• Tidak ada hasil yang ditemukan

Amar Makruf Nahi Mungkar dalam Masyarakat (Antar Sesama Anggota Masyarakat)

Dalam dokumen AMAR MAKRUF NAHI MUNGKAR DALAM AL-QUR`AN (Halaman 105-124)

PELAKU AMAR MAKRUF NAHI MUNGKAR

2. Amar Makruf Nahi Mungkar dalam Masyarakat (Antar Sesama Anggota Masyarakat)

Amar makruf nahi mungkar merupakan bagian dari rasa solidaritas yang Allah Swt. tegakkan di antara orang-orang mukmin, dimana orang- orang mukmin satu sama lain saling melengkapi. Sebab, pada hakekatnya mereka semua adalah bersaudara, bahkan dalam sebuah hadis Nabi Saw. mengatakan bahwa mereka adalah seperti satu tubuh dimana jika ada satu anggota tubuh yang sakit, maka anggota-anggota yang lain pun akan ikut merasakannya, seperti disebutkan berikut ini:

ﺎﹶﻗ ٍﲑِﺸﺑ ِﻦﺑ ِﻥﺎﻤﻌﻨﻟﺍ ﻦﻋ ﻲِﺒﻌﺸﻟﺍ ﻦﻋ ُﺀﺎﻳِﺮﹶﻛﺯ ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ ﻲِﺑﹶﺃ ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ ٍﺮﻴﻤﻧ ِﻦﺑ ِﻪﱠﻠﻟﺍ ِﺪﺒﻋ ﻦﺑ ﺪﻤﺤﻣ ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ

ﹶﻝ

ِﺪﺴﺠﹾﻟﺍ ﹸﻞﹶﺜﻣ ﻢِﻬِﻔﹸﻃﺎﻌﺗﻭ ﻢِﻬِﻤﺣﺍﺮﺗﻭ ﻢِﻫﺩﺍﻮﺗ ﻲِﻓ ﲔِﻨِﻣﺆﻤﹾﻟﺍ ﹸﻞﹶﺜﻣ ﻢﱠﻠﺳﻭ ِﻪﻴﹶﻠﻋ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﻰﱠﻠﺻ ِﻪﱠﻠﻟﺍ ﹸﻝﻮﺳﺭ ﹶﻝﺎﹶﻗ

ﻰﻤﺤﹾﻟﺍﻭ ِﺮﻬﺴﻟﺎِﺑ ِﺪﺴﺠﹾﻟﺍ ﺮِﺋﺎﺳ ﻪﹶﻟ ﻰﻋﺍﺪﺗ ﻮﻀﻋ ﻪﻨِﻣ ﻰﹶﻜﺘﺷﺍ ﺍﹶﺫِﺇ

Muhammad ibn 'Abdullâh ibn Numair menceritakan kepada kami, ayahku menceritakan kepada kami, Zakariyâ menceritakan kepada kami, dari al-Sya'bi dari al-Nu'mân ibn Basyîr, dia berkata: "Rasulullah Saw. bersabda: 'Perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal cinta dan kasih sayang di antara mereka adalah seperti satu tubuh; Apabila salah anggota mengeluhkan rasa sakit, maka seluruh anggota tubuh pun akan ikut merasakannya, yaitu dengan cara tidak bisa tidur dan cara demam.'" 17

Oleh karena itu, apabila seorang Muslim melihat orang Muslim lainnya melakukan kemungkaran atau meninggalkan perbuatan yang makruf, maka dia pun harus mengingatkannya. Ini disebabkan karena melakukan kemungkaran ataupun meninggalkan perbuatan yang makruf

bila meninggalkan shalat padahal mereka sudah berusia sepuluh tahun, dan pisahkanlah tempat tidur mereka.'"

17 Diriwayatkan oleh al-Bukhâri pada kitab al-Adab, hadis no. 5552; Muslim

pada kitab al-Birr wa al-Shilah wa al-Âdâb, hadis no. 4685; dan Ahmad pada kitab Awwal Musnad al-Kûfiyyîn, hadis no. 17632.

merupakan penyakit ganas yang apabila dibiarkan, maka ia akan merajalela dan akan menyerang anggota-anggota tubuh lainnya. Solidaritas sosial dalam bentuk amar makruf nahi mungkar ini telah disinyalir oleh Allah Swt. dalam Q.S. al-Taubah (9): 71. Dalam ayat tersebut, Allah Swt. menegaskan bahwa orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka adalah menjadi penolong bagi sebagian yang lain, mereka menyeru orang lain untuk mengerjakan yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu adalah orang-orang yang akan diberi rahmat oleh Allah. 18

Ibn Jarîr al-Thabarî dalam kitabnya "Jâmi’ al-Bayân fî Ta`wîl al- Qur`ân" memahami lafazh mu`min pada ayat ini, dengan arti laki-laki dan perempuan yang membenarkan Allah dan Rasul-Nya serta saling tolong menolong antara sesama mereka. Mereka mengajak orang lain untuk beriman kepada Allah, lalu mereka mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, mentaati perintah-perintah Allah dan Rasul-Nya serta menjauhkan diri dari hal-hal yang dilarang. Karena sifat inilah, Allah Swt. pun mengasihi mereka, melepaskan mereka dari api neraka dan memasukkannya ke dalam surga. Amar makruf nahi mungkar pada ayat ini, menurut Ibn Jarîr dengan merujuk kepada sebuah riwayat dari Abû al-‘Âliyah, maksudnya adalah mengajak orang-orang untuk meninggalkan kemusyrikan menuju Islam, serta mencegah mereka dari penyembahan terhadap berhala dan syaitan.19

18 Q.S. al-Taubah (9): 71.

19 Ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi’ al-Bayân fî Ta`wîl al-Qur`ân, (Beirut: Dâr al-Kutub

Menurut Sayyid Muhammad Nûh, berdasarkan prinsip solidaritas, tolong menolong serta jalinan kebersamaan, kekompakkan dan kesatuan antara sesama Muslim yang melahirkan tanggung jawab amar makruf nahi mungkar antar sesama individu Muslim ini, maka setiap individu Muslim kapan dan di mana pun berada, di kota maupun di pelosok desa, ia wajib mengadakan perubahan, baik secara perorangan ataupun kelompok. Namun harus menjadi catatan bahwa perubahan tersebut harus sejalan dengan prinsip-prinsip yang Islami, menyeluruh dan terpadu, juga diupayakan agar keinginan dan semangat untuk melakukan perubahan itu merata di kalangan kaum Muslimin, sehingga amar makruf nahi mungkar serta dakwah kepada keimanan menjadi kebiasaan setiap Muslim.20

Jamâluddîn al-Afghâni -seperti yang dikatakan oleh Ali ‘Abd al- Halîm Mahmûd- merupakan orang pertama di antara tokoh lain yang menggerakkan ide dakwah individu untuk mewujudkan kesatuan dan persatuan Islam. Jamâluddîn al-Afghâni adalah seorang muslim pertama yang sadar akan bahaya dominasi Barat atas dunia Islam. Ia menyadari bila hal ini dibiarkan berlarut-larut, maka hal itu akan merusak masa depan Islam dan kaum muslimin. Ia yakin, bila dominasi Barat tidak segera dipatahkan, maka akan terjadi bencana besar yang akan melanda dunia Islam. Jamâluddîn al-Afghâni berjuang sendiri menghabiskan usianya demi membangun dunia Islam dan memperingatkan mereka terhadap bahaya yang akan menimpa mereka. Ia menghimbau kaum muslimin untuk menyiapkan genderang perang melawan kaum kafir.21

20 Sayyid Muhammad Nûh,

Dakwah Fardiyyah dalam Manhaj Amal Islam,

(Solo: Citra Islami Press, 1996), cet. ke-1, h. 9.

21 Ali ‘Abd al-Halîm Mahmûd,

Manhaj al-Tarbiyyah ‘Inda al-Ikhwân al- Muslimîn, (alih bahasa: Syafril Halim, Ikhwanul Muslimin, Konsep Gerakan Terpadu), (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), cet. ke-1, jilid 1, h. 25.

Hasan al-Bannâ merupakan tokoh dakwah selain Jamâluddîn al- Afghâni di atas. Hasan al-Bannâ telah berhasil menarik hati sebagian besar masyarakat Mesir, ia dapat menyatukan mereka dalam masalah-masalah yang baik, membakar semangat perjuangan Islam dan mengajak menumbuhkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari.22 Usaha ini kemudian berkembang menjadi gerakan dakwah kelompok yang diberi nama Ikhwanul Muslimin, kelompok dakwah yang banyak mewarnai pergolakan politik di pemerintahan Mesir tahun 1928 dan ikut aktif dalam pengusiran penjajahan Inggris di Mesir

B. Umat

Karena begitu pentingnya dakwah, maka al-Qur’an pun menyebutnya dengan istilah ahsan qaulan, yang berarti ucapan atau perkataan yang paling baik.23 Predikat khair ummah, yaitu umat terbaik atau umat pilihan, hanya diberikan Allah kepada sekelompok orang yang aktif terlibat dalam kegiatan amar makruf nahi mungkar.24 Sebaliknya, laknat (kutukan) Allah akan diturunkan kepada umat yang melalaikan tugas amar makruf nahi mungkar tersebut.25 Bila difahami lebih jauh, maka setiap Muslim tentu akan memahami bahwa amar makruf nahi mungkar telah menjadi iltizâm

22 Ali ‘Abd al-Halîm Mahmûd,

Manhaj al-Tarbiyyah ‘Inda al-Ikhwân al- Muslimîn, jilid 1, h. 29.

23 Q.S.

Fushshilat (41): 33.

24 Q.S. Âli 'Imrân (3): 110. 25 Q.S. al-Mâ`idah (5): 79.

(keharusan) yang tidak dapat ditawar-tawar lagi oleh seorang Muslim, apalagi sampai ditinggalkannya.

Pada masa sekarang ini, masih banyak orang Islam yang tidak menghiraukan kewajiban dakwah, amar makruf nahi mungkar dan jihad sabîlillâh. Menurut Sayyid Muhammad Nûh dalam buku "Dakwah Fardiyyah dalam Manhaj Amal Islam", semua itu berangkat dari persepsi yang salah bahwa dakwah merupakan tanggung jawab ulama yang hanya terbatas dalam bentuk ceramah, khutbah dan mau'izah saja.26

Ikatan keimanan kepada satu Tuhan dan juga kepada Nabi-Nya Muhammad Saw., dapat dijadikan sebagai perekat persaudaraan antara satu komunitas Muslim dengan komunitas Muslim lainnya dengan saling memberi nasehat yang baik dan mengingatkan mereka dari hal-hal yang buruk. Hal ini pernah disinggung oleh Abû al-A’lâ al-Maudûdi dalam karyanya "Bain al-Da’wah al-Qaumiyyah wa al-Râbithah al-Islâmiyyah".

Mengutip perkataan Abû al-A’lâ al-Maudûdi, Muhammad ibn Muhammad al-Amîn al-Anshâri menjelaskan bahwa setiap kelompok manusia yang ada di permukaan bumi ini dipersatukan atas nama umat, kemudian umat manusia ini saling berkaitan dengan umat lain, dimana keterkaitan ini tidak lepas dari enam ikatan: Pertama, ikatan keturunan atau jenis kelamin; Kedua, ikatan tempat lahir atau negara; Ketiga, ikatan bahasa; Keempat, ikatan warna kulit dan perasaan; Kelima, ikatan kepentingan sosial; Dan keenam, ikatan aturan pemerintahan.27

26 Sayyid Muhammad Nûh, Dakwah Fardiyyah dalam Manhaj Amal Islam, h. 9

27 Muhammad ibn Muhammad ibn al-Amîn al-Ansharî, Manhaj al-Da’wah al- Islâmiyyah fî Binâ` al-Mujtama', (Riyâdh: Maktabah al-Anshâr, 1984), h. 153.

Keenam ikatan di atas mengikat setiap umat. Bahkan tidak ada yang dapat mengingkari bahwa keenam ikatan kepentingan ini telah melahirkan beberapa kesatuan umat yang kuat, meskipun tingkat kekuatannya berbeda- beda sesuai dengan tingkat perbedaan karakter individu yang ada pada masing-masing umat. Sebagaimana tidak ada yang dapat mengingkari bahwa manusia pernah ditimpa bencana besar sehingga alam pun memisahkan dan memecah belah mereka menjadi pecahan umat yang banyak.

Kalau ikatan-ikatan ini saja sudah cukup mengantar suatu umat untuk melakukan aktifitas dakwah dan menyebarkan amar makruf nahi mungkar kepada umat lain, maka bagaimana jadinya bila umat yang akan diberikan dakwah itu adalah umat Islam sendiri, umat yang mengimani satu Tuhan dan satu pencipta serta memiliki satu keimanan yang membenarkan apa yang disampaikan oleh Rasulullah Saw.. Oleh karena itu, maka sudah sepantasnyalah umat Islam saling menyampaikan amanah amar makruf nahi mungkar di antara sesama mereka.28 Setidaknya seperti inilah yang diinginkan Abû al-A’lâ al-Maudûdî, yaitu agar setiap Muslim mau menyadari akan pentingnya penyebarluasan amar makruf nahi mungkar antar sesama umat Islam sendiri.

Mungkin ini pula yang dikehendaki oleh Allah Swt. ketika Dia menegaskan bahwa umat manusia akan terlepas dari kerugian jika mereka mau beriman, mengerjakan amal saleh dan melakukan aktifitas amar makruf nahi mungkar dengan saling nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.29 Karena begitu

28 Muhammad ibn Muhammad ibn al-Amîn al-Ansharî, Manhaj al-Da’wah al- Islâmiyyah fî Binâ` al-Mujtama', h. 154

pentingnya upaya saling mengingatkan kebaikan antar sesama Muslim, maka para sahabat Nabi pun saling berwasiat dengan menggunakan ayat-ayat ini. Al-Thabranî meriwayatkan kebiasaan sejumlah sahabat Nabi; yaitu bahwa ketika dua orang sahabat Nabi saling bertemu maka mereka tidak akan berpisah kecuali setelah keduanya membaca Q.S. al-'Ashr dari awal hingga akhir surah. Setelah itu mereka pun akan berpisah dengan saling berjabatan tangan.

Al-Qur’an menganggap umat Islam sebagai umat terbaik atau umat pilihan (khair ummah) yang mau menegakkan amar makruf nahi mungkar. Ini menunjukkan bahwa faktor yang menyebabkan mereka menjadi umat yang terbaik adalah karena mereka mau bekerja sama untuk saling menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar. Predikat ini akan tetap mereka sandang bila amar makruf nahi mungkar di antara mereka ditegakkan. Dalam Q.S. Âli 'Imrân (3): 110, Allah Swt. menjelaskan bahwa umat Islam adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia selama mereka mau menyuruh kepada yang makruf, mencegah yang mungkar dan beriman kepada Allah. Pada ayat tersebut, Allah juga menegaskan bahwa sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Meskipun di antara mereka ada yang beriman, akan tetapi kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.30

Ketika menafsirkan ayat tersebut, Wahbah al-Zuhaili menjelaskan bahwa umat Islam adalah umat yang terbaik karena mereka memiliki keimanan yang benar dan sempurna serta melaksanakan kewajiban amar makruf nahi mungkar. Mereka akan tetap menjadi umat yang terbaik dan

paling utama selama mereka memenuhi syarat-syarat dan menjaga ketiga prinsip tersebut.31

Dari ayat di atas, dapat difahami bahwa umat Islam merupakan umat terbaik, dimana salah satu faktor yang menyebabkan mereka menjadi umat yang terbaik adalah karena mereka mau melaksanakan amar makruf nahi mungkar, sehingga dapat difahami secara mafhûm mukhâlafah bahwa jika mereka mengabaikan amar makruf nahi mungkar maka mereka tidak dapat lagi menjadi umat yang terbaik, bahkan mereka dapat menjadi umat yang terpuruk dan dilaknat oleh Allah Swt., seperti yang dialami oleh Bani Isra`il, seperti yang ditegaskan oleh Allah Swt. dalam Q.S. al-Mâ’idah (5): 78-79. Pada ayat tersebut, Allah menegaskan bahwa orang-orang kafir dari Bani Isra`il dilaknat dengan lisan Daud dan ‘Isa putera Maryam. Hal itu disebabkan karena mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan mungkar yang mereka perbuat. Ketika ada salah seorang di antara mereka yang berbuat kemungkaran, maka mereka tidak mau mengingatkannya. Bahkan orang-orang alim di antara mereka hanya diam saja ketika melihat suatu kemungkaran.32

Pada ayat lain, yaitu pada Q.S. Âli 'Imrân (3): 104, Allah Swt. menekankan bahwa hendaknya di antara umat Islam ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar. Ayat ini ditutup dengan penegasan dari Allah bahwa orang-orang yang mau melakukan hal-hal tersebut merupakan orang-

31Wahbah al-Zuhaili, Tafsîr al-Munîr, (Beirut: Dâr al-Fikr al-Mu’âshir, 1998), juz

4, h. 44.

orang yang beruntung, maksudnya orang-orang yang akan memperoleh keberuntungan baik di dunia maupun di akhirat.33

Kedua ayat dalam Q.S. Âli 'Imrân tersebut (ayat ke-104 dan 110) mengandung maksud bahwa umat Islam harus bersatu padu dalam rangka menegakkan amar makruf nahi mungkar sehingga mereka akan tetap menjadi umat yang terbaik dan termasuk orang-orang yang beruntung, baik di dunia maupun di akhirat. Ketika menafsirkan Q.S. Âli 'Imrân (3): 110, Muhammad Rasyîd Ridhâ menyebutkan dalam kitab tafsir al-Manâr-nya bahwa ayat ini mengandung ajakan kepada umat Islam untuk menyampaikan amar makruf nahi mungkar. Setelah Allah memerintahkan umat Islam agar bersatu padu dengan cara berpegang teguh di jalan Allah Swt. dimana dipersatukannya hati mereka merupakan sebuah nikmat yang dianugerahkan kepada orang- orang mukmin, lalu Allah melarang mereka bercerai berai dan berselisih faham dalam urusan agama bahkan mengancam pelakunya dengan adzab yang pedih, Allah pun menyifati mereka dengan khair ummah (sebaik-baik umat) dan mengunggulkannya atas umat-umat lain. Sebab, hanya merekalah yang mau menegakkan amar makruf nahi mungkar dan beriman kepada Allah Swt..

Penggunaan lafazh kuntum di sini mengandung makna ta'rîdh

(sindiran) karena pada umumnya masyarakat pada saat itu gemar melakukan kejahatan sehingga mereka tidak dapat lagi membedakan mana yang makruf dan mana yang mungkar. Mereka tidak tahu lagi bagaimana cara beriman yang benar. Kemudian mereka mengajak orang lain melakukan kejahatan dan mencegahnya dari segala macam kebaikan. Sementara di saat yang

sama, umat Islam selalu memerintahkan yang makruf, mencegah dari yang mungkar serta beriman dengan cara yang benar.34

Sejumlah mufassir seperti Ibn Katsîr, al-Râzi dan al-Qurthubi, menjelaskan bahwa lafazh min pada Q.S. Âli 'Imrân (3): 104 berfungsi sebagai penjelas (min bayâniyyah) dan bukan berfungsi untuk menunjukkan arti sebagian (min tab'îdhiyyah), sesuai dengan petunjuk yang terkandung pada lafazh sebelumnya. Menurut mereka, ayat ini mengandung perintah kepada seluruh umat Islam untuk berdakwah dan menegakkan amar makruf nahi mungkar, tentunya sesuai dengan kemampuan masing-masing.35

Namun pendapat yang mengatakan bahwa kewajiban untuk mengemban tugas amar makruf nahi mungkar ini ditujukan kepada semua Muslim, dibantah oleh pendapat yang menilai bahwa lafazh min pada ayat tersebut merupakan min tab'îdhiyyah yang menunjukkan arti sebagian. Selain itu, amar makruf nahi mungkar merupakan sebuah profesi yang membutuhkan adanya keahlian tertentu dan juga ilmu, yang tidak mungkin dimiliki oleh setiap Muslim. Oleh karena itu, maka sudah barang tentu perintah untuk menegakkan amar makruf nahi mungkar ini pun hanya ditujukan kepada orang-orang tertentu saja.36

Dalam kritikannya terhadap orang-orang yang berilmu, al-Ghazâli menegaskan bahwa kejahilan umat tentang ajaran-ajaran agama adalah disebabkan karena kurangnya orang Islam yang mau berdakwah.

34 Muhammad Rasyîd Ridhâ, Tafsîr al-Manâr, (Beirut: Dâr al-Ma’rifah, t.th.), cet.

ke- 2, juz 4, h. 57-58.

35 Muhammad Abû al-Fattâh al-Bainûni, al-Madkhal Ilâ ‘Ilm al-Da’wah, (Beirut,

Mu’assasah al-Risâlah, 1991), cet. ke-1, h. 31.

Menurutnya, setiap Muslim yang dianggap alim (berilmu) dalam satu perkara tertentu, maka dia wajib untuk menyampaikan ilmunya itu sekalipun ilmu yang dimilikinya hanya sedikit saja.37

Terlepas dari perdebatan kedua pendapat ini, pada dasarnya para ulama sepakat bahwa perintah amar makruf nahi mungkar adalah wajib hukumnya. Meskipun demikian, perlu difahami bahwa perbuatan makruf itu terbagi menjadi dua, yaitu perbuatan yang wajib dan yang sunah. Dari sini, maka 'Abd al-Jabbâr ibn Ahmad, seorang tokoh aliran Muktazilah, berpendapat bahwa hukum menyuruh yang makruf pun terbagi menjadi dua, yaitu wajib untuk perbuatan yang wajib dan sunah untuk perbuatan yang sunah.38

Kehadiran jama’ah-jama’ah dakwah atau gerakan-gerakan dakwah (harakah al-da’wah) merupakan bentuk respon positif sebagian umat Islam terhadap kondisi umat Islam dewasa ini yang semakin jauh dari ajaran-ajaran agama mereka. Di antara jama'ah-jama'ah dan gerakan-gerakan tersebut, ada sebagian yang menitikberatkan perjuangan mereka pada gerakan dakwah dan politik, seperti Ikhwanul Muslimin di Mesir, Jama’ah Islamiyah di Pakistan dan Front Pembela Islam (FPI) di Indonesia. Ada pula yang berkonsentrasi pada pendidikan moral individu dengan tradisi tasawuf dan menghindari keterlibatan dalam politik seperti Jama’ah Tabligh di India serta gerakan- gerakan dakwah lainnya, baik yang ada di dalam maupun luar negeri, yang dibentuk dengan tujuan untuk menyuruh masyarakat Islam melakukan yang makruf dan mencegah mereka dari berbagai macam kemungkaran.

37 Maulânâ Muhammad Ilyâs, Pedoman Bertabligh Bagi Umat Islam, Seruan Kepada Kaum Muslimin, (Yogyakarta: al-Shaff, 2003), cet. ke-2, h. 23 .

38 'Abd al-Jabbâr ibn Ahmad, Syarh al-Ushûl al-Khamsah, (Kairo: Maktabah

Ikhwanul Muslimin pada pertama kalinya hanya berupa kajian dakwah yang diadakan oleh Hasan al-Bannâ di masjid-masjid guna menyatukan umat dalam kebaikan, mengobarkan semangat perjuangan dalam dada kaum Muslimin, serta menegakkan nilai-nilai luhur Islami dalam kehidupan sehari-hari. Usaha ini kemudian mendapat tanggapan dari banyak orang. Maka pada bulan Zulqaidah 1346 H/ Maret 1928 M, Hasan al-Bannâ pun meresmikan usaha dakwah ini dengan nama Ikhwanul Muslimin di Isma’iliyyah, salah satu Propinsi yang ada di Mesir.

Menurut analisa Ali ‘Abd al-Halîm Mahmûd dalam bukunya yang berjudul "Manhaj al-Tarbiyyah ‘Inda al-Ikhwân al-Muslimîn", Ikhwanul Muslimin berkonsentrasi pada beberapa kajian. Pertama, kajian al-Qur’an dan hadis. Kedua, kajian sejarah, biografi Nabi Muhammad Saw., dan biografi orang-orang shaleh. Ketiga, melakukan pelatihan dakwah bagi anggota.39

Keterlibatan Ikhwanul Muslimin dalam kancah politik berujung pada penjeblosan Hasan al-Bannâ ke dalam penjara, saat gerakan ini pindah ke Kairo, Ibu Kota Mesir, tahun 1932. Di tempat ini, Ikhwanul Muslimin melebarkan dakwah Islamnya, selain berhasil menerbitkan surat kabar, majalah dan risalah seperti Akbâr Ikhwân al-Muslimîn, Risâlah al-Mursyîd, Majallah Syu’â dan al-Ta’âwun. Dua majalah ini kemudian menjadi penyambung lidah kelompok ini dan terbitnya surat kabar Ikhwanul Muslimin menjadi titik perubahan di bidang dakwah dan informasi. Ikhwanul Muslimin ikut terlibat dalam dunia politik seperti yang dilakukan tahun 1939. Kelompok ini mengemukakan pendapatnya tentang upaya

39 Ali ‘Abd al-Halîm Mahmûd, Manhaj al-Tarbiyyah ‘Inda al-Ikhwân al-Muslimîn,

(Alih bahasa: Syafril Halim, Ikhwanul Muslimin, Konsep Gerakan Terpadu), (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), cet. ke-1, h. 29.

perbaikan dalam negeri Mesir yang disampaikan kepada perdana menteri saat pemerintahan al-Nahas Pasha. Namun usaha ini mendapat penentangan dari pemerintah yang berujung kepada dijebloskannya Hasan al-Bannâ berikut wakil dan sekretarisnya ke dalam penjara. Pada tahun berikutnya, ia dipindah-kerjakan sebagai guru SD di Qana.40

Jama’ah dakwah lain adalah Jama’ah Tabligh. Gerakan Jama’ah ini, didirikan oleh Syeikh Maulâna Muhammad Ilyâs (1887-1948).41 Gerakan yang berkonsentrasi pada dakwah dan tasawuf yang berasal dari India dan sekarang telah menyebar ke berbagai belahan dunia termasuk Indonesia ini, memiliki latar belakang yang sama dengan gerakan-gerakan lain seperti gerakan Jama’ah Islamiyah yang didirikan di Lahore, India Britania - sekarang bernama Pakistan- oleh Abû al-A’lâ al-Mudûdi (1903-1979).42 Dia adalah seorang tokoh kharismatik, sufi dari tarekat Chistiyah, dan ulama lulusan Dâr al-‘Ulûm di Deoband. Oleh karenanya, akar intelektual Jama’ah Tabligh pun tertanam kokoh pada tradisi tasawuf dan gerakan reformasi ulama Deoband.43

40 Ali ‘Abd al-Halîm Mahmûd, Manhaj al-Tarbiyyah ‘Inda al-Ikhwân al-Muslimîn,

h. 33-36.

41 Maulânâ Muhammad Ilyâs al-Kandahlawi (1887-1948 M) lahir di kawasan

Muzhafar Nagar Utarpradesh, India. Ia berasal dari lingkungan keluarga berkedudukan tinggi dan ahli agama. Ayahnya bernama Maulânâ Muhammad Ismâ`il, dalam dirinya mengalir darah keturunan Abû Bakar al-Shiddîq Ra.. (Lihat Sayyid Abû Hasan ‘Ali Nadwi,

Maulânâ Muhammad Ilyâs, [alih bahasa oleh: Maroahkan Ahmad: Riwayat Hidup dan Usaha Dakwah Maulânâ Muhammad Ilyas], [Yogyakarta: al-Shaff, 2005], cet. ke-3, h. 5-6.)

42 Syamsurizal Pangabean, Ensiklopedi Tematik Dunia Islam, Dalam Organisasi dan Gerakan Islam, (t.tp., t.th.), jilid 6, h. 95-96.

43 Syamsurizal Pangabean, Ensiklopedi Tematik Dunia Islam, Dalam Organisasi dan Gerakan Islam,h. 96.

Bila gerakan-gerakan Islam lainnya yang ada pada saat itu seperti

Dalam dokumen AMAR MAKRUF NAHI MUNGKAR DALAM AL-QUR`AN (Halaman 105-124)