, Interaksi Keluarga ... 101 

Hubungan Antara Kondisi Anak dengan Karakteristik Keluarga, Dukungan Sosial, Pengasuhan, Interaksi Keluarga, dan Kualitas Perkawinan ... 105 

Garis Besar Hasil Uji Hubungan antar Variabel Penelitian ... 111 

(13)

Pembahasan Umum ... 117 

Keterbatasan Penelitian ... 119 

KESIMPULAN DAN SARAN ... 120 

DAFTAR PUSTAKA ... 123 

(14)

Tabel 1 Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) dan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Kabupaten Sukabumi Tahun 2005-2007 ... 4  Tabel 2 Penempatan Tenaga Kerja Indonesia menurut kawasan dan negara

Tahun 2006 ... 9  Tabel 3 Fungsi keluarga dari berbagai sumber ... 16  Tabel 4 Jenis data, peubah, contoh, alat dan cara pengukuran, skala data,

jumlah item pertanyaan, dan chronbah alpha (α) ... 50  Tabel 5 Sebaran contoh (%) berdasarkan umur orangtua (n=47) ... 57  Tabel 6 Sebaran contoh (%) berdasarkan besar keluarga (n=47) ... 58  Tabel 7 Sebaran contoh (%) berdasarkan tingkat pendidikan suami dan istri

(n=47) ... 58  Tabel 8 Sebaran contoh (%) berdasarkan pekerjaan suami dan istri sebelum

menjadi TKW (n=47) ... 59  Tabel 9 Sebaran contoh (%) berdasarkan pendapaan keluarga per bulan (n=47)

... 60  Tabel 10 Sebaran contoh (%) berdasarkan kategori pendapatan perkapita per

bulan (n=47) ... 60  Tabel 11 Sebaran contoh (%) berdasarakan negara tujuan dan rata-rata gaji

TKW (n=47) ... 63  Tabel 12 Sebaran contoh (%) berdasarkan lama istri menjadi TKW (n=47) ... 64  Tabel 13 Sebaran contoh (%) berdasarkan persepsi suami terhadap motivasi istri menjadi TKW (n=47) ... 66  Tabel 14 Sebaran contoh (%) berdasarkan umur anak (n=47) ... 68  Tabel 16 Sebaran contoh (%) berdasarkan kategorti dukungan sosial (n=47) ... 71  Tabel 17 Sebaran contoh (%) berdasarkan pengasuh anak (n=47) ... 72  Tabel 18 Hasil uji beda pengasuhan dimensi penerimaan (acceptance) oleh

pengasuh ... 73  Tabel 20 Sebaran contoh (%) berdasarkan kategori pengasuhan dimensi

(15)

Tabel 22 Sebaran contoh (%) berdasarkan kategori interaksi ibu dan anak (n=47) ... 79  Tabel 23 Sebaran contoh (%) berdasarkan kategori interaksi ayah dan anak

(n=47) ... 81  Tabel 24 Sebaran contoh (%) berdasarkan frekuensi komunikasi ayah dan anak

(n=47) ... 81  Tabel 25 Sebaran contoh (%) berdasarkan kategori frekuensi komunikasi ayah

dan anak (n=47) ... 82  Tabel 26 Sebaran contoh (%) berdasarkan kategori interaksi suami istri (n=47) 83  Tabel 27 Hasil uji beda interaksi anggota keluarga ... 84  Tabel 28 Sebaran contoh (%) berdasarkan kualitas perkawinan (n=47) ... 86  Tabel 29 Sebaran contoh (%) berdasarkan kategori kualitas perkawinan (n=47)

... 88  Tabel 30 Sebaran contoh (%) berdasarkan keterampilan sosial anak (n=47) .... 89  Tabel 31 Sebaran contoh (%) berdasarkan kategori keterampilan sosial anak

(n=47) ... 89  Tabel 32 Sebaran contoh (%) berdasarkan kategori stres anak ... 90  Tabel 33 Sebaran contoh berdasarkan prestasi akademik anak (n=45) ... 91  Tabel 35 Hasil uji korelasi Spearman karakteristik keluarga dan dukungan sosial

... 93  Tabel 36 Hasil uji korelasi Spearman karakteristik keluarga dengan pengasuhan

... 94  Tabel 37 Hasil uji korelasi Spearman dukungan sosial dengan pengasuhan anak

... 95  Tabel 38 Hasil uji korelasi Spearman karakteristik keluarga dengan interaksi

keluarga ... 96  Tabel 39 Hasil uji korelasi Spearman dukungan sosial dengan interaksi keluarga

... 98  Tabel 40 Hasil uji korelasi Spearman pengasuhan anak terhadap interaksi

(16)

Tabel 42 Hasil uji korelasi Spearman dukungan sosial dengan kualitas

perkawinan ... 102  Tabel 43 Hasil uji korelasi Spearman pengasuhan anak dengan kualitas

perkawinan ... 103  Tabel 44 Hasil uji korelasi Spearman interaksi keluarga dengan kualitas

perkawinan ... 105  Tabel 45 Hasil uji korelasi Spearman karakteristik keluarga dengan kondisi anak

... 106  Tabel 46 Hasil uji korelasi Spearman dukungan sosial terhadap kondisi anak . 106  Tabel 47 Hasil uji korelasi Spearman pengasuhan anak dengan kondisi anak 108  Tabel 48 Hasil uji korelasi Spearman interkasi keluarga dengan kondisi anak . 109  Tabel 49 Hasil uji korelasi Spearman kualitas perkawinan dengan kondisi anak

... 110  Tabel 50 Hasil uji korelasi Spearman antar variabel penelitian ... 113  Tabel 51 Hasil uji regresi linear berganda variabel yang berpengaruh terhadap

(17)

Gambar 1 Kerangka konseptual prinsip pengasuhan pada teori parental

acceptance-rejection ... 26  Gambar 2 Kerangka pemikiran... 47  Gambar 3. Metode penarikan contoh ... 49 

(18)

Lampiran 1 Kepemilikan aset sebelum dan setelah istri menjadi TKW (n=47) . 130  Lampiran 2 Keadaan tempat tinggal sebelum dan setelah istri menjadi TKW

(n=47) ... 130 

Lampiran 3 Frekuensi Makan pada Keluarga Saat ini ... 131 

Lampiran 4 Pengasuhan Penerimaan Ibu (Pra TKW), Pengganti Ibu (Saat TKW), Ayah (Saat TKW) ... 132 

Lampiran 5 Pengasuhan Penolakan Ibu (Pra TKW), Pengganti Ibu (Saat TKW), Ayah (Saat TKW) ... 133 

Lampiran 6 Komunikasi Ibu dan anak (n=47) ... 134 

Lampiran 7 Bonding Ibu dan anak (n=47) ... 135 

Lampiran 8 Komunikasi ayah dan anak (n=47) ... 136 

Lampiran 9 Bonding ayah dan anak (n=47) ... 137 

Lampiran 10 Komunikasi suami dan istri (n=47) ... 138 

Lampiran 11 Bonding suami dan istri (n=47) ... 138 

Lampiran 12 Stres Anak (n=47) ... 139 

Lampiran 13 Hasil Uji Beda Independent Sample T-test Pengasuhan Penerimaan (Acceptance) oleh Ibu (Pra TKW) dan Pengganti Ibu (Saat TKW) ... 140 

Lampiran 14 Hasil Uji Beda Independent Sample T-test Pengasuhan Penerimaan (Acceptance) oleh Ibu (Pra TKW) dan Ayah (Saat TKW) ... 142 

Lampiran 15 Hasil Uji Beda Independent Sample T-test Pengasuhan Penerimaan (Acceptance) oleh Pengganti Ibu (Saat TKW) dan Ayah (saat TKW) 144  Lampiran 16 Hasil Uji Beda Independent Sample T-test Pengasuhan Penolakan (Rejection) oleh Ibu (Pra TKW) dan Pengganti Ibu (Saat TKW) ... 146 

Lampiran 17 Hasil Uji Beda Independent Sample T-test Pengasuhan Penolakan (Rejection) oleh Ibu (Pra TKW) dan Ayah (Saat TKW) ... 148 

Lampiran 18 Hasil Uji Beda Independent Sample T-test Pengasuhan Penolakan (Rejection) oleh Pengganti Ibu (Saat TKW) dan Ayah (saat TKW) .... 150 

Lampiran 19 Hasil Uji Beda Independent Sample T-test Interaksi Ibu-Anak dan Ayah-Anak ... 152 

(19)
(20)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Krisis moneter yang melanda Indonesia pada Tahun 1997 meningkatkan angka kemiskinan dan angka pengangguran. Jumlah penduduk miskin selama periode 1996-2006 berfluktuasi dari tahun ke tahun, yaitu 34.01 juta jiwa pada Tahun 1996 menjadi 39.05 juta jiwa pada Tahun 2006 (BPS 2006). Begitu pula angka pengangguran terbuka meningkat tajam dari 4.280 orang pada Tahun 1997 menjadi 10,93 juta orang pada Tahun 2006 (Antara 2007).

Salah satu penanggulangan yang dilakukan pemerintah dalam menangani masalah kemiskinan dan pengangguran tersebut yaitu dengan memfasilitasi permintaan tenaga kerja ke luar negeri. Program pemerintah tersebut tercantum dalam Undang-Undang RI Nomor 39 Tahun 2004 mengenai Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia, yang isinya bahwa penempatan Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri merupakan suatu upaya untuk mewujudkan hak dan kesempatan yang sama bagi tenaga kerja untuk memperoleh pekerjaan dan penghasilan yang layak, yang pelaksanaanya dilakukan dengan tetap memperhatikan harkat, martabat, hak asasi manusia dan perlindungan hukum serta pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan hukum nasional.

Dalam program Rencana Pembangunan Jangka Panjang Menengah 2004-2009, pemerintah menargetkan peningkatan ekspor TKI dari hampir 700.000 orang pada Tahun 2006 menjadi 1 juta orang per tahun hingga Tahun 2009. Demikian pula target negara tujuan akan diperluas dari 11 negara menjadi 25 negara (Subkhan 2007).

Kebijakan penempatan tenaga kerja ke luar negeri tersebut memberikan dampak positif antara lain menambah devisa negara terutama daerah asal TKI dan meningkatkan kesejahteraan ekonomi keluarga. Berdasarkan data Pusat Penelitian dan Informasi (Puslitfo) BNP2TKI (2008), pemasukan devisa dari TKI (remitansi) sepanjang Tahun 2008 naik sebesar 37,3 persen bila dibanding Tahun 2007 yaitu mencapai 8,24 milyar dolar AS (Rp 80,24 trilyun). Devisa dari TKI ini merupakan devisa terbesar kedua setelah minyak dan gas.

Selain dampak positif, pekerjaan sebagai TKI juga memiliki berbagai resiko. Saat ini terdapat 3,8 juta TKI yang bekerja di 27 negara penempatan. Sekitar 70 persen dari jumlah TKI itu adalah perempuan yang rentan terhadap

(21)

masalah (Subkhan 2007). Menurut data Depnakertrans, sepanjang Tahun 2006 kumulatif kasus TKI-TKW mencapai 1.091 kasus dengan rincian kasus: gaji tak dibayar 371 kasus, pelecehan seksual 29 kasus, penganiayaan 88 kasus, kecelakaan kerja 29 kasus, PHK 140 kasus, sakit 124 kasus, putus komunikasi 253 kasus, kriminal 12 kasus, dan gagal berangkat 45 kasus (Fereshti 2007).

Dampak negatif lain akibat dari kepergian Tenaga Kerja Indonesia (TKI), terutama Tenaga Kerja Wanita (TKW) yang relatif lama menyebabkan adanya perubahan struktur keluarga dan fungsi pengasuhan anak. Sistem keluarga Indonesia menganut sistem patriarki yang menganggap laki-laki atau suami sebagai pencari nafkah utama (main bread winner). Namun demikian dengan adanya kepergian istri menyebabkan terjadinya pergeseran peran dalam keluarga dengan kondisi peran istri sebagai pencari nafkah utama (main bread winner). Blood (1972) diacu dalam Luthfiyasari (2004) menyebutkan beberapa akibat yang mungkin terjadi dari keterpisahan anggota keluarga dan perubahan keberfungsian keluarga antara lain berkurangnya intensitas komunikasi, melemahnya ikatan kekerabatan, goyahnya stabilitas keluarga serta melonggarnya keterikatan moral terhadap budaya setempat.

Pengamatan yang dilakukan oleh Pratama dkk Tahun 2003 di Desa Paciran, Lamongan, Jawa Timur melaporkan bahwa berdasarkan data dari KUA setempat antara Tahun 2000 sampai 2003 angka perceraian rata-rata bertambah dua kali lipat dibanding kurun waktu sebelumnya. Data ini menunjukkan, hampir 60 persen kasus perceraian diakibatkan pengaruh TKI yang bekerja di luar negeri. Faktor penyebab, antara lain persoalan ekonomi, perselingkuhan, pengaruh dukungan sosial dari pihak luar, atau menikah diam-diam di bawah tangan. Dari penelitian ini terungkap, hampir 75 persen penyebab perceraian pada keluarga TKI/TKW adalah perselingkuhan, suami menikah lagi dengan perempuan lain, dan hamil dari suami yang tidak jelas keberadaannya (Republika 2004).

Selain berdampak pada hubungan pasangan suami istri, perpisahan ibu dan keluarga juga berdampak kepada kondisi anak. Perpisahan antara ibu dan anak dalam jangka waktu yang relatif lama dapat merenggangkan bonding antara anak dan ibu sehingga menyebabkan tidak terbangunnya basic trust dan menimbulkan kesulitan-kesulitan tingkah laku dalam perkembangan kepribadian anak selanjutnya (Gunarsa 2003). Basic trust dan kepribadian anak merupakan

(22)

landasan dalam perkembangan sosial anak untuk dapat menjalin hubungan dengan orang lain.

Kasus jumlah anak terlantar di Nusa Tenggara Barat (NTB) yang terdata di Dinas Sosial Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) NTB hingga Tahun 2008 mencapai 227.633 jiwa. Dalam kurun yang sama tercatat sebanyak 24.705 anak berusia di bawah lima Tahun (Balita) dan anak usia 5-18 tahun terkategori terlantar. Tingginya jumlah anak terlantar di NTB tidak lepas dari masalah kemiskinan dan animo masyarakat NTB menjadi TKI di luar negeri yang sangat tinggi, sebab biasanya para TKI menitipkan anak–anaknya ke kerabat atau tetangga ketika kedua orangtuanya bekerja di luar negeri (BKKBN NTB 2009). Kasus di SMPN 1 Panceng Gresik terdapat sekitar 20 persen siswanya merupakan anak TKI yang menunjukkan adanya kegiatan belajar siswa di rumah yang terabaikan dan peningkatan kenakalan siswa karena kurang kasih sayang dari orangtuanya (Jawa Pos 2008).

Keuntungan ekonomi dari TKI berupa pendapatan yang tinggi tidak sebanding dengan social cost yang harus dibayar selama kepergian dan setelah kepulangan TKW. Keutuhan keluarga yang dipertaruhkan serta generasi penerus bangsa yang harus dikorbankan merupakan hal yang harus ditanggung keluarga serta negara. Dengan demikian, sangat menarik untuk diteliti mengenai siapa pengganti pengasuhan anak selama ibu menjadi TKW dan bagaimana cara mengasuhnya serta resiko apa yang ditanggung oleh keluarga TKW berkaitan dengan kualitas perkawinan dan kondisi anak.

Perumusan Masalah

Kabupaten Sukabumi sebagai kabupaten terluas se-Jawa dan Bali, yaitu dengan luas 412.799,54 Ha (BPS 2008) memiliki jumlah penduduk yang relatif banyak. Hal ini memberikan tantangan tersendiri bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Sukabumi untuk meminimalkan tingkat pengangguran yang kian meningkat dengan makin bertambahnya penduduk. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) dan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Kabupaten Sukabumi Tahun 2005-2007 dapat dilihat pada Tabel 1.

(23)

Tabel 1 Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) dan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Kabupaten Sukabumi Tahun 2005-2007

Tahun

Indikator Ketenagakerjaan Total TPAK TPT

Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan 2005 76.59 9.55 31.9 11.04 54.31 10.3 2006 75.83 8.04 30.54 6.99 53.99 7.54 2007 85.45 10.94 42.34 10.66 64.77 10.85 Sumber: Susenas 2005-2007 dalam BPS Kabupaten Sukabumi 2007

Terbatasnya kesempatan kerja di bidang formal, mendorong banyaknya penduduk Kabupaten Sukabumi untuk bekerja sebagai TKI. Peraturan Daerah Kabupaten Sukabumi Nomor 13 Tahun 2005 tentang pengerahan calon Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke luar negeri asal Kabupaten Sukabumi menyebutkan bahwa penempatan dan perlindungan calon TKI (Tenaga Kerja Indonesia) bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan TKI dan keluarganya.

Sepanjang Tahun 2007, terdapat 2.601 orang yang menjadi TKW di Kabupaten Sukabumi (BPS 2008). Menurut Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Sukabumi, dari 15.847 TKI asal Kabupaten Sukabumi, yang tercatat di Kantor Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Sukabumi hanya 100 orang (Tempointeraktif 2004). Hal ini menunjukkan adanya ketidaksesuaian antara data dengan fakta di lapangan artinya bahwa TKI illegal jauh lebih banyak bila dibanding dengan TKI legal. Acep Basnasah mengatakan bahwa jumlah TKI asal Kabupaten Sukabumi yang bekerja di luar negeri hingga awal Tahun 2008 mencapai 26.000 orang lebih (Antara 2008).

Remitansi TKI Kabupaten Sukabumi Tahun 2007 mencapai 501 milyar rupiah. Namun disisi lain akibat kepergian istri menjadi TKW banyak ditemukan suami yang harus memegang peran ganda dalam keluarga dan banyak anak-anak yang tumbuh dan berkembang dibawah pengawasan nenek atau keluarga besar lainnya, sedangkan nenek atau keluarga besar lainnya mungkin mempunyai gaya pengasuhan yang berbeda dengan ibu.

Berdasarkan identifikasi dan latar belakang di atas, maka pertanyaan penelitian ini adalah: (1) Bagaimana karakteristik keluarga TKW; (2) Seberapa besar dukungan sosial yang diterima keluarga TKW, fungsi pengasuhan terhadap anak, interaksi yang terjadi dalam keluarga, kualitas perkawinan, dan kondisi anak selama istri/ibu bekerja di luar negeri?; (3) Apakah terdapat perbedaan pengasuhan yang dilakukan ibu sebelum menjadi TKW, pengganti ibu

(24)

saat ini, dan ayah saat ini; (4) Apakah terdapat perbedaan antara interaksi antara ibu dan anak dengan interaksi ayah dan anak; (5) Apakah terdapat hubungan antara karakterisik keluarga TKW, dukungan sosial, fungsi pengasuhan, interaksi dalam keluarga, kualitas perkawinan, dan kondisi anak?; (6) Faktor apa saja yang mempengaruhi kualitas perkawinan dan kondisi anak pada keluarga TKW?.

Tujuan Penelitian Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh fungsi pengasuhan dan interaksi dalam keluarga terhadap kualitas perkawinan dan kondisi anak pada keluarga Tenaga Kerja Wanita (TKW).

Tujuan Khusus

1. Mengetahui karakteristik keluarga TKW.

2. Mengidentifikasi dukungan sosial, fungsi pengasuhan, interaksi dalam keluarga, kualitas perkawinan, dan kondisi anak.

3. Menganalisis perbedaan pengasuhan yang dilakukan ibu sebelum menjadi TKW, pengasuhan pengganti ibu saat ini, dan pengasuhan ayah saat ini 4. Menganalisis perbedaan interaksi antara ibu dan anak dengan interaksi

antara ayah dan anak

5. Menganalisis hubungan antara karakterisik keluarga TKW, dukungan sosial, fungsi pengasuhan, interaksi dalam keluarga, kualitas perkawinan, dan kondisi anak.

6. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas perkawinan dan kondisi anak pada keluarga TKW.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan informasi bagi masyarakat mengenai dampak positif dan negatif terhadap keluarga akibat kepergian istri/ibu menjadi TKW sehingga dapat menentukan langkah yang tepat dalam mengambil keputusan. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam pengembangan ilmu keluarga dan menjadi landasan bagi pengembangan penelitian-penelitian sejenis dimasa yang akan datang.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi lembaga terkait seperti lembaga perencana dan pengembangan program pembangunan keluarga. Selain itu juga menjadi sumber informasi dan referensi

(25)

dalam merumuskan kebijakan yang berkaitan dengan kehidupan keluarga dengan mempertimbangkan keuntungan ekonomi dan social cost yang harus dibayar sehingga dapat menetapkan kebijakan yang bersifat holistik dan solutif.

Keterbatasan penelitian ini adalah mengukur semua variabel penelitian berdasarkan pengalaman yang dirasakan oleh suami (husband’s perceived). Dalam melakukan penelitian, metode seperti ini memang diperbolehkan namun ada kelemahan. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan responden TKW untuk mengukur variabel kualitas perkawinan dan responden anak TKW untuk mengukur variabel interaksi anak dengan orangtua, keterampilan sosial, dan stres yang dialami anak.

(26)

TINJAUAN PUSTAKA

Tenaga Kerja Indonesia (TKI)

Menurut Undang-Undang RI Nomor 39 Tahun 2004 Pasal 1 mengenai penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri, Tenaga Kerja Indonesia (TKI) adalah setiap Warga Negara Indonesia yang memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima upah. Penempatan dan perlindungan calon TKI/TKI bertujuan untuk: (1) Memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi; (2) Menjamin dan melindungi calon TKI/TKI sejak di dalam negeri, di negara tujuan, sampai kembali ke tempat asal; (3) Meningkatkan kesejahteraan TKI dan keluarganya. Penempatan Tenaga Kerja Indonesia menurut kawasan dan negara tujuan Tahun 2006 dapat dilihat pada Tabel 2.

Hampir 80 persen TKI yang dikirim adalah TKW yang tidak terdidik dan bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Diketahui bahwa hampir 100 persen TKI yang bekerja di Singapura, 93 persen di Arab Saudi, dan 94 persen di Hongkong adalah Tenaga Kerja Wanita (TKW). Profil TKI menyajikan adanya data berdasarkan tingkat pendidikan yaitu dari 106.28 juta angkatan kerja berdasarkan Sakernas Badan Pusat Statistik (BPS) Agustus 2006, sebanyak 53.13 persen (56.47 juta) hanya tamatan SD ke bawah, sebanyak 20.61 persen (21.97 juta) lulusan SLTP, 20.64 persen (21.93 juta) lulusan SLTA, sedangkan yang pernah belajar di perguruan tinggi hanya 5.62 persen (5.97 juta) dengan kondisi 2.44 juta orang di antaranya mendapat pendidikan diploma dan sisanya sarjana (S1) (Samhadi 2007). Hal tersebut tentunya juga berdampak pada pekerjaan yang ditekuni TKI. Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nusa Tenggara Barat mengatakan sekitar 97 persen dari jumlah Tenaga Kerja Indonesia (TKI) asal NTB yang bekerja di luar negeri merupakan tenaga tidak trampil (BNP2TKI 2010).

Permasalahan-permasalahan selama masa penempatan yang banyak dialamai TKI/TKW antara lain: 1) Dijebak menjadi pelacur di daerah transit, 2) Diperjualbelikan antar agency di luar negeri, 3) Jenis pekerjaan tidak sesuai dengan Perjanjian Kerja (PK), 4) Jam kerja melampaui batas, tanpa ada uang lembur, 5) Tidak memegang dokumen apapun karena semua dokumen ditahan majikan, 6) Dilarang berkomunikasi dengan orang lain termasuk dengan keluarga, 7) Akomodasi dan makanan di rumah majikan tidak memadai, 8)

(27)

Dilarang menjalankan ibadah, dipaksa memasak dan makan makanan haram (daging babi), 9) Gaji dipotong oleh PPTKIS bekerjasama dengan agency yang besarnya melampui ketentuan, 10) Gaji tidak dibayar, 11) Memperpanjang kontrak kerja tidak ijin dari keluarga dan menggunakan kontrak kerja yang lama, 12) Punggutan yang tinggi oleh agency saat perpanjangan kontrak kerja, 13) Disiksa, dianiaya, makan makanan basi dan bekas, diperkosa oleh majikan atau oleh pegawai agency, 14) Dipenjara dengan berbagai rekayasa tuduhan, 15) Bunuh diri atau membunuh atau melakukan tindakan pidana lainnya atau karena putus asa akibat perlakuan buruk majikan/agency, 16) Disekap oleh majikan atau agency, 17) Mengalami PHK sepihak dan dipulangkan majikan tanpa diberikan hak-haknya, 18) Dipulangkan sepihak oleh agency setelah usai masa pemotongan gaji oleh agency, sehingga tak pernah menerima gaji penuh, 19) Penipuan dengan modus medikal yang direkayasa dan akhirnya dipulangkan karena dianggap tidak fit, 20) Mengadu ke Polisi tetapi “dikembalikan” kepada agency/tekong, yang kemudian oleh agency/tekong dipekerjakan secara illegal, digaji murah atau tidak digaji, bahkan dilacurkan, 21) Dideportasi tetapi tidak pernah sampai di rumah ditangkap oleh calo kemudian diberangkatkan kembali ke luar negeri secara illegal, 22) Pihak aparat KBRI/Konjen RI yang tidak mau membela dan menelantarkan, 23) Penyelesaian kasus tidak tuntas dan dipulangkan karena lamanya proses penyelesaian kasus, 24) Dikenai punggutan oleh aparat KBRI/Konjen RI di luar negeri dengan berbagai dalih, 25) Ketiadaan dan lambannya informasi untuk keluarga jika mengalami sakit, di penjara atau meninggal dunia, 26) Sebelum dipulangkan dipaksa menandatangi surat yang kemudian diketahui isinya adalah pernyataan telah menerima gaji, padahal gajinya belum dibayar/tidak diberikan dan surat pernyataan tersebut ditulis dalam bahasa yang tidak dimengerti oleh TKI (BNP2TKI 2008).

Permasalahan-permasalahan yang dialami TKI sering mendatangkan gangguan psikis tersendiri. Untuk menangani gangguan psikis para TKI yang pulang ke Tanah Air ini, Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) telah mendirikan Klinik Psikologi bagi TKI dengan praktek kerja selama 24 jam di Gedung Pendataan Kepulangan (GPK) TKI, Selapajang, Tangerang. Data menunjukkan bahwa selama kurun waktu Januari sampai Oktober 2009, terdapat 554 TKI (14 laki-laki dan 540 perempuan) yang menderita sakit baik fisik maupun psikologis. Diantara jumlah 554 TKI itu, 378 TKI sudah diterapi karena mengalami gangguan psikis (BNP2TKI 2010).

(28)

Tabel 2 Penempatan Tenaga Kerja Indonesia menurut kawasan dan negara Tahun 2006 NEGARA

PENEMPATAN

FORMAL

TF NON FORMAL TNF JENIS KELAMIN T

L P L P L P Malaysia 101600 60336 161936 5992 102171 108163 107592 162507 270099 Singapura 6 530 536 - 8539 8539 6 9069 9075 Brunai D 1530 427 1957 1 822 823 1531 1249 2780 Hong Kong - 152 152 13 13448 13461 13 13600 13613 Taiwan 2216 1540 3756 340 23994 24334 2556 25534 28090 Korea Selatan 2613 487 3100 - - - 2613 487 3100 Jepang - - - 13 8 21 13 8 21 Lain-lain 26 - 26 5 2 7 31 2 33 SUBTOTAL 107991 63472 171463 6364 148984 155348 114355 212456 326811 Saudi Arabia 3127 983 4110 18615 284702 303317 21742 285685 307427 UEA/Ad Dhabi 162 19 181 73 15240 15313 235 15259 15494 Kuwait 47 2 49 28 14648 14676 75 14650 14725 Bahrain 57 2 59 4 422 426 61 424 485 Qatar 1659 26 1685 142 3217 3359 1801 3243 5044 Oman 4 - 4 4 3519 3523 8 3519 3527 Yordania - - - 12 6456 6468 12 6456 6468 Lain-lain 3 14 17 - 2 2 3 16 19 SUBTOTAL 5059 1046 6105 18876 328206 347084 23937 329252 353189 TOTAL 11305 64518 177568 25242 477190 502432 138292 541708 680000

Sumber: Direktorat Jendral PPTKLN-Depnakertrans Keterangan:

L : Laki-laki P : Perempuan TF : Total Formal TNF : Total Non Formal T : Total

(29)

Keluarga

Definisi Keluarga

UU Nomor 10 Tahun 1992, mendefinisikan keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami-istri, atau suami istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya. Menurut Melson (1980), keluarga adalah kelompok dari individu-individu yang mencari pemaksimalan sumberdaya materi dan fisik agar mencapai tujuan personal dan kelompok. Saxton (1990) mengartikan keluarga sebagai hubungan antara dua atau lebih orang melalui kelahiran, adopsi, atau perkawinan dan hidup dalam satu rumahtangga.

Keluarga dipandang sebagai: 1) Suatu sistem interaksi antar anggota keluarga, 2) Suatu seri interaksi yang dilakukan dua pihak (dyadic), 3) Sejumlah interaksi antara seluruh sub kelompok asosiasi lainnya, keluarga memiliki “daya hidup” lebih lama, serta hubungan biologis dan intergenerasi yang berkaitan dengan ikatan kekerabatan yang lebih luas (Klein & White 1996 dalam Puspitawati 2006).

Keluarga sejahtera adalah keluarga yang dibentuk berdasarkan atas perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan spiritual dan materiil yang layak, bertaqwa kepada Tuhan YME, memiliki hubungan yang serasi, selaras dan seimbang antar anggota dan antara keluarga dengan masyarakat dan lingkungan. Membangun keluarga sejahtera pada hakekatnya tidak saja mengentaskan keluarga dari kemiskinan harta atau kebutuhan fisik semata, namun juga kebutuhan lainnya yang mencakup sosial psikologis dan pengembangan diri untuk jangka waktu lebih lama (Anonim 1996).

Pendekatan Teori Struktural-Fungsional

Para sosiolog ternama seperti William F. Ogburn dan Talcott Parsons mengembangkan pendekatan struktural-fungsional dalam kehidupan keluarga pada abad ke-20. Pendekatan ini mengakui adanya segala keragaman dalam kehidupan sosial dan masing-masing akan memiliki fungsinya sendiri. Perbedaan fungsi tidak untuk memenuhi kepentingan individu yang bersangkutan, tetapi untuk mencapai tujuan bersama. Struktur dan fungsi yang terbentuk tidak akan pernah lepas dari pengaruh budaya, norma, dan nilai sosial yang melandasi sistem masyarakat (Megawangi 1999).

(30)

Menurut Megawangi (1999), ada tiga elemen utama dalam struktur internal keluarga, yaitu mengacu pada:

1. Status sosial; keluarga inti terdiri dari tiga unsur utama yaitu bapak/suami (pencari nafkah), ibu/istri (ibu rumah tangga) dan anak-anak (anak balita, anak sekolah, remaja, dewasa) serta hubungan timbal balik antar individu dengan status sosial berbeda.

2. Konsep peran sosial; menggambarkan peran dari masing-masing individu atau kelompok menurut status sosialnya dalam sebuah sistem sosial. Diferensiasi peran ini diharapkan dapat menuju suatu sistem keseimbangan (equilibrium tendency).

3. Norma sosial; peraturan yang menggambarkan bagaimana sebaiknya seseorang bertingkah laku dalam kehidupan sosialnya. Norma sosial berasal dari masyarakat itu sendiri yang merupakan bagian dari kebudayaan. Akan tetapi setiap keluarga dapat mempunyai norma sosial yang spesifik untuk keluarga tersebut, misalnya norma sosial dalam pembagian tugas rumah tangga, yang merupakan bagian struktur keluarga untuk mengatur tingkah laku setiap anggota keluarganya.

Levy (Megawangi 1999) mengatakan bahwa tanpa ada pembagian tugas yang jelas pada masing-masing aktor dengan status sosialnya, maka fungsi keluarga akan terganggu yang selanjutnya akan mempengaruhi sistem yang lebih besar lagi. Hal ini bisa terjadi bila ada satu posisi yang peranannya tidak dapat dipenuhi, atau konflik akan terjadi karena adanya kesempatan siapa yang akan memerankan tugas apa. Apabila terjadi, maka keberadaan institusi keluarga tidak akan berkesinambungan. Persyaratan struktural yang harus dipenuhi agar struktur keluarga sebagai sistem dapat berfungsi antara lain:

(1) Diferensiasi peran dari serangkaian tugas dan aktivitas yang harus dilakukan dalam keluarga, maka harus ada alokasi peran untuk setiap aktor dalam keluarga. Terminologi diferensiasi peran bisa mengacu pada umur, gender, generasi, juga posisi status ekonomi dan politik dari masing-masing aktor. (2) Alokasi solidaritas yang berkaitan dengan distribusi relasi antar anggota

keluarga menurut cinta, kekuatan, dan intensitas hubungan. Cinta atau kepuasan menggambarkan hubungan antar anggota, misalnya keterikatan emosional antara seorang ibu dan anaknya. Kekuatan mengacu pada keutamaan sebuah relasi relatif terhadap relasi lainnya. Misalnya hubungan antara bapak dan anak lelaki mungkin lebih utama daripada hubungan suami

(31)

dan istri pada suatu budaya tertentu. Intensitas adalah kedalaman relasi antar anggota menurut kadar cinta, kepedulian, ataupun ketakutan.

(3) Alokasi ekonomi yang berkaitan dengan distribusi barang-barang dan jasa untuk mendapatkan hasil yang diinginkan. Diferensiasi tugas juga ada dalam hal ini terutama dalam hal produksi, distribusi, dan konsumsi dari barang dan jasa dalam keluarga.

(4) Alokasi politik yang berkaitan dengan distribusi kekuasaan dalam keluarga dan siapa yang bertanggungjawab atas tindakan anggota keluarga. Agar keluarga dapat berfungsi maka distribusi kekuasaan pada tingkat tertentu diperlukan.

(5) Alokasi integrasi dan ekspresi yang berkaitan dengan distribusi teknik atau cara untuk sosialisasi, internalisasi, dan pelestarian nilai-nilai dan perilaku yang memenuhi tuntunan norma yang berlaku untuk setiap anggota keluarga.

Peran dan Fungsi Keluarga serta Perubahannya

Keluarga sebagai sebuah sistem mempunyai tugas dan fungsi dalam hal menjalankan tugas-tugas, pencapaian tujuan, integrasi dan solidaritas, serta pola kesinambungan atau pemeliharaan keluarga. Menurut seorang profesor ilmu jiwa bernama Lidz, diferensiasi peran adalah sesuatu yang alamiah, yang sesuai dengan determinasi biologis dan psikologis manusia (Megawangi 1999).

Peran didefinisikan sebagai persepsi tingkahlaku interpersonal yang dihubungkan dengan pengakuan masyarakat akan diri seseorang (Kammeyer 1987). Peran juga dapat diartikan sebagai aktivitas yang dilakukan seseorang sesuai dengan kedudukannya.

Parson dan Bales (Megawangi 1999) menyatakan bahwa peran orangtua dalam keluarga meliputi peran instrumental yang dilakukan oleh suami atau bapak, dan peran emosional atau ekspresif yang biasanya dipegang oleh figur istri atau ibu. Peran instrumental dikaitkan dengan peran mencari nafkah untuk kelangsungan hidup seluruh keluarga. Peran ini lebih memfokuskan pada bagaimana keluarga menghadapi situasi eksternal. Dalam keluarga inti, suami sebagai pencari nafkah diharapkan memerankan peran ini agar tujuan keluarga secara keseluruhan dapat tercapai. Peran emosional ekspresif adalah peran pemberi cinta, kelembutan dan kasih sayang. Peran ini bertujuan untuk mengintegrasikan atau menciptakan suasana harmonis dalam keluarga, serta meredam tekanan-tekanan yang terjadi karena adanya interaksi sosial antar

(32)

anggota keluarga atau antar individu di luar keluarga. Istri diharapkan berperan membawa kedamaian agar integrasi dan keharmonisan dalam keluarga dapat tercapai.

Pembagian peran ekspresif dan instrumental menurut Kammeyer (1987) dikaitkan dengan stereotip feminin dan maskulin seseorang. Wanita selalu distereotipkan sebagai orang yang penuh emosional, perhatian dan pengasuhan, lebih simpati, sensitif, mudah terharu, dan peduli terhadap orang lain dan mampu memberikan dorongan sehingga cocok untuk melakukan peran ekspresif. Shaver and Freedman (1976), Lunneborg and Rosenwood (1972), dan Bardwick (1971) dalam Saxton (1990) berpendapat sama bahwa orang yang berperan sebagai caretaker adalah orang yang memiliki karakter feminin dan bertindak sebagai tenderness, compassion, dan penuh pengertian. Karakteristik feminin selalu ditemukan pada perempuan dan karakter ini lebih banyak ditemukan pada perempuan daripada laki-laki.

Menurut BKKBN (1996), delapan fungsi keluarga dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1994 tentang penyelenggaraan pembangunan keluarga sejahtera adalah sebagai berikut:

(1) Fungsi Keagamaan, dalam keluarga dan anggotanya didorong dan dikembangkan agar kehidupan keluarga sebagai persemaian nilai-nilai agama dan nilai-nilai luhur budaya bangsa untuk menjadi insan-insan agamis yang penuh iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

(2) Fungsi Sosial Budaya, memberikan kesempatan kepada keluarga dan seluruh anggotanya untuk mengembangkan kekayaan budaya bangsa yang beraneka ragam dalam satu kesatuan.

(3) Fungsi Cinta Kasih, dalam keluarga akan memberikan landasan yang kokoh terhadap hubungan anak dengan anak, suami dengan istri, orangtua dengan anaknya, serta hubungan kekerabatan antar generasi sehingga keluarga sebagai wadah utama bersemainya kehidupan yang penuh kasih lahir dan batin.

(4) Fungsi Melindungi, keluarga adalah wahana utama yang memberikan rasa aman dan nyaman serta kehangatan bagi seluruh anggota, anak, istri maupun suami

(5) Fungsi Reproduksi, merupakan mekanisme melanjutkan keturunan yang direncanakan dapat menunjang terciptanya kesejahteraan manusia di dunia yang penuh iman dan taqwa.

(33)

(6) Fungsi Sosialisasi dan Pendidikan, memberikan peran kepada keluarga untuk mendidik keturunan agar bisa melakukan penyesuaian dengan alam kehidupannya di masa yang akan datang.

(7) Fungsi Ekonomi, mengembangkan kemampuan ekonomi keluarga agar semua anggota mampu mengembangkan kemampuan ekonominya untuk mandiri sehingga dapat mendukung ketahanan keluarga.

(8) Fungsi Pembinaan Lingkungan, memberikan kepada setiap keluarga kemampuan menempatkan diri secara serasi, selaras, dan seimbang sesuai daya dukung alam dan lingkungan yang berubah secara dinamis.

Keluarga inti, sebagai kelompok primer yang terikat oleh hubungan intim mempunyai fungsi-fungsi utama yang meliputi (Munandar 1985):

(1) Pemberian afeksi, dukungan dan persahabatan (2) Memproduksi dan membesarkan anak

(3) Meneruskan norma-norma kebudayaan, agama dan moral pada yang muda (4) Mengembangkan kepribadian

(5) Membagi dan melaksanakan tugas-tugas di dalam keluarga maupun diluarnya

Menurut Guhardja dkk (1992), keluarga bertanggung jawab dalam menjaga, menumbuhkan dan mengembangkan anggota-anggotanya. Dengan demikian pemenuhan akan kebutuhan-kebutuhan untuk mampu bertahan, tumbuh dan berkembang perlu tersedia, yaitu:

(1) Pemenuhan akan kebutuhan pangan, sandang, papan dan kesehatan untuk perkembangan fisik dan sosial.

(2) Kebutuhan akan pendidikan formal, informal dan nonformal untuk pengembangan intelektual, sosial, mental, emosional dan spiritual.

Menurut Maryam (2007) ada persamaan beberapa fungsi yang dikemukakan oleh Rice dan Tucker dengan PP No. 21 Tahun 1994 yaitu: (1) Sebagai mekanisme procreation yaitu mengadakan keturunan yang selanjutnya menurunkan eksistensi masyarakat sebagai satu kesatuan, (2) Memiliki kewajiban untuk memenuhi kebutuhan dasar bagi anggota keluarganya mulai sandang, pangan, perlindungan, pendidikan, kesehatan, serta kebutuhan emosional lainya, dan (3) Memberikan peran sosial dan keagamaan dalam kehidupan bermasyarakat dan keikutsertaannya dalam mengabdikan norma-norma sosial dan keagamaan melalui interaksi anak-anak dan orangtua dalam

(34)

keluarga dan interaksi keluarga dengan masyarakat serta interaksi dengan Yang Maha Pencipta.

Perbedaan dari fungsi-fungsi yang telah disebutkan di atas terletak peran orangtua (ayah dan ibu) untuk menjalankan fungsi keluarga. Parson dan Bales membagi dengan jelas fungsi keluarga menjadi dua yaitu fungsi instrumental dan fungsi ekspresif. Fungsi instrumental yang diperankan oleh ayah dan fungsi ekspresif yang diperankan oleh ibu. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 1994 tidak membagi dengan jelas masing-masing fungsi keluarga kedalam peran ayah dan ibu, sehingga untuk menjalankan semua fungsi tersebut dilakukan bersama-sama. Berikut ini disajikan Tabel 3 yang menjelaskan fungsi keluarga dari berbagai sumber (Sunarti 2003).

(35)

Tabel 3 Fungsi keluarga dari berbagai sumber

BKKBN (1992) United Nation (1993) Mattesich & Hill dalam Zeitlin et al. (1995)

Rice & Tucker (1986) Roberta Berns (1997) 1. Keagamaan 2. Sosial budaya 3. Cinta kasih 4. Melindungi 5. Reproduksi 6. Sosial dan pendidikan 7. Ekonomi 8. Pembinaan lingkungan 1. Pengukuhan ikatan suami istri 2. Proteksi dan hubungan sosial 3. Sosialisasi dan pendidikan anak 4. Pemberian hak asasi

manusia dan status 5. Perawatan dasar anak

(dan lanjut usia) 6. Rekreasi dan perawatan emosi 7. Pertukaran barang dan jasa 1. Pemeliharaan fisik 2. Sosialisasi dan pendidikan 3. Akuisisi anggota

keluarga baru melalui proteksi atau adopsi 4. Kontrol perilaku sosial

dan seksual

5. Pemeliharaan moral keluarga dan motivasi untuk berperan di dalam dan di luar keluarga 6. Akuisisi anggota keluarga dewasa melalui pembentukan pasangan seksual 7. Melepaskan anggota keluarga dewasa 1. Fungsi ekspresif: memenuhi kebutuhan emosi dan perkembangan termasuk moral, loyalitas, dan sosialisasi anak 2. Fungsi instrumental: manajemen sumberdaya untuk mencapai berbagai tujuan keluarga melalui: a) proteksi dan sosialisasi anak, serta b) dukungan dan pengembangan anggota keluarga 1. Reproduksi 2. Sosialisasi atau pendidikan 3. Penetapan peran sosial 4. Dukungan ekonomi 5. Dukungan emosi (Sumber: Sunarti 2001)

(36)

Menurut Megawangi (1993) beberapa kendala yang dihadapi keluarga Indonesia di dalam menjalankan fungsinya antara lain:

(1) Menurunnya kualitas dan kuantitas waktu bersama untuk Family Togetherness. Piotrowski (1978) dalam Megawangi (1993) meneliti pengaruh keadaan lingkungan kerja terhadap kehidupan keluarga pada keluarga sosial ekonomi rendah. Ada tiga bentuk pola yang ditemui; pertama adalah yang disebut positive carry-over dimana suasana pekerjaan cukup menyenangkan dan tidak terlalu melelahkan, sehingga suami atau istri yang pulang ke rumah akan mempunyai suasana emosi yang menyenangkan didalam membina hubungan dengan masing-masing anggota keluarga. Bentuk keluarga kedua yang lebih banyak ditemui pada keluara working class adalah yang disebut negatif cary over dimana suasana pekerjaan tidak menyenangkan dan perasaan tidak berdaya untuk mengatasi keadaan sehingga waktu pulang ke rumah dalam keadaan frustasi dan marah, yang membawa akibat negatif pada hubungan antara suami-istri dan anak-anaknya. Kemudian bentuk yang paling sering dijumpai adalah energy deficit. Pada bentuk ini pekerjaan dianggap sangat membosankan dan melelahkan, sehingga sewaktu pulang ke rumah keadaan fisik sangat capai dan tidak ada energi yang tertinggal lagi untuk dapat berinteraksi dan berkomunikasi dengan anggota keluarga lain. (2) Wanita yang bekerja di luar rumah. Hasil penelitian McGurk (1993) dalam

Megawangi (1993) dilaporkan bahwa ada pengaruh negatif antara lamanya anak diasuh oleh bukan ibunya dan pembentukan bonding, bahkan akan memberi resiko kepada anak untuk mempunyai sikap agresif dan pembangkang. Tetapi McGurk (1993) berpendapat bahwa keadaan ini akan sangat tergantung pada kualitas, konsistensi, dan reability dari pola pengasuhannya. Wanita kelas sosial menengah ke atas mungkin dapat memilih alternatif pengasuhan yang baik sehingga kemungkinan untuk dapat menghindari pengaruh-pengaruh yang tidak diinginkan menjadi lebih besar tetapi tidaklah demikian pada pekerja kelas bawah.

(3) Menurunnya otoritas orangtua. Sehubungan dengan menurunnya kuantitas dan kualitas interaksi antara orangtua dan anak, dan berkurangnya bonding antara orangtua dan anak, peran orangtua sebagai figur yang perlu dicontoh menjadi berkurang. Pada zaman yang kompleks ini anak dihadapkan pada bermacam-macam nilai dari lingkungannya seperti peer group, media cetak atau elektronik, sekolah dll. Pada pihak orangtua sering terjadi sikap yang

(37)

ambivalen yaitu mereka merasa tidak mampu menjalankan fungsinya sebagai orangtua di dalam mendidik anak-anaknya. Hal ini disebabkan perubahan sosial yang cepat dan menuntut penyesuaian sikap orangtua terhadap anak-anaknya. Akibatnya banyak orangtua yang berpaling pada para ahli pendidik atau menyerahkan sepenuhnya kepada institusi sekolah, termasuk juga dalam pembentukan moral anak. Karena institusi sekolah tidak dapat secara efektif memberikan dukungan moril kepada siswa sepenuhnya dan membentuk moral para siswa, anak-anak remaja sering mengalami adolence crisis, sehingga banyak yang berpaling kepada peergroupnya daripada orangtuanya. Salah satu faktor yang menyebabkan anak-anak kota lebih agresif adalah hubungan yang tidak baik antara orangtua dan anak kerena kurangnya waktu kebersamaan. Hasil penelitian Ancok (1993) dalam Megawangi (1993) pada remaja Indonesia menunjukkan bahwa remaja kota cenderung mempunyai hubungan yang kurang baik dengan ayahnya dibandingkan dengan remaja desa.

Yusuf (2000) dalam Jatiningsih (2004) menyebutkan bahwa keluarga yang fungsional merupakan keluarga yang telah mampu melaksanakan fungsi-fungsinya yang ditandai oleh karakteristik: (1) Saling memperhatikan dan mencintai, (2) Bersikap terbuka dan jujur, (3) Orangtua mau mendengarkan anak, menerima perasaan dan menghargai pendapatnya, (4) Ada sharing masalah atau pendapat diantara anggota keluarga, (5) Mampu berjuang mengatasi masalah hidupnya, (6) Saling menyesuaikan diri dan mengakomodasi, (7) Orangtua melindungi (mengayomi) anak, (8) Komunikasi antar anggota keluarga berlangsung baik, (9) Keluarga memenuhi kehidupan psikososial anak dan mewariskan nilai-nilai sosial budaya, dan (10) Mampu beradaptasi dengan perubahan yang terjadi.

Rogers (1960) dalam Simamora (2005) menjelaskan perubahan fungsi keluarga yang terjadi dewasa ini. Ada tujuh perubahan yang dimaksud:

(1) Pergeseran fungsi keluarga: Fungsi produksi, melindungi, mendidik, dan fungsi keagamaan perlahan-lahan digantikan dengan institusi atau organisasi di luar keluarga. Studi di Michigan, Amerika Serikat, ditemukan bahwa keluarga berkumpul secara lengkap hanya sekitar sejam sehari dan kebanyakan waktu tersebut dihabiskan untuk makan. Keluarga petani kebanyakan berkumpul kurang dari waktu tersebut.

(38)

(2) Perubahan otoritas dalam rumah tangga: Otoritas ayah sebagai pengambil keputusan yang dominan menurun mengiringi peningkatan persentase jumlah wanita bekerja.

(3) Perubahan dalam pencarian pasangan: Dewasa ini romantisme menjadi inti pencarian pasangan. Jaman dulu pencarian pasangan dapat dikatakan tidak memiliki romantisme, pria dan wanita dijodohkan pihak keluarga dan diijinkan bertemu sekali saja sebelum perkawinan.

(4) Perubahan sikap terhadap perceraian: Dulu perceraian dianggap kotor dan dosa, namun perkembangan dewasa ini lebih kooperatif sehingga pasangan-pasangan yang tidak cocok dapat dengan mudah mengajukan perceraian. Akibatnya angka perceraian meningkat drastis. Tidak dapat dipungkiri pula remarriage atau pernikahan kembali juga meningkat.

(5) Perlakuan terhadap kaum tua: Kaum tua atau yang sudah jompo kurang dihoramati lagi. Kecenderungan keluarga saat ini memilih jauh dari tempat tinggal orangtua atau mertuanya.

(6) Perubahan jumlah dan ukuran keluarga: Rata-rata ukuran keluarga sejak Tahun 1800 menurun akibat peningkatan metode pengaturan kelahiran, pendidikan seks dan persiapan pernikahan, dan perubahan nilai-nilai keluarga mengenai jumlah anak yang diinginkan.

(7) Perubahan tujuan keluarga: Dulu tujuan keluarga lebih penting daripada keinginan pribadi, sebagai praktek pengabdian terhadap keluarga dan orangtua. Dewasa ini individualisme justru diprioritaskan ketimbang familisme.

Menurut teori tantangan dan tanggapan Arnold Toynbee (Narwanto 2007), ketiadaan istri dalam keluarga menjadi tantangan budaya tersendiri bagi keluarga Tenaga Kerja Wanita. Secara tradisional, pola keluarga patriarki menempatkan istri sebagai pihak yang mengurusi pekerjaan domestik, terutama mengasuh anak. Ketika istri menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW), keluarga yang ditinggalkan melakukan proses dialektik alamiah untuk menjawab tantangan budaya tersebut. Ketidakseimbangan dalam ekosistem keluarga itu menghasilkan pergeseran peran gender sebagai tanggapan menuju keseimbangan baru.

Penelitian oleh tim Pusat Studi Gender dan Keluarga STAIN Salatiga di Gamol, Kecandran, Salatiga, Jawa Tengah, yang juga dipresentasikan di The International Seminar of Gender Mainstreaming on Higher Education di UKSW

(39)

Salatiga pada Desember 2006, menunjukkan adanya kesadaran kolektif menghadapi ketidakseimbangan tersebut. Artinya, ruang kosong yang ditinggal istri menjadi tanggung jawab bersama antara suami, orangtua, atau kerabat yang lain. Kesadaran kolektif tersebut menghasilkan tiga pola pergeseran peran: (1) Suami mengambil alih peran yang ditinggal istri. Mereka mengurusi berbagai

pekerjaan domestik, termasuk mengasuh anak.

(2) Suami mengambil sebagian peran yang ditinggal istri. Mereka biasanya dibantu ibu atau anggota keluarga lain.

(3) Suami tidak mengambil peran. Pola yang dapat dikatakan sebagai kegagalan keluarga dalam melakukan transformasi nilai ini membuat ibu atau mertua TKW mengambil alih peran domestik keluarga.

Analisis Gender dan Peran Perempuan Konsep Gender

Gender adalah pandangan masyarakat tentang perbedaan peran, fungsi dan tanggung jawab antara perempuan dan laki-laki yang merupakan hasil konstruksi sosial budaya dan dapat berubah sesuai perkembangan zaman serta dukungan masyarakat itu sendiri (UNFPA et al. 2005 dalam Puspitawati 2007).

Dalam pembahasan mengenai gender dikenal adanya dua aliran atau teori, yaitu teori nurture dan teori nature, namun berdasarkan kedua teori tersebut dikembangkan konsep teori yang merupakan kompromistis atau keseimbangan yaitu teori equilibrium. Teori nurture mengungkapkan bahwa perbedaan perempuan dan laki-laki pada hakekatnya merupakan hasil konstruksi sosial budaya sehingga menghasilkan peran dan tugas berbeda, sedangkan teori nature berisi bahwa perbedaan perempuan dan laki-laki adalah kodrat, sehingga harus diterima. Perbedaan biologis ini memberikan indikasi dan implikasi bahwa diantara kedua jenis tersebut memiliki peran dan tugas yang berbeda. Ada peran yang dapat dipertukarkan, tetapi ada pula yang tidak bisa karena memang berbeda secara kodrat alamiahnya. Teori equilibrium merupakan pandangan yang tidak mempertentangkan antara kaum lelaki dan perempuan, karena keduanya bekerjasama dalam kemitraan dan keharmonisan dikehidupan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara (Puspitawati 2007).

Dalam memahami konsep gender ada dua hal yang harus dipahami, yaitu (Puspitawati 2007):

(40)

(1) Ketidakadilan dan diskriminasi gender merupakan kondisi tidak adil akibat sistem dan struktur sosial dimana baik perempuan maupun laki-laki menjadi korban dari sistem tersebut. Bentuk ketidakadilan tersebut meliputi: (1) Marjinalisasi (peminggiran/pemiskinan), (2) Subordinasi yaitu keyakinan bahwa salah satu jenis kelamin dianggap lebih penting atau lebih utama dibanding dengan jenis kelamin lainnya, (3) Pandangan stereotip yang sering kali bersifat negatif secara umum dan dapat menyebabkan ketidakadilan karena bersumber dari pandangan gender yang menyangkut pelabelan terhadap salah satu jenis kelamin tertentu, (4) Kekerasan terhadap perempuan sebagai akibat dari perbedaan peran yang terjadi dalam berbagai bentuk, (5) Beban kerja yang merupakan bentuk diskriminasi dan ketidakadilan gender karena beban kerja yang harus dijalankan oleh salah satu jenis kelamin tertentu.

(2) Kesetaraan dan Keadilan gender yaitu suatu kondisi dimana porsi dan siklus sosial perempuan dan laki-laki setara, serasi, seimbang dan harmonis, adapun kondisi ini dapat terwujud apabila terdapat perlakuan adil antara perempuan dan laki-laki.

Analisis Gender

Ada beberapa model teknik analisis gender yang dikembangkan oleh para ahli untuk menganalisis peran di dalam keluarga dan masyarakat, antara lain:

(1) Teknis Analisis Model Harvard. Model ini terdiri atas sebuah matiks yang mengumpulkan data pada tingkatan mikro (masyarakat dan rumah tangga), meliputi pembagian tiga kegiatan (kegiatan produktif, reproduktif, dan sosial masyarakat) berdasarkan jenis kelamin, rincian sumber-sumber apa yang dikuasai oleh laki-laki dan perempuan untuk melaksanakan kegiatannya, dan faktor-faktor yang mempengaruhi pembagian kerja berdasarkan gender. (2) Teknik Analisis Model Moser. Model ini mencakup penyusunan pembagian

kerja berdasarkan gender dan mengembangkan kebutuhan gender dari sudut perempuan. Kebutuhan tersebut adalah kebutuhan praktis gender (kebutuhan yang harus dipenuhi) dan kebutuhan strategis gender (kebutuhan yang disebabkan posisi subordinat mereka).

(41)

Dukungan Sosial

Manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya memerlukan bantuan atau pertolongan dari orang lain. Pertolongan dari orang lain ini biasanya disebut sebagai dukungan sosial. Dukungan sosial bisa diperoleh dari keluarga besar, masyarakat (tetangga), dan lembaga-lembaga masyarakat dimana orang itu berada. Dukungan sosial sangat dibutuhkan dalam menjalani kehidupan, termasuk dalam menjalani kehidupan perkawinan dan dalam pengasuhan anak. Di dalam ensiklopedi sosiologi dukungan sosial diartikan sebagai pemberian dukungan emosional dan informasi atau dukungan materi oleh orang lain atau lingkungan sosial kepada seseorang individu yang mengalami beberapa kesulitan atau masalah. Cutrona (1996) mengatakan bahwa dukungan sosial adalah pemenuhan kebutuhan dasar oleh orang lain secara terus menerus untuk kesejahteraan. Kaplan et al. (1977) dalam Cutrona (1996), mengartikan dukungan sosial sebagai pemenuhan kebutuhan dasar seseorang (approval, esteem, succor, dll) oleh orang lain. Safarino (1996) dalam Tati (2004) mengatakan bahwa dukungan sosial adalah kenyamanan, perhatian, penghargaan, atau bantuan yang diterima individu dari orang lain, baik sebagai individu perorangan atau kelompok. Kualitas dukungan sosial yang tinggi akan mempengaruhi kesehatan fisik dan mental yang semakin tinggi pula.

Bentuk dukungan sosial yang dibutuhkan menurut Kaplan (Cutrona 1996) dan Safarino (Tati 2004) terdiri dari:

1) Dukungan Emosi (Emotional Support), seperti ekspresi cinta, empati dan perhatian. Menurut Witty et al. (1992) dalam Conger et al. (1994), individu dapat mencurahkan perasaan, kesedihan ataupun kekecewaannya pada seseorang, yang membuat individu sebagai penerima dukungan sosial merasa adanya keterikatan, kedekatan dengan pemberi dukungan, sehingga menimbulkan rasa aman dan percaya.

2) Dukungan Instrumen (Instrument Support) atau Dukungan Nyata (Tangible Assistance), seperti sumberdaya fisik (uang, tempat tinggal), termasuk juga menyediakan waktu dan tenaga untuk mengasuh anak.

3) Dukungan Penghargaan (Esteem Support), seperti respek terhadap orang lain, percaya kepada kemampuan orang, menghargai pikiran, perasaan, dan tingkah laku orang lain.

4) Dukungan Informasi (Informational Support), seperti informasi tentang kenyataan, nasihat, penilaian terhadap situasi. Dukungan informasi

(42)

memungkinkan individu sebagai penerima dukungan dapat memperoleh pengetahuan dari orang lain. Pengetahuan yang diperoleh dapat berupa bimbingan, arahan, diskusi masalah maupun pengajaran suatu keterampilan (Felton & Berry 1992 dalam Conger et al. 1994).

Pengasuhan

Keluarga sebagai tempat pertama dan utama bagi anak untuk dididik dan dibesarkan dalam pembentukan dan perkembangan pribadi dan perilaku. Faktor yang mempengaruhi perilaku anak salah satunya adalah pengasuhan. Pengasuhan merupakan interaksi antara ibu dan pengasuh dengan anak sesuai keinginan pengasuh. Pengasuhan adalah segala interaksi antara orangtua dengan anaknya dan praktek pengasuhan yang diberikan kepada anak. Interaksi ini meliputi segala perilaku seperti minat, nilai, sikap dan kepercayaan yang diajarkan kepada anak-anak melalui proses pendidikan dan pengasuhan sepanjang hidup anak (Karyadi 1988).

Menurut Sunarti (2004) pengasuhan dapat diartikan sebagai implementasi serangkaian keputusan yang dilakukan orangtua atau orang dewasa kepada anak, sehingga memungkinkan anak menjadi bertanggung jawab, menjadi anggota masyarakat yang baik, memiliki karakter-karakter yang baik. Rohner (1986) mengartikan pengasuhan sebagai salah satu bentuk pola hubungan antara orangtua terutama ibu dengan anak, berupa kehadiran dan perhatian ibu yang diekspresikan dalam bentuk perilaku, ucapan, ungkapan emosi dan kasih sayang, arahan dan kegiatan perawatan ibu kepada anaknya.

Secara tradisional, beberapa faktor yang mempengaruhi kebiasaan mengasuh dikelompokkan menjadi (Bigner 1979):

(1) Cultural influence. Beberapa studi melaporkan adanya perbedaan pada kelompok sosial terhadap cara pengasuhannya. Ditemukan bahwa pertumbuhan mental secara potensial mempengaruhi perbedaan gaya bahasa (mengajar) yang digunakan oleh ibu.

(2) Personality patterns. Johnson & Medinnus (1974) dalam Bigner (1979) melukiskan bahwa hubungan antara orangtua dan anak sebagai ikatan emosional. Orangtua yang baik akan menghasilkan anak yang baik yang tumbuh menjadi orang dewasa yang baik.

(3) Attitudes toward parenting. Menurut Diana Baumrind (1966) dalam Bigner (1979), ada tiga tipe dasar pengasuhan, antara lain:

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Berdasarkan hasil observasi yang telah dilakukan oleh peneliti di Desa Wawatu tepatnya dusun IV Kecamatan Moramo Utara Kabupaten Konawe Selatan bahwa sumber air

Pada penelitian ini, kinetika dekomposisi katalitik metana menggunakan katalis Ni-Cu-Al untuk produksi karbon nanotube dilakukan dengan menguji data kinetika melalui model

Bagi peserta didik yang mengikuti mata pelajaran Public Area diharapkan dapat meningkatkan penguasaan pengetahuan Public Area melalui penggunaan media proyeksi. Bagi

Upaya pengelola dan para guru Pondok Pesantren Darul Ishlah dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia telah tersusun dengan baik dikarenakan pengelola dan guru Pondok

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan mengenai pengaruh Prophetic Parenting dalam membentuk karakter pribadi Islami pada Anak di Kuching, Sarawak, Malaysia,

Maka, Kongres Perempuan Indonesia nasional pertama diadakan di Yogyakarta pada bulan Desember 1928 yang dihadiri oleh hampir 30 organisasi perempuan merupakan fondasi pertama

Pengujian instrument monitoring keseluruhan menggunakan bola lampu 100 sampai 100 Watt pada sumber beban 2 Ampere dan 4 Ampere.. E.1 Pengujian Sumber Arus Listrik untuk