• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

1.1. Latar Belakang

Desa Sungaibuntu merupakan desa yang terletak di ujung Utara Kecamatan Pedes, Kabupaten Karawang, Propinsi Jawa Barat. Desa ini memiliki tipologi sebagai desa pesisir dengan ketinggian 2 meter di atas permukaan air laut, memiliki luas wilayah 1.000 hektar dengan batas wilayah desa sebelah Utara yaitu Laut Jawa.

Desa Sungaibuntu memiliki jumlah penduduk sebanyak 8.607 jiwa dengan 2.167 kepala keluarga, yang mana 55,75 persen atau 1.208 kepala keluarga berada dalam kondisi kehidupan dan penghidupan yang tidak layak. Jumlah angkatan kerja (15-64 tahun), yaitu sebanyak 91,14 persen atau 7.845 jiwa yang menyebar pada 6 dusun, yaitu Dusun Sungaibuntu, Sungaibambu, Sungaitegal, Sungaisari, Sungaimanuk dan Dusun Karajan. Dusun yang memiliki lokasi terdekat ke pantai adalah Dusun Sungaibuntu dengan sebaran penduduk tertinggi, yaitu sebanyak 1.891 jiwa.

Ditinjau dari penggunaan lahan, desa ini memiliki area lahan terluas yang dimanfaatkan bagi pertanian tambak, yaitu sebanyak 50 persen atau seluas 500 hektar, pertanian sawah sebanyak 40 persen atau seluas 400 hektar dan tanah darat termasuk area pemukiman seluas 83,5 hektar .

Dari segi matapencaharian, 62,91 persen dari jumlah penduduk yang bekerja atau sebanyak 2.266 orang memiliki matapencaharian sebagai buruh, baik buruh petani tambak, petani sawah, home industry maupun nelayan buruh. Para buruh tersebut bekerja secara temporal dengan rata-rata upah perhari sebesar Rp 25.000,00 sampai dengan Rp 35.000,00.

Ditinjau dari aspek pendidikan, pendidikan masyarakat Desa Sungaibuntu tergolong masih rendah, yaitu 46,18 persen atau sebanyak 3.975 orang adalah tidak tamat SD dan sebanyak 25,42 persen atau 2.188 orang adalah tamat SD.

Kondisi kehidupan masyarakat seperti ini mendorong prakarsa dan inisiatif lokal yang dipelopori oleh kepala desa untuk menjalin kerjasama dengan warga desa guna memanfaatkan potensi sumberdaya alam yang tersedia, dalam hal ini memanfaatkan keindahan alam pesisir sebagai kawasan wisata. Pariwisata dapat diartikan sebagai aktivitas waktu luang untuk berlibur pada suatu tempat. Secara sosiologis pariwisata merupakan proses komersialisasi dari hubungan antara tamu dangan tuan rumah (Urry, 1990 dalam Pitana et al., 2005).

Kegiatan pengembangan kawasan wisata dimulai tahun 2002, berlokasi di Dusun Sungaibuntu (peta sebagaimana terlampir), dikembangkan di atas tanah timbul sepanjang garis pantai 2,5 kilometer. Pemanfaatan tanah didasarkan atas izin lisan Kepala Unit Pelaksana Teknis Dinas Perikanan Kelautan dan Peternakan (UPTD PKP) Kecamatan Pedes. Pengembangan kawasan wisata dilaksanakan oleh Kelompok Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru”, beranggotakan sepuluh orang dan diketuai oleh kepala desa. Pengembangan kawasan wista ditujukan untuk membuka alternatif lahan pekerjaan tambahan guna menambah pendapatan dan sebagai sarana rekreasi yang dapat terjangkau oleh semua kalangan. Pada area wisata dibangun sebanyak 30 unit rumah panggung sebagai tempat berjualan makanan. Bagi para pengunjung wisata dikenakan retribusi atau biaya masuk sebesar Rp 2.500,00 per orang. Berdasarkan pengamatan dan informasi dari Ketua Kelompok Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru”, jumlah pengunjung pada umumnya mengalami ledakan selama satu minggu pada lima hari pascalebaran (pada tanggal empat sampai dengan sepuluh November 2005 jumlah pengunjung mencapai sekitar 1.000 orang setiap hari).

Pengembangan kawasan wisata pesisir serupa sebelumnya pernah terselenggara tahun 1989 di perbatasan wilayah desa sebelah Timur, tepatnya di Dusun Betok Mati. Aktivitas ini muncul seiring dibangunnya proyek-proyek pemerintah, seperti pembangunan tambak udang (TIR) dan pemboran minyak bumi lepas pantai. Namun, berakhirnya proyek-proyek pembangunan tersebut mengakibatkan aktivitas ini juga berakhir sekitar tahun 1992. Tahun 1999, muncul kawasan wisata di perbatasan wilayah desa sebelah Barat, yaitu di Pisangan. Tetapi, kegiatan ini juga berakhir sekitar tahun 2001 karena

transportasi dan kawasan tersebut mulai digenangi air akibat abrasi air laut yang cukup tinggi. Berakhirnya aktivitas pada kawasan tersebut memberikan masukan atau gambaran bagi pengembangan kawasan di “Samudera Baru” mengenai faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam menopang keberlanjutan suatu kawasan wisata.

Pengembangan kawasan wisata disamping memiliki dampak positif, yaitu mempengaruhi pendapatan atau penghasilan penduduk, membuka lahan pekerjaan dan memacu bisnis kecil-kecilan, juga memiliki dampak negatif, diantaranya yaitu terjadinya perusakan terhadap lingkungan dan konservasi, penurunan moral, sikap dan nilai-nilai dalam masyarakat, seperti munculnya warung remang-remang dan fenomena prostitusi. Prostitusi diartikan sebagai peristiwa penjualan diri dengan cara memperjualbelikan badan, kehormatan dan kepribadian kepada banyak orang untuk memuaskan nafsu-nafsu seks dengan imbalan pembayaran (Kartono, 1981). Fenomena prostitusi ini muncul tersamarkan dalam wujud pertunjukan kesenian jaipongan atau dangdutan dan atas kesepakatan tokoh pemuda pertunjukan digelar mulai dari jam 21.00 sampai dengan 01.00 WIB. Untuk itu, agar pengembangan kawasan wisata dapat berkelanjutan sehingga mendukung upaya menciptakan kondisi kehidupan dan penghidupan yang layak bagi komunitas, maka kegiatan tersebut harus didasarkan pada prinsip-prinsip “pariwisata secara tepat” yaitu bahwa pelaksanaan aktivitas wisata secara aktif mendorong kelangsungan objek atau atraksi wisata yg ditawarkan, memberdayakan masyarakat lokal, membangun rasa bangga masyarakat lokal, membantu memelihara pola-pola atau gaya hidup dan nilai-nilai setempat atau sesuai konteks lokal (Marpaung dan Bahar, 2002).

Upaya-upaya kegiatan pengembangan masyarakat bagi pengembangan kawasan wisata secara tepat guna mewujudkan kawasan wisata berkelanjutan dilaksanakan melalui suatu pendekatan strategis, yaitu penguatan Kelompok Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru” dengan meningkatkan keterlibatan dan peran serta stakeholders atau pihak-pihak penanggung kepentingan. Stakeholders dalam hal ini yaitu kelembagaan komunitas lokal, meliputi kelembagaan BPD, LPM, tokoh agama, tokoh masyarakat dan tokoh pemuda serta kelembagaan pemerintah, meliputi Sie. PMD, UPTD PKP Kecamatan Pedes dan Dinas Penerangan, Pariwisata dan Budaya Kabupaten Karawang.

Kelembagaan merupakan suatu sistem aktivitas dari kelakuan berpola manusia, dalam komponen kebudayaan serta komponen-komponen yang terdiri

dari sistem norma, tata kelakuan, sebagai wujud ideal kebudayaan dan peralatan sebagai wujud fisik kebudayaan, ditambah dengan manusia atau personil yang melaksanakan kelakuan berpola tersebut. Kelembagaan juga sering diartikan sebagai pranata sosial, yaitu suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada aktivitas-aktivitas manusia untuk memenuhi kompleks kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat (Koentjaraningrat, 1997). Lembaga merujuk pada sesuatu bentuk, sekaligus mengandung pengertian yang abstrak perihal adanya norma-norma dan peraturan-peraturan tertentu (Soekanto, 2002).

Batasan kelembagaan dalam kajian ini adalah adanya sejumlah peranan sosial dan sistem nilai serta peraturan-peraturan dalam Kelompok Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru” yang diasumsikan mempengaruhi permasalahan-permasalahan terkait dengan pengembangan kawasan wisata.

Penguatan kelembagaan dipandang sebagai suatu pendekatan strategis dalam pengembangan masyarakat karena sebagaimana diungkapkan oleh Syahyuti (2003) bahwa :

1. Kelembagaan merupakan wadah beraktivitas setiap manusia dan tidak ada seorang manusiapun yang tidak mengikatkan diri didalamnya.

2. Berbicara kelembagaan bukan membahas individu, tetapi individu-individu yang terikat dalam wadah aktivitasnya. Kelembagaan secara fungsional menghidupkan sistem sosial. Oleh karena itu, membahas kelembagaan adalah lebih rasional, efisien dan ekonomis dibandingkan dengan membahas individu satu persatu.

3. Perubahan kelembagaan bersifat lebih permanen, karena eksistensinya tidak tergantung pada satu individu melainkan pada sejumlah orang.

Kelompok Pengelola Kawasan Wisata merupakan salah satu bentuk kelembagaan yang berfungsi memenuhi kebutuhan rekreasi bagi masyarakat. Melalui penguatan Kelompok Pengelola Kawasan Wisata Pesisir “Samudera Baru” dengan meningkatkan keterlibatan dan peran serta stakeholders ini diharapkan :

1. Aktivitas yang dilaksanakan tidak berorientasi pada aspek ekonomi semata- mata, melainkan tetap memperhatikan aspek-aspek ekologis, keagrariaan dan sosial.

2. Keindahan alam dan lingkungan pesisir sebagai atraksi atau objek wisata yang ditawarkan dapat tetap terjaga dan terpelihara sehingga kawasan wisata akan tetap berkelanjutan.

3. Pengembangan kawasan wisata pesisir merupakan wahana bagi pengembangan masyarakat, melalui aktivitas ini diupayakan mampu menumbuhkan pola hubungan dan gerakan koperatif dari Kelompok Pengelola Kawasan Wisata dengan stakeholders atau pihak-pihak penanggung kepentingan, seperti kelembagaan komunitas lokal, kelembagaan swasta dan kelembagaan pemerintah.

4. Peningkatan pola hubungan dan gerakan koperatif dengan stakeholders

diharapkan dapat mewujudkan suatu kontrol atau pengendalian sosial dalam upaya meminimalisir dampak-dampak negatif yang ditimbulkan, seperti adanya fenomena prostitusi terselubung, munculnya potensi konflik keagrariaan, ketidaktransparanan dan kekurangtanggapan Kelompok Pengelola Kawasan Wisata terhadap aspirasi dan harapan komunitas.

Dengan demikian, fokus telaahan dalam kajian ini adalah masalah “Pengembangan Kawasan Wisata Pesisir Berbasis Komunitas Lokal (Studi Kasus Kelompok Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru” di Desa Sungaibuntu, Kecamatan Pedes, Kabupaten Karawang, Propinsi Jawa Barat). Topik dari kajian ini adalah bagaimana peranan-peranan sosial dan tata peraturan serta tata nilai yang dilaksanakan oleh Kelompok Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru” dalam upaya mengembangkan kawasan wisata pesisir secara berkelanjutan sehingga mendorong terwujudnya kondisi kehidupan dan penghidupan yang layak bagi komunitas tersebut dengan meminimalisir dampak-dampak negatif yang ditimbulkan.

.