• Tidak ada hasil yang ditemukan

Beriman Kepada Allah dan Hal-hal Yang Wajib Diiman

Dalam dokumen AMAR MAKRUF NAHI MUNGKAR DALAM AL-QUR`AN (Halaman 125-135)

KARAKTERISTIK PENGEMBAN AMAR MAKRUF NAHI MUNGKAR

A. Karakteristik Umum

1. Beriman Kepada Allah dan Hal-hal Yang Wajib Diiman

Beriman kepada Allah dan hal-hal yang wajib diimani merupakan karakteristik yang berkaitan dengan aspek akidah. Pengemban amar makruf nahi mungkar harus terlebih dahulu beriman dengan imânan kâmilan (iman yang sempurna) sebelum mengajak orang lain untuk beriman dan mengikuti aturan-aturan agama Islam. Sebab, iman merupakan pondasi utama bagi setiap amal kebajikan dalam Islam. Amal kebajikan seseorang akan sia-sia dan tidak berguna bila tidak dilandasi

2'Abd al-Karîm al-Khathîb, al-Tafsîr al-Qur`âni li al-Qur`ân, (Dâr al-Fikr al-

‘Arab, t.th.), juz 4, h. 542. Lihat juga Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur`ân al-‘Azhîm, (Beirut: al- Maktabah al-‘Ashriyyah, 2002), jilid 1, h. 342.

oleh iman, walau sebanyak apapun amal kebajikannya itu. Iman juga merupakan motivator bagi seseorang untuk melakukan berbagai kebaikan. Bila iman telah bersemayam dalam hati seseorang, maka dia akan berpegang teguh pada perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan- larangan-Nya. Seberapa besar kadar keimanan yang telah masuk ke dalam hati seseorang, maka sebesar itu pula tingkat istiqâmah atau kadar kepatuhannya kepada ajaran-ajaran Islam.3

Makna ini senada dengan firman Allah Swt. dalam sebuah ayat yang menyatakan bahwa kebanyakan orang fasik saling tolong-menolong dengan orang-orang yang kafir (musyrik). Dalam ayat tersebut, Allah menegaskan bahwa apa yang mereka lakukan itu amat buruk dampaknya bagi diri mereka karena dapat mendatangkan kemurkaan Allah kepada mereka, sehingga mereka pun akan kekal dalam siksaan-Nya. Mereka melakukan hal seperti itu karena pada hakekatnya mereka tidak beriman kepada Allah, kepada Nabi (Musa) dan kepada apa yang diturunkan kepadanya (Nabi). Sebab seandainya mereka beriman, niscaya mereka tidak akan mengambil orang-orang musyrikin itu menjadi penolong- penolong, tapi kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang fasik. 4

Hal itu juga diperkuat oleh sabda Nabi Saw. yang menyatakan bahwa barangsiapa di antara kaum Muslimin melihat suatu kemungkaran (dilakukan), maka hendaklah dia merubahnya dengan menggunakan tangannya; Jika dia tidak mampu, maka hendaklah dia merubahnya dengan

3 Majdi al-Hilâli, Binâ` al-Îmân min Khilâl al-Qur`ân, (Kairo: Mu`assasah Iqra`,

2005), h. 12.

menggunakan lisannya; Jika tidak mampu juga, maka hendaklah dia merubahnya dengan menggunakan hatinya. Tetapi Nabi Saw. mengingatkan bahwa merubah kemungkaran dengan menggunakan hati merupakan tanda bahwa iman seseorang sangat lemah.5

Berdasarkan hadis ini, maka dapat diketahui bahwa seberapa besar kadar keimanan seseorang, maka sebesar itu pula tingkat pengingkarannya terhadap kemungkaran. Bila keimanannya kuat, maka dia akan berusaha untuk melakukan nahi mungkar atau mencegah kemungkaran dengan menggunakan tangan (kekuasaan)nya, paling tidak dengan menggunakan lisannya seperti dengan mengingatkan atau menegur orang yang melakukan kemungkaran. Sebaliknya, bila keimanannya sangat lemah, maka dia hanya mampu untuk melakukan nahi mungkar dengan menggunakan hati. Dia tidak bisa melakukan apa-apa kecuali hanya diam saja meskipun dia tidak menyukai kemungkaran itu dan juga orang yang melakukannya.

Di samping sebagai motivator, iman juga berperan sebagai benteng yang membuat diri seorang pelaku amar makruf nahi mungkar tetap tegar dalam menghadapi hal-hal buruk yang menimpanya ketika dia sedang melakukan tugas amar makruf nahi mungkar. Orang yang beriman merupakan orang yang paling tegar dalam menghadapi berbagai macam kesulitan dan malapetaka yang muncul dalam hidupnya. Ini disebabkan karena dia meyakini dengan seyakin-yakinnya bahwa kesulitan-kesulitan dan malapetaka-malapetaka tersebut tidak lain hanyalah sebagai pelajaran dan pengalaman yang bermanfaat baginya, baik bagi agama maupun

5 Diriwayatkan oleh Muslim pada kitab al-Îmân, hadis no. 70; Ahmad pada kitab Bâqi Musnad al-Muktsirîn, hadis no. 10651; al-Tirmidzi pada kitab al-Fitan 'an Rasûlillâh, hadis no. 2098; dan Abû Dâwûd pada kitab al-Shalâh, hadis no. 963.

kehidupan duniawinya.6 Sebab menurutnya, tidak ada satu musibah pun yang menimpanya kecuali telah ditetapkan oleh Allah Swt.. Dia memahami benar firman Allah yang menyatakan bahwa tidak ada satu bencanapun yang menimpa di bumi dan tidak pula pada dirinya sendiri melainkan telah ditetapkan oleh Allah dan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh), yaitu sebelum Allah menciptakan alam semesta ini dan juga menciptakan dirinya. Lalu dia meyakini benar bahwa yang demikian itu adalah sangat mudah bagi Allah, karena sesungguhnya Dia adalah Dzat Yang Maha Kuasa.7

Oleh karena itu, maka pada sebagian ayat amar makruf nahi mungkar –seperti yang telah dijelaskan pada bab II-, amar makruf nahi mungkar dikaitkan dengan aspek keimanan, terutama pada ayat-ayat amar makruf nahi mungkar yang mengisyaratkan perintah menegakkan amar makruf nahi mungkar yang ditujukan kepada kelompok atau umat. Ayat- ayat yang dimaksud adalah Q.S. Âli ‘Imrân (3): 110, Q.S. Âli 'Imrân (3): 114, Q.S. al-Taubah (9): 71, dan Q.S. al-Taubah (9): 112.

Pada Q.S. Âli ‘Imrân (3): 110, disebutkan lafazh wa tu`minûna billâh (dan beriman kepada Allah). Lafazh ini disebutkan setelah lafazh

ta`murûna bi al-ma'rûf wa tanhauna 'an al-munkar (menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar). Ayat ini mengisyaratkan bahwa di antara karakteristik pengemban amar makruf nahi mungkar adalah beriman kepada Allah dan hal-hal lainnya yang wajib diimani. Pada firman-Nya, "tu`minûna billâh", Allah Swt. menjadikan keimanan kepada

6 Sa'ad Karîm, al-Îmân wa Atsaruhû fî Tarbiyyah al-Aulâd, (Iskandaria: Dâr al-

'Aqîdah, 2002), cet. ke-1, h. 25.

hal-hal yang wajib diimani sebagai bentuk keimanan kepada Allah. Sebab, orang yang hanya mengimani sebagian hal yang wajib diimani saja, seperti rasul-rasul Allah, kitab-kitab-Nya, Hari Kebangkitan, Hisab, atau yang lainnya, kemudian dia mengingkari sebagian yang lain, maka keimanannya itu tidak dianggap sah dan dia sama seperti orang yang tidak beriman kepada Allah Swt.. Bahkan, ketika menggambarkan sosok orang- orang seperti itu, yaitu orang-orang yang mengatakan: "Kami beriman kepada yang sebahagian dan kami kafir terhadap sebahagian yang lain" serta berniat mengambil jalan tengah di antara keimanan dan kekafiran, Allah Swt. menegaskan bahwa mereka adalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya.8

Dalil yang memperkuat pernyataan tersebut adalah firman Allah Swt. pada ayat yang sama (Q.S. Âli ‘Imrân [3]: 110), yang disebutkan setelahnya. Di sana, Allah Swt. berfirman: "Sekiranya ahli kitab beriman…". Sebagaimana diketahui, orang-orang ahli kitab juga mengaku beriman kepada Allah, akan tetapi karena mereka tidak mengimani agama Islam dan juga Nabi Muhammad Saw. yang merupakan dua hal yang wajib diimani, maka mereka pun tidak dianggap beriman.

Meskipun kedudukan iman lebih penting daripada amar makruf nahi mungkar, akan tetapi karena konteks ayat ini berbicara tentang keunggulan umat ini atas umat-umat lain selama mereka menyuruh kepada yang makruf, mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah dengan keimanan yang benar, maka amar makruf nahi mungkar pun disebutkan terlebih dahulu sebelum keimanan kepada Allah. Menurut Wahbah al-Zuhaili, redaksi dengan susunan kalimat seperti ini lebih

menunjukkan keunggulan umat Islam atas umat-umat lain. Sebab, umat- umat lain juga mengaku beriman kepada Allah, tetapi mereka tidak mau menegakkan amar makruf nahi mungkar.9

Pada Q.S. Âli 'Imrân (3): 114 disebutkan lafazh yu`miûna billâhi wa al-yaum al-âkhir (Mereka beriman kepada Allah dan hari penghabisan). Lafazh ini dan lafazh-lafazh yang disebutkan setelahnya, termasuk lafazh wa ya`murûna bi al-ma'rûf wa yanhauna 'an al-munkar

(mereka menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar), merupakan penjelasan tentang sifat-sifat ahli kitab yang beriman. Pada ayat-ayat sebelumnya, al-Qur`an telah mengelompokkan ahli kitab menjadi dua kelompok, di antara mereka ada yang beriman tetapi kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.10 Kemudian setelah menjelaskan kondisi orang-orang fasik tersebut, al-Qur`an pun menjelaskan kondisi orang-orang yang beriman di antara mereka pada ayat ke-114 ini. Mereka adalah orang-orang ahli kitab yang telah masuk Islam meskipun jumlah mereka hanya sedikit.

Ketika menafsirkan firman Allah dalam Q.S. Âli 'Imrân (3): 114, Ibn Katsîr menegaskan bahwa yang dimaksud dengan orang-orang yang beriman di antara ahli kitab yang disebutkan dalam firman tersebut merupakan orang-orang yang sosoknya dijelaskan oleh Allah Swt. di akhir Q.S. Âli ‘Imrân (3): 199, yaitu pada firman-Nya yang menyatakan bahwa di antara ahli kitab ada orang yang beriman kepada Allah, kepada apa yang

9 Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, (Beirut: Dâr al-Mu'âshir, 1998), juz 4,

h. 40.

diturunkan kepada Nabi Muhammad dan juga apa yang diturunkan kepada mereka.11

Sebagaimana disebutkan pada ayat sebelumnya (Q.S. Âli 'Imrân

[3]: 114), mereka ini adalah sekelompok orang di antara ahli kitab yang memiliki sifat-sifat tertentu yang membedakan diri mereka dengan orang- orang ahli kitab pada umumnya. Sifat-sifat yang dimaksud adalah melaksanakan perintah Allah, membaca al-Qur`an di tengah malam, memperbanyak tahajjud, beriman kepada Allah dan hari akhir, serta menegakkan amar makruf nahi mungkar.

Pada Q.S. al-Taubah (9): 71, Allah Swt. menjelaskan ciri-ciri orang-orang mukmin, di antaranya adalah menegakkan amar makruf nahi mungkar. Mereka merupakan satu umat atau kelompok orang yang telah dipersatukan oleh ikatan persaudaraan dan rasa cinta. Karena begitu kuatnya ikatan persaudaraan dan rasa cinta di antara mereka itu, maka mereka pun menjadi seperti satu tubuh, dimana ketika salah satu anggotanya sakit maka yang lain akan ikut merasakannya.12

Oleh karena itu, maka ketika salah seorang dari mereka meninggalkan satu perbuatan yang makruf atau mengerjakan suatu

11 Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur`ân al-‘Azhîm, jilid 1, h. 349.

12 Hal ini persis seperti yang ditegaskan dalam hadis Rasulullah Saw. yang

diriwayatkan oleh Muhammad ibn Abdullâh ibn Numair, dari ayahnya, dari Zakariyâ, dari al-Sya'bi, dari al-Nu'mân ibn Basyîr, bahwa dia berkata: "Rasulullah Saw. bersabda, 'Perumpamaan orang-orang Mukmin dalam hal cinta dan kasih sayang di antara mereka adalah seperti satu tubuh; Apabila salah anggota mengeluhkan rasa sakit, maka seluruh anggota tubuh pun akan ikut merasakannya, yaitu dengan cara tidak bisa tidur dan cara demam.'" Hadis ini disebutkan oleh al-Bukhâri dalam kitab al-Adab, hadis no. 5552; Muslim dalam kitab al-Birr wa al-Shilah wa al-Âdâb, hadis no. 4685; dan Ahmad dalam kitab Awwal Musnad al-Kûfiyyîn, hadis no. 17632.

kemungkaran, maka hati mereka akan tergerak untuk mengingatkannya. Sebab menurut Hisyâm ibn 'Abd al-Qâdir dalam bukunya yang berjudul

Mufsidât al-Ukhuwwah, meninggalkan perbuatan yang makruf atau mengerjakan kemungkaran adalah ibarat penyakit yang akan membahayakan diri pelakunya. Bahkan, bila hal itu dibiarkan, maka ia tidak hanya akan membahayakan diri pelakunya saja tetapi juga akan membahayakan diri orang-orang yang ada di sekitarnya serta dapat merusak ikatan persaudaraan di antara.13

Contohnya, seperti yang dikatakan Muhammad Rasyîd Ridhâ dalam Tafsîr al-Manâr, persatuan umat merupakan satu hal yang makruf, sedangkan upaya memecah belah umat merupakan satu hal yang mungkar. Jika ada seseorang atau satu kelompok tertentu yang berusaha memecah belah persatuan umat, maka hal itu tidak hanya akan membahayakan diri orang-orang yang melakukannya saja melainkan juga akan membahayakan diri masyarakat atau umat secara keseluruhan. Bila perbuatan seperti itu dibiarkan terjadi, maka hampir dapat dipastikan masyarakat atau umat yang bersangkutan akan mengalami kehancuran.14

Dari sini, maka orang-orang mukmin pun saling bahu membahu atau bekerja sama dalam menegakkan amar makruf nahi mungkar di antara mereka. Karena menegakkan amar makruf nahi mungkar merupakan ciri orang-orang mukmin yang -notabene- merupakan satu kelompok atau umat tertentu yang ada di masyarakat, maka dapat difahami secara mafhûm mukhâlafah bahwa di antara karakteristik pengemban amar makruf nahi

13 Lihat Hisyâm ibn 'Abd al-Qâdir, Mufsidât al-Ukhuwwah, (Kairo: Dâr al-

Shafwah, 1418 H), cet. ke-1, h. 29.

14 Lihat Muhammad Rasyîd Ridhâ, Tafsîr al-Manâr, (Beirut: Dâr al-Kutub al-

mungkar adalah beriman kepada Allah dan hal-hal lain yang wajib diimani.

Pengertian serupa juga terdapat pada Q.S. al-Taubah (9): 112. Hanya saja pada ayat tersebut, penyebutan sifat-sifat orang-orang mukmin itu dipisahkan jauh dari kata al-mukminîn. Pemisahan na'at seperti ini, menurut al-Alûsi dalam kitab tafsirnya, dimaksudkan untuk memberikan pujian kepada orang-orang Mukmin.15 Selain itu, pada ayat tersebut, lafazh

al-âmirûna bi al-ma'rûf (yang menyuruh berbuat makruf) dan al-nâhûna 'an al-munkar (yang mencegah berbuat mungkar) disambung dengan menggunakan huruf 'athf (wawu), tidak seperti pada sifat-sifat sebelumnya. Ini menunjukkan bahwa pada hakekatnya, amar makruf dan nahi mungkar adalah satu. Maksudnya, barangsiapa yang menyuruh kepada yang makruf, maka berarti dia mencegah dari yang mungkar, demikian pula sebaliknya.16

Pentingnya karakteristik beriman kepada Allah dan hal-hal yang wajib diimani bagi pengemban amar makruf nahi mungkar, sangat berkaitan erat dengan pentingnya iman dalam setiap perbuatan yang baik. Dalam al-Qur`an, hampir setiap ayat yang memuat perintah untuk melakukan suatu perbuatan ataupun larangan untuk meninggalkan suatu perbuatan, mengisyaratkan akan pentingnya iman. Ayat-ayat ini biasanya menggunakan uslûb syarth (redaksi syarat) seperti inkuntum mukminîn

(jika kamu orang-orang yang beriman), seperti dapat dilihat pada Q.S. Alî

15 Abû al-Fadhl Syihâbuddîn al-Alûsi, Rûh al-Ma'ânî fî Tafsîr al-Qur`ân al- Azhîm wa al-Sab'i al-Matsânî, (Beirut: Dâr al-Kutub al-'Ilmiyyah, 2001), cet. ke-1, jilid 4, h. 30.

Imrân (3): 139, Q.S. al-Mâ`idah (5): 57, 23, Q.S. al-Anfâl (8): 1, Q.S. al- Taubah (9): 13, 62, Q.S. Hûd (11) : 86 dan Q.S. al-Nûr (24) : 17.

Mengenai keyakinan kepada Allah dan hari akhir ini, Ibn Hazm telah menjelaskannya dalam kitab al-Ahkâm fî Ushûl al-Ahkâm. Mengutip penjelasan Ibn Hazm tersebut, Muhammad ibn Muhammad ibn al-Amîn al-Anshâri menegaskan bahwa penerapan syari’at Islam dalam kehidupan manusia tidak dapat dilakukan hanya dengan satu sisi saja, melainkan harus dikaitkan dengan aspek keimanan dan pengamalan anggota badan. Oleh karena itu, maka satu amalan dinilai tidak sempurna kecuali bila dibarengi dengan keyakinan yang sempurna dan keteguhan iman. Sebaliknya, iman juga harus diikuti dengan perbuatan nyata oleh anggota badan.17

Pentingnya iman dalam setiap amal perbuatan juga diungkapkan oleh Imam al-Syathibî dalam kitab al-Muwâfaqât. Menurutnya, pentingnya iman kepada Allah dan hari akhir menjadi syarat setiap amalan orang Islam. Oleh karena itu, maka sangatlah pantas bila amal perbuatan yang tidak dibarengi dengan iman, ia akan ditolak dan tidak dapat mendatangkan pahala. Sementara amalan yang dilakukan dengan penuh ketulusan karena berharap pahala dari Allah, maka pelakunya dinamakan mukmin, yaitu orang yang beriman dengan ikhlas kepada Allah. Setelah menjelaskan hal itu, Imam al-Syathibî melontarkan satu pertanyaan kepada kaum Muslimin, yaitu apakah mereka tidak mengetahui bahwa yang dimaksud dengan ibadah adalah mengkhususkan amal perbuatan hanya kepada Allah Swt., dengan penuh rasa rendah diri dan mengagungkan-Nya dalam hati disertai amalan nyata oleh anggota badan. Kemudian dia juga

17 Muhammad ibn Muhammad ibn al-Amîn al-Ansharî, Manhaj al-Da’wah al- Islâmiyyah fî Binâ` al-Mujtama', (Riyâdh: Maktabah al-Anshâr, 1984), h. 189.

mengatakan bahwa para Usûliyyin telah menetapkan iman kepada Allah sebagai syarat sah sebuah amal, sementara sebagian yang lain menjadikan iman kepada Allah sebagai syarat wajib setiap amalan Muslim.18

Demikianlah, iman kepada Allah dan hal-hal yang wajib diimani merupakan karakteristik umum pertama bagi pengemban amar makruf nahi mungkar. Akan tetapi, karakteristik ini tidaklah cukup bila tidak dibarengi dengan karakteristik umum kedua yaitu taat kepada Allah dan Rasul-Nya.

Dalam dokumen AMAR MAKRUF NAHI MUNGKAR DALAM AL-QUR`AN (Halaman 125-135)