• Tidak ada hasil yang ditemukan

4. Merumuskan kebijakan pengembangan beras premium

6.2. Keadaan Umum Pertanian 1. Pengelolaan Usahatani

6.2.2. Luas Pemilikan Tanah Garapan

Luas rata-rata pemilikan lahan sawah petani sampel penelitian tergolong sempit. yaitu 3 205.03 m2 untuk kelompok petani organik dan 2 912.33 m2 untuk petani non organik. Berkembangnya sistem sewa dan sakap memungkinkan rata-rata garapan sawah petani menjadi lebih besar, yaitu 5 569.00 m2 pada petani organik, dan 4 657.37 m2 pada petani non organik. Gambaran rata-rata luas pemilikan dan garapan petani sampel dapat dilihat pada Tabel 20

Tabel 20. Luas Pemilikan dan Garapan Lahan Sawah Petani Sampel Penelitian Tahun 2010

Petani Organik Petani Non Organik

Uraian Jumlah Persentase Jumlah Persentase

(m2) (%) (m2) (%)

A. Rata-rata Luas Pemilikan sawah 2 912.33 3 205.03 B. Rata-rata Luas Garapan sawah 5 569.00 4 657.37

Sawah Milik Sendiri 2 612.33 46.91 3 085.03 66.24 Sawah Sakap/Bagi Hasil 210.00 3.77 140.00 3.01

berproduksi. Ukuran paling umum untuk melihat produktivitas usahatani adalah dengan melihat produktivitas lahan usahatani tersebut, yaitu ukuran yang menunjukkan seberapa kapasitas lahan dalam menyerap input produksi dan menghasilkan output produksi pertanian (Heady (2002) dalam Suwarto (2008)). Produktivitas usahatani padi dalam penelitian ini didefinisikan sebagai rasio jumlah produksi gabah terhadap luas lahan usahatani. Produktivitas padi sangat dipengaruhi oleh input yang dimasukkan dalam produksi, seperti jumlah dan jenis benih, pupuk, pestisida, dan perlakuan budi daya, serta lingkungan biofisik lahan, seperti kondisi unsur hara dalam tanah dan faktor iklim.

Hasil analisis menunjukkan bahwa produktivitas padi antara usahatani organik dan non organik meskipun menunjukkan hasil yang berbeda, dimana produktivitas padi organik sedikit lebih tinggi dibandingkan produktivitas padi non organik, namun secara statistik hasil tersebut tidak berbeda nyata (Tabel 21). Tabel 21. Rata-rata Produktivitas Padi Organik dan Non Organik pada MH

2009/2010 dan MK 2009 di Lokasi Penelitian

Musim

Produktivitas

(kg/Ha) t hitung

Organik Non Organik 1. MH 2009/2010 5 606.96 5 535.39 0.383tn

2. MK 2009 5 810.82 5 718.14 0.492tn

tn = tidak nyata pada taraf kepercayaan 95 %

Produktivitas padi rata-rata petani organik pada musim hujan 2009/2010 dan kemarau 2009 berturut-turut adalah 5.61 ton/ha dan 5.81 ton/ha, sementara

untuk padi non organik 5.54 ton/ha dan 5.72 ton per Ha. Baik pada musim hujan maupun pada musim kemarau, secara statistik kedua jenis usahatani ini menghasilkan produktivitas yang tidak berbeda nyata. Informasi tersebut menguatkan argumen bahwa persepsi masyarakat bahwa pertanian organik mempunyai produktivitas lebih rendah tidak sepenuhnya benar. Disamping itu, potensi dan peluang peningkatan produktivitas padi organik di lokasi penelitian juga masih mungkin ditingkatkan. Karena, bila dilihat dari besaran produktivitas yang berhasil dicapai petani padi di lokasi penelitian ini lebih rendah jika dibandingkan rata-rata produktivitas padi di Kabupaten Klaten yang mencapai 6.23 ton per hektar.

Selain jenis input yang diberikan, produktivitas lahan sangat dipengaruhi tingkat kesuburan lahan dan kualitas pemeliharaan tanaman. Produktivitas tanaman padi organik pada tahap awal rendah karena lambatnya penguraian pupuk organik untuk dapat diserap oleh tanaman dan karena kandungan unsur hara makronya rendah, maka untuk mencapai produktivitas tinggi membutuhkan akumulasi penggunaan pupuk organik dalam jumlah tertentu sesuai kebutuhan tanaman dalam waktu beberapa musim tanam. Akumulasi pupuk organik justru meningkatkan pengkayaan unsur hara tanah yang bermanfaat bagi tanaman, dan keseuaian terhadap kebutuhan inilah yang menyebabkan dalam jangka waktu lebih dari dua musim tanam, produktivitas padi organik baru mencapai kondisi yang menyamai atau tidak jauh berbeda dibanding padi non organik.

Berbeda dengan pupuk kimia yang mudah dan cepat terurai dalam tanah, sehingga cepat diserap oleh tanaman dan memberikan dampak terhadap pertumbuhan tanaman dan produktivitas secara cepat, pupuk organik memiliki

sifat lambat terurai dan terserap oleh tanaman sehingga lambat pula pengaruhnya terhadap pertumbuhan tanaman dan lambat pula pengaruhnya terhadap peningkatan produktivitas. Penggunaan pupuk organik akan memperbaiki struktur, tekstur dan unsur hara dalam tanah pada lahan padi organik, sedangkan pupuk kimia justru cenderung merusak struktur dan tekstur tanah dan apabila kelebihan unsur hara yang diserap oleh tanaman dalam justru akan berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan tanaman, karena dapat menjadi racun bagi tanaman.

Pengembangan padi organik di Kabupaten Klaten telah dimulai sejak tahun 2005 dan pada lokasi penelitian, usahatani padi organik telah dilakukan selama lebih dari 6 musim tanam, sehingga penggunaan pupuk organik telah memberikan manfaat secara nyata pada pertumbuhan tanaman dan pencapaian produktivitas yang jumlahnya menyamai produktivitas padi non organik. Temuan ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Mutakin (2010), Suwantoro (2008), dan Suhartini (2006). Hasil dari ketiga penelitian tersebut menunjukkan bahwa produktivitas padi organik memang lebih rendah pada awal-awal penanaman, namun meningkat pada musim-musim tanam berikutnya. Mutakin (2010) yang melakukan penelitian di Garut, Jawa barat menunjukkan bahwa produktivitas padi organik dengan metode SRI bahkan mencapai 2 kali lipat dibanding produktivitas padi non organik (konvensional) yaitu sekitar 10 ton per hektar gabah kering panen setelah musim tanam kedua. Suwantoro (2008), yang melakukan penelitian di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah juga menunjukkan produktivitas padi organik telah menyamai produktivitas padi non organik setelah musim tanam keempat yaitu sekitar 4 ton/ha. Sementara itu, Suhartini (2006) yang melakukan pengamatan produktivitas dalam 3 musim tanam secara berurutan pada

tahun 2003 – 2004 dan menunjukkan bahwa produksi dan produktivitas` padi organik setiap musim tanam di Kecamatan Sambung Macan dan Sambirejo Kabupaten Sragen, secara nyata atau signifikan lebih tinggi jika dibandingkan dengan padi non organik.

Berdasarkan hasil penelitian ini dan juga beberapa sumber penelitian lain yang telah disebutkan di atas dapat diketahui bahwa produktivitas padi organik tidak berbeda dengan produktivitas padi non organik, dan bahkan dibeberapa kasus produktivitasnya lebih tinggi. Hal ini memberikan gambaran bahwa bahwa seharusnya petani lebih baik menanam padi organik karena mempunyai harga yang lebih baik. Terlebih lagi, jika sarana dan prasarana lingkungan mendukung untuk bertani organik dan petani memiliki kemampuan untuk menjual produk akhir yang dihasilkan berupa beras, tentunya dengan produktivitas yang sama akan meningkatkan penerimaan dan pendapatan petani padi.

Produktivitas yang relatif sama antara antara padi organik dan non organik tersebut juga menunjukkan bahwa kekhawatiran berbagai pihak bahwa pengembangan padi organik akan mengganggu produksi beras nasional tidak sepenuhnya benar. Bahwa dalam jangka pendek antara dua hingga empat musim tanam, produktivitas`padi organik lebih rendah jika dibandingkan dengan padi non organik, memang benar. Namun demikian, dalam jangka menengah dan panjang yaitu lebih dari empat musim tanam, produktivitas padi organik telah mampu menyamai produktivitas padi non organik. Oleh karena itu, pengembangan padi organik akan lebih baik jika dikembangkan pada daerah-daerah yang relatif belum banyak tersentuh program intensifikasi melalui penggunaan pupuk dan pestisida kimia secara intensif. Pada wilayah itu umumnya

produktivitas padi masih relatif rendah dan tanahnya juga relatif belum terkontaminasi oleh pupuk dan pestisida kimia, sehingga potensi organiknya masih relatif besar. Disamping itu, pada wilayah tersebut pada umumnya juga bukan daerah sentra produksi utama beras nasional, sehingga dalam jangka pendek relatif tidak akan berpengaruh terhadap produksi beras nasional. Wilayah tersebut juga dapat mencakup wilayah yang dikategorikan sebagai wilayah-wilayah yang masih relatif baru dalam program pengembangan intensifikasi padi nasional, sehingga produktivitasnya juga relatif belum tinggi.

Pengembangan padi organik yang dilakukan di wilayah-wilayah yang tepat yaitu di wilayah-wilayah belum banyak tersentuh intensifikasi dan juga wilayah yang relatif baru, dimana unsur hara didalam tanah secara organik masih cukup tersedia dan mendapatkan dukungan kelembagaan input produksi, kelembagaan usahatani, kelembagaan pengolahan hasil, kelembagaan pemasaran dan kelembangaan penunjang, serta infrastruktur pendudukungnya sesuai kebutuhan secara baik dan memadai, maka pengembangan padi organik justru akan meningkatkan produksi beras nasional. Harga beras kualitas premium dari beras organik yang lebih tinggi jika dibandingkan beras non organik dengan sendirinya akan menarik petani untuk mengembangkan usahatani padi organik pada lahan-lahan yang semula belum digunakan untuk berproduksi padi menjadi lahan yang digunakan untuk usahatani padi atau menjadi sawah sehingga total produksi nasional akan meningkat. Melalui pola demikian, diduga kuat pemerintah akan lebih menghemat biaya pengembangan ekstensifikasi padi melalui perluasan areal dan pencetakan sawah baru. Areal pertanaman padi atau bahkan sawah baru dapat saja dibangun oleh petani secara mandiri karena melalui

pengembangan program padi organik terdapat insentif harga yang yang lebih tinggi. Penghematan anggaran juga terjadi pada pembiayaan subsidi pupuk kimia, dan bahkan jika diperlukan pupuk kimia dapat saja diekspor untuk memperoleh devisa, sementara kita mengembangan padi organik dengan pupuk dan pestisida organik yang lebih ramah lingkungan.