• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengembangan beras kualitas premium dapat dilakukan melalui berbagai upaya, antara lain (1) penggunaan varietas, perlakukan budidaya dan pemilihan wilayah pengembangan, dan (2) penanganan pasca panen. Upaya penggunaan varietas, perlakuan budidaya dan wilayah pengembangan, dalam pengembangan beras kualitas premium dapat dilakukan melalui praktek pertanian yang baik

(Good Agricultural Practice atau GAP) yang secara langsung diarahkan pada sistem pertanian organik. Sedangkan penanganan pasca panen diarahkan pada perbaikan penanganan pasca panen untuk menghasilkan beras dengan kualitas tinggi.

2.2.1. Penggunaan Varietas, Perlakukan Budidaya dan Pemilihan Wilayah Pengembangan Secara Tepat

Salah satu upaya menghasilkan beras premium dengan penggunaan varietas, perlakuan budidaya dan pemilihan wilayah pengembangan secara tepat dapat dilakukan melalui pengembangan sistem pertanian organik. Dalam prakteknya, pertanian organik dilakukan dengan cara, antara lain (1) menghindari penggunaan bibit/benih hasil rekayasa genetika, (2) menghindari penggunaan pestisida kimia sintetis, (3) pengendalian gulma, hama dan penyakit dilakukan dengan cara mekanis, biologis dan rotasi tanaman, (4) menghindari penggunaan zat pengatur tumbuh dan pupuk kimia sintetis, (5) kesuburan dan produktivitas tanah ditingkatkan dan dipelihara dengan mengembalikan residu

tanaman, pupuk kandang, dan batuan mineral alami, serta penanaman legume dan rotasi tanaman, dan (6) menghindari penggunaan hormon tumbuh dan bahan aditif sintetis dalam makanan ternak

Berdasarkan praktek pertanian organik tersebut di atas, dari aspek varietas maka pengembangan padi organik pada umumnya menggunakan varietas-varietas unggul lokal yang mempunyai produktivitas sedang sampai rendah, namun mempunyai cita rasa yang tinggi. Rendahnya produktivitas padi organik selain dipengaruhi oleh varietas, juga sangat dipengaruhi oleh perlakuan budidaya yang dilakukan. Padi organik pada umumnya ditangani secara tradisional dan tidak memakai bahan-bahan anorganik untuk merangsang pertumbuhan dan produksinya.

Dengan kondisi tersebut maka dari perspektif wilayah dan ketahanan pangan, pengembangan beras kualitas premium harus dilakukan secara bertahap dan hati-hati. Pengembangan tersebut sebaiknya dilakukan pada daerah-daerah yang bukan merupakan wilayah sentra produksi beras. Pada wilayah sentra beras, sejak tahun 1960-an telah dibudidayakan varietas unggul yang memiliki respons tinggi terhadap masukan berupa pupuk kimia, hama dan penyakit utama dikendalikan secara kimiawi atau dengan ketahanan varietas, ditanam secara monokultur, tersedia insentif berupa subsidi dan dukungan dengan sistem irigasi yang baik. Pengembangan beras premium melalui pengembangan pertanian organik di wilayah sentra padi bila tidak dilakukan dengan hati-hati dikhawatirkan dapat mengancam kemampuan produksi dan ketahanan pangan nasional. Seperti dikemukakan oleh Syam (2008) bahwa upaya peningkatan produksi beras yang sekarang dicanangkan oleh pemerintah perlu dilihat secara

terpisah dengan pengembangan padi organik, artinya peningkatan produksi padi nasional tidak dapat hanya mengandalkan bahan organik sebagai masukan, karena selain karena kandungan haranya rendah, bersifat ruah (bulky) dan kurang ekonomis juga akan berdampak terhadap penurunan produksi, minimal pada tahun-tahun awal implementasi.

Pengembangan beras kualitas premium perlu diarahkan pada daerah-daerah yang bukan merupakan daerah-daerah sentra produksi padi. Wilayah-wilayah tersebut pada umumnya masih belum banyak disentuh oleh teknologi produksi padi konvensional (intensif) dan belum banyak berkembang baik dari sisi infrastruktur maupun kelembagaannya. Meskipun pengembangan beras membutuhkan energi yang besar, namun potensi pengembangannya relatif besar. Baik di Jawa maupun di luar Jawa (Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua) masih cukup luas potensi pengembangan padi organik, terlebih lagi jika pengembangan padi premium tersebut mengedepankan pemberdayaan kearifan lokal. Kearifan lokal seperti sosial budaya dan adat istiadat setempat dan indikasi geografis, yang selama ini masih membudidayakan padi secara tradisional dapat berpotensi untuk dijadikan branded bagi pengembangan beras kualitas premium. Tentunya dari sudut sosial ekonomi, jika wilayah tersebut yang dipilih, maka perbedaan karakteristik antara beras premium dan medium sangat berpengaruh terhadap pengembangan kedua jenis beras tersebut. Karakteristik beras tersebut mempengaruhi produksi dan produktivitas, harga beras/gabah, dan pendapatan petani.

2.2.2. Kualitas dan Penanganan Pasca Panen

Selain dari varietas, teknik budidaya dan areal pengembangan, beras kualitas premium dapat dihasilkan melalui perbaikan kualitas dan penanganan pasca panen. Pengolahan padi menjadi beras yang siap dikonsumsi harus melalui beberapa proses pasca panen, yaitu: perontokan, pengangkutan, pengeringan, penyimpanan sementara, penggilingan, penyimpanan, pengangkutan dan pengemasan. Setiap proses tersebut, jumlah dan tingkat teknologinya berkembang seiring dengan perkembangan produktivitas padi di Indonesia. Namun disadari bahwa perkembangan teknologi pengolahan padi di Indonesia tidak seperti halnya di negara-negara produsen beras di Asia, misalnya Thailand, Jepang, China dan Vietnam. Pengolahan padi di Indonesia masih menggunakan teknologi yang relatif sederhana. Sebagai akibatnya, beras yang dihasilkan memiliki kualitas dan rendemen beras yang lebih rendah. Selain itu produk samping berupa beras patah, menir, dedak dan sekam belum mendapat perhatian yang serius sehingga nilai tambah yang dapat diperoleh dari pemanfaatan hasil samping dari pengolahan padi di Indonesia belum maksimal.

Dalam rangka pengembangan beras premium dipandang sangat perlu dilakukan perbaikan rendemen dan mutu beras antara lain melalui perbaikan pada setiap tahapan proses pasca panen tersebut. Proses pasca panen yang baik akan menghasilkan beras yang mempunyai cita rasa tinggi, tingkat patahan yang rendah, putih, cemerlang, namun tetap mempunyai nilai gizi yang tinggi sehingga layak sebagai beras premium.

Proses pengeringan perlu mendapat perhatian dalam rangka menghasilkan beras premium. Proses penjemuran gabah dapat menghasilkan beras giling dengan mutu yang baik sepanjang tidak terganggu oleh hujan, menggunakan alas,

dan dilakukan pembalikan setiap 2 jam. Cara ini menghasilkan rendemen beras 57-60 persen dengan kandungan beras kepala 84 persen (Islam et al., 2003; Thahir dan Santosa, 1978; Soetoyo dan Sumardi, 1980).

Perbaikan sistem penggilingan padi juga menjadi faktor penting dalam penanganan pasca panen, karena penggilingan padi menjadi muara antara produksi, pengolahan primer, dan pemasaran beras. Bahkan pada proses ini, nilai tambah dari gabah ke beras giling mencapai 400-600 persen (Rachmat et al., 2006). Perbaikan sistem penggilingan padi dapat dilakukan antara lain dengan perbaikan teknik penyosohan dengan mengombinasikan sistem aberasif dan friksi serta sistem penyosohan bertahap. Kombinasi sistem aberasif dan friksi meningkatkan volume beras kepala menjadi 86 persen dan menekan jumlah beras patah menjadi 13 persen (Thahir, 1996; Setiawati 1999; van Ruiten 1981; Sudaryono et al., 2005). Penggunaan nozzle pengabut pada penyosohan dengan pelembutan aleuron dapat digunakan untuk perbaikan mutu beras giling. Melalui sistem pengabut, perlakuan pengayaan mutu (fortifikasi) dapat diberikan terhadap beras giling untuk menghasilkan beras kepala beraroma tertentu, seperti aroma varietas Pandanwangi atau dimanfaatkan untuk fortifikasi bahan pangan fungsional, seperti unsur yodium untuk pencegahan gondok (Lubis et al., 2007).

Berdasarkan uraian penanganan pasca panen tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa ketersediaan teknologi dan tingkat pengetahuan pasca panen untuk menghasilkan beras premium dalam negeri sebenarnya telah cukup tersedia, namun belum dimanfaatkan dengan baik, terutama karena ongkos produksinya tinggi.