• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peranan Ibu dalam Pengasuhan

Hubungan yang pertama dan terutama dalam kehidupan seseorang anak adalah dengan ibunya dan dari hubungan ini anak akan membentuk pola hubungan antara dirinya dengan orang lain sepanjang hidupnya. Hubungan yang terjalin antara orangtua dengan anak bukan merupakan proses yang searah, akan tetapi timbal balik karena perilaku anak dapat mempengaruhi perilaku orangtua. Peranan orangtua khususnya ibu selaku pengasuh dan pendidik anak dalam keluarga dapat mempengaruhi perkembangan anak secara positif maupun negatif (Karyadi 1988). Penelitian yang dilakukan Jatiningsih (2004) menunjukkan bahwa semakin banyak alokasi waktu yang dicurahkan ibu dalam pengasuhan anak maka skor perkembangan sosial anak akan semakin baik.

Peranan Ayah dalam Pengasuhan

Hadawi (2001) mengatakan bahwa tugas seorang ayah secara tradisional adalah melindungi keluarga (protection) dan mencari nafkah (breadwinner) namun kemudian diperluas dalam hal-hal yang menyangkut child management dan pendidikan. Rudyanto (2007) mengatakan bahwa bila dibandingkan dengan ibu, maka ayah pada permulaan kehidupan seseorang anak memang memiliki kesempatan dan peranan yang lebih kecil dalam mengembangkan anak-anaknya. Dengan meningkatnya usia anak, maka peranan ayah semakin banyak dan kompleks. Ayah harus dapat mengerti keadaan anak, bertindak sebagai teman atau rekan, membimbing perkembangan anak serta melakukan sesuatu bersama anak. Peran ayah dalam pengasuhan mempunyai pengaruh nyata pada tingkat perkembangan anak. Ayah berusaha mengembangkan kemampuan-kemampuan, keahlian, mengarahkan minat dan mengembangkan kemampuan intelektualnya. Pada umumnya peran ayah dalam pengasuhan adalah mengajak anak bermain.

Tokoh Pengganti ibu

Keterpisahan antara anak dan ibu yang relatif lama pada keluarga TKW memerlukan pemikiran dan usaha yang tepat agar anak tidak terlalu menderita, sehingga hal ini mungkin bisa menjadi dasar timbulnya kesulitan-kesulitan tingkah laku dalam perkembangan kepribadian anak selanjutnya. Tokoh pengganti ibu bisa berperan dengan baik, asalkan memiliki sifat kasih sayang terhadap anak. Kasih sayang dengan sikap affeksional sebagai seorang dewasa

yang ingin mengasuh, merawat dan mendidik anak sebaik-baiknya, sesuai dengan dasar-dasar perkembangan tingkah laku dan perkembangan kepribadian yang ideal dan normatif (Gunarsa 2003). Hal serupa juga diungkapkan oleh Seaman (1972) dan Wortis (1971) dalam Rice (1983), setiap anak membutuhkan kehangatan, perhatian penuh cinta dari orang dewasa yang akan memenuhi kebutuhan perkembangan anak. Perhatian ini dapat diberikan oleh seorang pengganti ibu yang cakap untuk periode waktu yang cocok dengan usia anak, penyediaan perhatian harus konsisten dan cukup.

Pada keluarga dengan latar belakang pendidikan yang tinggi, lebih cenderung memahami dan lebih mengetahui cara pengasuhan yang baik pada anaknya. Hal ini berhubungan dengan akses untuk mendapatkan informasi yang lebih memungkinkan pada keluarga berpendidikan dan berpendapatan tinggi. Dengan adanya informasi baik itu dari buku-buku bacaan, media cetak, audio, audio visual ataupun dari rekan kerja menjadikan mereka tahu dan memahami bagaimana cara mengasuh anak yang baik. Hal sebaliknya terjadi pada keluarga miskin dan berpendidikan rendah yang biasanya menanggung beban hidup yang sangat berat sehingga seringkali emosi kurang terkendali. Pada keluarga miskin disiplin diterapkan dengan ketat. Hurlock (1980) mengatakan bahwa pendidikan orangtua mempengaruhi pengasuhan yang diterapkan pada anak. Dengan pendidikan tinggi yang dicapai orangtua akan lebih membantu orangtua memahami kebutuhan anak, sehingga seringkali secara langsung akan berpengaruh juga terhadap pemilihan pengasuhan yang diterapkan pada anak. Orangtua yang status sosial ekonomi lebih tinggi lebih menunjukkan kehangatan dan afeksi terhadap anaknya daripada orangtua yang berada dalam status sosial ekonomi lebih rendah yang cenderung menekankan kepatuhan (Berns 1997).

Kedua orangtua dan anak dipengaruhi oleh jumlah anak dalam keluarga. Lebih banyak anak maka lebih banyak interaksi dalam keluarga tetapi interaksi antara orangtua dan anak akan semakin sedikit. Anak dalam keluarga besar mungkin memiliki banyak sumberdaya untuk draw upon for company, teman bermain dan keamanan emosional. Mereka mungkin juga tertarik untuk bertanggungjawab atau perhatian kepada saudara yang lebih muda. Orangtua pada keluarga yang lebih besar, khususnya dengan tempat tinggal yang sempit dan sumber ekonomi yang rendah, memperlakukan anak lebih autoritarian dan lebih senang menggunakan physical punishment dan sedikit menjelaskan peraturan daripada keluarga yang lebih kecil (Berns 1997).

Interaksi dalam Keluarga

Untuk melihat hubungan yang terjadi dalam keluarga digunakan konsep interaksionalisme melalui suatu konsep interaksi dan dampak yang ditimbulkannya. Hubungan yang terjadi dalam keluarga menurut Suleeman (1999), dapat dilihat dari: (1) Hubungan suami-istri, (2) Hubungan orangtua-anak, (3) Hubungan antarsaudara (siblings). Hubungan ini dapat pula ditambahkan dengan (4) Hubungan antargenerasi.

Interaksi keluarga (orangtua dan anak) adalah hubungan antara anak dan orangtua yang dilandasi oleh perasaan, perkataan, dan perlakuan orangtua terhadap anak-anaknya serta strategi pendidikan budi pekerti yang dilakukan setiap hari di rumah, mulai bayi hingga dewasa. Interaksi orangtua dan anak diwujudkan dalam bentuk komunikasi dan bonding (Puspitasari 2006).

Ilmu sosiologi menggunakan pendekatan bahwa antar manusia harus didahului oleh kontak dan komunikasi. Hubungan manusia ini kemudian saling mempengaruhi antar satu dengan yang lainnya melalui pengertian yang diungkapkan, informasi yang dibagi, semangat yang disumbangkan, yang semua pesannya membentuk pengetahuan. Model interaksi dari proses komunikasi juga menunjukkan perkembangan peran (role development), pengambilan peran (role-taking) dan pengembangan diri sendiri (development of self) karena manusia berkembang melalui interaksi sosialnya. Komunikasi manusia tersebut juga terjadi dalam satu konteks budaya tertentu dan mempunyai batas-batas (boundaries) tertentu (Ruben 1988 dan Liliweri 1997 dalam Puspitawati 2006).

Keluarga mempunyai interaksi kelompok yang memberikan ikatan bonding (hubungan biologis dan hubungan intergenerasi serta ikatan kekerabatan) yang jauh lebih lama dibandingkan dengan kelompok asosiasi lainnya. Interaksi dalam keluarga ini lebih dipandang sebagai: (1) Suatu interaksi umum antar anggota keluarga, (2) Suatu seri interaksi yang dilakukan oleh dua pihak (dyadic), (3) Sejumlah interaksi antar sub kelompok keluarga: dyadic, triadic, dan tetradic, dan (4) Sistem hubungan internal keluarga sebagai reaksi terhadap kontrol sosial yang lebih luas (Klein dan White 1996 dalam Puspitawati 2006).

Kekompleksan dalam interaksi pasangan, dikonsepkan kedalam tiga komponen dasar yaitu: (1) Kesesuaian dalam persepsi peran; (2) Timbal balik peran; (3) Kesetaraan fungsi peran (Saxton 1990). Interaksi manusia pertama kali terjadi dalam keluarga. Interaksi orangtua dan anak adalah suatu pola

perilaku yang mengikat orangtua dan anak secara timbal balik yang mencakup berbagai upaya keluarga. Dalam keadaan yang normal, lingkungan pertama yang berhubungan dengan anak adalah orangtua, saudara, dan kerabat dekat yang tinggal serumah. Sikap orangtua mempengaruhi cara orangtua memperlakukan anak dan perlakuan orangtua terhadap anak sebaliknya mempengaruhi sikap dan perilaku anak terhadap orangtua. Pada dasarnya hubungan orangtua-anak tergantung pada sikap orangtua. Sikap orangtua sangat menentukan hubungan keluarga. Sekali hubungan terbentuk, maka cenderung bertahan. Orangtua yang mempunyai kemampuan yang baik tentu akan mempunyai cara, sikap, dan waktu yang tepat untuk berkomunikasi dengan anak. Tingkah laku orangtua dapat mempengaruhi dalam pembinaan anak-anak. Hubungan yang baik antara ayah, ibu, dan anak-anak disamping anggota keluarga akan dapat terjalin dengan baik apabila komunikasi berjalan dengan baik dalam lingkungan keluarga (Effendi et al. 1995 dalam Kunarti 2004).

Permasalahan keluarga yang semakin rentan akhir-akhir ini dikarenakan semakin melemahnya kualitas komunikasi antara anggota keluarga sehingga memudarnya fungsi keluarga dalam melindungi anggotanya dari pengaruh pihak luar. Pengaruh luar terhadap pribadi keluarga semakin kuat akibat peningkatan teknologi komunikasi di era informasi globalisasi (Susanto-Sunario dalam Puspitawati 2006).

Kepergian Tenaga Kerja Wanita (TKW) dapat mengakibatkan terganggunya fungsi-fungsi dalam keluarga. Hal ini dapat menimbulkan dampak sosial dan psikologis tertentu bagi anggota keluarga yaitu suami dan anak. Blood dalam Luthfiyasari (2004) menyebutkan beberapa akibat yang mungkin terjadi antara lain berkurangnya intensitas komunikasi, melemahnya ikatan kekerabatan, goyahnya stabilitas keluarga serta melonggarnya keterikatan moral terhadap budaya setempat.

Keintiman diantara hubungan anggota keluarga akan sangat mempengaruhi kehangatan terhadap keluarga (Dagun 1990 dalam Mutyahara 2005). Meluangkan waktu bersama merupakan syarat utama untuk menciptakan komunikasi antara orangtua dan anak, sebab dengan adanya waktu bersama, barulah keintiman dan keakraban dapat diciptakan diantara anggota.

Interaksi Suami dan Istri

Komunikasi yang baik antara suami dan istri merupakan elemen penting dari kualitas perkawinan (Kammeyer 1987). Kammeyer (1987) mengidentifikasi tiga jenis komunikasi yang penting dalam hubungan suami-istri yaitu: (1) Open and Honest Communication, pasangan mengekspresikan perasaan secara tepat dan tidak mencampuradukkan pesan. Komunikasi tipe ini memberikan kontribusi terhadap hubungan kualitas perkawinan; (2) Supportiveness, memperlakukan orang yang sedang berbicara dengan penuh perhatian dan respect. Komunikasi yang baik tergantung pada jenis dukungan dan konfirmasi (merespon secara positif), dan studi menunjukkan bahwa ketika pasangan yang menikah memperhatikan kualitas komunikasi mereka, kepuasan dan kualitas pernikahan mereka lebih besar (Montgomery 1981 dalam Kammeyer 1987); (3) Self-Disclosure, self-disclosure sama dengan open and honesty, tetapi ada beberapa elemen perasaan dan emosi yang lebih kuat. Berbicara dengan orang lain tentang ketakutan, harapan, dan keinginan merupakan inti dari self-disclosure. Penelitian Hendrick (1981) dalam Kammeyer (1987) menemukan secara umum berhubungan positif antara self-disclosure dengan kepuasan perkawinan.

Interaksi Ibu dan Anak

Pada keluarga yang suami-istri bekerja (dual erner), terutama istri, karena istri juga berperan sebagai ibu maka perpisahan anak dan ibu akan berpengaruh pada perkembangan anak. Penelitian Bowlby beberapa puluh tahun berselang sampai pada kesimpulan bahwa bila dalam perkembangannya anak tidak mendapatkan porsi kasih sayang yang cukup dari ibunya, anak akan menderita apa yang disebut oleh Bowlby sebagai maternal deprivation yang menyebabkan anak mengalami kesulitan emosional serta hambatan-hambatan dalam pengembangan daya pikirnya. Bahkan perpisahan sementara atau kondisi yang disebut partial seperetion sudah cukup mengganggu perkembangan anak. Tidak dapat disangkal bahwa seseorang ibu yang bekerja untuk jangka waktu tertentu akan menciptakan perpisahan dengan anaknya. Perpisahan sementara tersebut dapat menyebabkan keterikatan secara emosional (attachment) antara anak dengan ibunya menjadi terganggu, padahal ikatan tersebut perlu ada untuk menjamin hubungan yang sehat antara anak-ibu (Achir 1985).

Interaksi Ayah dan Anak

Keterlibatan atau kontribusi ayah di seluruh belahan dunia rendah dalam tugas pengasuhan anak (United Nations 1995, Engel et al 1992 dalam Hastuti 2007). Namun dukungan sosial emosi amat diperlukan dari ayah ketika kondisi ibu harus meninggalkan anak untuk waktu yang cukup lama seperti yang terjadi pada keluarga TKW. Interaksi antara ayah dan anak menjadi sangat penting agar anak tidak terlalu menderita, sehingga hal ini tidak menimbulkan kesulitan-kesulitan tingkah laku dalam perkembangan kepribadian anak selanjutnya.

Kualitas Perkawinan Definisi Perkawinan

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1996) mengartikan perkawinan sebagai hubungan permanen antara lelaki dan perempuan yang diakui sah oleh masyarakat atas dasar peraturan perkawinan yang berlaku. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No 1 Tahun 1974 Pasal 1 tentang perkawinan, perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Perkawinan merupakan perwujudan formal antara pasangan laki-laki dan perempuan yang akan membentuk suatu rumah tangga dan sudah merupakan kodrat alami antara dua insan manusia yang berlainan jenis, adanya saling ketertarikan satu sama lain untuk tujuan hidup bersama. Dengan adanya perkawinan hendaknya setiap pasangan dapat membentuk suatu keluarga/rumah tangga yang kekal dan bahagia (Tati 2004).

Rifai (1990) dalam Tati (2004) menegaskan bahwa perkawinan memiliki tiga unsur penguat yakni unsur sosial, hukum, dan agama. Perkawinan yang memiliki unsur sosial memberikan status sosial yang tinggi, lebih dihargai dari pada mereka yang tidak menikah. Perkawinan dipandang sebagai kemaslahatan masyarakat dalam arti menghindari perselisihan, permusuhan antara sesama manusia. Dipandang dari sudut agama bahwa perkawinan merupakan pembentukan manusia susila, dimana perkawinan sebagai suatu asas yang utama dalam pergaulan atau masyarakat yang beradab, agar menjadi laki-laki dan perempuan yang terhindar dari perbuatan yang dilarang agama. Dalam

agama perkawinan dianggap sebagai lembaga yang suci/sakral. Perkawinan dipandang dari unsur hukum, bahwa perkawinan merupakan suatu perjanjian yang sangat kuat, atau merupakan pertalian yang seteguh-teguhnya antara suami istri dan turunannya, dan merupakan pertalian yang erat dalam hidup dan kehidupan manusia.

Ada beberapa alasan seseorang melangsungkan perkawinan yaitu menurut Turner dan Helms (1995) yaitu: (a) Adanya komitmen artinya ada seseorang yang dapat dimilikinya secara sepenuhnya, (b) Hubungan satu lawan satu artinya dengan pernikahan ada seseorang yang memberi dukungan secara emosional yang diekspresikan dengan kasih sayang, kepercayaan, keintiman, (c) Kebersamaan, (d) Cinta, (e) Kebahagiaan, dan (f) Legitimasi seksual dan anak-anak. Ada alasan lain yaitu karena banyak manfaatnya dan keuntungan yang diperoleh dari perkawinan.

Keunikan yang terjadi dalam hubungan perkawinan adalah meskipun banyak perbedaan antara laki-laki dan perempuan seperti perbedaan emosional, lingkungan, genetis dan kepribadian, selalu ada perkawinan yang berhasil. Perkawinan tersebut dinikmati oleh laki-laki dan perempuan sebagai suami istri yang bahagia. Mayoritas pasangan yang menikah memiliki tujuan hidup bersama, berbagi dukungan fisik dan komunikasi tentang berbagai kesenangan dan masalah (Osborne 1988 dalam Suryani 2004).

Kualitas perkawinan didefinisikan sebagai sejauh mana mutu perkawinan, baik sebagai pandangan pasangan pada titik waktu tertentu, maupun sebagai kombinasi perasaan yang dialami pasangan, dan ciri-ciri relasional antar pasangan pada titik waktu tertentu (Suhardono 1998 dalam Ritonga 2007). Elder et al. (1991) dalam Tati (2004) menilai kualitas perkawinan dalam batas-batas kebahagian dan kepuasan serta ketidakstabilan perkawinan dalam batasan pemikiran, aksi atau perceraian. Ada juga yang mendefinisikan kualitas perkawinan dalam lima dimensi yaitu kecenderungan bercerai, masalah perkawinan, kebahagiaan perkawinan, interaksi perkawinan dan ketidaksepakatan dalam perkawinan. Menurut Conger et al. (1994), kualitas perkawinan memiliki dua dimensi yakni kebahagiaan perkawinan dan kepuasan perkawinan.

Studi menunjukkan apabila pasangan memiliki latar belakang (agama, ras, sosial ekonomi) keluarga yang sama maka kualitas perkawinan akan lebih besar. Kualitas perkawinan berhubungan positif dengan sumberdaya dan

kemampuan diri, seperti pendidikan, fisik dan mental yang baik, ekonomi yang tinggi. Dukungan teman dan tetangga juga berhubungan dengan tingginya kualitas perkawinan (Kammeyer 1987).

Banyak penelitian memperlihatkan penghormatan positif terhadap pasangan memperbesar kualitas perkawinan. Penghormatan yang positif ditunjukkan melalui evaluasi yang menyenangkan dari pasangan, persetujuan tentang nilai, kepuasan seksual dan fisik yang menarik, persetujuan pada pandangan diri, ekspresi afeksi dan cinta, hubungan yang setara, companionship, dan penyelesaian masalah yang efektif (Kammeyer 1987). Pasangan yang memiliki anak juga memperlihatkan peningkatan kualitas perkawinan karena anak merupakan pelengkap dalam perkawinan.

Adanya saling pengertian antara suami istri merupakan faktor yang penting supaya tercapai hubungan yang harmonis. Mengertikan motif-motif tingkah lakunya, sebab-sebab mengapa pasangan berbuat demikian, mempunyai pengertian untuk latar belakang hidup pasangannya. Jika ada saling pengertian antara kedua belah pihak, ini menjadikan mereka lebih toleran. Dan toleransi sangat penting untuk hubungan suami istri. Toleransi untuk kekurangan-kekurangan, kelemahan-kelemahan, kebiasaan-kebiasaan yang kurang baik dari pihak yang lain. Penting pula untuk suatu perkawinan yang harmonis, dimana kedua belah pihak merasakan kebahagiaan dan kepuasan, ialah jika ada saling penghargaan antara keduanya. Penghargaan untuk kepribadian, prestasi, minat, individualitas dari partnernya. Ini erat hubungannya dengan pengakuan diri kedua belah pihak, bahwa masing-masing berhak atas kehidupan pribadi (Munandar 1985).

Dari studi-studi yang telah dilakukan nyata bahwa banyak sekali faktor-faktor yang perlu diperhatikan untuk menjamin perkawinan yang harmonis (Munandar 1985), antara lain:

(1) Keadaan kesehatan dan warisan biologis untuk menjamin keturunan yang sehat

(2) Latar belakang/lingkungan hidupnya, apakah berasal dari keluarga yang bahagia atau dari brokenhome, adakah konflik-konflik dengan orangtuanya/saudaranya, sikap/pandangan yang sehat mengenai seks dan lain-lain

(3) Ketertarikan yang tidak banyak berbeda

(5) Faktor ekonomis (jika sangat berbeda dengan keadaannya sebelum menikah, dapat menimbulkan kesukaran

(6) Apakah keduanya dari lingkungan/status sosial yang sangat berbeda

(7) Adakah perbedaan mencolok daam pendidikan, kecerdasan, umur dan lain-lain

(8) Perbedaan dalam agama

(9) Perbedaan dalam kebudayaan, kebangsaan

Menurut Duvall (1955), perkawinan yang sukses memiliki aspek: (1) Companionship; (2) Adaptability; dan (3) Determination to succed. Munandar (1985) menyatakan bahwa perkawinan yang sukses ialah suatu hubungan yang dinamis, dimana kepribadian dari kedua pasangan berkembang secara berkelanjutan, sehingga dari hubungan tersebut tercapailah kepuasan pribadi pada taraf yang tinggi. Karakteristik kualitas perkawinan yang sukses menurut Sadarjoen (2009), adalah: (1) Komitmen yang terjaga; (2) Kejujuran, kesetiaan, kepercayaan; (3) Rasa tanggungjawab; (4) Kesediaan untuk menyesuaikan diri; (5) Fleksibilitas dan toleransi dalam setiap aspek perkawinan termasuk kehidupan seksual; (6) Mempertimbangkan keinginan pasangan; (7) Komunikasi yang terbuka, dengan penuh empati dan saling menghormati (respek) antar pasangan; (8) Menjalin hubungan antar pasangan dengan cinta penuh afeksi; (9) Pertemanan yang nyaman antar pasangan; (10) Kemampuan mengatasi krisis dalam setiap situasi dalam kebersamaan; (11) Menjaga nilai-nilai spiritual antar pasangan perkawinan dan keturunannya.

Kebahagiaan Perkawinan

Apa yang disebut kebahagiaan adalah subjektif dan individual. Setiap pasangan menemukan norma-normanya sendiri tentang apa yang diinginkan dari perkawinannya. Perkawinan dikatakan berhasil jika sesuai dengan norma-norma ini dan tidak bertentangan dengan norma-norma yang berlaku di dalam masyarakat. Kebahagiaan perkawinan dari pasangan suami istri, tumbuh jika dilandasi perasaan cinta dan kasih sayang, adanya kebersamaan, saling percaya, saling menghargai dan menghormati serta adanya pengorbanan.

Kulitas perkawinan berdimensi kebahagiaan perkawinan memiliki ciri adanya kemampuan berkomunikasi dengan baik antar pasangan, hubungan yang setara antar pasangan, hubungan yang baik antara mertua dan ipar, menginginkan hadirnya anak, memiliki minat di bidang yang sama, memiliki cinta,

saling menghormati, kesesuaian dalam kehidupan seksual, menikmati waktu luang bersama, hubungan penuh afeksi dan kebersamaan, dan kemampuan untuk memberi dan menerima (Zastrow & Kirsht 1987 dalam Nurani 2004).

Faktor-faktor yang mempengaruhi kebahagiaan perkawinan adalah: (1) Keuangan: Keuangan menduduki peringkat pertama sebagai sumber utama

konflik sekalipun dalam keluarga dengan perkawinan yang stabil dan finansial yang memadai (Landis dan Landis 1955).

(2) Keluarga dari pasangan suami-istri: dengan melakukan perkawinan, seseorang akan mendapatkan hubungan keluarga terikat perkawinan. Kedekatan hubungan ini bervariasi, mulai dari mertua, ipar, sepupu dari pasangan bahkan istri suami yang lain. Baik istri maupun suami harus menyesuaikan dirinya pada keluarga terikat perkawinan ini agar terhindar dari benturan-benturan dengan pasangannya. Landis dan Landis (1955) menyatakan bahwa jika hubungan mertua ipar baik maka perkawinan akan cenderung baik.

(3) Kehidupan beragama: Kehidupan beragama berhubungan erat dengan kepuasan perkawinan (Landis dan Landis 1955). Orang yang agresif dan curiga terhadap orang lain karena tidak adanya keamanan dari dalam dirinya. Keamanan dalam diri dari kepercayaan agama mungkin membantu seseorang memahami orang lain dan menerima kebutuhannya.

(4) Komunikasi: Pada sekelompok pasangan yang bahagia ditemukan adanya komunikasi yang lebih banyak dan lebih baik dibandingkan dengan kelompok yang kurang bahagia dalam perkawinannya. Dalam kelompok yang kurang bahagia, seiring timbul masalah akibat komunikasi yang salah (Atwater 1985 dalam Sari 2004)

(5) Lain-lain: faktor lain yang mempengaruhi adalah penyesuaian seksual, pengasuhan anak, sikap dan nilai terhadap perkawinan, dan pengelolaan rumah tangga serta usia pasangan saat menikah. Karyadi (1988) mengatakan bahwa seringkali pasangan yang menikah di bawah 20 tahun mengalami perceraian. Persentasenya lebih tinggi dibanding dengan mereka yang menikah di atas 20 tahun.

Menurut Olson dalam Nurani (2004), tipologi pasangan menikah berhubungan dengan tingkat kebahagiaan pernikahan serta apakah perkawinan tersebut bisa bertahan atau tidak. Tipologi pasangan menikah tersebut adalah: (1) Pernikahan tanpa vitalitas, pasangan dalam tipe perkawinan ini merasa tidak

menemukan kepuasan dalam semua faktor yang berperan dan selalu berada dalam keadaan labil. Pasangan tipe ini biasa menikah pada usia terlalu muda, memiliki penghasilan rendah, dan biasanya berasal dari keluarga yang berantakan; (2) Pasangan finansial, memiliki banyak konflik yang tidak terselesaikan dan tidak puas dengan komunikasi dalam pernikahan dan dengan keadaan atau kepribadian pasangan. Karir menjadi prioritas yang melebihi keluarga, dan uang menjadi satu-satunya penghiburan; (3) Pasangan berkonflik, pasangan merasa tidak puas dalam aspek seks, kepribadian pasangan, komunikasi, dan pemecahan masalah yang mereka hadapi. Pasangan dari tipe ini yang mencari kepuasan dari dimensi eksternal, seperti menekuni hobi secara berlebihan atau mencari pelarian dalam ritual keagamaan; (4) Pasangan tradisional, pasangan menemukan kepuasan dalam banyak aspek kehidupan rumah tangga mereka tetapi memiliki masalah serius dalam aspek komunikasi dan seksual. Kebahagiaan pasangan berasal dari aspek religius dan hubungan yang baik serta kedekatan dengan kerabat dan teman-teman rumah tangga relatif stabil dan bertahan lebih lama; (5) Pasangan seimbang, pasangan merasa cukup pada kemampuan komunikasi dan resolusi konflik, memiliki kesamaan aspek aktivitas waktu luang, pengasuhan anak dan seksualitas, serta lebih mementingkan kepentingan keluarga batih; (6) Pasangan harmonis, pasangan puas dengan pasangannya, ekspresi kasih sayang yang ditunjukkan serta seksual, namun menganggap anak sebagai hambatan dalam hubungan; (7) Keluarga penuh vitalitas, pasangan menunjukkan tingkat kepuasan yang tinggi, menjalin hubungan dengan baik, kepribadian yang saling melengkapi, mampu menjalin komunikasi dengan baik, mencari solusi dari konflik, puas secara seksual maupan secara finansial dan juga berasal dari keluarga harmonis.

Kepuasan Perkawinan

Duvall & Miller (1989) dalam Nurani (2004), kepuasan perkawinan meliputi ekspresi afeksi yang terbuka satu sama lain, terjalinnya rasa saling percaya, tidak ada dominasi satu terhadap lainnya, komunikasi yang bebas dan terbuka antar pasangan, kesesuaian kehidupan seksual, melakukan kegiatan