• Tidak ada hasil yang ditemukan

Amar Makruf Nahi Mungkar dalam Keluarga (Antar Sesama Anggota Keluarga)

Dalam dokumen AMAR MAKRUF NAHI MUNGKAR DALAM AL-QUR`AN (Halaman 96-105)

PELAKU AMAR MAKRUF NAHI MUNGKAR

1. Amar Makruf Nahi Mungkar dalam Keluarga (Antar Sesama Anggota Keluarga)

Pembentukan rumah tangga yang bahagia, tentu sangat dibutuhkan dalam kehidupan masyarakat. Pembentukan rumah tangga seperti ini harus

dilakukan melalui komunikasi Islami yang baik antar sesama penghuni rumah tangga terutama antara suami dan isteri, yang didasarkan pada prinsip amar makruf nahi mungkar dan al-tawâshi bi al-haq wa al-tawâshi bi al-shabr (nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran). Bila ada salah seorang anggota keluarga baik suami, isteri ataupun anak, yang lalai untuk menjalankan perintah Allah atau meninggalkan larangannya, maka anggota keluarga yang lain harus mengingatkannya. Dalam hal ini, laki-laki sebagai kepala keluarga3 memiliki peran yang sangat penting dalam menegakkan amar

makruf nahi mungkar dalam keluarga. Dia harus memberi contoh yang baik sehingga dapat menjadi tauladan bagi isteri dan anak-anaknya. Dia harus mengingatkan isteri dan anak-anaknya bila ada perbuatan makruf yang mereka tinggalkan atau ada kemungkaran yang mereka lakukan. Ini merupakan wujud implementasi dari firman Allah Swt. yang menyerukan kepada orang-orang yang beriman untuk memelihara diri dan keluarga mereka dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu serta dijaga oleh para malaikat yang kasar, yang keras dan yang tidak pernah mendurhakai perintah Allah Swt.. 4

Sebagai suami, laki-laki harus selalu mengingatkan atau menasehati isterinya untuk tetap pada ketaatan kepada Allah Swt.. Dia tidak boleh bersikap acuh bila ada sikap sang isteri yang tidak mencerminkan ketaatannya kepada Allah, atau bila ada perilakunya yang tidak baik. Dalam hal ini, suami harus berusaha untuk merubah sikap atau perilaku isterinya itu secara berangsur-angsur dan dengan cara yang baik. Hal ini dimaksudkan agar tidak menyinggung perasaan sang isteri, karena pada

3 Lihat Q.S.

al-Nisâ` (4): 34.

umumnya wanita memiliki perasaan yang sangat sensitif dan mudah tersinggung. Oleh karena itu, maka Rasulullah Saw. mengingatkan kaum laki-laki akan hal itu dalam sabda beliau:

ﹶﺓﺮﺴـﻴﻣ ﻦـﻋ ﹶﺓﺪـِﺋﺍﺯ ﻦـﻋ ﻲـِﻠﻋ ﻦﺑ ﻦﻴﺴﺣ ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ ﺎﹶﻟﺎﹶﻗ ٍﻡﺍﺰِﺣ ﻦﺑ ﻰﺳﻮﻣﻭ ٍﺐﻳﺮﹸﻛ ﻮﺑﹶﺃ ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ

ﻪـﱠﻠﻟﺍ ﻰﱠﻠـﺻ ِﻪـﱠﻠﻟﺍ ﹸﻝﻮـﺳﺭ ﹶﻝﺎـﹶﻗ ﹶﻝﺎﹶﻗ ﻪﻨﻋ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﻲِﺿﺭ ﹶﺓﺮﻳﺮﻫ ﻲِﺑﹶﺃ ﻦﻋ ٍﻡِﺯﺎﺣ ﻲِﺑﹶﺃ ﻦﻋ ﻲِﻌﺠﺷﹶﺄﹾﻟﺍ

ﱠﻠﺳﻭ ِﻪﻴﹶﻠﻋ

ِﻊﹶﻠﻀـﻟﺍ ﻲـِﻓ ٍﺀﻲـﺷ ﺝﻮـﻋﹶﺃ ﱠﻥِﺇﻭ ٍﻊﹶﻠـِﺿ ﻦِﻣ ﺖﹶﻘِﻠﺧ ﹶﺓﹶﺃﺮﻤﹾﻟﺍ ﱠﻥِﺈﹶﻓ ِﺀﺎﺴﻨﻟﺎِﺑ ﺍﻮﺻﻮﺘﺳﺍ ﻢ

ِﺀﺎﺴﻨﻟﺎِﺑ ﺍﻮﺻﻮﺘﺳﺎﹶﻓ ﺝﻮﻋﹶﺃ ﹾﻝﺰﻳ ﻢﹶﻟ ﻪﺘﹾﻛﺮﺗ ﹾﻥِﺇﻭ ﻪﺗﺮﺴﹶﻛ ﻪﻤﻴِﻘﺗ ﺖﺒﻫﹶﺫ ﹾﻥِﺈﹶﻓ ﻩﺎﹶﻠﻋﹶﺃ

Abû Kuraib dan Mûsa ibn Hizâm menceritakan kepada kami dari Husain ibn Ali dari Zâ`idah, dari Maisarah al-Asyja'i, dari Abû Hâzim, dari Abû Hurairah Ra., dia berkata: "Rasulullah Saw. bersabda: 'Terimalah wasiatku untuk memperlakukan wanita dengan baik, karena sesungguhnya wanita itu diciptakan dari tulang rusuk. Sesungguhnya bagian yang paling bengkok pada tulang rusuk itu adalah bagian paling atas. Jika kamu berusaha meluruskannya, maka kamu akan mematahkannya. Tetapi jika kamu membiarkannya saja, maka ia akan tetap bengkok. Maka terimalah wasiatku untuk memperlakukan wanita dengan baik.'"5

Kebengkokan atau kekurangan ini, menurut Âdil Fathi Abdullâh dalam buku "Buyûtunâ Kamâ Yajib An Takûn" terdapat pada diri setiap wanita, yaitu berupa perbedaan fisiknya dengan laki-laki, serta perasaannya yang sangat sensitif, mudah tersinggung dan terpengaruh. Demikianlah Allah Swt. telah menciptakan wanita dalam satu kondisi yang sesuai dengan perannya dalam kehidupan ini, yaitu sebagai ibu dan isteri.6 Apa

5 Diriwayatkan oleh al-Bukhâri pada kitab

Ahâdîts al-Anbiyâ`, hadis no. 3084; al- Tirmidzi pada kitab al-Thalâq wa al-Li'ân 'An Rasûlillâh, hadis no. 1109; Ahmad pada kitab Bâqî Musnad al-Muktsirîn, hadis no. 10044 dan 10436; dan al-Dârimi pada kitab al- Nikâh, hadis no. 2125.

6 Âdil Fathi Abdullâh, Buyûtunâ Kamâ Yajib An Takûn, (Iskandariah: Dâr al-

yang disampaikan oleh Âdil Fathi Abdullâh ini merupakan salah satu bentuk pemahaman secara harfiah terhadap hadis tersebut.

M. Quraish Shihab mencoba untuk memberikan alternatif lain yang berkaitan dengan pemahanam terhadap hadis tersebut. Menurutnya, hadis ini difahami oleh ulama terdahulu secara harfiah, namun tidak sedikit ulama kontemporer yang memahaminya secara metafora, Bahkan ada yang menolak keshahihan hadis tersebut. Yang memahami secara metafora berpendapat bahwa hadis tersebut memperingatkan para lelaki agar menghadapi perempuan dengan bijaksana, karena ada sifat, karakter dan kecenderungan mereka yang tidak sama dengan lelaki, sehingga kaum lelaki tidak akan mampu mengubah karakter dan sifat bawaan perempuan, kalaupun mereka berusaha akibatnya akan fatal, sebagaimana fatalnya meluruskan tulang rusuk.7

Bahkan, ketika terjadi nusyûz8 yang dilakukan oleh sang isteri, suami dituntut untuk mengambil langkah-langkah ta`dîb dan ishlâh yang dapat menyadarkan sang isteri sehingga dia tidak lagi mengulangi perbuatan nusyûz tersebut. Langkah-langkah yang dimaksud adalah memberi nasehat yang baik, berpisah ranjang dengannya bila nasehat yang diberikan tidak dapat membuahkan hasil, dan memukulnya dengan pukulan yang ringan bila nusyûz-nya telah berlebihan dan melampaui batas. Ketiga langkah itu harus diambil secara bertahap atau sesuai kebutuhan. Maksudnya, bila isteri yang melakukan nusyûz dapat disadarkan dengan

7 M. Quraish Shihab,

Wawasan al-Qur`an, (Bandung: Penerbit Mizan, 1998), cet. ke-8, h. 300.

8

Nusyûz, maksudnya meninggalkan kewajiban bersuami isteri. Nusyûz dari pihak isteri adalah seperti meninggalkan rumah tanpa izin suaminya. (Lihat Al-Qur`an Dan Terjemahnya, Departemen Agama RI, catatan kaki no. 291, catatan kaki dari Q.S. al-Nisâ`

menggunakan nasehat, maka suaminya tidak boleh mengambil langkah- langkah lain. Tetapi bila tidak, maka suami boleh menggunakan langkah berikutnya, yaitu berpisah ranjang dengannya. Adapun bagi wanita yang tidak bisa disadarkan dengan menggunakan kedua langkah tersebut, maka suaminya boleh memberikan ta`dîb yang bersifat fisik yaitu berupa pukulan ringan. Dalam hal ini, perlu diingat bahwa al-Qur`an telah menjadikan ta`dîb jenis ini sebagai sarana perbaikan yang terakhir. Jadi, seperti yang dikatakan oleh Ra'd Kâmil al-Hiyâli dalam buku "al-Khilâfât al-Zaujiyyah fî Dhau` al-Kitâb wa al-Sunnah" ta`dîb ini adalah ibarat alternatif terakhir yang tidak boleh digunakan kecuali dalam keadaan darurat.9

Selain itu, perlu diingat pula bahwa yang dimaksud dengan pukulan di sini adalah pukulan yang ringan dan tidak menyakitkan, karena tujuan utama dari pukulan tersebut hanyalah untuk mengingatkan sang isteri bahwa apa yang dilakukannya itu salah, bukan untuk menyakitinya ataupun menyiksanya. Dengan demikian, maka pukulan yang menyakitkan, seperti yang biasa dilakukan oleh seorang tuan terhadap budaknya, tidak boleh digunakan untuk memberikan ta`dîb kepada isteri ketika melakukan

nusyûz.10

9 Ra'd Kâmil al-Hiyâli, al-Khilâfât al-Zaujiyyah fî Dhau` al-Kitâb wa al-Sunnah,

(Beirut: Dâr Ibn Hazm, 1994), cet. ke-1, h. 59-60.

10 Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Ja'far bin 'Aun mengabarkan dari

Hisyâm bin 'Urwah, dari ayahnya, dari 'Abdullâh bin Zam'ah, dia berkata: "Pada suatu hari, Rasulullah Saw. menceramahi orang-orang, dan beliau menasehati mereka tentang kaum perempuan. Lalu beliau bersabda: 'Bagaimana mungkin seorang suami memukul isterinya layaknya memukul seorang budak, padahal boleh jadi dia akan menggaulinya di akhir hari.'" Hadis ini diriwayatkan oleh al-Bukhâri pada kitab al-Nikâh, bab 93, hadis no. 5204; dan al-Dârimi pada kitab al-Nikâh, hadis no. 2220.

Isteri juga memiliki kewajiban yang sama dalam kaitannya dengan amar makruf nahi mungkar. Sebagian orang meyakini bahwa kewajiban amar makruf nahi mungkar hanya bagi kaum laki-laki saja. Keyakinan mereka tidaklah benar, karena kewajiban tersebut juga dibebankan kepada kaum wanita. Menurut 'Ashâm ibn Muhammad al-Syarîf, mengutip pendapat Imam Ibn al-Nuhâs al-Dimasyqi, penyebutan kata al-mu`minât

pada Q.S. al-Taubah (9): 71 merupakan dalil yang menunjukkan bahwa amar makruf nahi mungkar diwajibkan kepada kaum wanita sebagaimana ia telah diwajibkan kepada kaum laki-laki.11

Amar makruf nahi mungkar yang dilakukan seorang isteri terhadap suaminya merupakan satu hal penting yang dapat membantu meningkatkan keimanan suami, yang pada akhirnya dapat mewujudkan rumah tangga yang sakinah dan penuh dengan mawaddah dan rahmah. Isteri seperti ini dianggap oleh Nabi Saw. sebagai harta yang terbaik. 'Abdurrahmân meriwayatkan dari Isrâ`îl, dari Manshûr, dari Sâlim bin Abî al-Ja'd, dari Zaubân, bahwa ketika diturunkan firman Allah: "Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah…", para sahabat sedang bersama Rasulullah Saw. dalam salah satu perjalanan beliau. Sebagian sahabat beliau pun berkata: "Telah turun kepada kami (ayat) yang berkaitan dengan emas dan perak. Seandainya kami mengetahui harta yang terbaik, niscaya kami akan mengejarnya." Rasulullah Saw. pun bersabda: "Harta yang paling baik adalah lisan yang

11 'Ashâm ibn Muhammad al-Syarîf, Mukhâlafât fî Buyûtinâ, (Iskandariah: Dâr

senantiasa berdzikir, hati yang selalu bersyukur, dan seorang isteri mukminah yang dapat membantu meningkatkan keimanan suaminya."12

Di antara materi amar makruf nahi mungkar yang bisa disampaikan antara suami-isteri adalah saling mengingatkan shalat dan ibadah pasangannya. Suami harus mengingatkan isteri bila isterinya itu lupa atau lalai untuk melaksanakan shalat ataupun ibadah-ibadah lainnya, demikian pula sebaliknya. Hal ini tidak hanya terbatas pada ibadah-ibadah fardhu saja, melainkan juga pada ibadah-ibadah sunah seperti shalat malam, puasa sunah ataupun yang lain. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ya'qûb bin Ibrâhîm dari Yahyâ, dari Ibn 'Ajlân, dari al-Qa'qa', dari Abu Shâlih, dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw. menganjurkan agar bila seorang laki-laki bangun pada malam hari, lalu dia melaksanakan shalat malam, maka hendaknya dia membangunkan isterinya agar sang isteri pun ikut melaksanakan shalat, dan bila isterinya itu enggan untuk bangun, maka hendaknya dia memercikkan air ke wajah isterinya itu. Demikian pula bila seorang wanita bangun pada malam hari untuk melaksanakan shalat malam, maka hendaknya dia membangunkan suaminya.13

Selain amar makruf nahi mungkar dalam keluarga harus ditegakkan antara suami dan isteri, ia juga harus ditegakkan antara orang tua dan anak.

12 Diriwayatkan oleh Ibn Mâjah pada kitab

al-Nikâh (5) dan al-Tirmîdzi pada kitab Tafsîr Surah 9.

13 Diriwayatkan oleh Abû Daud pada kitab

al-Shalâh, hadis no. 1113; al-Nasâ`i pada kitab Qiyâmul Lail, hadis no. 1592; dan Ibn Mâjah pada kitab Iqâmah al-Shalâh wa al-Sunnah Fîhâ, hadis no. 1326. Redaksinya adalah sebagai berikut: "Semoga Allah merahmati laki-laki yang bangun pada malam hari, lalu melaksanakan shalat (malam) dan membangunkan isterinya. Jika isterinya itu enggan (bangun), maka dia memercikkan air ke wajah isterinya itu. Semoga Allah juga merahmati seorang wanita yang bangun pada malam hari, lalu melaksanakan shalat (malam). Setelah itu, dia membangunkan suaminya. Jika suaminya itu enggan (bangun), maka dia memercikkan air ke wajah suaminya itu."

Orang tua, baik ayah ataupun ibu, dituntut untuk memberikan nasehat- nasehat yang baik, menanamkan nilai-nilai tauhid dalam hati anak-anak, serta mengarahkan mereka agar mau melakukan perbuatan-perbuatan yang makruf dan meninggalkan setiap jenis kemungkaran. Inilah yang pernah dipraktekkan oleh Luqman al-Hakim As., terhadap anaknya yang kemudian diabadikan dalam al-Qur’an yaitu dalam Q.S. Luqmân (31): 17:

_6≈ƒ

Ο%&

οθ=Á9#

Β&ρ

∃ρèϑ9$/

Ρ#ρ

ã

3Ζϑ9#

Ž9¹#ρ

’?ã

7/$¹&

β)

79≡Œ

Β

Π“ã

‘θΒ{#

∩⊇∠∪

Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).14

Setelah pada ayat sebelumnya, Luqman As. memberikan nasehat tentang bahaya perbuatan syirik (kemusyrikan kepada Allah), dia pun melanjutkan pemberian nasehat kepada anaknya dengan memberikan nasehat yang dapat menjamin kesinambungan tauhid serta kehadiran Ilahi dalam kalbu sang anak. Beliau memulai pemberian nasehatnya itu dengan memanggil anaknya, wahai anakku, laksanakanlah shalat dengan sempurna, baik rukun maupun sunnah-sunnahnya. Kemudian di samping engkau memperhatikan dirimu dan membentenginya dari kekejian dan kemungkaran, anjurkanlah kepada orang lain berlaku serupa. Perintahkanlah secara baik-baik siapa pun yang mampu engkau ajak mengerjakan yang makruf dan cegahlah mereka dari kemungkaran. Memang, engkau akan mengalami banyak tantangan dan rintangan dalam melaksanakan tuntunan Allah Swt.. Oleh karena itu, maka tabahlah dan

bersabarlah terhadap apa yang menimpamu dalam melaksanakan semua tugasmu.

Amar makruf nahi mungkar yang ditujukan kepada anak ini harus dilakukan sejak dini, maksudnya sejak anak masih kecil. Seorang anak harus dibiasakan sejak kecil untuk melakukan hal-hal yang baik, karena sesungguhnya hal-hal yang baik itu adalah sebuah kebiasaan. Artinya, perintahkanlah anak-anak untuk melakukan hal-hal yang baik sejak dia masih kecil sehingga mereka akan terbiasa untuk melakukannya, kemudian hal-hal yang baik itu pun akan menjadi suatu kebiasaan bagi mereka. Upaya pembiasaan seperti ini, menurut Muhammad Husain dalam buku "Thifl Mâ Qabla al-Madrasah", tidak hanya untuk hal-hal yang baik saja, tetapi juga untuk hal-hal yang tidak baik. Maksudnya, anak-anak harus dibiasakan untuk meninggalkan hal-hal yang tidak baik sejak dini atau sejak dia bisa berkomunikasi dengan lingkungan yang ada di sekitarnya.15 Oleh karena itu, maka Rasulullah Saw. pun memerintahkan kaum Muslimin untuk menyuruh anak-anak mereka mengerjakan shalat sejak kecil, yaitu sejak berusia tujuh tahun. Bahkan, beliau memerintahkan mereka untuk memukul anak-anak, tentunya dengan pukulan yang bersifat mendidik dan tidak menyakitkan, bila meninggalkan shalat padahal usianya sudah sepuluh tahun.16

15 Muhammad Husain, Thifl Mâ Qabla al-Madrasah, (Iskandariah: Dâr al-

Da'wah, 2004), cet. ke-1, h. 16.

16 Hadis ini diriwayatkan oleh Abû Daud pada kitab al-Shalâh, hadis no. 418; dan

Ahmad pada kitab Musnad al-Muktsirîn min al-Shahâbah, hadis no. 6402 dan 6467. Lafazh hadis ini adalah: "Mu`ammal bin Hisyâm al-Yasykari menceritakan kepada kami, dari Ismâ`il, dari Sawwâr Abî Hamzah, dari 'Amr bin Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa dia berkata: "Rasulullah Saw. bersabda: 'Perintahkanlah anak-anak kalian untuk mengerjakan shalat ketika mereka berusia tujuh tahun, lalu pukullah mereka

2. Amar Makruf Nahi Mungkar dalam Masyarakat (Antar Sesama

Dalam dokumen AMAR MAKRUF NAHI MUNGKAR DALAM AL-QUR`AN (Halaman 96-105)