BAB IV INTERPRETASI DATA
4.5 Peran Informan Orang Tua
4.5.1 Analisis Peran Orang Tua dan Tindakan Sosial Informan 111
Peneliti melihat setelah proses awalnya mengetahui anak autisnya yang mencakup respon dan interaksi sosialnya maka selanjutnya peneliti menganalisis peran dan tindakan sosial orang tua di dapat dari semua proses di atas. Dalam hal ini, tindakan sosial berupa memberikan terapi menjadi langkah dan tindakan awal setelah anaknya di diagnosa autis. Sementara informan disini, semua menerima keadaan anak autisnya walaupun tanpa ditutupi keberadaan anak autisnya. Peneliti juga melihat informan bersikap terbuka terhadap orang lain agar orang lain dapat melihat anak autisnya tanpa berikan batas-batasan yang bersifat perlindungan.
Batas-batasan perlindungan ini, berupa penyampaian informasi kepada orang lain saat mengetahui anak autisnya misalkan tetangga Ibu AA yang mengetahui bahwa ALT mengalami autis. Ibu AA tetap memberikan kesempatan pada ALT untuk berinteraksi kepada tetangganya. Namun, tetap membatasi pada sikap perlindungan pada dirinya.
Pada saat terapi, peran tindakan sementara di ambil oleh seorang terapi atau psikolog namun setelah dirumah peran di ambil penuh oleh orang tua seperti yang di ajarkan terapis berserta program-program yang terkait tumbuh kembang
anaknya. Kemudian disini juga terlihat tahapan-tahapan awal mulai dari bangun tidur, mandi, makan, bermain, sampai dengan tidur kembali pada malam hari.
Peneliti melihat tahapan-tahapan ini sudah terprogram mulai dari anak didiagnosis autis dini sampai usia saat ini. Program-program tersebut sifatnya dinamis dan berkelanjutan seperti cara tidur rentan usia 1 sampai 5 tahun anak tidur dengan orang tua, setelah 6 tahun anak dibiasakan untuk tidur secara mandiri. Namun informan peneliti dibawah 5 tahun sehingga tidur masih dengan kedua orang tuanya.
Dalam penelitian ini, teori tindakan sosial menjelaskan bahwa tindakan informan orang tua mempunyai arti subjektif bagi anak autisnya dan diarahkan melalui tindakan orang tuanya seperti cara mengasuh, memberi makan, mengenalkan hal-hal baru, cara bicara dan interaksi serta perkenalan benda-benda yang bisa memicu sosio emosional anak autisnya. Peneliti juga melihat kaitan kuat teori tindakan sosial informan orang tua yang mengarahkan anggota keluarganya dalam mempersiapkan serta membantu agar anak autis tersebut terkait adaptasi, interaksi dengan lingkungannya untuk mempersiapkan menuju proses kedewasaan.
Secara tidak langsung tindakan sosial ini bersifat subjektif karena semua orang dalam anggota keluarga bisa melakukannya.
Dalam menganalisa suatu tindakan, Mead menyatakan ada empat tahapan yang diambil oleh seseorang dalam mengambil suatu tindakan, khusunya terkait dengan hasil penelitian dari beberapa informan yaitu :
1. Impuls
Tahap pertama merupakan suatu dorongan hati/impuls (impulse) yang meliputi “stimulasi/rangsangan spontan yang berhubungan dengan alat indera” dan reaksi aktor terhadap rangsangan, kebutuhan untuk melakukan sesuatu terhadap rangsangan itu. Dalam berpikir tentang reaksi, manusia tak hanya mempertimbangkan situasi kini, tetapi juga pengalaman masa lalu dan mengantisipasi akibat dari tindakan di masa depan. Secara menyeluruh, impuls melibatkan aktor dan lingkungan.
Impuls dalam penelitian ini terlihat dari yang didapatkan oleh orang tua dalam melakukan suatu tindakan terhadap anak autisnya yang berawal dari hati dan naluri sebagai orang tua terhadap anaknya yang membuat orang tua harus berfikir dan mendorong apa saja yang akan dilakukan. Selain itu impuls atau dorongan juga dipengaruhi dari lingkungan luar orang tuanya yang mana mereka meminta untuk segera mengambil suatu keputusan untuk melakukan tindakan apa saja yang tepat khususnya dalam mengasuh anak autisnya kedepan seperti terus melakukan observasi terhadap anak dan terapi apa saja yang sesuai dilakukan untuk anak. Ada tujuan harapan tersirat dari orang tuanya untuk memikirkan masa depan sang anak.
2. Persepsi
Persepsi timbul ketika aktor bereaksi terhadap rangsangan yang berhubungan dengan impuls. Aktor tidak secara spontan menanggapi stimuli dari luar, tetapi memikirkannya sebentar. Aktor biasanya berhadapan dengan banyak rangsangan yang berbeda dan mereka mempunyai kapasitas untuk memilih yang mana perlu diperhatikan dan yang mana perlu diabaikan.
Setelah mendapatkan impuls baik dari diri sendiri maupun dari orang-orang terdekat, orang tua yang mempunyai anak autis tidak begitu saja menerimanya.
Namun mereka memilih impuls mana yang menarik untuk kemudian ditanggapi.
Kemudian muncul persepsi atas objek yang ditanggapi oleh individu tersebut.
Setiap individu tidak harus menyetujui arti dan simbol yang dipaksakan terhadap mereka. Oleh karena itu, orang tua yang memiliki anak autis memiliki persepsi yang berbeda-beda tentang makna anak autis tersebut. Hal ini akan berpengaruh juga tentang peran apa yang di ambil nantinya dalam mengasuh anak autis. Persepsi timbul dalam penelitian ini dikarenakan adanya proses kemampuan dalam menjalankan fungsi dan peran yang mengharuskan orang tua memiliki persepsi yang berbeda untuk melihat anak-anaknya. Persepsi ini juga membedakan
kekonkritan antara perlakuan orang tua terhadap anak-anaknya. Persepsi ini berlaku bukan hanya untuk anak autisnya dan bersifat sementara.
3. Manipulasi
Setelah impuls menyatakan dirinya sendiri dan objek telah dipahami, langkah selanjutnya adalah manipulasi objek atau mengambil tindakan berkenaan dengan objek itu. Tahap manipulasi merupakan tahap jeda yang penting dalam proses tindakan agar tanggapan tak diwujudkan secara spontan. Setelah setiap informan orang tua anak autis sudah memiliki persepsi masing-masing makna mengenai anak autis, orang tua tidak langsung memberikan tindakan atas persepsi mereka, namun mereka terus mengobservasi, memikirkan dan menggali informasi mengenai semua yang berkaitan tentang anak-anak autis terlebih dahulu.
Kemudian dalam penelitian ini juga orang tua anak autis juga memikirkan langkah apa yang akan dilakukan dan apa tanggapan orang lain terhadap tindakannya. Mereka menyadari tindakan yang dilakukan akan berpengaruh terhadap anaknya di masa depan kelak namun hal ini juga bersifat sementara hingga anak tersebut menentukan sikap dan karakternya sendiri. Seperti pengalaman salah satu orang tua informan yang menerapikan dan melakukan diet dengan ketat akan cepat mempengaruhi perkembangan tumbuh kembang anak autisnya, sehingga informan tersebut konsisten menerapkan program yang seperti itu. Manipulasi ini memang bersifat sementara namun orang tua harus dilakukan secara terus menerus sehingga manipulasi berakhir dengan konsumsi.
4. Konsumsi
Tahap keempat tindakan yaitu tahap konsumsi atau bisa dikatakan tahap pelaksanaan. Tindakan ini adalah tindakan yang memuaskan dorongan hati yang sebenarnya. Setelah masing-masing dari orang tua informan memiliki pemahaman dan kemudian memikirkan atas tindakan yang dilakukan, selanjutnya orang tua informan menentukan pilihannya masing-masing mengenai tindakan apa yang dilakukan terhadap anak mereka. Tindakan ini juga mencakup tentang peran mereka sebagai orang tua yang memiliki anak autis. Tentunya orang tua informan memilih tindakan yang sesuai dengan kemampuan dan apa yang mereka anggap baik bagi mereka serta anaknya karena setiap informan orang tua menentukan pilihannya masing-masing yang unik dan bebas.
Dalam penelitian ini, ada enam informan yang memilih untuk membagi perannya dalam mengasuh anak autisnya dengan bertumpu kepada istri, ada tiga informan yang rela berhenti bekerja dan menjadi ibu rumah tangga hanya untuk bisa mendampingi anaknya setiap hari walaupun tetap juga dibantu dengan terapis sedangkan suami hanya bertugas hanya sebagai mencari uang, ada 2 informan yang memilih menjadi rumah tangga dan mengasuh anaknya, ada 1 informan juga yang masing-masing masih saja memutuskan untuk bekerja dan dibantu juga dengan pengasuh dan terapis dalam mengasuhnya. Ada yang memilih untuk menerapi anaknya secara penuh waktu dan melakukan program diet yang super ketat. Ada lagi yang hanya sekedar melakukan terapi saja tanpa melakukan program diet untuk anak autisnya. Konsumsi ini bersifat tetap dan kontiniu karena adanya peran yang disertai tanggung jawab keluarga terkait permasalahan kehidupan anak autis kedepannya.
Dalam penelitian ini, informasi dan analisis informan juga dikuatkan oleh teori Sosiologi yaitu teori tindakan sosial yang melihat proses sosialisasi orang tua kepada anak autisnya. Proses sosialisasi ini berkembang dan terbuka melihat bahwa anak autis diputuskan untuk mendapat perlakuan dan kebutuhan khusus dalam kehidupan keluarganya.
Berdasarkan proses sosialisasi yang merupakan suatu proses belajar dan mengajar untuk anak autis pertama kali berupaya menghasilkan kondisi tertentu yang bersifat khusus seperti fisik, moral, sosial dan kedewasaan. Untuk informan anak autis RKH yang sekarang berusia 9 tahun merupakan informan anak autis yang paling tua diantara informan lain namun peneliti melihat informan HQI yang
berhasil sosialisasi dengan baik seperti berbicara dengan orang lain, serta mampu melakukan kegiatan-kegiatan mandiri.
Teori Goerge Herbert Mead, terkait dengan penelitian ini adalah proses anak autis belajar melalui cara, nilai, dan menyesuaikan melalui orang tuanya untuk tindakan dengan masyarakat dan budaya sesuai isinya dalam meningkatkan pertumbuhan pribadi anak autis agar sesuai dengan keadaan keluarga, nilai keluarga dan masyarakat, norma masyarakat dan yang terakhir budaya di lingkungan tempat tinggalnya. Adapun tahap-tahapan proses sosialisasi anak autis sesuai dengan teori dan perkembangan anak autis, tahapan-tahapan yaitu tahapan persiapan, tahapan meniru, tahapan bertindak, dan tahapan penerimaan secara langsung telah dilakukan oleh orang tua namun terbatas pada daya tangkap pada anak autisnya.
Akan tetapi, melalui sosialisasi anak autis tersebut dibentuk menjadi pribadi yang seutuhnya dengan keperluan dan kebutuhan khususnya sesuai dengan nilai dan norma di tempat tinggalnya.
Dalam hal ini tidak terkecuali dengan tindakan dan cara yang digunakan oleh orang tua dalam mensosialisasikan norma-norma yang dipengaruhi oleh makna yang diberikan orang tua terhadap norma-norma itu sendiri sehingga penyampaian norma-norma seperti agama yang dimiliki oleh orang tua, kepercayaan yang dianut, sopan santun, adab, dan perilaku sehari-hari dapat berhasil diterapkan pada anaknya.
Dalam penelitian ini sangat berkaitan dengan materi seperti hal-hal dasar dalam menghadapi dan memiliki anak autis karena informan juga menyampaikan bahwa cara kita untuk menyampaikan informasi-informasi tersebut berbeda-beda
seperti anak autis ALT dan HQI, mereka berhasil peneliti lihat untuk mengenal keluarga dekat selain anggota keluarganya sendiri. Demikian seterusnya sehingga diharapkan mereka walaupun dalam keadaan autis tetapi bisa menuju kedewasaan melalui proses sosialisasi yang lengkap.
Kemudian secara tidak langsung proses belajar, proses mempelajari kebiasaan, sikap, ide-ide, pola-pola, nilai-nilai, tingkah laku dan standart tingkah laku dalam keluarga. Semua sifat dan kecakapan yang dipelajari oleh informan orang tua dan anak autis dalam proses sosialisasi ini disusun dan dikembangkan sebagai suatu kesatuan sistem dalam diri pribadi orang tua, keluarganya, tetangganya, para permerhati anak autis dan anak autis itu sendiri.
Dalam penelitian ini, adanya klasifikasi dalam bentuk tabel yang menggambarkan informan terhadap tahapan-tahapan berupa persiapan, meniru, bertindak, dan penerimaan secara langsung. Klasifikasi ini berdasarkan tahapan yang memang dilakukan orang tua terhadap anaknya mulai dari pertama kali di diagnosa autis sampai umur saat ini dilakukan penelitian.
Adapun dalam penelitian ini di klasifikasikan sebagai berikut:
Tabel 13
Tahapan Sosialisasi Yang Dilakukan Orang tua Terhadap Anak Autisnya
Informan Umur Anak
Tahapan Sosialisasi Yang Dilakukan Orang tua Terhadap Anak Autisnya
Tahap Persiapan Tahap Meniru Tahap Siap Bertindak Tahap Penerimaan Norma Kolektif
III 7 tahun Memperkenalkan perkembangan
V 9 tahun Program diet ketat Terapi berkala Intervensi untuk tidak
III 7 tahun Belum berhasil
Tabel 14
Tabel Analisis Teori Tindakan Sosial Dan Konsep AGIL Dalam Implikasi Pada Penelitian
Informan
Impuls Presepsi Manipulasi Konsumsi
I 6 tahun Menerima keadaan saat
V 9 tahun Menerima keadaan saat
Adaptasi Pencapaian Tujuan Integrasi Laten
I 6 tahun Bisa beradaptasi dengan lingkungan
IV 7 tahun Bisa beradaptasi dengan
V 9 tahun Bisa beradaptasi dengan kelaurga, lingkungan
VI 9 tahun Bisa beradaptasi dengan kelaurga, lingkungan
Berdasarkan tabel klasifikasi di atas keberhasilan atau belum berhasilnya semua tahapan berdasarkan dari implikasi dan tindakan-tindakan secara langsung maupun tidak langsung dan keberlangsungan dari setiap tahapannya yang sesuai dengan teori tindakan sosial dan konsep AGIL yang digunakan dalam penelitian ini. Orang tua berfungsi dan berperan untuk mengkontrol langsung proses-proses tahapan tersebut mulai dari bertindak awal, sikap menerima, kemampuan secara materi dan menguasai keadan-keadaan yang akan dialami kedepannya. Ketika sudah berhasil maka dapat naik ke tahapan atau progress baik lainnya ke depan. Kalau belum berhasil maka masih dapat diulang namun dengan konsep yang sama cara dan aturan mainnya berbeda semisal terapi yang dilakukan secara berkala menjadi intens kemudian jika ternyata hasilnya gagal maka secara tidak langsung anak di diagnosis tidak bisa melakukan apa-apa yang seharusnya dilakukannya. Terapi dan diet ketat atau intens prosesnya harus berhasil. Sama halnya dengan tahapan meniru. Untuk tahapan siaga dan pengenalan norma bisa saja belum berhasil ataupun gagal di lakukan karena faktor eksternal atau faktor diluar kondisi keluarga.
Dalam penelitian ini memang di dominasi dengan keberhasilan proses tahapan-tahapan karena pada umumnya gagal dan belum berhasilnya tahapan itu terjadi karena tidak dilakukan secara intens, kondusif dan kompleks. Dalam artian semua dilakukan dengan paket lengkap untuk memenuhi proses tahapan sosialisasi, tahapan persiapan, tahapan meniru, tahapan siap bertindak, dan tahapan penerimaan norma. Orang tua berperan aktif dalam konsistensi setiap tahapan-tahapan satu yang saling terkait karena hal ini juga terfokus pada lengkapnya proses dari sebuah fungsi dan peran orang tua terhadap anak autisnya.
Terkait dengan pola asuh, berdasarkan hasil wawancara dengan enam informan utama yaitu dimana mereka terus berjuang mengasuh, mendidik, mendisiplinkan, mengajarkan keterampilan hidup, memberikan pendidikan yang sesuai, melindungi dan tetap memberikan pengasuhan yang maksimal. Dalam pengasuhan anak-anak tersebut, peneliti melihat bahwa mereka menggunakan pola asuh demokratif yang terprogram, konsisten dan kontiniu. Dimana yang dimaksud dari pola asuh tersebut adalah pola asuh yang dicirikan beberapa kondisi dimana orang tua senantiasa mengontrol perilaku anak dengan diiringi oleh program-program evaluasi perkembangan anak, namun kontrol tersebut dilakukan dengan fleksibel, tidak kaku dan kontiniu. Orang tua juga memperlakukan anak dengan hangat, membangun rasa percaya diri dan mengetahui kebutuhan anak serta kemampuan mendengarkan aspirasi anak menjadi ciri gaya pengasuhan ini. Hal ini dapat kita ambil dari salah satu informan Ibu AA yang menuturkan:
“Cara ngasuh ALT yang sampai sekarang kami lakukan adalah harus tegas tapi tidak untuk dimarah-marahi dan semua yang diajarkan oleh ALT harus ada programnya. Karena ALT waktu awalnya belum intervensi belum bisa apa-apa.
Selain itu juga cara menyampaikan sesuatu kalau lagi belajar sampai mengajarkan kegiatan mandiri pun harus disampaikan secara berulang-ulang karena ALT memang memiliki kehilangan memori jangka pendek.”
Begitu juga yang disampaikan oleh Ibu Juliana dalam mengasuh HQI:
“Sampai HQI uda bisa sekolah di tempat umum pun cara ngasuhnya harus terprogram. Jika ada yang tidak bisa buat si anak, maka program yang sudah dibuat pun dibatalkan sementara tapi tetap lanjut lagi. Karena memang cara ngasuh anak-anak seperti ini jangan sampai tidak berlanjut walaupun setiap program berbeda-beda.”
Peneliti melihat bahwa terbentuknya pola asuh demokratif tersebut, anak autis juga di ikutsertakan dalam kegiatan sehari-hari mereka sesuai dengan kemampuan mereka yaitu pemgajaran di rumah, penggunaan reward dan punishment orang tua
terhadap anaknya, selanjutnya peraturan, kontrol dan bimbingan orang tua terhadap anak autis
Menurut peneliti melihat bahwa para orang tua dalam mengembangkan kemandirian anak-anaknya (anak autis) dengan cara memberikan contoh terlebih dahulu dan memberikan instruksi yang mudah dipahami oleh anak tersebut. Para orang tua tidak langsung membantu ataupun mengambil alih ketika anak kesulitan dalam melakukan aktivitasnya sehari-hari, orang tua hanya mendampingi setiap aktivitas sehari-hari anaknya yang autis. Seperti yang di lakukan oleh Ibu Lia terhadap RKH dalam mengajarkan dia cara meminta makanan yang harus dicontohkan secara berulang-berulang sampai dia mengerti cara meminta makanan.
Kemudian berdasarkan penelitian lihat bahwa setiap orang tua konsisten terhadap pemberian reward dan punishment yang diberikan untuk anaknya dari hasil aktivitas yang dilakukan anak-anak tersebut. Seperti Ibu NN selalu memberikan reward kepada RM dengan cara memberikan makanan yang dia sukai seperti keripik, sedangkan Ibu FB selalu memberikan pujian dan pelukan kepada MT. Sedangkan punishment yang diberikan kepada mereka apabila mereka tidak melakukan apa yang diperintahkan oleh orang tuanya seperti yang di lakukan oleh Ibu AA terhadap ALT berupa tidak mendapatkan pujian dan bahkan sampai tidak mendapatkan sesuatu yang ia inginkan seperti mainan.
Dan yang terakhir berdasarkan peneliti lihat dari wawancara dari ke enam informan tersebut, melihat bahwa cara orang tua dalam memberikan aturan berupa bimbingan dan arahan yang ditujukan kepada anak autis mereka dengan memberi pengarahan, pendampingan, pengawasan, pemberian instruksi sederhana serta
kontrol sehingga dengan hal seperti itu akan memudahkan anak autis dalam memahami dan memudahkan anak untuk mengembangkan kemandirian terutama ketika di rumah.
Selain itu, peneliti juga melihat dari beberapa informan bahwa bagaimana cara mengasuh mereka dengan bekerja sama asisten rumah tangga yang mereka miliki seperti mereka memiliki asisten rumah tangga yang tidak hanya mengurus rumah tetapi memberikan perhatian khusus kepada mereka. Disini yang memiliki asisten rumah tangga untuk membantu adalah Informan keluarga ALT dan Informan keluarga Al. Asisten rumah tangga ini merupakan orang-orang tambahan yang memberikan pola asuh terhadap mereka walaupun tidak sepenuhnya misalnya memberikan makan dan mereka harus bisa memberikan perlakuan khusus terhadapnya. Peneliti melihat kombinasi pola asuh antara orang tua, keluarga, dan asisten rumah tangga terhadap anak autis. Adapun yang menggunakan terapis tetapi hanya sebatas untuk pola asuh perkembangan dan pertumbuhan kekhususan terhadap autisnya. Hal-hal keseharian seperti kebutuhan pokok makan anak autis jelas berbeda dengan anak biasa maka dari itu hanya ibu dan asisten rumah tangga yang sudah terbiasalah yang dapat memberikannya menurut informan yang dilihat.
Ibu RNI sebagai psikolog menambahkan “pola asuh, proses sosialisasi, proses interaksi itu harus jalan bersama. Tergantung pada si anaknya dan kemampuan daya tangkap si anaknya. Semuanya penting termaksud juga pemberian rasa aman dan perlindungan.”
4.5.2 Perubahan Peran Orang Tua Informan
Peneliti melihat ada terjadinya perubahan peran orang tua terutama informan ibu yang memiliki anak autis. Seperti bu Lia (Ibunya RKH), dahulu bekerja di suatu perusahaan swasta namun sekarang sudah tidak bekerja lagi. Bu Juli (Ibunya HQI),
sebelumnya bekerja sebagai pegawai negeri sipil namun sudah memutuskan pensiun muda. Bu RN (Ibunya Al), sebelumnya bekerja sebagai notaris namun sudah memutuskan bekerja di rumah. Maka dari itu, peneliti mengkategorikan mereka mengalami perubahan peran secara signifikan walaupun peran utama sebagai seorang ibu tetap melekat pada dirinya. Perubahan peran tersebut tidak terlihat signifikan tetapi cukup mengalami perubahan dan pengaruh pada struktur keluarga. Hal ini seperti yang diungkapkan bu RN :
“Dahulu kami berdua bekerja. Pasti berangkat ke kantor dan meninggalkan rumah sampai sore atau malam baru balik ke rumah. Tapi setelah nengok Al seperti ini, saya memutuskan dan bapaknya setuju untuk bekerja di rumah. Jadi bisa langsung kontrol.”
Selanjutnya, unsur-unsur perubahan peran juga terlihat pada informan yang memiliki asisten rumah tangga di rumah. Peneliti melihat asisten rumah tangga tersebut harus juga bisa memperhatikan walaupun tidak menjaga sepenuhnya anaknya sehingga para asisten rumah tangga tersebut juga terbiasa dalam penguasaan pola asuh terhadap anak autis karena anak autis tersebut lahir setelah para asisten rumah tangga tersebut sudah bekerja di rumahnya terlebih dahulu.
Dengan kata lain asisten rumah tangga tersebut, juga belajar untuk cara menghadapi dan memperlakukan anak autis ini. Kemudian, peran-peran yang sudah terbiasa terbentuk secara sosiologi keluarga mengalami inisiasi yaitu ibu dan asisten rumah tangga yang mengurus anak autis. Sementara peran ayah tetap sebagai pencari nafkah sesuai dengan kodrat dalam struktur keluarga. Ibu RNI menuturkan :
“Peran ini sebenarnya fleksibel dan dinamis tapi yang Namanya perempuan atau seorang ibu yang memiliki anak apalagi memiliki anaknya yang autis itu yang paling sangat sering berubah-ubah peran misalnya suaminya kerja di luar kota
mau tidak mau sosok ibu juga harus berperan sekaligus menjadi ayah yang menjaga keadaan di rumah. Dengan kata lain, ibu itu berubah peran menjadi ayah walaupun tidak berlangsung lama. Banyak-banyak perubahan peran ini sebenarnya juga bisa memberikan pengaruh psikologis si anak. Tapi itu, tidak
mau tidak mau sosok ibu juga harus berperan sekaligus menjadi ayah yang menjaga keadaan di rumah. Dengan kata lain, ibu itu berubah peran menjadi ayah walaupun tidak berlangsung lama. Banyak-banyak perubahan peran ini sebenarnya juga bisa memberikan pengaruh psikologis si anak. Tapi itu, tidak