• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAWASAN WISATA PESISIR

6.5. Analisis Keberfungsian Kelompok Pengelola Kawasan Wisata ”Samudera Baru”

Supriatna, Tjahya (1997) mengungkapkan bahwa pembangunan berkelanjutan merupakan konsep pembangunan yang didukung oleh pendekatan konsep pembangunan manusia (human development), lebih dititikberatkan pd pembangunan sosial dan lingkungan agar mendukung pertumbuhan ekonomi.

Marpaung dan Bahar (2002), mengungkapkan bahwa pengembangan kawasan wisata secara tepat, yaitu secara ekologi aktif mendorong kelangsungan objek atau atraksi wisata yang ditawarkan, secara sosial ekonomi mampu

memberdayakan masyaralat lokal, membangun rasa bangga masyarakat lokal, membantu memelihara pola-pola atau gaya hidup dan nilai-nilai setempat atau sesuai konteks lokal.

Dalam konteks ini, keberlanjutan kawasan wisata dipengaruhi oleh keseimbangan antara faktor-faktor ekonomi, sosial, ekologi dan kepastian agraria. Upaya-upaya untuk mewujudkan suatu kawasan wisata secara berkelanjutan diasumsikan dapat ditelaah atau dikaji melalui profil Kelompok Pengelola Kawasan Wisata, yang meliputi aspek-aspek : (1) tujuan : mampu membuka lahan pekerjaan baru, mampu menyokong pendapatan atau kehidupan ekonomi pengelola dan para pedagang serta mampu menjadi sarana wisata yang dapat dijangkau oleh semua kalangan. Pada sisi lain, orientasi tujuan peningkatan pendapatan telah mengabaikan ketaatan terhadap nilai-nilai dan norma-norma masyarakat, belum melaksanakan upaya-upaya menjaga dan memelihara kelestarian serta keindahan lingkungan di kawasan wisata secara optimal. Kondisi demikian telah memunculkan isu kritis terkait dengan berkembangnya fenomena prostitusi; kerusakan keindahan dan kelestarian lingkungan di kawasan wisata, (2) kepemimpinan : lebih didasarkan pada pertimbangan bahwa ketua merupakan pelopor gagasan pengembangan kawasan, penyandang dana sekaligus menjabat sebagai kepala desa sehingga memiliki pengaruh yang kuat, mampu menumbuhkan trust dan solidaritas kelompok, mampu memelihara pendekatan-pendekatan personal, mampu menciptakan keamanan dan ketertiban bagi para pedagang di lokasi wisata. Pada sisi lain, pola kepemimpinan ini telah menumbuhkan pengelolaan atau manajemen kelompok cenderung menjadi tidak profesional; menumbuhkan dominasi ketua dan ketergantungan anggota terhadap pemimpin atau ketua; kelompok dipandang milik pribadi dan seakan menjadi bagian terpisah dari komunitas serta belum memberikan manfaat atau kontribusi ekonomi bagi masyarakat secara luas. Kondisi demikian menumbuhkan isu kritis terkait dengan kekurang transparanan pihak management (intransparency management) dan kekurang-responsifan pihak management terhadap komunitas (non responsiveness), (3) Secara implisit telah dilaksanakan pembagian tugas dan peranan tetapi belum berfungsi sebagaimana mestinya, didasarkan pada instruksi lisan ketua kelompok, tidak dilaksanakan kegiatan-kegiatan pencatatan dan pelaporan. Kondisi demikian menumbuhkan isu kritis terkait kekurang transparanan pihak management (intransparency management) dan kekurang

responsifan pihak management terhadap komunitas (non responsiveness), (4) pola hubungan dan komunikasiantara anggota, ketua dan para pedagang di kawasan wisata lebih didasarkan pada hubungan personal informal berdasarkan hubungan kekerabatan dan pertemanan yang menumbuhkan kesetiakawanan atau solidaritas dan trust, tetapi pada sisi lain menyulitkan untuk bersikap tegas, menegakkan disiplin, teguran dan sanksi serta mengabaikan hal- hal yang sifatnya formal, termasuk pola hubungan dengan Kepala UPTD PKP dalam memanfaatkan tanah timbul sebagai kawasan wisata. Kondisi demikian telah menumbuhkan isu kritis terkait dengan munculnya potensi konflik pertanahan, (5) kerja sama : tumbuh gagasan dan mulai dirintis upaya untuk mengembangkan kerja sama baik dengan pihak swasta maupun pemerintah, anggota kelompok memiliki kesempatan untuk menjalin kerja sama dengan pihak lain. Dasar pertimbangan hubungan kerjasama dilakukan dengan pihak-pihak yang sekiranya membawa manfaat ekonomi atau karena ada hal-hal yang sifatnya mendesak yang menuntut pemecahan segera; belum melibatkan kelembagaan lokal dan stakeholders, baik dalam bentuk diskusi, dialog, saran atau pendapat. Kondisi-kondisi ini telah menumbuhkan isu kritis terkait dengan kekurang-responsifan pihak management terhadap komunitas (non responsiveness), (6) pengetahuan : ide, gagasan, pemikiran dan pemahaman tentang pengelolaan dan pengembangan kawasan wisata selama ini diperoleh atas dasar pemikiran-pemikiran sendiri; anggota kelompok maupun para pedagang di lokasi wisata memahami bahwa suatu kawasan wisata dapat berkesinambungan apabila mampu memberikan manfaat ekonomi bagi mereka; tumbuh ide, gagasan dan pemikiran serta kesadaran-kesadaran bahwa manfaat ekonomi akan lestari jika didukung oleh aspek sosial, ekologis dan keagrariaan tetapi belum diimbangi oleh upaya-upaya yang optimal. Kondisi demikian telah memunculkan isu kritis terkait kerusakan keindahan dan kelestarian lingkungan di kawasan wisata.

Berdasarkan uraian tentang profil kelembagaan tersebut, Kelompok Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru” selama ini telah menunjukkan keberfungsian secara ekonomi. Tetapi, secara umum keberfungsian Kelompok Pengelola Kawasan Wisata secara ekonomi ini belum dapat dinikmati oleh komunitas secara luas.

Pengembangan kawasan ini telah mampu menunjukkan pertumbuhan ekonomi dengan baik melalui penyediaan kesempatan dan lahan kerja bagi

penduduk, mampu mempekerjakan sekitar 10 orang tenaga pengelola wisata, orang pengemudi perahu bermotor sebagai sarana rekreasi, 5 orang yang menjual jasa penyewaaan ban untuk berenang, para 30 orang pedagang makanan dan minuman menetap, mereka menghuni rumah atau bangunan yang berada di lokasi wisata dan sekitar 40 orang pedagang kaki lima. Pada tahun 2002, dari penarikan retribusi terhadap pengunjung mampu memberikan kontribusi pada anggaran pembangunan desa sebesar Rp. 2.500.000, meskipun pada tahun-tahun selanjutnya dana hasil penarikan retribusi pengunjung ini tidak lagi dialokasikan bagi anggaran pembangunan desa, tetapi lebih diprioritaskan pada penataan lingkungan dan pembuatan bangunan-bangunan bagi para pedagang di lokasi wisata.

Secara sosial, kelembagaan ini belum dapat berfungsi dalam upaya memelihara dan menyesuaikan diri dengan nilai-nilai dan norma-norma masyarakat, belum melibatkan serta mempertimbangkan harapan dan aspirasi komunitas. Kelompok Pengelola Kawasan ini telah berusaha mengembangkan gagasan pengembangan jejaring melalui kerjasama dengan pihak swasta, seperti Perusahaan Teh Botol Sosro, Rokok Gudang Garam, Indosat/Mentari dan pihak Pemerintah, seperti UPTD PKP. Namun, upaya pengembangan kerjasama ini belum dilakukan terhadap kelembagaan-kelembagaan lokal yang ada, sehingga terkesan bahwa kelompok ini merupakan bagian terpisah dari komunitas karena tidak memberikan kontribusi serta manfaat pada komunitas. Pada sisi lain, kehadiran aktivitas kawasan wisata juga telah menimbulkan kekhawatiran pada komunitas terkait dengan adanya fenomena prostitusi dan mabuk-mabukan. Kelompok memahami kondisi-kondisi seperti ini, tetapi kesadaran untuk mengembangkan gagasan perubahan belum dilakukan secara nyata.

Secara ekologis, Kelembagaan Pengelola Kawasan Wisata belum berfungsi sebagai pemelihara keindahan dan kelestarian lingkungan pada kawasan wisata. Pengembangan kawasan wisata erat kaitannya dengan nilai jual dari atraksi wisata yang ditawarkan yaitu keindahan alam pesisir. Untuk itu, upaya-upaya pemeliharaan kelestarian keindahan dan kebersihan mutlak untuk diperhatikan, termasuk upaya-upaya mempertahankan luas wilayah kawasan. Dalam kurun tahun 2005, Kelompok Pengelola Kawasan Wisata dan para pedagang telah memundurkan bangunan 2 Meter dari posisi semula karena naiknya permukaan air laut ke daratan. Kesadaran semacam ini telah dimiliki

oleh Kelompok Pengelola Kawasan, meskipun belum didukung oleh upaya- upaya yang optimal. Kendala muncul dari lemahnya dukungan para pedagang di lokasi wisata dan para pengunjung serta lemahnya konsistensi pendampingan oleh instansi terkait, yaitu UPTD PKP Kecamatan Pedes.

Secara keagrariaan, kelembagaan ini juga belum berfungsi dalam upaya mempertegas legalitas status pemanfaatan tanah timbul yang dijadikan sebagai kawasan wisata. Tanah timbul dalam hal ini termasuk pada sumber daya milik umum atau common resource, yaitutanah yang tidak memiliki status kepemilikan dan pemanfaatan yang tegas dan notabene lahan tersebut bukan milik pribadi ataupun sekelompok orang tertentu, dalam hal ini Kelompok Pengelola Kawasan Wisata, sehingga komunitas secara luas juga memiliki hak untuk dapat menikmati manfaat dari kawasan tersebut. Masyarakat berharap bahwa pengembangan kawasan wisata ini tidak hanya memberikan kontribusi dan dinikmati oleh sekelompok orang tertentu melainkan juga oleh komunitas secara luas.

Dalam upaya pengembangan kawasan wisata berbasis komunitas lokal, dibutuhkan pemahaman tentang potensi-potensi dan dukungan yang diberikan oleh pihak-pihak terkait bagi upaya pengembangan dan keberlanjutan kawasan tersebut. Data tentang analisis potensi serta efektivitas potensi pihak-pihak terkait, meliputi :

6.6. Analisis Potensi para Pedagang di Kawasan Wisata ”Samudera Baru”