• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAWASAN WISATA PESISIR

6.8. Strategi Pengembangan Masyarakat

6.8.3. Strategi Penguatan Jejaring

Strategi penguatan jejaring diarahkan bagi penguatan Kelembagaan Pengelola Wisata, baik secara horizontal maupun vertikal dalam upaya pengembangan kawasan wisata secara tepat sesuai dengan konteks lokal dan berkelanjutan. Secara horizontal jejaring dilakukan dengan meningkatkan keterlibatan dan peran serta anggota Kelompok Pengelola Wisata, para pedagang di lokasi wisata (internal kelompok) dan kelembagaan lokal di tingkat komunitas (BPD, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh pemuda). Secara vertikal, jejaring dilakukan dengan meningkatkan keterlibatan dan peran serta instansi terkait (Sie. Pemberdayaan, UPTD PKP Kecamatan Pedes dan Dinas Penerangan, Pariwisata dan Budaya Kabupaten Karawang).

Strategi penguatan jejaring, baik secara horizontal maupun vertikal dilaksanakan melalui suatu pendekatan ”co-management”. Dharmawan (2005) mengungkapkan ”co-management” sebagai suatu tata laksana hubungan dalam pengelolaan sumber daya alam dengan melibatkan dua pihak atau lebih

(stakeholders) yang mana mereka secara bersama-sama mengadakan negosiasi, menentukan serta menjamin kerjasama secara fair dalam hal fungsi manajemen, hak dan tanggung jawabnya. Fungsi manajemen ini menyangkut : 1. siapa-siapa yang boleh memanfaatkan sumber daya alam, dalam hal ini

sumber daya alam pesisir yang dijadikan sebagai kawasan wisata. 2. keputusan pengalokasian pemanfaatan sumber daya alam

3. keputusan tentang konservasi atau perlindungan terhadap sumber daya alam dari kerusakan lingkungan

4. perencanaan ke depan tentang pemanfaatan sumber daya alam

6.9. Ikhtisar

Kelompok Pengelola Kawasan Wisata (Management) merupakan kelompok yang terbentuk atas inisiatif lokal. Pengembangan kawasan ini ditujukan sebagai sarana rekreasi yang dapat terjangkau oleh semua kalangan, juga untuk membuka alternatif lahan pekerjaan tambahan agar masyarakat memiliki

kesempatan untuk mewujudkan kondisi kehidupan dan penghidupan yang relatif layak.

Berdasarkan analisis potensi dan efektivitas yang dimiliki, permasalahan- permasalahan yang muncul sehubungan dengan pengembangan kawasan wisata diasumsikan memiliki keterkaitan dengan profil Kelompok Pengelola Kawasan Wisata, yang meliputi aspek-aspek : (1) tujuan; kelompok yang lebih ke economic oriented mampu membuka lahan pekerjaan baru, mampu menyokong pendapatan atau kehidupan ekonomi pengelola dan para pedagang serta mampu menjadi sarana wisata yang dapat dijangkau oleh semua kalangan. Pada sisi lain, hal ini telah menumbukan isu kritis terkait dengan berkembangnya fenomena prostitusi; kerusakan keindahan dan kelestarian lingkungan di kawasan wisata; (2) kepemimpinan; lebih didasarkan pada pertimbangan bahwa ketua merupakan pelopor gagasan pengembangan kawasan, penyandang dana sekaligus menjabat sebagai kepala desa sehingga memiliki pengaruh yang kuat, mampu menumbuhkan kepercayaan (trust) dan solidaritas kelompok, mampu memelihara pendekatan-pendekatan personal, mampu menciptakan keamanan dan ketertiban bagi para pedagang di lokasi wisata. Pada sisi lain, pola kepemimpinan ini telah menumbuhkan pengelolaan atau manajemen kelompok cenderung menjadi tidak profesional; menumbuhkan dominasi ketua dan ketergantungan anggota terhadap pemimpin atau ketua; kelompok dipandang milik pribadi dan seakan menjadi bagian terpisah dari komunitas serta belum memberikan manfaat atau kontribusi ekonomi bagi masyarakat secara luas. Kondisi demikian menumbuhkan isu kritis terkait dengan kekurang transparanan pihak management (intransparency management) dan kekurang-responsifan pihak management terhadap komunitas (non responsiveness), (3) pembagian tugas dan peranan; bersifat sederhana dan belum berfungsi sebagaimana mestinya, didasarkan pada instruksi lisan ketua kelompok, tidak dilaksanakan kegiatan-kegiatan pencatatan dan pelaporan. Kondisi demikian menumbuhkan isu kritis terkait dengan kekurang-transparanan pihak management

(intransparency management) dan kekurang responsifan pihak management

terhadap komunitas (non responsiveness); (4)pola hubungan dan komunikasi; lebih didasarkan pada hubungan personal informal (kekerabatan dan pertemanan) yang menumbuhkan kesetiakawanan (solidaritas) dan trust, tetapi pada sisi lain menyulitkan untuk bersikap tegas, menegakkan disiplin, teguran dan sanksi serta mengabaikan hal-hal yang sifatnya formal, termasuk dalam

melaksanakan pola hubungan dengan pihak UPTD PKP dalam memanfaatkan tanah timbul sebagai kawasan wisata. Kondisi demikian telah memumbuhkan isu kritis terkait dengan munculnya potensi konflik pertanahan; (5) kerja sama; inisiatif untuk bekerjasama dengan pihak lain tidak selalu muncul dari pimpinan atau ketua kelompok. Kerjasama yang telah berlangsung selama ini adalah dengan pihak swasta, pihak pemerintah seperti UPTD PKP Kecamatan Pedes. Namun, upaya kerjasama belum dilaksanakan dengan kelembagaan lokal dan kelembagaan pemerintah terkait. Dasar pertimbangan hubungan kerjasama, baik dalam bentuk diskusi atau konsultasi dilakukan dengan pihak-pihak yang sekiranya membawa manfaat ekonomi atau karena hal-hal yang sifatnya mendesak atau urgent. Kondisi-kondisi ini telah menumbuhkan isu kritis terkait dengan kekurang-responsifan pihak management terhadap komunitas (non responsiveness), (6) pengetahuan, anggota kelompok dan para pedagang di lokasi wisata memahami bahwa suatu kawasan wisata dapat berkesinambungan apabila mampu memberikan manfaat ekonomi bagi mereka. Tetapi, belum disadari sepenuhnya bahwa manfaat ekonomi akan tetap berkelanjutan apabila didukung oleh adanya kepastian hukum tanah timbul yang selama ini digunakan, terpeliharanya luas daratan dari ancaman abrasi air laut dan adanya keseimbangan atau keharmonisan dengan nilai-nilai dan norma-norma serta harapan-harapan dan aspirasi komunitas. Wawasan dan pemahaman tentang pengembangan kawasan wisata dan manajemen pengelolaan kawasan selama ini diperoleh atas dasar pemikiran-pemikiran sendiri. Kelompok Pengelola Kawasan Wisata (Management) merasa membutuhkan informasi dan wawasan tentang bagaimana pengelolaan kawasan wisata yang semestinya dilaksanakan sesuai dengan kondisi yang dimiliki.

Analisis keberfungsian Kelompok Pengelola Kawasan Wisata secara ekonomi, sosial, ekologi dan keagrariaan menunjukkan bahwa secara ekonomi, aktivitas wisata ini telah mampu menunjukkan pertumbuhan yang baik meskipun dibutuhkan upaya-upaya pengembangan lebih optimal.

Secara ekologis, pengembangan kawasan wisata erat kaitannya dengan nilai jual dari atraksi wisata yang ditawarkan yaitu keindahan alam pesisir. Untuk itu upaya-upaya pemeliharaan keindahan, kebersihan, keamanan dan ketertiban pada kawasan wisata mutlak untuk diperhatikan. Kesadaran secara ekologis ini telah dimiliki oleh Kelompok Pengelola Kawasan Wisata, meskipun belum didukung oleh upaya-upaya yang optimal. Kesadaran yang dimiliki Kelompok

Pengelola (Management) ini kurang mendapat dukungan dari para pedagang yang berjualan di kawasan wisata dan pengunjung yang datang (terutama pada saat terjadi ledakan pengunjung).

Secara sosial, Kelompok Pengelola Kawasan ini telah berusaha mengembangkan kawasan dengan mengembangkan jejaring melaui kerjasama dengan pihak swasta. Namun, upaya pengembangan kerjasama ini belum melibatkan kelembagaan-kelembagaan lokal yang ada, baik formal maupun informal, sehingga masyarakat setempat beranggapan bahwa kelompok ini merupakan bagian yang terpisah dari komunitas dan belum memberikan kontribusi pada komunitas. Pada sisi lain, kehadiran aktivitas kawasan wisata juga telah menimbulkan kekhawatiran pada komunitas terkait dengan hadirnya fenomena mabuk-mabukan dan prostitusi.

Secara keagrariaan, mulai tumbuh kesadaran akan perlunya kepastian hukum atau tata aturan yang dapat memperkuat atau menjamin pemanfaatan tanah kawasan, namun belum ditunjukkan dalam upaya-upaya yang nyata.

Pada sisi lain, berdasarkan analisis potensi dan efektivitas stakeholders

(para pedagang di lokasi wisata, kelembagaan baik pemerintah maupun yang ada di tingkat komunitas) dikembangkan potensi-potensi yang dapat diperkuat guna mendukung keberlanjutan kawasan wisata dan meminimalisir dampak negatif yang ditimbulkan. Kajian ini merupakan studi awal untuk menyusun alternatif-alternatif bagi pengembangan kawasan wisata dengan melibatkan komunitas lokal. Berdasarkan telaahan ini, alternatif strategi diarahkan pada penguatan kapasitas individu sebagai anggota Kelompok, strategi penguatan Kelompok Pengelola Kawasan Wisata dan penguatan jejaring melalui kolaborasi manajemen atau ”co-management”.

KAWASAN WISATA PESISIR ”SAMUDERA BARU”