PENGEMBANGAN BERAS KUALITAS PREMIUM SEBAGAI
STRATEGI PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI PADI:
STUDI KASUS PENGEMBANGAN BERAS ORGANIK
DI KABUPATEN KLATEN, JAWA TENGAH
MUHAMMAD SURYADI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ABSTRACT
MUHAMMAD SURYADI. Development of Premium Quality Rice as a Strategy to Increase Rice Farmers’ Income: Case Study on Development of Organic Rice in Klaten Regency, Central Java (M. PARULIAN HUTAGAOL as Chairman and NUNUNG NURYARTONO as Member of the Advisory Committee).
Development of medium quality rice as a homogeneous and generic product on the rice self-sufficiency program leads this rice to the perfect competition market and has not been able to generate rice farmers’ welfare. Development of premium quality rice as a heterogeneous and specific product, and leads this rice to the monopolistic competition market, and believes as an effective policy to generate rice farmers’ welfare. This study aims on evaluating potencies and constraints on development of organic rice as a strategy to increase rice farmers' income with case study on development of organic rice in Klaten Regency, Central Java Province. This study used Cobb Douglass production function and descriptive analysis. Results showed that organic rice productivity and farm income are higher than non-organic rice and almost all of production inputs have significant effect on organic rice production. Development of organic rice has high potencies and also has various constraints including wrong perceptions about organic rice, low financial capability of farmers, scarcity of organics’ fertilizer and pesticide, lack of organic rice processing equipments, low extension and assistance of technology, and weak standards and quality certification system implementation of organic rice. This research concluded that development of organic rice as one of the types of premium quality of rice could be an effective strategy to increase farmers’ income and since organic rice productivity can be equal to the non-organic rice; this will not disturb the rice self-sufficiency program. The government needs to encourage the development of organic rice through increasing the utilization of development potency and handling the various constraints of organic rice development. Government should implement the comprehensive policy especially by increasing the promotion and dissemination of organic rice, providing the capital and improving access of organic rice farmers, improving the ability of farmers in producing organic fertilizers and pesticides, providing post harvesting and equipment organic rice processing, increasing the number of extension workers and intensity of the extension and assistance, providing certification institution, quality assessors, and improving farmers' access to quality certification institution.
RINGKASAN
MUHAMMAD SURYADI.
Pengembangan Beras Kualitas Premium sebagai Strategi Peningkatan Pendapatan Petani Padi: Studi Kasus Pengembangan Beras Organik di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah (M. PARULIAN HUTAGAOL sebagai Ketua dan NUNUNG NURYARTONO sebagai Anggota Komisi Pembimbing).Beras merupakan komoditas pangan pokok terbesar dan merupakan komoditas yang memiliki peran strategis dalam perekonomian Indonesia. Namun dibalik peran strategis beras tersebut, ternyata tantangan pengembangan beras semakin berat. Selain laju pertumbuhan produksi beras yang semakin kecil, usahatani padi ini terbukti belum mampu meningkatkan kesejahteraan petani padi yang terlibat didalamnya. Salah satu penyebab rendahnya pendapatan petani padi adalah masalah pasar atau harga gabah/beras. Saat ini pemerintah lebih terfokus pada pengembangan beras kualitas medium yang bersifat homogen dan generik. Sifat produk tersebut pasar beras yang terjadi cenderung bersifat pasar persaingan sempurna, dimana pada pasar tersebut, posisi tawar petani cenderung rendah. Kondisi tersebut akan berulang terus menerus sehingga pendapatan petani padi tetap akan rendah.
Salah satu cara yang dapat ditempuh untuk meningkatkan pendapatan petani adalah dengan menghasilkan produk yang bersifat tidak generik sehingga dimungkinkan peluang pasar lebih terbuka dan posisi tawar petani menjadi lebih besar, antara lain dengan pengembangan beras kualitas premium. Berbeda dengan negara-negara lain, pada kenyataannya tidak banyak petani yang menghasilkan padi kualitas premium ini dan sampai saat ini untuk memenuhi kebutuhan beras kualitas premium masih dipenuhi dari impor, terutama dari Thailand, China dan India. Persepsi di masyarakat bahwa gabah/beras premium mempunyai produktivitas yang rendah, membutuhkan biaya produksi yang lebih besar, serta sulit dalam memasarkan hasil produksi gabah/beras premium diduga merupakan beberapa hambatan dalam pengembangan beras kualitas ini. Penelitian ini bertujuan untuk (1) menelaah produktivitas dan pendapatan usahatani beras organik sebagai salah satu jenis beras kualitas premium dan beras non organik, (2) menelaah pemasaran dan pola kerjasama atau kemitraan yang dilakukan oleh petani dengan pihak lain dalam pemasaran beras organik sebagai salah satu jenis beras kualitas premium, (3) menelaah hambatan dan peluang bagi petani dalam pengembangan beras organik sebagai salah satu jenis beras kualitas premium beras kualitas premium, dan (4) merumuskan rekomendasi kebijakan pengembangan beras kualitas premium.
pemasaran, digunakan metode snow ball sampling dengan menelusuri pelaku pemasaran yang berkaitan. Dalam penelitian pengembangan beras premium ini, analisis data diawali dengan menelaah faktor-faktor yang berpengaruh pada aspek usahatani padi penghasil beras premium yaitu beras organik dengan menggunakan metode OLS. Pendapatan usahatani padi dihitung dengan analisis pendapatan dan analisis R/C pada kedua kelompok petani, dan untuk melihat aspek pemasarannya dilakukan analisis marjin pemasaran. Analisis kuantitatif tersebut, diharapkan dapat saling melengkapi analisis deskriptif yang dilakukan sehingga rekomendasi kebijakan berkaitan potensi dan hambatan pengembangan beras organik yang akan disusun lebih lengkap.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) produktivitas padi organik lebih tinggi dari padi non organik tetapi tidak berbeda nyata secara statistik, (2) pendapatan petani padi organik lebih tinggi dari petani non organik dan berbeda nyata secara statistik, (3) jumlah benih, pupuk, pestisida, tenaga dalam dan luar keluarga, dan sumber benih secara nyata berpengaruh terhadap produksi padi organik, (4) potensi pengembangan beras organik diantaranya adalah tingginya permintaan pasar, luasnya potensi areal pengembangan, tersedianya benih varietas unggul, berbasis sumberdaya keluarga dan input lokal, memiliki persentase harga yang diterima petani relatif tinggi, memiliki rantai saluran tataniaga yang relatif pendek, dan harga beras organik yang relatif tinggi, (5) kendala pengembangan beras organik diantaranya adalah persepsi yang masih keliru mengenai sistem pertanian organik, lemahnya kemampuan permodalan petani, terbatasnya jumlah pupuk dan pestisida organik, terbatasnya peralatan pengolahan padi menjadi beras organik, kurangnya bimbingan dan penyuluhan, dan lemahnya penerapan standar dan sistem sertifikasi mutu beras organik. Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah bahwa pengembangan beras organik yang merupakan salah satu jenis beras premium dinilai sebagai salah strategi yang tepat dalam rangka peningkatan pendapatan petani padi dan kebijakan pengembangan ini dinilai tidak mengganggu program swasembada beras karena produktivitas padi organik dapat menyamai padi non organik.
Pemerintah perlu mendorong pengembangan padi organik melalui peningkatan pemanfaatan potensi yang tersedia dan mengatasi berbagai kendala yang dihadapi. Alternatif kebijakan yang dapat ditempuh antara lain adalah melakukan peningkatan promosi dan sosialisasi beras organik, menyediakan permodalan dan peningkatan akses petani untuk pengembangan beras organik, meningkatkan kemampuan petani dalam memproduksi pupuk dan pestisida organik, menyediakan alsintan pengolah beras organik, menambah jumlah penyuluh dan meningkatkan intensitas bimbingan dan pendampingan bagi petani, menyediakan lembaga sertifikasi, asesor mutu, serta meningkatkan akses petani terhadap lembaga sertifikasi mutu tersebut. Saran untuk penelitian sejenis adalah kajian lebih diperluas, sehingga potensi-potensi beras premium yang lain dapat diketahui.
© Hak cipta milik IPB, tahun 2011 Hak cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
PENGEMBANGAN BERAS KUALITAS PREMIUM SEBAGAI
STRATEGI PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI PADI:
STUDI KASUS PENGEMBANGAN BERAS ORGANIK
DI KABUPATEN KLATEN, JAWA TENGAH
MUHAMMAD SURYADI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains
pada
Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis:
Dr. Ir. Suharno, M.S.
(Dosen Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian, Bogor)
Penguji Wakil Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian dan Pimpinan Sidang
Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.S.
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT karena hanya dengan
rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian dengan judul “
Pengembangan Beras Kualitas Premium sebagai Strategi Peningkatan
Pendapatan Petani Padi: Studi Kasus Pengembangan Beras Organik di
Kabupaten Klaten, Jawa Tengah” sebagai salah satu syarat guna memperoleh
gelar Magister Sains pada Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini membahas peluang dan hambatan
pengembangan beras premium dalam rangka meningkatkan pendapatan petani
padi.
Penulis mengucapkan terima kasih setinggi-tingginya kepada
Dr. Ir. M. Parulian Hutagaol, M.S. dan Dr. Ir. Nunung Nuryartono, M.S. selaku
ketua dan anggota komisi pembimbing, yang telah mengarahkan dan memberikan
masukan dalam proses penelitian dan penyusunan tesis ini. Terima kasih juga
penulis sampaikan kepada:
1. Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, M.A. selaku koordinator Mayor Ilmu Ekonomi
Pertanian (EPN) dan seluruh staf pengajar yang telah memberikan bimbingan
dan proses pembelajaran selama kuliah di Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian.
2. Dr. Ir. Suharno, M.S., dan Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.S., selaku Penguji Luar
Komisi dan Penguji yang mewakili Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian serta
Pimpinan Sidang pada Ujian Tesis, yang telah memberikan masukan bagi
3. Kepala Badan Litbang Pertanian Kementerian Pertanian dan Kepala Pusat
Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, yang telah memberikan kesempatan
bagi penulis untuk kuliah sekolah pascasarjana, dan rekan-rekan kerja pada
Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijkan Pertanian, terutama Adi Setiyanto,SP,
M.Si. serta Dr. Ir. Sumaryanto, M.S., yang telah memberikan bantuan dan
menumbuhkan semangat untuk menyelesaikan tesis ini.
4. Rekan-rekan Angkatan 2007 Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian IPB dan
rekan-rekan dari mayor lain, atas kebersamaan dan kerjasamanya selama mengikuti
perkuliahan.
5. Seluruh staf Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian (Mbak Ruby, Mbak Yani, Ibu
Kokom, dan Pak Husien) yang senantiasa sabar dan membantu penulis selama
perkuliahan sampai akhir penulis menyelesaikan studi.
6. Kelompok tani “Balak Gumregah”, para responden penelitian ini, serta
pihak-pihak lain yang namanya tidak mungkin kami sebutkan satu per satu yang
telah memberikan informasi yang berguna bagi penyusunan tesis ini.
Secara khusus dan penuh rasa hormat dan cinta, penulis mengucapkan
terima kasih atas segala doa dan dukungan dari Ibunda Sunarni dan Elly darwani,
Ayahanda Suyono, Istriku Vera Atriyani, Gadis kecilku Naila Nur Fadhilah, serta
kakak dan adikku semuanya. Penulis menyadari bahwa tesis ini masih memiliki
kekurangan, namun penulis berharap semoga tesis ini banyak memberikan
manfaat bagi banyak pihak. Terima kasih.
Bogor, September 2011
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Klaten, Jawa Tengah pada tanggal 10 Mei 1973 dari
pasangan Ibu Hj. Sunarni dan Bapak Sumardi Mardi Siswanto (alm). Penulis
merupakan putra kelima dari enam bersaudara.
Pendidikan SD sampai SMTA penulis diselesaikan di Klaten. Penulis
menyelesaikan pendidikan di SMA N I Klaten pada tahun 1991, dan pada tahun
yang sama diterima di Fakultas Pertanian UGM Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian
melalui jalur UMPTN. Penulis dinyatakan lulus dan memperoleh gelar sarjana
pada tahun 2001. Penulis melanjutkan pendidikan magister pada Sekolah
Pascasarjana Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, IPB pada Agustus 2007.
Sejak 31 Desember 2001 sampai sekarang penulis bekerja sebagai peneliti
pada Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian ( pada waktu itu bernama
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian), Badan Penelitian
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ... xvi
DAFTAR GAMBAR ... xviii
DAFTAR LAMPIRAN ... xix
I. PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Perumusan Masalah ... 6
1.3. Tujuan Penelitian... 8
1.4. Hasil yang Diharapkan………. 8
1.5. Manfaat Penelitian ... 9
1.6. Ruang Lingkup Penelitian ... 9
1.7. Keterbatasan Penelitian ... 10
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 12
2.1. Kesejahteraan Petani Padi ………... 12
2.2. Upaya-Upaya Untuk Menghasilkan Beras Kualitas Premium ... 15
2.2.1. Penggunaan Varietas, Perlakukan Budidaya dan Pemilihan Wilayah Pengembangan Secara Tepat …... 15
2.2.2. Kualitas dan Penanganan Pasca Panen ……...……... 18
2.3. Padi atau Beras Organik Sebagai Beras Kualitas Premium …… 20
2.4. Peluang dan Kendala Pengembangan Beras Premium ……….. 22
2.4.1. Areal Pengembangan, Varietas dan Ketersediaan Teknologi………...…… 22
2.4.2. Produktivitas Padi Organik …………. ………... 24
2.4.3. Potensi dan Peluang Pasar padi Organik ……….… 27
2.4.4. Potensi Pengembangan Padi Organik dalam Upaya Peningkatan Pendapatan Petani ………..…. 28
2.4.5. Kendala Pengembangan ……….…. 30
2.5. Hasil-Hasil Penelitian Terdahulu ……….….. 31
2.6.1. Pasar Persaingan Sempurna dan Persaingan
Monopolistik ……….. 35
2.6.2. Pemasaran Produk Pertanian ……….…... 37
III. KERANGKA PEMIKIRAN ……… 39
3.1. Kerangka Analisis ……….. 39
5.3.2. Komposisi Penduduk Menurut Lapangan Usaha Utama. 60 5.3.3. Sarana Ekonomi …………..……….….. 61
5.5. Keadaan Sarana Transportasi………... 69
VI. DESKRIPSI SAMPEL PENELITIAN ……….……… 71
6.1. Profil Petani ……….……….... 71
6.1.1. Komposisi Petani Berdasarkan Umur …………...……… 71
6.1.3. Sumber-Sumber Pendapatan Rumah Tangga Petani …. 73
6.2. Keadaan Umum Pertanian ………..………... 74
6.2.1. Pengelolaan Usahatani ……….……….….. 74
6.2.2. Luas Pemilikan Tanah Garapan ……….….…... 78
VII. ANALISIS EKONOMI BERAS ORGANIK ………..………... 79
7.1. Produktivitas Usahatani Padi Organik ……….. 79
7.2. Analisis Pendapatan Usahatani ………..……….… 84
7.2.1. Analisis Pendapatan Usahatani Padi Organik ………… 84
7.2.2. Analisis Pendapatan Beras Organik ……… 88
7.3. Pemasaran Beras ……….. 90
7.3.1 Struktur dan Perilaku Pasar Beras ……….... 90
7.3.2. Saluran Pemasaran ………..……….…. 94
7.3.3. Margin Pemasaran Beras Organik …………..………….. 99
VIII. PROSPEK DAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN BERAS ORGANIK ……….……….. 101
8.1. Prospek Pengembangan Beras Organik ………. 101
8.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengembangan Beras Organik ……….... 105
8.3. Kendala Pengembangan Beras Organik ……….... 116
8.3.1. Aspek Budidaya……… 117
8.3.2. Aspek Sosial Ekonomi ……….… 119
8.3.3. Aspek Pasca Panen dan Pengolahan Hasil …………..…. 120
8.3.4. Aspek Pemasaran ………. …….… 120
8.3.5. Aspek Kelembagaan ……….… 121
8.4. Kebijakan Pengembangan ………. 122
IX. KESIMPULAN DAN SARAN ……….... 126
9.1. Kesimpulan ……….……….. 126
9.2. Saran ……… 127
DAFTAR PUSTAKA ……… …..… 130
1. Produktivitas Empat Kelompok Varietas Padi dengan Masukan Bahan Organik dan Kimia, Kebun Percobaan Padi Phan, Chiengrai,
Thailand, MH1999-2001 ………..………... 25 2. Perbandingan Produktivitas Delapan Varietas Padi yang Ditanam
Secara Organik, Kimia, dan Tanpa Masukan, Kebun Percobaan Padi Phan, Chiengrai, Thailand, MH 2003……….... 26 3. Perkembangan Penduduk di Kabupaten Klaten Tahun 2004-2008..…. 58 4. Komposisi Penduduk Menurut Umur di Kabupaten Klaten Tahun
2007 ………..…… 59
5. Jumlah Penduduk Berumur 10 Tahun ke Atas Menurut Tingkat
Pendidikan yang Ditamatkan di Kabupaten Klaten Tahun 2008 ……. 60 6. Jumlah Penduduk usia 15 Tahun ke Atas yang Bekerja Menurut
Lapangan Pekerjaan Utama di Kabupaten Klaten Tahun 2008 ……... 61 7. Jumlah Sarana Ekonomi di Kabupaten Klaten Tahun 2007 …………. 62 8. Penggunaan Tanah di Kabupaten Klaten Tahun 2007 ….. ………..… 63 9. Luas Panen, Produktivitas, dan Produksi Tanaman Pangan di
Kabupaten Klaten Tahun 2009 ………. 64 10. Luas Panen, Produktivitas, dan Produksi Tanaman Sayuran di
Kabupaten Klaten Tahun 2008 ………...… 65 11. Luas Panen, Produktivitas, dan Produksi Tanaman Buah-buahan di
Kabupaten Klaten Tahun 2008 ………...….. 66 12. Perkembangan Ternak Besar dan Kecil di Kabupaten Klaten Tahun
2004-2008 ………... 67
13. Perkembangan Jumlah Unggas di Kabupaten Klaten Tahun 2005
-2008 ………. 68
14. Produksi dan Nilai Produksi Perikanan Darat di Kabupaten Klaten
Menurut Tipe Budidaya Tahun 2007-2008 ………..…… 69 15. Panjang Jalan Berdasarkan Jenis Permukaan, Kondisi Jalan, dan
Status Jalan di Kabupaten Klaten Tahun 2008 ………... 69 16. Komposisi Petani Sampel Penelitian Berdasarkam Umur Tahun 2010. 72 17. Komposisi Petani Sampel Penelitian Berdasarkan Tingkat
18. Komposisi Pendapatan Rumah Tangga Pertanian Tahun 2010..…….. 74 19. Komposisi Rumah Tangga Petani Sampel Penelitian yang Memiliki
Ternak Tahun 2010 ………...………... 77 20. Luas Pemilikan dan Garapan Lahan Sawah Petani Sampel
Penelitian Tahun 2010 ……….. 78 21. Rata-rata Produktivitas Padi Organik dan Non Organik pada MH
2009/2010 dan MK 2009 di Lokasi Penelitian ……….... 79 22. Perbandingan Pendapatan Usahatani Padi Organik dan Non Organik
per Hektar pada MH 2009/2010 dan MK 2009 Lokasi Penelitian .…. 86 23. Perbandingan Pendapatan Beras Organik dan Non Organik per
Hektar di Lokasi Penelitian Tahun 2010 ………... 89 24. Analisis Margin Pemasaran Beras Organik di Lokasi Penelitian
Tahun 2010 ... 99 25. Proporsi Persepsi Petani Sebagai Produsen Terkait Peluang dan
Minat untuk Mengembangan Beras Organik di Lokasi Penelitian
Tahun 2010 ………..…. 104 26. Proporsi Persepsi Responden terhadap Faktor Utama yang
Mendorong Pengembangan Beras Organik di Lokasi Penelitian
Tahun 2010………... 106 27. Proporsi Persepsi Responden terhadap Faktor-Faktor Yang
Menghambat Pengembangan Beras Organik di Lokasi Penelitian
Tahun 2010 ……….………..… 109 28. Hasil Analisis Estimasi Fungsi Produksi Padi Organik dan Padi Non
Organik di Lokasi Penelitian, Musim Tanam MK 2009 dan MH
1. Kurva Industri Pasar Persaingan Sempurna ………....……… 36
2. Kondisi Pasar Persaingan Monopolistik Dalam Jangka Panjang …... 37
3. Kerangka Analisis Penelitian ………... 41
4. Pola Pergiliran Tanaman Daerah Sampel Penelitian ……… 75
5. Saluran Pemasaran Beras Organik di Lokasi Penelitian ... 95
1. Data Input Output Produksi Padi Organik Sampel Penelitian … 135
2. Data Input Output Produksi Padi Non Organik Sampel
Penelitian ………. 137
3. Hasil Estimasi Fungsi Produksi Padi Organik ……….. 139
I.
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk yang besar
menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan
pangan. Beras merupakan bahan pangan pokok dan dikonsumsi oleh hampir
seluruh rakyat Indonesia. Dalam kaitannya dengan itu, produksi dan konsumsi
beras selalu menjadi isu sentral pembangunan. Pada tahun 2009 luas panen padi
nasional mencapai 12.88 juta hektar dengan produksi padi 64.40juta ton (BPS,
2010a). Pada tingkat produksi sebesar itu, kebutuhan konsumsi beras nasional
belum juga tercukupi dan hampir setiap tahun impor beras selalu terjadi.
Disamping isu impor yang terjadi setiap tahun, beras senantiasa menjadi
penyumbang inflasi terbesar di Indonesia dari tahun ke tahun. Gejolak harga
beras mempunyai pengaruh yang besar terhadap stabilitas ekonomi, karena
pengeluaran untuk konsumsi beras rumah tangga masyarakat Indonesia sangat besar.
Di sisi lain, produsen beras juga merupakan bagian penduduk terbesar di Indonesia,
sehingga perubahan-perubahan yang terjadi pada harga beras juga akan
mempengaruhi tingkat pendapatan masyarakat secara luas. Sensus Pertanian
2003 menunjukkan usahatani padi masih diusahakan oleh lebih dari 24 juta rumah
tangga, dan dari jumlah tersebut lebih dari 18 juta juta rumah tangga mengelola
usahatani padi sebagai usaha utama dan mereka menggantungkan hidupnya hanya
dari usahatani padi (BPS, 2007). Kondisi-kondisi di atas menunjukkan padi dan
beras memiliki peran yang sangat besar dan strategis bagi perekonomian
Peranan strategis beras menyebabkan pemerintah terus mempertahankan
swasembada beras. Namun dibalik peran strategis beras tersebut, ternyata
tantangan pengembangan beras semakin berat. Selain laju pertumbuhan produksi
beras yang semakin kecil yaitu rata-rata hanya mencapai 0.29 persen per tahun,
sementara konsumsi beras meningkat rata-rata 0.75 persen per tahun (Setiyanto,
2011), usahatani padi ini terbukti belum mampu meningkatkan kesejahteraan
petani padi yang terlibat di dalamnya. Salah satu penyebabnya adalah adanya
permasalahan pasar beras yang tidak menguntungkan petani padi sebagai
produsen beras.
Selama ini arah kebijakan pemerintah lebih tertuju pada pengembangan
beras kualitas medium, dimana jumlah produksi beras untuk memenuhi jumlah
kebutuhan konsumsi menjadi fokus perhatian utama. Arah kebijakan tersebut
menyebabkan sebagian besar beras yang diproduksi masyarakat adalah beras
kualitas medium yang cenderung bersifat homogen dan generik, sehingga
menggerakkan pasar beras menuju ke arah pasar persaingan sempurna. Pada
pasar persaingan sempurna, jumlah produsen beras sangat banyak dengan ukuran
masing-masing produsen beras tersebut relatif kecil dibanding pasar beras itu
sendiri, sehingga masing-masing produsen beras tidak mampu mengontrol harga
beras dan sebagai penerima harga (price taker) dengan posisi tawar yang relatif lemah. Pada pasar semacam ini, pesaing baru dapat masuk dan keluar dengan
bebas, dimana apabila tingkat terdapat keuntungan tinggi, banyak produsen beras
masuk ke pasar dan produsen akan keluar dari pasar beras pada saat keuntungan
turun. Hal ini berarti apabila seorang produsen beras menetapkan harga di atas
3
karena tersedianya subsitusi-subsitusi sempurna atas beras yang diperdagangkan
tersebut. Keterbatasan dalam mengontrol harga inilah yang diduga menyebabkan
petani hanya mendapatkan keuntungan normal (normal profit) dan tidak mendapatkan keuntungan ekonomi (economic profit) yang memadai sehingga pendapatannya rendah.
Berdasarkan kondisi pasar beras tersebut, salah satu cara yang dapat
ditempuh untuk meningkatkan pendapatan petani adalah dengan membuat kondisi
dimana petani mempunyai kontrol harga terhadap produk yang dihasilkan. Cara
tersebut dapat dilakukan bila petani mampu menghasilkan beras kualitas
premium sehingga dengan sifat premium beras tersebut, konsumen rela membayar
dengan harga lebih tinggi.
Beras kualitas premium pada umumnya dicirikan: (1) cita rasa yang tinggi
(warna putih, pulen atau pera) dan kualitas fisik (tekstur) yang baik (kadar
pecahnya maksimal 10 persen), dan (2) dihasilkan dengan proses produksi
tertentu dengan tujuan khusus. Beberapa contoh beras kualitas premium antara
lain adalah Rojolele, Pandan Wangi, Cianjur Kepala, Ramos, IR 64 Kualitas I,
Bunga Lowe Merah, Aroma Indah, Rambutan, Bumiayu, Mentik Wangi, Siam
Unus, Padi Karya, beras organik, dan beras-beras aromatik lain, baik varietas
unggul maupun varietas unggul lokal.
Pada kesempatan ini, penelitian dilakukan pada beras kualitas premium
yang dihasilkan dari budidaya organik atau beras organik. Dasar
pertimbangannya adalah bahwa pada beras kualitas premium yang bukan dari
budidaya organik, umumnya diperoleh dengan cara pengolahan tertentu dan nilai
medium non organik menjadi Beras Kepala, Beras Kualitas I, Beras Kristal dan
Ramos. Pada beras kualitas premium kelompok ini, petani tidak menikmati harga
tinggi, karena para pedagang dan pengolah padi membeli dengan harga padi yang
rendah atau sesuai harga yang berlaku dan selanjutnya mereka mengolah dan
menjual dalam bentuk beras kualitas premium. Berbeda dengan beras organik,
harga dan nilai tambah yang tinggi dimulai dari tingkat usahatani, sehingga petani
organik menerima harga relatif lebih tinggi dibandingkan dengan petani non
organik atau petani biasa.
Strategi pengembangan beras kualitas premium yang berasal dari budidaya
organik dan selanjutnya disebut beras organik ini diduga layak sebagai strategi
untuk meningkatkan pendapatan petani padi. Inisiatif pengembangan beras
organik telah dilakukan petani dan kelompok tani di beberapa Kabupaten di
Indonesia, diantaranya adalah Magelang, Sragen, Boyolali dan Klaten.
Kabupaten Klaten dipilih sebagai lokasi penelitian didasarkan pertimbangan
bahwa Kabupaten Klaten merupakan salah satu dari lima sentra produksi beras
terbesar di Propinsi Jawa Tengah dan merupakan salah satu penghasil beras
kualitas premium yang sudah lama dikenal masyarakat luas. Beras kualitas
premium dari Kabupaten Klaten yang sangat dikenal masyarakat luas adalah
Rojolele. Namun demikian, selain Rojolele, di wilayah ini juga berkembang
varietas lainnya seperti Mentik Wangi, Sintanur, Pandan Wangi dan lain-lain
sehingga wilayah ini berkembang menjadi salah penghasil beras kualitas premium
di Jawa Tengah maupun di Indonesia. Sebagai salah satu kabupaten sentra
produksi beras, wilayah ini memproduksi beras kualitas premium organik dan non
5
pendapatan petani antara yang melakukan melakukan budidaya organik maupun
yang melakukan budidaya non organik atau konvensional. Pada tahun 2009,
dengan luas panen 61 543 hektar, produksi padi di Kabupaten Klaten mencapai
383 930 ton gabah kering giling (GKG) atau setara dengan dengan sekitar 250
000 ton beras, diantara jumlah produksi tersebut sekitar 4.82 persen (sekitar 12
ribu ton) merupakan beras organik dan sekitar 33.92 persen (sekitar 85 ribu
ton) merupakan beras kualitas premium bukan organik.
Pengembangan beras organik di Kabupaten Klaten dimulai sejak tahun
2005. Pengembangan ini diawali sebagai sebuah kesadaran untuk mengatasi
penurunan kualitas tanah yang menurun drastis akibat pola tanam yang dilakukan
masyarakat sangat intensif sehingga unsur organik tanah terkuras terus-menerus,
dan aplikasi pestisida kimia atau anorganik yang berlebihan sehingga tingkat
resistensi organisme pengganggu tanaman meningkat dari tahun ke tahun.
Pengembangan padi organik dipandang sebagai sebuah cara yang tepat untuk
mengembalikan kesuburan lahan pertanian dan meningkatkan pendapatan petani
karena harga beras organik relatif tinggi dan permintaan pasarnya terus
meningkat. Kabupaten Klaten yang secara geografis berada di tengah tiga kota
besar, yaitu Solo, Semarang, dan Yogyakarta memberikan keuntungan tersendiri
bagi pemasaran beras organik. Dalam kenyataannya, produksi beras organik di
wilayah ini terus berkembang sekalipun mengalami pasang surut dan dinamika.
Dengan melakukan penelitian tentang tingkat produktivitas dan pendapatan
usahatani, karakteristik pelaku usahatani dan pemasaran, dan berbagai faktor
pendorong dan penghambat pengembangan beras organik di Kabupaten Klaten
tentang peluang pengembangan beras kualitas premium sebagai strategi
peningkatan pendapatan petani. Meskipun tidak sepenuhnya dapat
menggeneralisasi permasalahan pengembangan beras premium secara nasional,
namun kajian ini sedikit banyak diharapkan mampu mengidentifikasi berbagai
permasalahan utama yang terjadi dalam pengembangan beras kualitas ini.
1.2.Perumusan Masalah
Potensi produksi dan peluang pasar untuk pengembangan kualitas
premium di Indonesia relatif besar, namun pada kenyataannya tidak banyak petani
yang menghasilkan padi kualitas premium ini dan pemerintah belum berminat
untuk memanfaatkan potensi dan peluang tersebut. Padahal, sampai saat ini
volume impor beras kualitas premium Indonesia terutama dari China dan Thailand
masih cukup besar. Data BPS menunjukkan indikasi yang mengkhawatirkan
mengenai perkembangan impor beras premium Indonesia. Pada periode 2004 –
2009, rata-rata jumlah impor beras premium (kategori beras Kepala/Utuh,
Basmati, Japonica, Thom Mali, Parboiled/Kesehatan, Jasmine dan Fargrant)
adalah sekitar 135.39 ribu ton per tahun dan meningkat rata-rata 26.61 persen per
tahun. Mengacu pada angka peningkatan ini, maka dapat diperkirakan impor
beras premium Indonesia akan terus meningkat pesat pada tahun-tahun
mendatang.
Beberapa faktor yang diduga menjadi penyebab petani dan pemerintah
kurang berminat mengembangkan beras kualitas premium, yaitu: (1)
berkembang persepsi di masyarakat bahwa beras kualitas premium mempunyai
produktivitas rendah sehingga pendapatan yang diterima petani rendah, (2)
7
membutuhkan biaya tinggi. (4) saluran pemasaran beras premium terbatas, (5)
pengembangan beras medium mendapatkan dukungan subsidi input dan sarana
prasarana yang besar dari pemerintah, serta (6) pemerintah dan berbagai pihak
sangat khawatir bahwa pengembangan beras kualitas premium akan mengganggu
ketahanan pangan dan swasembada beras.
Berdasarkan studi kasus pengembangan beras organik di Kabupaten
Klaten, Jawa Tengah dalam rangka peningkatan pendapatan petani padi,
penelitian ini diharapkan mampu memberikan pemahaman yang komprehensif
tentang beras premium sehingga mampu menjelaskan dengan baik potensi dan
hambatan pengembangannya, serta memberikan pembuktian yang cukup atas
persepsi yang berkembang di masyarakat. Sehubungan dengan itu, secara
spesifik permasalahan dalam penelitian ini adalah:
1. Benarkah produktivitas padi organik yang menghasilkan beras kualitas
premium lebih rendah dari produktivitas padi kualitas medium?,
2. Apakah tingkat pendapatan usahatani padi organik yang menghasilkan beras
kualitas premium lebih rendah daripada pendapatan usahatani padi non
organik yang menghasilkan beras kualitas medium?,
3. Bagaimanakah pemasaran dan pola kerjasama atau kemitraan yang dilakukan
oleh petani organik dengan pihak lain dalam pemasaran beras organik sebagai
salah satu jenis beras kualitas premium?,
4. Apa hambatan, peluang dan kendala pengembangan beras kualitas premium?
5. Dalam rangka peningkatan pendapatan petani padi, alternatif kebijakan apa
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini sangat diperlukan dalam rangka meningkatkan kesadaran
dan minat pemerintah dan petani untuk mengembangkan beras kualitas premium,
dalam rangka meningkatkan pendapatan petani padi. Petani dan pemerintah
tentunya akan lebih berinisiatif untuk mengembangkan beras organik apabila
sejumlah kekhawatiran yang diuraikan dalam perumusan masalah tersebut
ternyata tidak terbukti. Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji pengembangan
beras kualitas premium sebagai alternatif strategi peningkatan pendapatan petani
padi dengan studi kasus pengembangan beras organik di Kabupaten Klaten, Jawa
Tengah. Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Menelaah produktivitas dan pendapatan usahatani penghasil beras organik
sebagai salah satu jenis beras kualitas premium,
2. Menelaah pemasaran dan pola kerjasama atau kemitraan yang dilakukan oleh
petani dengan pihak lain dalam pemasaran beras organik sebagai salah satu
jenis beras kualitas premium;
3. Menelaah hambatan dan peluang bagi petani dalam pengembangan beras
organik sebagai salah satu jenis beras kualitas premium beras kualitas
premium;
4. Merumuskan bahan rekomendasi kebijakan pengembangan beras kualitas
premium.
1.4. Hasil yang Diharapkan
Hasil atau keluaran yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
1. Hasil telaahan produktivitas dan pendapatan usahatani penghasil beras
9
2. Hasil telaahan pemasaran dan pola kerjasama atau kemitraan yang dilakukan
oleh petani dengan pihak lain dalam pemasaran beras organik sebagai salah
satu jenis beras kualitas premium;
3. Hasil telaahan hambatan dan peluang bagi petani dalam pengembangan beras
organik sebagai salah satu jenis beras kualitas premium beras kualitas
premium;
4. Rumusan alternatif kebijakan pengembangan beras premium
1.5. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat :
1. Bagi pemerintah hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan
pertimbangan untuk mengatasi berbagai permasalahan yang berkaitan
dengan pengembangan beras kualitas premium dalam rangka peningkatan
pendapatan petani padi dan ketahanan pangan.
2. Bagi penulis kegiatan dan hasil penelitian menambah pengetahuan tentang
pengembangan beras kualitas premium sebagai alternatif strategi peningkatan
pendapatan petani padi
3. Bagi masyarakat umum dan kalangan ilmiah hasil penelitian ini dapat
dijadikan sebagai sumber data dan informasi tambahan untuk penelitian yang
sejenis pada bidangnya dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
1.6.Ruang Lingkup Penelitian
Fokus dari penelitian ini adalah untuk merumuskan alternatif kebijakan
petani padi. Jenis beras kualitas premium di lapangan sangat banyak, namun
dengan berbagai pertimbangan, sampel kajian dibatasi pada salah satu jenis beras
premium, yaitu beras organik . Penelitian ini dilakukan pada rumah tangga petani
padi, baik rumah tangga petani yang menanam padi organik beras kualitas
premium maupun kualitas medium. Dengan melakukan analisis usahatani pada
kedua kelompok petani tersebut diharapkan diperoleh gambaran tingkat
produktivitas, tingkat pendapatan dan persepsi lebih lengkap dan seimbang
terhadap pengembangan beras premium.
Analisis data dilakukan dalam kurun waktu yang sama, pada tipe lahan
yang sama, lokasi berdampingan antara lokasi penghasil beras kualitas premium
dan lokasi penghasil beras kualitas medium. Studi kasus lokasi penghasil beras
kualitas premium yaitu beras organik di Kecamatan Cawas, Kabupaten Klaten,
Jawa Tengah. Adapun penghasil beras organik di kecamatan tersebut adalah
Paguyuban Beras Organik “Balak Gumbregah”. Cakupan penelitian ini meliputi
karakteristik rumah tangga petani, faktor-faktor yang mempengaruhi
pengembangan beras kualitas premium, tingkat produktivitas padi organik,
pendapatan usahatani, tingkat harga yang terjadi, dan pola kerjasama yang
dilakukan para petani penghasil beras organik, serta potensi pasar beras kualitas
premium itu sendiri.
1.7. Keterbatasan Penelitian
Berdasarkan ruang lingkup kajian yang dilakukan maka berbagai
keterbatasan dalam penelitian ini antara lain adalah:
1. Jenis beras premium yang dianalisis hanya terbatas pada jenis beras organik.
11
merujuk pada beras atau gabah organik, sedangkan istilah beras medium
merujuk pada beras non organik. Kajian difokuskan pada beras organik yang
dihasilkan oleh kelompok agar berbagai informasi terkait aspek kelembagaan
petani dapat digali dengan baik.
2. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih komprehensif tentang
pengembangan beras premium, seharusnya kajian juga membahas bagaimana
bentuk pengembangan beras organik yang dilakukan oleh swasta atau
perusahaan, namun karena kajian ini lebih melihat bagaimana peranan
pengembangan beras premium ini dalam rangka peningkatan pendapatan
petani dan pengaruh kelembagaan organisasi petani maka sampel diambil
pada beras premium yang dihasilkan oleh kelompok petani.
3. Bentuk kerjasama yang dikaji dalam penelitian dibatasi pada bentuk
kerjasama yang paling menonjol atau paling efektif yang terjadi di lokasi
penelitian, walaupun sebenarnya pola atau bentuk kerjasama atau kemitraan
Beras merupakan komoditas pertanian yang mempunyai peran strategis
dan selalu menjadi isu utama pembangunan pertanian. Komoditas ini sangat
berkaitan erat dengan hajat hidup orang banyak, sehingga berbagai permasalahan
yang terkait dengan komoditas ini rawan sekali untuk dipolitisi. Pengalaman di
banyak negara termasuk Indonesia, menunjukkan krisis pangan terbukti dapat
menjatuhkan pemerintah yang sedang berkuasa (Hardinsyah et al., 1996).
Tantangan berat yang harus dijawab pemerintah terkait dengan perberasan
ini adalah bahwa ketika swasembada beras sebagai bagian pemantapan ketahanan
pangan ternyata belum menciptakan kesejahteraan pelakunya. Tingkat keuntungan
usahatani padi relatif masih kecil sehingga kesejahteraan petani yang terlibat
relatif rendah. Sumaryanto (2004) menunjukkan, usahatani padi dengan status
garapan milik, rata-rata keuntungan atas biaya tunai pada musim hujan, musim
kemarau I, dan musim kemarau II berturut-turut adalah Rp 2.70 juta, Rp 2.60
juta, dan Rp 2.30 juta per hektar. Pada usahatani padi dengan status garapan sewa,
keuntungan atas biaya tunai untuk usahatani padi pada musim hujan hanya sekitar
Rp 1.00 juta per hektar. Pada musim kemarau I keuntungan menjadi lebih rendah
dan bahkan pada musim kemarau II keuntungan kurang dari Rp 500.00 ribu per
hektar. Pada persil garapan sakap (bagi hasil), pendapatan usahatani padi lebih
tinggi dari usahatani garapan sewa. Pada musim hujan, rata-rata keuntungan atas
biaya tunai sekitar Rp 1.15 juta per hektar, sedangkan pada musim kemarau I
13
Berbagai program sebenarnya telah dilakukan pemerintah untuk
meningkatkan pendapatan petani padi ini. Perbaikan teknik produksi, subsidi
input, perbaikan infrastruktur, dan kelembagaan meskipun secara nyata mampu
meningkatkan produksi padi nasional, namun belum secara signifikan mampu
mengeluarkan pelaku usahatani padi ini dari kemiskinan. Misalnya dari aspek
harga jual gabah, pemerintah telah menetapkan semacam harga dasar untuk
mengontrol gejolak harga gabah dan beras ini, bahkan menurut Malian et al. (2003), kebijakan semacam harga dasar tersebut telah ada sejak musim tanam
1969/1970, namun ternyata kebijakan tersebut juga belum banyak membantu
kesejahteraan petani. Dengan berbagai keterbatasan yang dimiliki pemerintah
terpaksa mencabut unsur-unsur penopang kebijakan harga dasar tersebut sehingga
kebijakan tersebut tidak efektif.
Semakin lemahnya peran pemerintah dalam mengontrol harga dasar gabah
disadari atau tidak juga terlihat dari perubahan konsep harga dasar gabah (HDG)
menjadi harga pembelian pemerintah (HPP). Ada dua hal penting yang perlu
dicermati perubahan kebijakan tersebut. Pertama, dengan kebijakan HPP maka
pemerintah tidak lagi memiliki kewajiban dan tanggung jawab formal atau yuridis
untuk menjamin harga gabah. Pemerintah hanya berjanji akan membeli gabah
pada tingkat harga tertentu, bukan menjamin harga gabah minimum di tingkat
petani sebagaimana lazimnya pada konsep kebijakan HDG. Kedua, HPP berlaku
di gudang Bulog bukan di tingkat petani seperti lazimnya pada kebijakan HDG.
Dengan kebijakan HPP tersebut pemerintah tidak wajib membeli gabah dari
petani. Bulog yang menjadi lembaga pemerintah pelaksana pembelian gabah
Dengan demikian HPP yang ditetapkan bukanlah harga dasar gabah yang diterima
petani, melainkan harga dasar gabah yang diterima pedagang rekanan Bulog,
sehingga secara formal yuridis, kebijakan HDG di tingkat petani sesungguhnya
sudah tidak ada lagi. Bulog hanya membeli gabah untuk memenuhi kebutuhannya
pada harga sesuai HPP. Bahwa harga gabah anjlok di bawah HPP adalah masalah
lain di luar tanggung jawab formal Bulog. Secara formal yuridis argumen ini
benar, namun secara moral dan misi keberadaan lembaga argumen tersebut sangat
keliru.
Lemahnya kontrol pemerintah terhadap harga dasar gabah di tingkat petani
ini dapat dilihat dari fenomena insiden harga gabah di bawah harga dasar yang
terus berulang setiap tahun, terutama saat panen raya. BPS (2010b) mencatat,
pada tahun 2008 dari observasi yang dilakukan, kasus harga GKG di bawah HPP
sebanyak 20.34 persen, GKP di tingkat petani 12.88 persen, dan GKP di tingkat
penggilingan sebanyak 13.80 persen.
Uraian-uraian di atas menunjukkan bahwa diperlukan alternatif strategi
dalam memecahkan rendahnya pendapatan petani padi. Dengan berbagai
keterbatasan yang ada pemerintah kurang efektif dalam mengontrol pasar beras
atau gabah, maka pemerintah perlu mendorong terciptanya harga beras yang layak
di tingkat petani. Dengan mengembangkan pasar beras kualitas premium, petani
akan mempunyai kontrol harga terhadap beras tersebut sehingga meningkatkan
posisi tawar petani. Dalam jangka panjang, seiring dengan berkembangnya
preferensi masyarakat terhadap kualitas beras, pasar beras yang tersegmentasi ini
akan membawa pasar beras kualitas premium ke arah persaingan monopolistik
15
pendapatannya. Disisi lain, tingginya harga beras premium akan memberikan
tekanan pada pasar beras non premium sehingga harga beras non premium
terdorong naik dan pendapatan petani non premium ikut meningkat.
2.1. Upaya-upaya untuk Menghasilkan Beras Kualitas Premium.
Pengembangan beras kualitas premium dapat dilakukan melalui berbagai
upaya, antara lain (1) penggunaan varietas, perlakukan budidaya dan pemilihan
wilayah pengembangan, dan (2) penanganan pasca panen. Upaya penggunaan
varietas, perlakuan budidaya dan wilayah pengembangan, dalam pengembangan
beras kualitas premium dapat dilakukan melalui praktek pertanian yang baik
(Good Agricultural Practice atau GAP) yang secara langsung diarahkan pada sistem pertanian organik. Sedangkan penanganan pasca panen diarahkan pada
perbaikan penanganan pasca panen untuk menghasilkan beras dengan kualitas
tinggi.
2.2.1. Penggunaan Varietas, Perlakukan Budidaya dan Pemilihan Wilayah Pengembangan Secara Tepat
Salah satu upaya menghasilkan beras premium dengan penggunaan
varietas, perlakuan budidaya dan pemilihan wilayah pengembangan secara tepat
dapat dilakukan melalui pengembangan sistem pertanian organik. Dalam
prakteknya, pertanian organik dilakukan dengan cara, antara lain (1) menghindari
penggunaan bibit/benih hasil rekayasa genetika, (2) menghindari penggunaan
pestisida kimia sintetis, (3) pengendalian gulma, hama dan penyakit dilakukan
dengan cara mekanis, biologis dan rotasi tanaman, (4) menghindari
penggunaan zat pengatur tumbuh dan pupuk kimia sintetis, (5) kesuburan dan
tanaman, pupuk kandang, dan batuan mineral alami, serta penanaman legume dan rotasi tanaman, dan (6) menghindari penggunaan hormon tumbuh dan bahan
aditif sintetis dalam makanan ternak
Berdasarkan praktek pertanian organik tersebut di atas, dari aspek varietas
maka pengembangan padi organik pada umumnya menggunakan varietas-varietas
unggul lokal yang mempunyai produktivitas sedang sampai rendah, namun
mempunyai cita rasa yang tinggi. Rendahnya produktivitas padi organik selain
dipengaruhi oleh varietas, juga sangat dipengaruhi oleh perlakuan budidaya yang
dilakukan. Padi organik pada umumnya ditangani secara tradisional dan tidak
memakai bahan-bahan anorganik untuk merangsang pertumbuhan dan
produksinya.
Dengan kondisi tersebut maka dari perspektif wilayah dan ketahanan
pangan, pengembangan beras kualitas premium harus dilakukan secara bertahap
dan hati-hati. Pengembangan tersebut sebaiknya dilakukan pada daerah-daerah
yang bukan merupakan wilayah sentra produksi beras. Pada wilayah sentra beras,
sejak tahun 1960-an telah dibudidayakan varietas unggul yang memiliki
respons tinggi terhadap masukan berupa pupuk kimia, hama dan penyakit utama
dikendalikan secara kimiawi atau dengan ketahanan varietas, ditanam secara
monokultur, tersedia insentif berupa subsidi dan dukungan dengan sistem
irigasi yang baik. Pengembangan beras premium melalui pengembangan
pertanian organik di wilayah sentra padi bila tidak dilakukan dengan hati-hati
dikhawatirkan dapat mengancam kemampuan produksi dan ketahanan pangan
nasional. Seperti dikemukakan oleh Syam (2008) bahwa upaya peningkatan
17
terpisah dengan pengembangan padi organik, artinya peningkatan produksi padi
nasional tidak dapat hanya mengandalkan bahan organik sebagai masukan, karena
selain karena kandungan haranya rendah, bersifat ruah (bulky) dan kurang ekonomis juga akan berdampak terhadap penurunan produksi, minimal pada
tahun-tahun awal implementasi.
Pengembangan beras kualitas premium perlu diarahkan pada
daerah-daerah yang bukan merupakan daerah-daerah sentra produksi padi. Wilayah-wilayah
tersebut pada umumnya masih belum banyak disentuh oleh teknologi produksi
padi konvensional (intensif) dan belum banyak berkembang baik dari sisi
infrastruktur maupun kelembagaannya. Meskipun pengembangan beras
membutuhkan energi yang besar, namun potensi pengembangannya relatif besar.
Baik di Jawa maupun di luar Jawa (Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua)
masih cukup luas potensi pengembangan padi organik, terlebih lagi jika
pengembangan padi premium tersebut mengedepankan pemberdayaan kearifan
lokal. Kearifan lokal seperti sosial budaya dan adat istiadat setempat dan indikasi
geografis, yang selama ini masih membudidayakan padi secara tradisional dapat
berpotensi untuk dijadikan branded bagi pengembangan beras kualitas premium. Tentunya dari sudut sosial ekonomi, jika wilayah tersebut yang dipilih, maka
perbedaan karakteristik antara beras premium dan medium sangat berpengaruh
terhadap pengembangan kedua jenis beras tersebut. Karakteristik beras tersebut
mempengaruhi produksi dan produktivitas, harga beras/gabah, dan pendapatan
2.2.2. Kualitas dan Penanganan Pasca Panen
Selain dari varietas, teknik budidaya dan areal pengembangan, beras
kualitas premium dapat dihasilkan melalui perbaikan kualitas dan penanganan
pasca panen. Pengolahan padi menjadi beras yang siap dikonsumsi harus melalui
beberapa proses pasca panen, yaitu: perontokan, pengangkutan, pengeringan,
penyimpanan sementara, penggilingan, penyimpanan, pengangkutan dan
pengemasan. Setiap proses tersebut, jumlah dan tingkat teknologinya berkembang
seiring dengan perkembangan produktivitas padi di Indonesia. Namun disadari
bahwa perkembangan teknologi pengolahan padi di Indonesia tidak seperti halnya
di negara-negara produsen beras di Asia, misalnya Thailand, Jepang, China dan
Vietnam. Pengolahan padi di Indonesia masih menggunakan teknologi yang
relatif sederhana. Sebagai akibatnya, beras yang dihasilkan memiliki kualitas dan
rendemen beras yang lebih rendah. Selain itu produk samping berupa beras patah,
menir, dedak dan sekam belum mendapat perhatian yang serius sehingga nilai
tambah yang dapat diperoleh dari pemanfaatan hasil samping dari pengolahan
padi di Indonesia belum maksimal.
Dalam rangka pengembangan beras premium dipandang sangat perlu
dilakukan perbaikan rendemen dan mutu beras antara lain melalui perbaikan pada
setiap tahapan proses pasca panen tersebut. Proses pasca panen yang baik akan
menghasilkan beras yang mempunyai cita rasa tinggi, tingkat patahan yang
rendah, putih, cemerlang, namun tetap mempunyai nilai gizi yang tinggi sehingga
layak sebagai beras premium.
Proses pengeringan perlu mendapat perhatian dalam rangka menghasilkan
beras premium. Proses penjemuran gabah dapat menghasilkan beras giling
19
dan dilakukan pembalikan setiap 2 jam. Cara ini menghasilkan rendemen beras
57-60 persen dengan kandungan beras kepala 84 persen (Islam et al., 2003; Thahir
dan Santosa, 1978; Soetoyo dan Sumardi, 1980).
Perbaikan sistem penggilingan padi juga menjadi faktor penting dalam
penanganan pasca panen, karena penggilingan padi menjadi muara antara
produksi, pengolahan primer, dan pemasaran beras. Bahkan pada proses ini, nilai
tambah dari gabah ke beras giling mencapai 400-600 persen (Rachmat et al., 2006). Perbaikan sistem penggilingan padi dapat dilakukan antara lain dengan
perbaikan teknik penyosohan dengan mengombinasikan sistem aberasif dan
friksi serta sistem penyosohan bertahap. Kombinasi sistem aberasif dan friksi
meningkatkan volume beras kepala menjadi 86 persen dan menekan jumlah
beras patah menjadi 13 persen (Thahir, 1996; Setiawati 1999; van Ruiten 1981;
Sudaryono et al., 2005). Penggunaan nozzle pengabut pada penyosohan dengan pelembutan aleuron dapat digunakan untuk perbaikan mutu beras giling. Melalui
sistem pengabut, perlakuan pengayaan mutu (fortifikasi) dapat diberikan
terhadap beras giling untuk menghasilkan beras kepala beraroma tertentu, seperti
aroma varietas Pandanwangi atau dimanfaatkan untuk fortifikasi bahan pangan
fungsional, seperti unsur yodium untuk pencegahan gondok (Lubis et al., 2007). Berdasarkan uraian penanganan pasca panen tersebut di atas dapat
disimpulkan bahwa ketersediaan teknologi dan tingkat pengetahuan pasca panen
untuk menghasilkan beras premium dalam negeri sebenarnya telah cukup tersedia,
namun belum dimanfaatkan dengan baik, terutama karena ongkos produksinya
2.3. Padi atau Beras Organik sebagai Beras Kualitas Premium
Padi atau beras organik adalah padi atau beras yang dihasilkan dari
pertanian organik. Pertanian organik di banyak tempat dikenal dengan istilah yang
berbeda- beda. Ada yang menyebut sebagai pertanian lestari, pertanian ramah
lingkungan, dan sistem pertanian berkelanjutan. Sutanto (2002) mendefinisikan
pertanian organik sebagai suatu sistem produksi pertanian yang berasaskan daur
ulang secara hayati. Menurut para pakar pertanian Barat, sistem pertanian organik
merupakan ”hukum pengembalian (law of return)” yang berarti suatu sistem yang berusaha untuk mengembalikan semua jenis bahan organik ke dalam tanah,
baik dalam bentuk residu dan limbah pertanaman maupun ternak yang selanjutnya
bertujuan memberikan makanan pada tanaman. Filosofi yang melandasi pertanian
organik adalah mengembangkan prinsip-prinsip memberikan makanan pada tanah
yang selanjutnya tanah menyediakan makanan untuk tanaman ( feeding the soil that feeds the plants) dan bukan memberi makanan langsung pada tanaman. Sistem pertanian organik adalah sistem produksi holistis dan terpadu,
mengoptimalkan kesehatan dan produktivitas agroekosistem secara alami serta
mampu menghasilkan pangan dan serat yang cukup, berkualitas dan
berkelanjutan.
Menurut International Federation of Organic Agriculture Movement
(IFOAM), pertanian organik merupakan suatu pendekatan sistem yang utuh
berdasarkan satu perangkat proses yang menghasilkan ekosistem yang
21
yang mendukung dan mempercepat biodiversity, siklus biologi dan aktivitas biologi tanah.
Adapun tujuan pengembangan padi organik adalah (1) meningkatkan
pendapatan petani padi karena adanya efisiensi pemanfaatan sumberdaya dan
nilai tambah produk, (2) menciptakan lingkungan kerja yang aman dan sehat bagi
petani padi, (3) meminimalkan semua bentuk polusi yang dihasilkan dari kegiatan
pertanian padi, (4) menjaga dan meningkatkan produktivitas lahan pertanian
padi dalam jangka panjang, serta memelihara kelestarian sumberdaya alam dan
lingkungan, (5) menciptakan lapangan kerja baru dan keharmonisan sosial
pedesaan, dan (6) menghasilkan pangan berupa beras yang cukup aman,
berkualitas sehingga meningkatkan kesehatan masyarakat dan sekaligus
meningkatkan daya saing produk agrobisnis padi.
Syam (2008) menyebutkan bahwa sampai saat ini Thailand dikenal
sebagai negara yang paling banyak memasok padi dan beras organik untuk pasar
tertentu di Uni Eropa. Harga beras organik jauh lebih mahal daripada beras biasa
disebabkan oleh keyakinan segolongan masyarakat bahwa beras organik baik
untuk kesehatan karena bebas dari bahan kimia toksin yang kemungkinan besar
berasal dari pestisida dan pupuk kimia.
Perkembangan pertanian padi organik di Indonesia tidak dapat dipisahkan
dari perkembangan pertanian organik dunia, bahkan dapat dikatakan pemicu
utama pertanian organik domestik adalah karena tingginya permintaan pertanian
organik di negara-negara maju. Menurut Hamm (2000) dalam Agus, et al. (2006), tingginya permintaan pertanian organik di negara-negara maju dipicu oleh (1)
dukungan kebijakan pemerintah nasional, (3) dukungan industri pengolahan
pangan, (4) dukungan pasar non konvensional (supermarket menyerap 50%
produk pertanian organik), (5) adanya harga premium di tingkat konsumen, (6)
adanya label generik, dan (7) adanya kampanye nasional pertanian organik secara
gencar.
Kelangkaan barang dalam ilmu ekonomi akan diikuti dengan kenaikan
harga. Produk pertanian organik sekarang menjadi produk tergolong masih langka
dan eksotis yang banyak dicari, terutama di negara-negara maju. Adanya
kelangkaan barang dibandingkan dengan banyaknya permintaan menyebabkan
nilai jual ekonomis produk pertanian organik termasuk diantaranya beras organik
ikut naik. Adanya keraguan bahwa pertanian organik tidak menguntungkan secara
ekonomis, dapat direntas dengan adanya premium price di tingkat konsumen. Berlakunya premium price bagi beras organik ini menyebabkan beras organik dikenal sebagai beras premium. Saat ini, telah mulai bermunculan pengusaha
pertanian organik skala besar di Indonesia. Bahkan tidak sedikit yang merupakan
pemain asing seperti Forest Trade (Amerika) di Sumatera dan Maharishi Global Trading (Belanda) di Sulawesi.
2.4. Peluang dan Kendala Pengembangan Beras Premium
2.4.1. Areal Pengembangan, Varietas dan Ketersediaan Teknologi
Peluang pengembangan padi organik masih sangat luas. Pada lahan Sawah
non rawa pasang surut terdapat seluas 13.26 juta hektar lahan yang sesuai untuk
dikembangkan padi. Dari 13.26 juta hektar lahan sawah yang ada, baru 6.86 juta
hektar yang dimanfaatkan. Pengembangan padi organik di lahan rawa dan
23
untuk sawah sekitar seluas 1.00 juta hektar. Peluang pengembangan padi organik
di lahan kering juga relatif besar, yaitu mencapai 25.33 juta hektar.
Sejak dicanangkan pengembangannya pada tahun 2001, pengembangan
padi organik sebagai salah satu kategori beras premium mengalami perkembangan
yang sangat pesat. Lembaga Penelitian, baik Perguruan Tinggi, Badan Litbang
Pertanian dan juga Lembaga Swasta atau Lembaga Swadaya Masyarakat telah
banyak melakukan dan menghasilkan berbagai terobosan peningkatan
produktivitas padi dengan sistem budidaya organik. Disamping penggunaan
varietas unggul berdaya hasil tinggi, berbagai paket komponen teknologi
perbenihan dan budidaya yang mendukung pengembangan beras organik maupun
beras kualitas premium telah dikembangkan seperti diantaranya Pengelolaan
Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT), Sistem Integrasi Padi-Ternak (SIPT),
System of Rice Intensification (SRI) dan pengembangan peralatan dan pengolahan pasca panen mulai dari perontokkan, pengeringan, penggilingan, penyosohan,
pengayaan atau penyaringan untuk pemisahan beras kepala dan menir hingga
teknologi pengemasan dan penyimpanan.
Dari segi varietas, selain varietas unggul lokal seperti Pandan Wangi,
Rojo Lele, Mentik Wangi dan Siam Unus, banyak varietas unggul yang sesuai
untuk lahan sawah irigasi, lahan tadah hujan, lahan pasang surut dan lahan kering
atau padi gogo telah banyak dilepas dan dihasilkan. Sementara itu, dilihat dari sisi
perbaikan teknologi, teknologi pengolahan primer (pengeringan, penyimpanan
dan penggilingan), alat dan mesin pengolahan, standarisasi mutu produk,
informasi pasar, dan pengaturan tata niaga (pengendalian atau pengaturan impor,
sekalipun dalam penerapannya masih belum sesuai harapan. Dalam upaya
peningkatan nilai tambah beras dikembangkan pula teknologi agroindustri
pengolahan melalui Sistem Manajemen Mutu (SMM) dan Stratifikasi Mutu serta
perbaikan sistem promosi.
2.4.2. Produktivitas Padi Organik
Salah satu hambatan pengembangan beras premium adalah berkembang
persepsi bahwa pengembangan budidaya padi organik memiliki produktivitas
yang rendah. Hal ini disebabkan lambatnya penyediaan hara makro bagi tanaman
dalam waktu yang cepat dan dalam jumlah yang cukup, terutama bagi varietas
unggul baru yang berpotensi hasil tinggi (Fagi dan Las, 2007). Beberapa hasil
penelitian menunjukkan produktivitas padi organik lebih rendah dibanding non
organik, namun beberapa penelitian yang lain menunjukkan produktivitas padi
organik dibanding non organik tidak banyak berbeda, bahkan produktivitasnya
semakin meningkat seiring perbaikan unsur hara dalam tanah. Hasil penelitian
tersebut menunjukkan persepsi bahwa produktivitas padi organik selalu rendah
tidak sepenuhnya benar, produktivitas tersebut sangat tergantung kondisi
lingkungan tumbuh dan varietas padi.
Hasil penelitian di Thailand terhadap uji varietas selama tiga tahun
(1999-2001) di kebun percobaan Phan, Chiengrai, menunjukkan bahwa beberapa
varietas cocok dikembangkan sebagai padi organik, sementara varietas yang lain
cocok dikembangkan sebagai padi non organik (Tabel 1). Varietas lokal aromatik
yang peka terhadap foto periodisitas lebih cocok dikembangkan sebagai padi
organik, varietas lainnya dari golongan Indika yang terdiri atas varietas unggul
25
fotoperiodisitas memberikan hasil yang lebih rendah bila ditanam sebagai padi
organik.
Tabel 1. Produktivitas Empat Kelompok Varietas Padi dengan Masukan Bahan Organik dan Kimia, Kebun Percobaan Padi Phan, Chiengrai, Thailand, MH 1999-2001
Kelompok varietas no. 1, 2, dan 3 adalah golongan padi Indika; Cbd-organik = cara budi daya menggunakan pupuk organik; Cbd-kimia = cara budi daya menggunakan pupuk kimia Sumber: Varinruk (2005) dalam Syam (2008)
.
Dalam kajian lainnya, produktivitas beberapa varietas yang ditanam
dengan menggunakan masukan kimia, pupuk organik, dan tanpa masukan
menunjukkan bahwa varietas unggul (yaitu varietas Suphan Buri) juga mampu
memberikan hasil yang tetap tinggi meski dikelola secara organik (Tabel 2),
sehingga persepsi masyarakat salah jika berpendapatn bahwa varietas padi
organik selalu merupakan varietas tidak unggul.
Kajian lain tentang produktivitas padi organik dilakukan oleh Hapsari
(2006). Penelitian Hapsari di Kabupaten Ngawi, Jawa Timur menunjukkan
ton per hektar, sedangkan pada pertanian konvensional sebesar 6.40 ton per
hektar, artinya produktivitas pertanian organik lebih rendah. Kesimpulan berbeda
diperoleh Mutakin (2010) yang melakukan penelitian di Garut, Jawa Barat
terhadap varietas padi unggul dan Suwantoro (2008) yang melakukan penelitian di
Magelang, Jawa Tengah dengan varietas lokal Mentik Wangi, keduanya
menunjukkan bahwa produktivitas padi organik pada musim tanam pertama lebih
rendah dari padi konvesional, namun pada musim berikutnya menunjukkan
peningkatan hingga menyamai pada musim tanam ke empat dan setelah itu
produktivitas padi lebih tinggi dari produktivitas padi konvensional. Perbaikan
produktivitas antar musim padi organik juga ditunjukkan oleh Suhartini (2006)
yang melakukan pengamatan produktivitas dalam 3 musim tanam tahun 2003 –
2004 dan menunjukkan bahwa produksi dan produktivitas` padi organik setiap
musim tanam di Kecamatan Sambung Macan dan Sambirejo Kabupaten Sragen,
secara signifikan lebih tinggi jika dibandingkan dengan padi non organik.
Tabel 2. Perbandingan Produktivitas Delapan Varietas Padi yang Ditanam Secara Organik, Kimia, dan Tanpa Masukan, Kebun Percobaan Padi Phan, Chiengrai, MH 2003
27
2.4.3. Potensi dan Peluang Pasar Padi Organik
Memasuki abad ke-21, gaya hidup sehat dengan slogan “Back to Nature”
telah menjadi tren baru masyarakat dunia. Masyarakat dunia semakin menyadari
bahwa penggunaan bahan kimia anorganik seperti: pupuk anorganik, pestisida
anorganik, dan hormon tumbuh dalam produksi pertanian berdampak negatif
terhadap kesehatan manusia dan lingkungan. Akibatnya, masyarakat semakin
selektif dalam memilih pangan yang aman bagi kesehatan dan ramah lingkungan.
Pangan yang sehat dan bergizi tinggi dapat diproduksi dengan teknologi pertanian
organik (Deptan, 2005). Pertumbuhan permintaan pertanian organik dunia
mencapai 15-20 persen per tahun, namun pangsa pasar yang mampu dipenuhi
hanya berkisar antara 0.5-2 persen dari keseluruhan produk pertanian. Meskipun
di Eropa penambahan luas areal pertanian organik terus meningkat dari rata-rata
di bawah 1 persen (dari total lahan pertanian) pada tahun 1987, menjadi 2-7
persen di tahun 1997, namun tetap saja belum mampu memenuhi pesatnya
permintaan (Jolly, 2000 dalam Agus et al., 2006). Inilah kemudian yang memacu permintaan produk pertanian organik dari negara-negara berkembang, termasuk
Indonesia. Menurut Internasional Federation Organik Agriculture Movement
(IFOAM), Indonesia baru memanfaatkan 40 000 hektar (0.09 persen) lahan
pertaniannya untuk pertanian organik, sehingga masih diperlukan
berbagai program yang saling sinergis untuk menjadikan Indonesia sebagai
salah satu negara produsen organik di dunia. Berdasarkan luas penggunaan lahan,
Indonesia merupakan negara ketiga di Asia dalam pengembangan pertanian
Padi merupakan salah satu komoditas tanaman pangan yang prospektif
untuk dikembangkan secara organik karena permintaan beras organik baik dalam
negeri maupun luar negeri terus meningkat. Dewasa ini pertanian padi organik
telah menjadi kebijakan pertanian unggulan di beberapa kabupaten seperti:
Sragen, Klaten, Magelang, Sleman, dan Bogor. Kebijakan ini didasarkan oleh (1)
padi organik hanya memakai pupuk dan pestisida organik sehingga mampu
melestarikan lingkungan hidup, (2) beras organik lebih sehat karena tidak
menggunakan pupuk dan pestisida anorganik sehingga aman dan sehat untuk
dikonsumsi, dan (3) segmen pasar beras organik umumnya merupakan
masyarakat kelas menengah ke atas sehingga harga jualnya lebih mahal
daripada beras anorganik
2.4.4. Potensi Pengembangan Padi Organik Dalam Upaya Peningkatan Pendapatan Petani
Pengembangan padi organik juga berpotensi meningkatkan pendapatan
petani terutama karena: (1) penerapan padi organik memungkinkan petani
menghemat biaya operasional karena petani mampu mencukupi dan
mengolahnya sendiri sarana produksi pertanian yang digunakan, dan (2) karena
sifat premium padi organik, harga padi atau beras yang dihasilkan lebih mahal
sehingga pendapatan yang diterima petani lebih besar.
Penelitian yang telah dilakukan oleh Marhamah (2007) di Situgede, Kota
Bogor dapat diketahui bahwa biaya yang dikeluarkan oleh petani anorganik untuk
membeli pupuk anorganik mencapai Rp 905 170 per musim per hektar.
Sedangkan biaya yang dikeluarkan oleh petani organik untuk membeli
29
terdapat selisih biaya sebesar Rp 232 587. Menurut Mutakin (2010) keuntungan
usahatani konvensional pada kasus Kabupaten Garut adalah Rp 5 175 000 per
hektar, sedangkan dengan menggunakan budidaya organik metode SRI mencapai
Rp 14 145 000 per hektar. Hasil penelitian Junaidi (2008) di Desa Sumber
Ngepoh Kecamatan Lawang Kabupaten Malang menunjukkan penerimaan
usahatani padi organik sebesar Rp 17 930 629.63 per hektar. Dari hasil penelitian
di Desa Sumber Ngepoh diketahui bahwa R/C rasio = 3.70, karena R/C rasio
lebih dari 1 (satu) maka usahatani padi organik efisien untuk diusahakan.
Pendapatan usahatani padi organik sebesar Rp 12 991 787.04 per hektar. Alasan
petani tetap berusahatani padi organik adalah biaya usaha yang relatif kecil
sedangkan pendapatannya cukup besar.
Penelitian Hapsari (2006) di Kabupaten Ngawi menunjukkan pada
pengujian biaya sarana produksi menunjukkan bahwa biaya sarana produksi
rata-rata pada pertanian padi organik sebesar Rp 1 540 568 per hektar, sedangkan pada
pertanian padi konvensional sebesar Rp 2 108 854.43 per hektar dan secara
statistik tidak berbeda nyata. Pendapatan rata-rata pada pertanian organik sebesar
Rp 5 496 178 per hektar, sedangkan pendapatan rata-rata pada pertanian
konvensional sebesar Rp 3 669 938 per hektar, hasil analisis menunjukkan bahwa
pendapatan rata-rata pertanian padi organik besar dari pada pertanian
konvensional. Beberapa hasil penelitian tersebut sejalan dengan hasil penelitian
Wijayanti (2005) di Kabupaten Sleman yang menunjukkan bahwa usahatani padi
organik memberikan manfaat ekonomi sebesar 235 persen, berupa peningkatan
2.4.5. Kendala Pengembangan
Berdasarkan perkembangan pertanian organik pada periode 2001-2007,
tahapan pengembangan yang telah direncanakan tidak sepenuhnya terlaksana
dengan baik. Hal ini disebabkan timbulnya permasalahan dalam budidaya, sarana
produksi, pengolahan hasil, pemasaran, sumberdaya manusia, kelembagaan, dan
regulasi (Deptan, 2007b). Menurut Suwantoro (2008), pengembangan pertanian
organik yang selama ini masih sulit dilakukan karena berbagai kendala sebagai
berikut: (1) pertanian organik dipandang sebagai sistem pertanian yang
merepotkan, (2) keterampilan petani masih kurang, (3) persepsi yang berbeda
mengenai hasil, (4) petani mengalami saat kritis karena biasanya terjadia
penurunan pada masa awal dimulainya budidaya organik, (5) lahan pertanian
organik belum terlindungi, (6) pembangunan pertanian belum terintegrasi dengan
pembangunan peternakan, (7) kegagalan menjaga kepercayaan pasar, dan (8)
dukungan pemerintah masih kurang.
Berbagai kendala yang dihadapi dalam pengembangan pertanian organik
di Kabupaten Magelang menurut Mawarni (2008), diidentifikasi adanya hal-hal
sebagai berikut : (1) kesulitan dalam pemasaran dan mendapatkan sertifikasi, (2)
kurang mampu memelihara kepercayaan pasar, misalnya beras organik
dicampur dengan beras anorganik untuk mengejar keuntungan yang tinggi, (3)
belum mampu menjaga ketersediaan produk pertanian organik sesuai dengan
permintaan pasar, (4) banyak petani sistem konvensional masih
meragukan keberhasilan dari pertanian organik, (5) kurangnya pengalaman
dalam mengusahakan pertanian organik, dan (6) turunnya minat generasi muda