• Tidak ada hasil yang ditemukan

4. Merumuskan kebijakan pengembangan beras premium

7.2. Analisis Pendapatan Usahatani

7.2.1. Analisis Pendapatan Usahatani Padi Organik

Perbandingan pendapatan dan keuntungan usahatani padi organik dan non organik pada musim hujan dan musim kemarau di lokasi penelitian dapat dilihat

pada Tabel 22. Merujuk Tabel 22, terlihat bahwa usahatani padi di lokasi penelitian baik padi organik dan non organik masih mendatangkan pendapatan dan layak dilakukan, yang ditunjukkan nilai R/C >1. Pada musim hujan 2009/2010 nilai penerimaan usahatani padi organik per hektar rata-rata sekitar 15.42 juta rupiah, dengan total biaya berkisar 8.67 juta rupiah, pendapatan atas biaya total 6.76 juta rupiah dan nilai R/C ratio 2.96. Sedangkan pada musim kemarau 2009, nilai nilai penerimaan usahatani padi organik per hektar rata-rata sekitar 15.53 juta rupiah, dengan total biaya berkisar 8.86 juta rupiah, pendapatan atas biaya total 6.67 juta rupiah dan nilai R/C ratio 2.96. Nilai penerimaan tersebut lebih besar dibanding usahatani padi non organik yang hanya mencapai sekitar 13.50 juta rupiah dengan biaya usahatani sebesar 9.06 juta rupiah, pendapatan atas biaya total 4.44 juta rupiah dan nilai R/C ratio 2.56 pada musim hujan 2009/2010. Sementara pada musim kemarau 2009 nilai penerimaan usahatani padi non organik hanya mencapai sekitar 12.66 juta rupiah dengan biaya usahatani sebesar 9.27 juta rupiah, pendapatan atas biaya total 3.39 juta rupiah dan nilai R/C ratio 2.30. Hasil-hasil ini secara statistik berbeda nyata, sehingga menunjukkan bahwa pendapatan usahatani padi organik secara nyata lebih tinggi jika dibandingkan pendapatan usahatani padi non organik.

Sumbangan terbesar perbedaan pendapatan antara petani organik dan non organik adalah perbedaan harga jual hasil produksi. Hasil gabah yang dihasilkan petani organik rata-rata mempunyai harga yang lebih tinggi dibanding harga gabah yang dihasilkan oleh petani non organik. Di tingkat penggilingan padi, perbedaan harga antara gabah organik dan non organik berkisar Rp 300 sampai Rp 500 per kg.

Tabel 22. Perbandingan Pendapatan Usahatani Padi Organik dan Non Organik per hektar pada MH 2009/2010 dan MK 2009 di Lokasi Penelitian

(Rp. Ribu)

Musim Hujan Musim Kemarau

Organik Non Organik Organik Non Organik 1. Produktivitas (kg/Ha) 5 606.96 5 535.39 tn 5 810.82 5 718.14 tn 2. Nilai Penerimaan 15 424.63 13 498.16* 15 530.00 12 663.90* 3. a. Total Biaya 8 667.19 9 059.71 8 860.75 9 273.78 b. Total Biaya Tunai 5 219.44 5 263.58 5 254.07 5 512.86 Biaya Benih 256.73 416.10* 269.21 415.53* Dalam Keluarga 143.89 272.44 103.29 174.58 Luar Keluarga 112.85 143.66 165.92 240.95 Biaya Pupuk 1 369.92 830.55* 1 369.37 893.38* Dalam Keluarga 567.77 26.69 786.39 47.50 Luar Keluarga 802.15 803.86 582.98 845.88 Biaya Pestisida 51.06 193.57* 46.62 368.94* Dalam Keluarga 51.06 0.00 46.62 0.00 Luar Keluarga 0.00 193.57 0.00 368.94

Biaya Tenaga Kerja 6 534.81 7 143.95* 6 675.09 6 974.93* Dalam Keluarga 2 685.03 3 497.01 2 670.38 3 538.84 Luar Keluarga 3 849.78 3 646.94 4 004.71 3 436.10 Biaya Lain-lain 454.66 475.55tn 500.45 621.00tn 4. a. Pendapatan atas Biaya

Tunai

10 205.19 8 234.59 10 275.93 7 151.04 b. Pendapatan atas

Biaya Total

6 757.44 4 438.45 6 669.25 3 390.12 5. a. R/C atas biaya Tunai 1.78 1.49 1.75 1.37 b. R/C atas biaya total 2.96 2.56 2.96 2.30 Catatan : tn = tidak nyata pada taraf kepercayaan 95 %, * = nyata pada taraf kepercayaan 95%

Berdasarkan jenis biaya yang dikeluarkan, terlihat bahwa biaya tunai yang dikeluarkan kedua kelompok petani hampir berimbang, sekitar 5.23 juta rupiah, namun biaya total yang dikeluarkan berbeda cukup besar. Hal ini menunjukkan bahwa pemanfaatan sumberdaya dari dalam keluarga pada kelompok petani organik lebih besar. Dua kegiatan yang menyumbang penurunan biaya tunai petani organik adalah biaya pupuk dan pestisida. Pada kelompok petani organik, pupuk yang digunakan banyak berasal dari dalam keluarga berupa pemanfaatan limbah peternakan dan tumbuhan yang dikomposkan. Sedangkan pada petani non organik, pupuk yang digunakan pada umumnya berasal dari pembelian sehingga

biaya tunai yang dikeluarkan lebih besar. Pada penelitian ini biaya pupuk petani organik lebih besar dibanding petani non organik. Hal ini sepintas tidak sejalan dengan tujuan pengembangan pertanian organik, dimana salah satu keuntungan pertanian organik adalah biaya produksi murah. Biaya tunai pupuk pada penelitian ini besar karena tidak semua petani organik memiliki ternak sebagai penghasil bahan baku pupuk organik, sehingga terpaksa harus membeli. Bila semua petani telah mempunyai sumber bahan baku pupuk dari dalam keluarga, maka biaya tunai akan berkurang. Perbedaan pengeluaran tunai pupuk tersebut dapat dilihat dari persentase biaya pupuk dari dalam dan luar keluarga. Biaya pupuk dari dalam dan luar keluarga kelompok petani organik hampir berimbang, sementara pada kelompok petani non organik, hampir semua pupuk berasal dari pembelian.

Hal yang sama terlihat pada biaya pestisida dimana petani organik menggunakan pestisida yang dibuat sendiri dari lingkungan sekitar, seperti air jerami dan belerang (untuk mengatasi hama walang sangit), rendaman biji nimba (untuk mengatasi wereng, nematoda, bakteri, virus, jamur), rendaman daun tembakau (mengatasi ulat kambang, penggerek, tungau, nematoda), rendaman daun johar (mengatasi berbagai hama), rendaman dlingo dan bengle (mengatasi wereng), dan lain-lain. Petani non organik secara umum menggunakan pestisida pabrikan sehingga biaya tunai yang dikeluarkan lebih besar.

Perbedaan biaya tunai diantara dua usahatani tersebut juga menunjukkan bahwa pengembangan padi organik secara tidak langsung telah memberikan pendapatan kepada rumah tangga petani. Besarnya pendapatan tersebut sebanding dengan biaya tunai yang seharusnya dikeluarkan bila sarana produksi tersebut

harus dibeli. Hal ini menjadi penting mengingat sebagian ketersedian uang tunai besar keluarga pertanian di pedesaan terbatas dan masih mengandalkan tenaga kerja sebagai aset mendapatkan penghasilan. Sumbangan terhadap pendapatan keluarga usahatani padi organik ini perlu menjadi bahan pertimbangan bagi para pengambil kebijakan dalam melihat manfaat pengembangan pertanian organik.

Bila dilihat dari struktur biaya usahatani, terlihat bahwa sebagian besar biaya tunai usahatani dialokasikan untuk biaya tenaga kerja. Kondisi tersebut bisa dipahami mengingat sebagian besar sistem pengupahan yang berkembang di lokasi kajian adalah borongan karena periode pekerjaan dalam usahatani terbatas, dan rata-rata petani mempunyai kegiatan lain. Kegiatan usahatani yang menggunakan sistem borongan antara lain tanam, pengolahan lahan, panen, perontokan, dan peangkutan hasil panen.

7.2. 2. Analisis Pendapatan Beras Organik

Beras organik merupakan beras yang dihasilkan dari usahatani padi organik. Tujuan menghasilkan beras organik pada umumnya karena alasan kesehatan, dan kualitas rasa yang tinggi. Selain berbeda dalam proses usahatani, beras organik biasanya mempunyai perbedaan perlakuan pasca panen dengan beras biasa. Karena perbedaan proses tersebut, harga beras organik selalu lebih tinggi dari beras biasa.

Salah satu kelebihan padi organik dibanding dengan padi biasa adalah bahwa pada umumnya beras organik lebih berisi dan tidak mudah pecah, sehingga bila sasaran akhir dari usahatani adalah beras, maka petani akan mendapatkan pendapatan lebih banyak. Artinya nilai tambah yang diperoleh dalam menghasilkan beras organik lebih besar dibanding biaya yang dikeluarkan. Dari

bentuk gabah menjadi beras, perbedaan perlakuan pasca panen padi di lokasi kajian praktis hanya dalam kegiatan mengayakan/sortasi, sementara proses yang lain relatif sama, seperti terlihat pada Tabel 23.

Tabel 23. Perbandingan Pendapatan Beras Organik dan Non Organik per Hektar di Lokasi Penelitian Tahun 2010

Organik Non Organik

Produksi GKP (kg) 5 708.89 5 626.77 Produksi GKG (kg) 4 567.11 4 220.07 Produksi Beras (kg) 2 968.62 2 658.65 Ongkos giling (Rp 200/kg) 913 421.89 844 015.00 Biaya sortasi (Rp.100/kg) 296 862.11 - Harga beras (Rp/kg) 7 000.00 5 600.00 Nilai beras (Rp) 20 572 544.43 14 739 540.33 Biaya Total (Rp) 11 454 690.24 9 959 913.83 Total Pendapatan Beras (Rp) 9 117 854.18 4 779 626.50

Berdasakan Tabel 23 terlihat bahwa dengan penerimaan 20.57 juta rupiah dan rerata biaya produksi beras organik sekitar 11.45 juta rupiah, maka petani organik memperoleh pendapatan sekitar 9.12 juta rupiah. Sementara penerimaan petani non organik hanya mencapai 14.74 juta rupiah per hektar dengan tingkat pendapatan mencapai sekitar 4.78 juta rupiah. Hal ini menunjukkan bahwa petani organik mendapatkan nilai tambah sekitar 4.50 juta rupiah per hektar lebih banyak dibanding petani non organik, dengan biaya tunai

yang hampir sama, yaitu sekitar 5.23 juta rupiah (Tabel 22). Nilai tambah tersebut telah menutup 75 persen kebutuhan biaya usahatani sehingga lebih leluasa dalam menjalankan usahataninya. Berdasarkan hasil analisis pendapatan usahatani padi dan beras organik ini, maka pengembangan padi organik sebagai salah satu jenis beras kualitas premium dapat digunakan sebagai salah satu instrumen kebijakan dalam rangka peningkatan pendapatan petani padi.