• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV INTERPRETASI DATA

4.3 Gambaran Kehidupan Orang Tua dan Anak Autism Spectrum

4.3.1 Awal Mula Dan Respon Orang Tua Mengetahui Anaknya

Sebagai Informan Ibu RN menerangkan anaknya bernama Al (6 tahun) yang saat ini memiliki kegiatan di sekolah. Awal mula Al di diagnosa mengalami autis ketika ibu RN dan bapak DD sudah mulai curiga kalau Al selalu dipanggil tidak merespon. Pada saat itu usia Al masih sekitar satu tahunan lebih. Melihat perkembangan kondisi Al tidak seperti anak biasanya , mereka langsung memeriksa Al ke dokter tumbuh kembang anak tetapi hasil yang diterima bahwa Al masih dalam keadaan baik-baik saja karena Al pada saat itu masih ada kontak mata dengan orang lain. Kemudian setelah berumur dua tahun, Al masih saja belum bisa berbicara dengan orang lain. Al diperiksa kembali ke dokter spesialis anak dan hasilnya diagnosa Al mengalami gangguan Autisme.

“Sebelumnya diagnosa, dia dipanggil selalu nggak ngeliyatkan. Pada saat itu umurnya sekitar satu tahun. Terus ada saudara yang bilang ke kami, diperiksa aja gitu. Yauda bawalah ke dokter tumbuh kembang anak. Waktu itu katanya sih ngga ada masalah karena dia masih ada respon mata gitu. Terus akhirnya tunggu dua tahun katanya. Terus uda dua tahun, dibawa ke dokter spesialis anak. Kan Al belum bisa ngomong juga pada waktu itu. Jadi waktu itu, dokter spesialis anaknya itu yang bilang kalau Al ASD. Pada waktu itu dokter bilang berdasarkan ciri-ciri Al pada waktu itu aja. Karena ada lima yang memenuhi syarat jadi anak ASD.”tutur ibu RN.

Saat awal mengatahui kondisi anaknya ternyata mengalami keterlambatan karena kondisi gangguan autismenya, mereka sempat merasa sedih dan khawatir.

Meski sempat merasa sedih dan cemas menghadapi kondisi Autisme Al, mereka cukup bisa menerima kondisi Al.

“Pada saat pertama tau, sangat sangat gimana pada saat itu.. ya pastilah sedih ngga mungkin gembira yakan. Tapi ya walaupun begitu kita harus tetap nerima”

Hal yang sama juga dikatakan oleh informan Ibu FB yang menerangkan anaknya yang bernama MT :

“Dari umur 1 tahun 5 bulan saya memiliki kecurigaan sama MT kalau dia ketika dipanggil nggak mau melihat, bermain dengan yang lain pun juga demikian.

Dari situlah saya mencoba bawa MT ke dokter tumbuh kembang anak. Dari situlah kalau dokter disuruh terapi. Umur 1 tahun 10 bulan dia sudah menjalankan terapi.“

Saat mengetahui MT di diagnosa mengalami gangguan autis, Ibu FB dan suaminya tidak berlarut untuik merasa sedih karena pada awalnya mereka merasa memang ada kecurigaan terhadap MT yang mendorong mereka untuk membawa MT memeriksanya. Mereka terus mencari dan menggali informasi apa aja yang terkait dengan anak autis dan membawa MT menjalankan terapi.

“Pada saat pertama tau kalau MT di diagnosa seperti itu, berarti kecurigaan saya selama ini terjawab. Ada sebelumnya seminggu saya mempelajari tentang anak-anak spesial terus dalam hati berkata kenapa mirip sekali dengan anak saya

ya? Walaupun begitu saya tidak perlu ya berlarut sedih, dari sini lah saya terus perkembangaannya tidak sesuai dengan perkembangan anak anak di umur 3 tahun.

Berikut penuturan ibu AA :

“Awal mula memiliki kecurigaan terhadap ALT ini, di umur 3 tahun dia masih belum ngomong. Awalnya respon saya masih biasa aja ya karena saya coba ngomong dengan keluarga besar, bapak mertua terus bilang begini ke saya kalau di keluarga kami memang ada keturunan lambat tumbuh kembangnya. Seperti si x baru bisa jalan di umur 2 tahun. Si x juga umur 3 tahun baru bisa bicara. Tapi lama kelamaan saya lihat ALT kok berbeda tingkahnya. Dari situlah saya mencoba cari informasi kemana saya harus memeriksa ALT sampai pada akhirnya saya membawa ke dokter x dan melakukan pemeriksaan secara medis. Dari situlah ALT positif mengalami gangguan autis dan melakukan terapi serta diet sampai sekarang. Perasaan pada saat itu masih ngga nyangka aja ya kalau ALT mengalaminya. Walaupun awalnya kami sempat merasa sedih tapi tidak untuk berlama-lama ya kan, rasanya percuma.. hahahaha.. yauda habis itu kami langsung giat dan pantang menyerah untuk mencari solusi dari ini semua. Kita harus fight apapun nanti yang terjadi kedepannya tentang ALT kita harus tetap terima karena kita sudah melakukan usaha yang semaksimal mungkin kan hanya untul ALT aja. ”

Sebagai orang tua yang memiliki anak dengan gangguan Autisme, hal ini tidaklah mudah bagi mereka. Tahap demi tahap penerimaan dilalui oleh mereka ysnng berawal memiliki kecurigaan terhadap perkembangan tumbuh kembangnya, memeriksa secara medis, sedih sampai pada tahapan apa saja yang seharusnya mereka lakukan untuk anak mereka. Walaupun awalnya mereka cukup merasa sedih dan kecewa tetapi mereka tidak pantang menyerah untuk melakukan hal apa saja yang terbaik buat anak mereka.

4.3.2 Kehidupan Anak Autis Informan

Peneliti memfokuskan pada kehidupan anak autis berdasarkan kegiatan sehari-hari dan kebutuhan hidupnya secara partisipasi. Dalam hal ini peneliti berusaha mendekatkan diri secara emosional untuk mendapatkan relevansi terkait dengan hari-harinya informan (anak autis). Peneliti melakukan kunjungan informan ke kediaman ALT dan RKH. Peneliti berhasil mengikuti kegiatan sehari-harinya.

Peneliti berkunjung di pagi hari kerumah ALT dan RKH. Mereka terdapat kesamaan diantara mereka berdua yaitu memiliki kedekatan emosional lebih dengan papanya khususnya dalam menghabiskan waktu luangnya. Berdasarkan penglihatan peneliti, RKH memiliki kedekatan emosional dengan ayahnya. Hal ini ditunjukan dengan interaksi tertutup yang terbentuk dari sikap dan gestur yang menyukai ayahnya ketika ayahnya sedang memainkan gitar seperti dari tuturan ibu RKH :

“RKH itu paling suka dengan musik seperti lagu-lagu Sheila on 7. Dia itu hapal alunannya. Apalagi kalau papanya sudah mainkan gitar, udalah terus duduk disamping papanya dan ikut juga bernyanyi walaupun kadang-kadang kita dengar ntah apa ya kan yang dibilangnya. Hahahaha.. terkadang itulah yang membuat saya terkadang lucu melihat tingkah RKH ini.”

Sepertinya dari interaksi yang terbentuk, RKH menggambarkan kalau ia merupakan anak autis yang sangat menyukai musik. Ada simbol-simbol seperti gestur yang merujuk pada petikan gitar dan meransang interaksi verbal RKH. RKH menunjukan simbol dan gestur tubuh terbuka seperti tersenyum dan gerakan tubuh

untuk merespek terhadap bunyi gitar. Selain gitar, suara music memberikan simbol yang sama dan menyerukan rasa senang.

Lain halnya dengan ALT lebih suka dengan hal-hal visual dan termaksud interaksi tidak langsung misalnya melalui media eletronik seperti televisi dan smartphone. Peneliti melihat ada unsur interaksi terbuka antara ALT dan papanya.

Dalam hal ini interaksi terbukanya berupa memainkan permainan yang disukai ALT yaitu kereta api Thomas. Interaksi tertutup terlihat dari bantuan visualisasi dari tayangan tentang kartun Thomas. Peneliti melihat adanya gestur bahwa ALT sangat menaruh perhatian pada permainan kereta api Thomas. Hal ini digambarkan dengan adanya koleksi mainan, koleksi film kartun Thomas, dan hal yang berbau dengan Thomas lainnya. Kecenderungan ini di anggap dapat menumbuhkan imajinasi dan prespektif tentang impian ALT semisal ALT memposisikan dengan karakter-karakter kartun yang ada di Thomas seperti masinis, kepala stasiun, kondektur dan karakter lainnya.

Papa ALT menambahkan, “kita ngga tau kedepannya kalau si ALT ini mencita-citakan dirinya sebagai apa, bisa aja cita-citanya menjadi orang yang bekerja di dunia kereta api.”

Peneliti juga menggambarkan bahwa kehidupan sehari-hari anak autis sesuai dengan apa yang di interaksikan dirinya kepada orang tua dan atau sebaliknya. Hal ini bisa menjadi hal positif ataupun negative bahkan bomerang jika salah mengambil keputusan. Peneliti juga melihat bahwa ALT berhasil menginterprestasikan interaksinya menjadi nyata seperti ketika ALT menginginkan naik kereta api yang sebenarnya.

Untuk kebutuhan sehari-hari semua informan menerapkan pola diet yang sesuai dianjurkan untuk anak autis serta kebutuhan interaktif seperti permainan tiga dimensi, tontonan visual yang sifatnya sosialisasi, dan terapi yang memang harus dilakukan. Hal ini menjadi perhatian khusus karena mereka terkategorikan secara sosial sebagai anak yang berkebutuhan khusus dalam kehidupan sosialnya.

Psikolog ibu RNI menuturkan :

“Interaksi dan sosialisasi itu sama pentingnya antara anak autis dengan anak biasa termaksud poses sosial kedepannya dari usia saat ini di harapkan kelak sampai dia dewasa.”

4.3.3 Interaksi Sosial Informan Orang Tua Terhadap Anak Autis

Peneliti memfokuskan interaksi sosial terhadap informan yang bukan anak tunggal seperti RKH dan RM yang memiliki saudara kandung yaitu sama-sama memiliki adik. Hal ini untuk menggambarkan dan mendeskripsikan proses interaksi tidak hanya kedua orang tua tetapi juga saudara kandungnya.

Peneliti melihat RKH yang usianya 9 tahun dan adiknya berusia 7 tahun memiliki proses interaksi sosial yang sama yaitu kecenderungan rasa ingin bermain dengan ibunya. Terlihat dengan kompetisi untuk mendapatkan perhatian dan rasa ingin bermain terus bersama ibunya bahkan menimbulkan konflik kecil dari kompetisi tersebut. Secara sosialisasi, RKH memposisikan sama dengan adiknya padahal jarak usia mereka 2 tahun. Disini diperlukan respon interaksi yang berbeda harusnya yang diberikan ibunya.

Ibu RKH menambahkan, “ada beberapa point cara bermain yang kita berlakukan sama tanpa membedakan jenis kelaminnya seperti permainan karakter superhero tapi itu harus maunya si RKH walaupun menimbulkan keberatan pada adiknya. Tapi sejauh ini adiknya sudah mulai terbuka untuk ngajak main bersama ya walaupun dia masih banyak tanya kan dengan kita, abang kenapa tidak seperti abang yang lain, kadang juga dia ada nimbul rasa cemburunya. Kita harus bisa menjelaskan pelan-pelan sama adiknya biar tidak ada saling cemburu. Itulah rasa senangnya yang ditimbulkan anak-anak.”

Peneliti melihat orang tua harus lebih ektra dalam merespon interaksi yang siap diberikan oleh anaknya karena dia memiliki anak biasa dan anak berkebutuhan khusus.

Selanjutnya informan yang bernama Ibu NN sebagai orang tua RM yang berusia 5 tahun dan adiknya yang berusia 3 tahun. Perlakuan ini berbeda dengan orang tua RKH. Hal ini terlihat dari usia RM dan adiknya yang dikategorikan anak usia dibawah 5 tahun. Rasa perlakuan tersebut bisa dilakukan sama karena jarak juga tidak terlalu jauh. Yang membedakan hanya cara makan, cara bermain, cara berinteraksi, tetapi masih bisa dikondisikan terhadap perlakuan anak usia dibawah 5 tahun. Yang menjadi perhatian adalah RM sangat suka dengan keripik, apapun yang berhasil di interpretasikan secara interaktif dengan baik oleh RM, Ibu NN memberikan reward berupa keripik karena RM sangat menyukainya.

Terdapat simbol yang berbeda-beda dalam perlakuan interaktif antara orang tua dan anak autisnya diantaranya orang tua harus bisa menginterpretasikan apa yang menjadi kesukaan anak autisnya atau saudara kandungnya.

Ibu NN mengungkapkan bahwa, “walaupun hal sekecil apapun ketika RM berhasil menunjukan dengan benar apa yang kita perintahkan dia harus dikasih apa yang buat dia senang. Kayak reward gitu walaupun RM sukanya hanya keripik.”

Berdasarkan penulisan di atas sesuai dengan kebutuhan dari interaksi sosial orang tua dan anak-anaknya, peneliti melihat ada unsur-unsur proses interaksi yang cenderung sama dengan memposisikan kedua anaknya. Hanya yang membedakan selain usia, pola makan, dan pendidikan karena walaupun usia mereka berbeda, tetapi cara respon kedua anaknya berbeda. Dari situ terbentuklah proses interaksi orang tua dengan anak autisnya. Misalnya RM dan adiknya suka dipeluk ibunya hal ini menunjukan RM harus di posisikan yang sama dengan adiknya yang masih usia 3 tahun. Sementara tidak ada perbedaan perlakuan yang signifikan terlepas dari kebutuhan dan kegiatan sehari-harinya. Kemudian peneliti melihat tidak adanya interaksi sosial yang terlalu memerlukan kebutuhan khusus karena mereka masih dibawah umur 5 tahun hanya saja orang tua sudah memberitahukan bahwa RM adalah kakak dari adiknya.

Dari hal ini dapat dilihat bahwa interaksi yang dilakukan oleh orang tua terhadap anaknya merupakan suatu hubungan timbal balik yang sengaja dibangun oleh kedua orang tuanya agar anak tersebut dapat terlibat dan tertarik terhadap sesuatu yang berada di lingkungannya. Biasanya interaksi ini menggunakan simbol-simbol tertentu atau dengan menggunakan gerakan-gerakan untuk bisa mengutarakan ke orang lain. Peneliti juga melihat berdasarkan hasil dari beberapa informan bahwa untuk meningkatkan interaksi orang tua dengan anak autisnya adalah dengan penggunaan satu bahasa yang sederhana, pemberian nama pada setiap benda, komunikasi dengan bahasa tubuh, komunikasi yang continiu, dan adanya target pembelajaran. Menurut Sastry & Aguirre (2014), salah satu bentuk dalam melakukan interaksi yang baik yaitu membangun atensi bersama. Atensi

bersama merupakan kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain secara verbal maupun tidak, di sekitar pengalaman, objek atau kejadian yang dimiliki bersama. Orang tua dapat membangun atensi bersama dan memampukan anak berinteraksi dengan baik. Walaupun faktor penghambatnya adalah karena perkembangan dan hambatan pada setiap anak autis yang berbeda-beda dengan anak autis yang lain. Hal ini juga dikaitkan oleh Suharni dkk (2016) dimana cara untuk meningkatkan interaksi sosial pada anak autis yang cukup maka peran orang tua sangat diharapkan memberi dukungan kepada anak autis untuk melakukan interaksi sosial yang cukup.

Dalam hal ini, informan juga melihat interaksi anak tersebut dengan saudara kandungnya namun sebatas pada interaksi sehari-hari seperti tidur bersama, makan bersama, berdoa bersama, bermain bersama, dan belajar bersama. Dalam penelitian ini, informan mendapatkan dan melihat bahwa ada keterbatasan interaksi antara anak autis dengan saudara kandungnya. Hal ini di tuturkan oleh Ibu Juli:

“Kakaknya HQI, mau bermain dengan HQI tetapi mereka juga terkadang berbeda pendapat atau pilihan saat bermain. Sehingga menimbulkan sedikit konflik tapi itu hal yang sangat minim terjadi karena kakaknya harus benar-benar mengetahui apa yang dia mau.”

Kemudian Ibu RNI sebagai psikolog juga menjelaskan bahwa orang tua harus peka dalam urusan interaksi karena kedua anak mereka memiliki cara interaksi yang berbeda walau menunjukan hal yang sama sehingga sikap sebagai seorang kakak atau saudara kandung ialah menjadi jembatan dalam menginterprestasikan setiap interaksi yang dimaksud anak autis. Semisal, piring untuk makan namun bisa saja

piring sebagai mainan. Disinilah proses interaksi sosial terjadi untuk mengartikan piring tersebut sebagai fungsi semestinya. Orang tua melalui kontrol dan tindakan untuk menjaga agar tidak ada interprestasi interaksi yang salah. Hal ini juga menggabarkan alat-alat yang bisa dijadikan untuk mainan dan dijadikan untuk fungsi lain semestinya.

Peneliti mengetahui bahwa informan memberikan kesempatan kepada anak-anaknya untuk selain berinteraksi juga bersosialisasi dengan lingkungan luar dan mengenal keluarga-keluarganya. Hal ini di utarakan oleh Ibu AA :

“Walaupun mereka berkebutuhan khusus, sosialisasi untuk memang harus di ajarkan biar dia mengenal satu sama lainnya.”

Kemudian Ibu AA juga menambahkan :

“Kita tau ya bahwa anak-anak yang memiliki seperti ini sulit kali untuk bermain dengan teman-temannya. Tidak usah dari teman-temannya, dari orang tua atau dari orang terdekat aja pun sulit sekali kan karena mereka memang tidak bisa.

Tetapi kitalah sebagai orang tua mengajarkan dia pelan-pelan, setidaknya untuk duduk ditengah-tengah di antara teman-temannya walaupun dia juga tidak tau apa yang mereka sedang mainkan. Itu perlu sekali buat dia memancing responnya dia terhadap lingkungannya”

Peneliti melihat penerapan sosialisasi merupakan sebuah konsep untuk dikenal, diakui dan dipercaya sebagai unsur dari hak hidup seorang anak karena mereka juga akan tumbuh dewasa. Sosialisasi yang diberikan tidak terbatas pada pengenalan orang-orang di sekitar tetapi juga antar keluarga satu dengan yang lain karena pada dasarnya yang menjadi agen sosialisasi pertama adalah keluarga yaitu orang tua. Agen sosialisasi keluarga memberikan respon yang positif untuk tumbuh kembang kedepannya. Walaupun kedepannya terdapat agen sosialisasi lanjutan seperti sekolah, teman sepermainan dan media menjadi perlengkap proses

sosialisasinya. Dengan demikian, seorang anak baik yang berkebutuhan khusus ataupun biasa harus bisa menjalani proses sosialisasi tersebut dengan sebaiknya.

Peneliti melihat informan keluarga ALT yang telah memberikan kesempatan kepada ALT untuk bersekolah dan kebetulan memiliki keluarga besar yang lengkap sehingga ALT terbiasa selain mengenal dan juga bersosialisasi dengan neneknya, kakeknya, sepupunya, bahkan keluarga yang bekerja di rumah. ALT memiliki kecenderungan untuk gampang bersosialisasi karena ALT pernah tinggal bersama kakek dan neneknya sementara kedua orang tunya bekerja.

Peneliti juga melihat ada upaya orang tua untuk memberikan kesempatan anaknya untuk bersosialisasi dengan tetangga di sekitar dan dengan orang luar. Hal ini sangatlah penting untuk melengkapi proses sosialisasi dan kebutuhan khusus untuknya sehingga orang-orang di sekitar tempat tinggal mengetahui untuk memposisikan anak berkebutuhan khusus itu seperti mengenalnya, mengajaknya dia berbicara, dan perlakuan sosialisasi lainnya. Hal ini dapat kita lihat bahwa di dalam sosiologi, sosialisasi sangat berpengaruh dalam kehidupan anak di dalam keluarga walaupun prosesnya mengalami tahapan-tahapan, dikarenakan keluarga merupakan kelompok sosial yang sangat besar pengaruhnya terhadap proses sosialisasi anak sebelum terjun ke kehidupan masyarakat.

4.4 Fungsi Orang Tua Terhadap Anak Autisnya

Berdasarkan hasil penelitian, peneliti melihat fungsi orang tua yang mencakup fungsi sosialisasi, yaitu orang tua sebagai agen sosialisasi pertama termaksud nilai-nilai yang diajarkan kepada anak-anaknya. Selajutnya fungsi afeksi, fungsi

penentuan status untuk memposisikan anak autisnya pada struktur keluarga dan fungsi perlindungan. Peneliti mengkategorikan fungsi orang tua ini berdasarkan informan yang menjalankan fungsinya dengan baik dan mendekati konsep fungsi orang tua. Peneliti juga menambahkan unsur yang menurut peneliti anak tersebut mengetahui karakteristik fungsi orang tuanya antara lain :

4.4.1 Fungsi Sosialisasi

Peneliti menemukan fungsi sosialisasi sebagai proses alami dari anak usia dini sampai menuju dewasa hingga dapat berfungsi dengan baik dalam masyarakat.

Disini yang informan alami fungsi sosialisasi dengan baik adalah keluarga ALT dimana ALT mendapatkan proses sosialisasi yang hampir sempurna karena orang tua ALT semenjak ALT di diagnosa dokter sebagai anak autis, orang tua dan keluarga menerimanya dengan baik dan menjadikan ALT sebagai anak tunggal yang berkebutuhan khusus. Keterkaitan antara anak autis dan kebutuhan khususnya merupakan fungsi dari sosialisasi tersebut.

Sosialisasi disini perlu diberikan agar anak tersebut tetap menjalankan sosialisasi seperti anak biasa pada umumnya. Secara sosiologis empat elemen agen sosialisasi yaitu keluarga, sekolah, teman sepermainan dan media menjadi pelengkap dalam proses sosialisasi sejak dini menuju dewasa. Hal ini ditambahkan psikolog Ibu RNI :

“Sosialisasi dan agen-agennya pada dasarnya semuanya sama,hanya cara dan teknisnya yang berbeda pada anak autis ini yang berkebutuhan khusus semisal cara dia mengenal orang lain dan sebagainya.”

Menurut peneliti, fungsi sosialisasi orang tua merupakan hal yang mendasar dalam teori keluarga karena fungsi orang tua merupakan turunan dari fungsi keluarga dalam teori keluarga. Hal ini merujuk pada anak autis dalam suatu keluarga yang harus dapat berinteraksi dengan baik satu sama lain dalam anggota keluarga.

4.4.2 Fungsi Afeksi

Orang tua dan keluarga bertujuan untuk memberikan kebutuhan akan kasih sayang atau rasa cinta bagi anggota keluarganya termaksud dengan anak autis ini.

Menurut peneliti RM dan MT merupakan anak yang sangat mendekati secara konsep fungsi afeksi orang tua. RM dan MT di diagnosa autis sejak dini dibawah umur satu tahun sehingga peneliti melihat orang tua mereka memberikan kasih sayang sepenuhnya terhadap kebutuhan-kebutuhan khususnya. Dimulai dari pertama kali mengetahui mereka mengalami autis orang tua juga mempersiapkan segala kebutuhan yang terkait akan hal itu. Fungsi afeksi disini di anggap sebagai tindakan awal orang tua untuk menerima keadaan anak autisnya. Peneliti juga melihat bahwa pentingnya peran afeksi sebagai fungsi pelengkap untuk melengkapi fungsi keluarga dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini ditambahkan dengan konsep kasih sayang secara umum antara anak autis dan anak biasa.

4.4.3 Fungsi Penentuan Status

Berdasarkan hasil penelitian orang tua dan keluarga sangat berfungsi untuk memberikan status anak berdasarkan umur jenis kelamin dan urutan lahir yang juga berfungsi sebagai dasar member status sosial dalam keluarganya. Dalam hal ini, informan orang tua ALT, Al, RKH dan MT yang umurnya diatas 5 tahun sudah diberitahu bahwa mereka memiliki umur, memiliki jenis kelamin dan memiliki urutan kelahiran. Untuk ALT umurnya 7 tahun yang berjenis kelamin laki-laki, urutan keluarga anak tunggal. Al umurnya 8 tahun yang berjenis kelamin perempuan, urutan keluarga anak tunggal. Selanjutnya RKH umurnya 9 tahun yang

Berdasarkan hasil penelitian orang tua dan keluarga sangat berfungsi untuk memberikan status anak berdasarkan umur jenis kelamin dan urutan lahir yang juga berfungsi sebagai dasar member status sosial dalam keluarganya. Dalam hal ini, informan orang tua ALT, Al, RKH dan MT yang umurnya diatas 5 tahun sudah diberitahu bahwa mereka memiliki umur, memiliki jenis kelamin dan memiliki urutan kelahiran. Untuk ALT umurnya 7 tahun yang berjenis kelamin laki-laki, urutan keluarga anak tunggal. Al umurnya 8 tahun yang berjenis kelamin perempuan, urutan keluarga anak tunggal. Selanjutnya RKH umurnya 9 tahun yang