• Tidak ada hasil yang ditemukan

Berdasarkan ruang lingkup kajian yang dilakukan maka berbagai keterbatasan dalam penelitian ini antara lain adalah:

1. Jenis beras premium yang dianalisis hanya terbatas pada jenis beras organik. Untuk selanjutnya, dalam tulisan ini istilah beras atau gabah premium

merujuk pada beras atau gabah organik, sedangkan istilah beras medium merujuk pada beras non organik. Kajian difokuskan pada beras organik yang dihasilkan oleh kelompok agar berbagai informasi terkait aspek kelembagaan petani dapat digali dengan baik.

2. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih komprehensif tentang pengembangan beras premium, seharusnya kajian juga membahas bagaimana bentuk pengembangan beras organik yang dilakukan oleh swasta atau perusahaan, namun karena kajian ini lebih melihat bagaimana peranan pengembangan beras premium ini dalam rangka peningkatan pendapatan petani dan pengaruh kelembagaan organisasi petani maka sampel diambil pada beras premium yang dihasilkan oleh kelompok petani.

3. Bentuk kerjasama yang dikaji dalam penelitian dibatasi pada bentuk kerjasama yang paling menonjol atau paling efektif yang terjadi di lokasi penelitian, walaupun sebenarnya pola atau bentuk kerjasama atau kemitraan yang ada di lokasi penelitian cukup beragam.

dan selalu menjadi isu utama pembangunan pertanian. Komoditas ini sangat berkaitan erat dengan hajat hidup orang banyak, sehingga berbagai permasalahan yang terkait dengan komoditas ini rawan sekali untuk dipolitisi. Pengalaman di banyak negara termasuk Indonesia, menunjukkan krisis pangan terbukti dapat menjatuhkan pemerintah yang sedang berkuasa (Hardinsyah et al., 1996).

Tantangan berat yang harus dijawab pemerintah terkait dengan perberasan ini adalah bahwa ketika swasembada beras sebagai bagian pemantapan ketahanan pangan ternyata belum menciptakan kesejahteraan pelakunya. Tingkat keuntungan usahatani padi relatif masih kecil sehingga kesejahteraan petani yang terlibat relatif rendah. Sumaryanto (2004) menunjukkan, usahatani padi dengan status garapan milik, rata-rata keuntungan atas biaya tunai pada musim hujan, musim kemarau I, dan musim kemarau II berturut-turut adalah Rp 2.70 juta, Rp 2.60 juta, dan Rp 2.30 juta per hektar. Pada usahatani padi dengan status garapan sewa, keuntungan atas biaya tunai untuk usahatani padi pada musim hujan hanya sekitar Rp 1.00 juta per hektar. Pada musim kemarau I keuntungan menjadi lebih rendah dan bahkan pada musim kemarau II keuntungan kurang dari Rp 500.00 ribu per hektar. Pada persil garapan sakap (bagi hasil), pendapatan usahatani padi lebih tinggi dari usahatani garapan sewa. Pada musim hujan, rata-rata keuntungan atas biaya tunai sekitar Rp 1.15 juta per hektar, sedangkan pada musim kemarau I meningkat menjadi Rp 1.35 juta per hektar.

Berbagai program sebenarnya telah dilakukan pemerintah untuk meningkatkan pendapatan petani padi ini. Perbaikan teknik produksi, subsidi input, perbaikan infrastruktur, dan kelembagaan meskipun secara nyata mampu meningkatkan produksi padi nasional, namun belum secara signifikan mampu mengeluarkan pelaku usahatani padi ini dari kemiskinan. Misalnya dari aspek harga jual gabah, pemerintah telah menetapkan semacam harga dasar untuk mengontrol gejolak harga gabah dan beras ini, bahkan menurut Malian et al. (2003), kebijakan semacam harga dasar tersebut telah ada sejak musim tanam 1969/1970, namun ternyata kebijakan tersebut juga belum banyak membantu kesejahteraan petani. Dengan berbagai keterbatasan yang dimiliki pemerintah terpaksa mencabut unsur-unsur penopang kebijakan harga dasar tersebut sehingga kebijakan tersebut tidak efektif.

Semakin lemahnya peran pemerintah dalam mengontrol harga dasar gabah disadari atau tidak juga terlihat dari perubahan konsep harga dasar gabah (HDG) menjadi harga pembelian pemerintah (HPP). Ada dua hal penting yang perlu dicermati perubahan kebijakan tersebut. Pertama, dengan kebijakan HPP maka pemerintah tidak lagi memiliki kewajiban dan tanggung jawab formal atau yuridis untuk menjamin harga gabah. Pemerintah hanya berjanji akan membeli gabah pada tingkat harga tertentu, bukan menjamin harga gabah minimum di tingkat petani sebagaimana lazimnya pada konsep kebijakan HDG. Kedua, HPP berlaku di gudang Bulog bukan di tingkat petani seperti lazimnya pada kebijakan HDG. Dengan kebijakan HPP tersebut pemerintah tidak wajib membeli gabah dari petani. Bulog yang menjadi lembaga pemerintah pelaksana pembelian gabah hanya pasif menunggu di gudangnya, tidak membeli gabah langsung dari petani.

Dengan demikian HPP yang ditetapkan bukanlah harga dasar gabah yang diterima petani, melainkan harga dasar gabah yang diterima pedagang rekanan Bulog, sehingga secara formal yuridis, kebijakan HDG di tingkat petani sesungguhnya sudah tidak ada lagi. Bulog hanya membeli gabah untuk memenuhi kebutuhannya pada harga sesuai HPP. Bahwa harga gabah anjlok di bawah HPP adalah masalah lain di luar tanggung jawab formal Bulog. Secara formal yuridis argumen ini benar, namun secara moral dan misi keberadaan lembaga argumen tersebut sangat keliru.

Lemahnya kontrol pemerintah terhadap harga dasar gabah di tingkat petani ini dapat dilihat dari fenomena insiden harga gabah di bawah harga dasar yang terus berulang setiap tahun, terutama saat panen raya. BPS (2010b) mencatat, pada tahun 2008 dari observasi yang dilakukan, kasus harga GKG di bawah HPP sebanyak 20.34 persen, GKP di tingkat petani 12.88 persen, dan GKP di tingkat penggilingan sebanyak 13.80 persen.

Uraian-uraian di atas menunjukkan bahwa diperlukan alternatif strategi dalam memecahkan rendahnya pendapatan petani padi. Dengan berbagai keterbatasan yang ada pemerintah kurang efektif dalam mengontrol pasar beras atau gabah, maka pemerintah perlu mendorong terciptanya harga beras yang layak di tingkat petani. Dengan mengembangkan pasar beras kualitas premium, petani akan mempunyai kontrol harga terhadap beras tersebut sehingga meningkatkan posisi tawar petani. Dalam jangka panjang, seiring dengan berkembangnya preferensi masyarakat terhadap kualitas beras, pasar beras yang tersegmentasi ini akan membawa pasar beras kualitas premium ke arah persaingan monopolistik sehingga petani mendapatkan harga yang tinggi dan mampu meningkatkan

pendapatannya. Disisi lain, tingginya harga beras premium akan memberikan tekanan pada pasar beras non premium sehingga harga beras non premium terdorong naik dan pendapatan petani non premium ikut meningkat.