• Tidak ada hasil yang ditemukan

WISATA PESISIR “SAMUDERA BARU”

5.4. Pengembangan Modal Sosial, Gerakan Sosial dan Permasalahan

5.4.1. Ditinjau dari Perspektif Modal Sosial

Pengembangan kawasan wisata “Samudera Baru” muncul atas inisiatif kepala desa (Bapak Tata Husein). Gagasan ini memperoleh dukungan dari para pemuda sehingga mereka bersedia menunjukkan keterlibatan dan partisipasinya dalam kegiatan tersebut. Dukungan dan partisipasi ini merupakan wujud dari adanya kepercayaan (trust) warga terhadap kepala desa. Disamping itu, jika ditinjau dari kemampuan aktivitas wisata pesisir bertahan selama hampir empat tahun membuktikan suatu fenomena adanya jalinan hubungan komunikasi yang baik antara penanggungjawab atau ketua kelompok pengelola wisata (kepala desa) dengan anggota kelompok pengelola wisata.

Kepercayaan ini tidak hanya terjadi dari anggota kelompok pengelola wisata terhadap penanggungjawab atau ketua kelompok pengelola wisata, melainkan juga terjadi secara timbal balik (resiprocity) yaitu dari penanggungjawab atau ketua kelompok pengelola wisata terhadap anggota kelompok. Hal ini terwujud dari kesediaan kepala desa selaku penanggungjawab atau ketua kelompok pengelola wisata untuk mempercayakan keuangan hasil pembayaran retribusi pengunjung kepada bendahara dengan administrasi atau pembukuan yang belum tertata dengan tertib. Dengan demikian, kepala desa selaku penanggungjawab atau ketua kelompok pengelola wisata memahami serta percaya pada sikap dan tabiat para anggota kelompok serta percaya akan kejujuran (honesty) mereka.

Dari gambaran tentang pengelolaan wisata di atas, dapat dipahami bahwa aktivitas wisata pesisir dapat terselenggara dan tetap terpelihara sampai saat ini karena adanya Modal Sosial yang meliputi suatu jalinan relasi yang diwarnai dengan kepercayaan, kejujuran, timbal balik dan kesepemahaman satu sama lain didalam kelompok yang membentuk suatu kebiasaan aturan-aturan yang disepakati bersama.

Analisis pengembangan kawasan wisata “Samudera Baru” ditinjau dari dimensi-dimensi yang dimiliki Modal Sosial adalah sebagai berikut :

1. Gagasan pengembangan kawasan wisata pesisir dapat terselenggara karena adanya kesamaan etnik, hubungan kekerabatan dan pertemanan. Tetapi, pola hubungan kekerabatan dan pertemanan ini juga telah menyebabkan sulit diterapkannya aturan-aturan dan sanksi-sanksi secara jelas, misalnya masih adanya anggota kelompok atau para pedagang di lokasi wisata yang lalai menjaga kebersihan. Etnik dalam konteks ini lebih terkait pada lokalitas dimana penanggungjawab dan para pengelola kawasan wisata berada, yaitu sebagai suatu komunitas pesisir Sungaibuntu. Hal ini terkait dengan dimensi integrasi dari suatu Modal Sosial.

2. Adanya pertalian atau linkage dengan komunitas lain di luar komunitas, diwujudkan dalam bentuk kerja sama dengan :

- Perusahaan teh botol, Indosat (Mentari), perusahaan rokok gudang garam dalam wujud pemasangan bendera-bendera dan spanduk-spanduk perusahaan, artis-artis dari kota Karawang. Kerja sama ini biasanya terjalin dalam situasi terjadi ledakan pengunjung,

- Instansi Pemerintah yaitu dengan kepolisian, Unit Pelaksana Teknis Dinas Perikanan, Kelautan dan Peternakan (UPTD PKP) Kecamatan Pedes dalam wujud konsultasi, saran serta pendapat dan mulai dirintis kerja sama dengan Dinas Pariwisata Kabupaten Karawang. Namun upaya kerja sama ini belum terwujud secara nyata dan optimal.

Hal ini menunjukkan adanya dimensi pertalian ataulinkage, yaitu bahwa aktivitas pengembangan kawasan wisata telah menjalin ikatan atau kerja sama dengan komunitas lain di luar komunitas.

3. Selama ini, aktivitas pengembangan kawasan wisata belum tersentuh oleh suatu bentuk peraturan atau kebijakan yang mengatur tata operasionalnya di lapangan. Segala aktivitas terkait dengan masalah-masalah ekonomi maupun sosial lebih merupakan masalah yang harus diatasi oleh komunitas itu sendiri tanpa ada campur tangan dari pemerintah baik pada tingkat kecamatan, kabupaten, maupun propinsi sehingga belum terbentuk suatu integritas organisasional yang baik antara pihak pemerintah (political sector), swasta

(private sector) maupun organisasi swadaya masyarakat. (participatory sector). Hal ini berarti bahwa aktivitas pengembangan kawasan wisata belum menunjukkan suatu bentuk integritas organisasional atau organizational integrity antara institusi negara dalam menjalankan fungsinya, termasuk menciptakan kepastian hukum dan menegakan peraturan.

4. Selama ini aktivitas pengembangan kawasan wisata pesisir belum berjalan secara sinergi dengan pihak pemerintah. Aktivitas ini lebih merupakan upaya praktis dari komunitas lokal dalam mengatasi kemiskinan dan pengangguran di wilayahnya, belum ada suatu sikap atau upaya, baik dari pemerintah maupun swasta untuk memelihara inisiatif dan mengembangkan motivasi komunitas lokal dalam pengembangan kawasan tersebut. Dengan demikian, pengembangan kawasan wisata pesisir belum menunjukkan adanya dimensi sinergi, yaitu menyangkut relasi antara pemimpin dan institusi pemerintahan dengan komunitas

Untuk memahami pengembangan aktivitas ini ditinjau dari Modal Sosial dilakukan analisis berdasarkan Tipologi Modal Sosial, yaitu sebagai berikut :

a. Gagasan pengembangan kawasan wisata bertujuan untuk membuka alternatif lahan pekerjaan guna meningkatkan pendapatan anggota kelompok, meskipun masih dibutuhkan upaya peningkatan dan perbaikan agar memberikan hasil secara lebih optimal, baik dari segi jumlah tenaga kerja yang dapat diserap maupun dari segi kelengkapan dan kenyamanan suatu sarana wisata. Dari gambaran tersebut, maka analisis terhadap Modal Sosial berada pada Kuadran I, yaitu Social Economic Well Being.

b. Adanya suatu stigma negatif terhadap area wisata “Samudera Baru” karena adanya panggung hiburan sekaligus wanita-wanita penghibur pada malam hari menjadi suatu polemik tersendiri bagi tokoh-tokoh agama dan masyarakat. Sebagaimana diungkapkan oleh Bapak Ustadz Gufron :

“Saya pernah mengungkapkan dan mempertanyakan masalah ini kepada Pak Lurah, tapi beliau menjawab bahwa wisata dan kehadiran wanita-wanita penghibur merupakan dua sisi yang sulit atau tidak bisa dipisahkan”

Dalam wawancara lain, penulis mencoba meminta penjelasan kepada Bapak Cakra Suarawijaya, Bapak Dudin dan Bapak Iman selaku perwakilan dari para pemuda, mengatakan bahwa :

“Kami sejak kecil dibesarkan di sini, tapi kami tidak pernah mencoba menikmati kehidupan malam seperti itu. Kami tidak merasa terusik dengan kehadiran mereka, karena disamping tempat mereka terpencil dari pemukiman penduduk, kami juga menganggap bahwa kehidupan seperti itu telah biasa ada di lingkungan kami secara turun temurun, hanya tempatnya yang berpindah-pindah, meskipun kami tidak tahu kapan kehidupan seperti itu berawal”

Dari gambaran di atas, dapat dipahami bahwa sebagian kelompok memandang kehadiran wanita-wanita penghibur di area wisata “Samudra Baru” sebagai suatu masalah, sedangkan kelompok yang lain memandang kehadiran mereka sebagai sesuatu hal yang biasa, yang telah ada secara turun temurun.

Pada sisi lain, Kelompok Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru” belum melibatkan dan mempertimbangkan saran, pendapat serta aspirasi kelembagaan lokal, seperti tokoh-tokoh agama dan para pengelola pondok pesantren sebagai suatu bentuk kontrol sosial dan basis pengembagan masyarakat yang dapat menopang keberlanjutan kawasan tersebut. Kelompok Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru” seakan-akan terpisah dari kehidupan komunitas lokal. Hal ini sebagaimana diungkapkan

oleh Bapak Ni’an Abdullah selaku Ketua LPM (Lembaga Pemberdayaan Masyarakat) Desa Sungaibuntu :

“Saya setuju dengan dikembangkannya kawasan wisata “Samudera Baru” ini, tetapi saya memohon agar kawasan tersebut akhirnya jangan hanya menjadi milik pribadi atau sekelompok orang tertentu saja, tetapi hasilnya juga harus dapat dinikmati oleh masyarakat”

Disamping itu, kawasan wisata pesisir “Samudera Baru” ini dikembangkan di atas tanah tanah timbul yang belum memiliki izin dan status pemanfaatan yang jelas. Izin pemanfaatan tanah timbul didasarkan atas izin secara lisan dari Kepala Unit Pelaksana Teknis Dinas Perikanan Kelautan dan Peternakan (UPTD PKP). Hal ini mulai disadari betul oleh Kepala Desa selaku Ketua Pengelola Kawasan Wisata sebagaimana diungkapkan :

“Sebentar lagi jabatan Saya sebagai kepala desa akan berakhir, saya menyadari hal ini dan harus memikirkan status tanah bagi kelangsungan Samudera Baru...”

Situasi-situasi demikian apabila tidak diantisipasi dan dibicarakan upaya-upaya pemecahannya dapat mengakibatkan terjadinya konflik tersembunyi, yang pada akhirnya juga dapat menimbulkan konflik terbuka antara Kelompok Pengelola Wisata “Samudera Baru” dengan komunitas setempat. Dengan demikian, analisis terhadap Modal Sosial berada pada Kuadran II, yaitu Latent Conflict.

c. Gagasan aktivitas wisata pesisir muncul sebagai upaya untuk mengatasi masalah kemiskinan yang terjadi. Data hasil Praktek Lapangan I menunjukkan bahwa jumlah keluarga miskin tahun 2005 sebanyak 55,75 persen. Dengan demikian, analisis terhadap Modal Sosial berada pada Kuadran IV, yaitu Coping.

Analisis Modal Sosial dapat digunakan untuk menjelaskan konteks kehidupan masyarakat secara holistik dalam perspektif jaringan (networking), baik secara horizontal maupun vertikal :

a. Secara Horizontal, jaringan terbentuk karena adanya ikatan dalam jenjang hubungan kesetaraan, dilakukan dengan sesama anggota kelompok pengelola, para pedagang, artis-artis kota Karawang dalam mengisi acara- acara hiburan, perusahaan teh botol, Indosat (Mentari), perusahaan rokok gudang garam. Namun, jenjang hubungan kesetaraan ini belum terlaksana secara baik dengan kelembagaan-kelembagaan lokal yang ada, kelompok

pengelola wisata selama ini masih kurang mengindahkan harapan dan aspirasi dari komunitas.

b. Secara Vertikal, jaringan terbentuk karena adanya kerja sama dengan lembaga atau instansi Pemerintah, dilakukan dengan pihak kepolisisan, Unit Pelaksana Teknis Dinas Perikanan, Kelautan dan Peternakan (UPTD PKP) Kecamatan Pedes dalam wujud konsultasi, saran serta pendapat, tetapi kerja sama ini sifatnya tidak dibina secara teratur dan periodik juga mulai dirintis kerja sama dengan Dinas Pariwisata Kabupaten Karawang meskipun belum ada relisasi kegiatan secara nyata.

Dari uraian di atas, diketahui bahwa dalam pelaksanaan pengorganisasian, Kelompok Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru” belum sepenuhnya memanfaatkan Modal Sosial secara optimal. Ditinjau dari dimensi pertalian dan perspektif jaringan, baik secara horizontal maupun vertikal dilaksanakan hanya pada momentum terjadinya ledakan pengunjung. Kerja sama dengan pihak- pihak terkait atau dengan pihak lain agar kawasan wisata lebih menarik para pengunjung tidak hanya pada momentum liburan lebaran, melainkan pada setiap saat hari libur, misalnya liburan akhir pekan belum dilaksanakan sebagaimana yang diharapkan. Namun, meskipun kehadiran pengunjung wisata mengalami pasang surut, Kelompok Pengelola Wisata tetap eksist, mereka mengadakan pertemuan rutin dengan para pedagang di lokasi wisata setiap dua minggu sekali, tetap bergabung dalam menata dan mengelola keindahan area wisata. Dengan demikian, tipe Modal Sosial yang ada lebih menekankan pada Ikatan Solidaritas (Bounded Solidarity) dan Nilai Luhur (Value Introjection) serta Bersifat Consummatory.